Karya ini ditulis pada 2006 untuk menjawab pertanyaan mengenai karakter masyarakat China. Setelah keruntuhan Uni Soviet dan restorasi kapitalis di sana, ada banyak ilusi di antara aktivis Kiri bahwa China masih mempertahankan sistem ekonomi sosialis. Dokumen ini memaparkan bagaimana proses restorasi kapitalis di China sudah berjalan dengan sangat dalam dan melampaui titik balik. Hari ini, hampir 20 tahun setelah dokumen ini ditulis, semua fakta telah semakin menegaskan proses yang dipaparkan di sini.
—–
Setelah Revolusi Rusia pada Oktober 1917, Revolusi China 1949 merupakan peristiwa terpenting kedua dalam sejarah. Revolusi ini menghapus pertuantanahan dan kapitalisme, dan sekaligus mengakhiri dominasi imperialis di salah satu kawasan dunia terbesar.
Akan tetapi, sementara revolusi Rusia mengarah pada pendirian negara buruh yang relatif sehat oleh kelas buruh di bawah pimpinan partai Bolshevik – sebuah partai revolusioner dengan perspektif internasionalis – Revolusi China 1949 mengarah pada terbentuknya negara buruh Stalinis yang cacat.
Syarat-syarat dasar untuk demokrasi buruh tidak ada sejak awal. Tidak ada Soviet, tidak ada kontrol buruh, tidak ada serikat buruh yang independen dari Negara, tidak ada kepemimpinan Marxis yang otentik. Ini karena revolusi diluncurkan di bawah kepemimpinan Stalinis, yang mengepalai tentara tani dan tidak didasarkan pada kelas buruh di kota-kota. Tentara tani adalah instrumen klasik pemerintahan Bonapartis. Mao, yang mendasarkan dirinya pada tentara tani ini, bermanuver di antara kelas-kelas secara Bonapartis, menggunakan Tentara Merah sebagai tongkat pemukul, pertama untuk melawan tuan tanah dan kemudian kaum kapitalis.
Kemenangan revolusi China dimungkinkan karena serangkaian kondisi objektif yang unik. Alasan utama mengapa Revolusi China mengambil bentuk seperti itu adalah pertama-tama ketidakmampuan imperialisme AS untuk campur tangan. Faktor kedua adalah ketidakmampuan China untuk berkembang di bawah kapitalisme dan di bawah rezim borjuis Chiang Kai-shek yang sangat busuk. Faktor lainnya adalah keberadaan negara buruh Stalinis yang cacat di Rusia sebagai tetangga China.
Mao Zedong dan kaum Stalinis China mendirikan sebuah negara di China seturut model negara Stalinis di Rusia, yaitu karikatur birokrasi yang mengerikan dan oleh karena itu Revolusi China 1949 dimulai di mana Revolusi Rusia berakhir.
Kita harus ingat bahwa revolusi China menghapus kapitalisme, meskipun sebenarnya ini tidak sesuai dengan perspektif kepemimpinan Partai Komunis China (PKC). Perspektif awal Mao adalah seratus tahun kapitalisme. Ia menganut teori dua tahap Stalinis yang menyatakan bahwa revolusi sosialis tidak mungkin terjadi di negara terbelakang, dan oleh karena itu tahap pertama adalah revolusi “demokratik”, yaitu revolusi borjuis. Hanya setelah kapitalisme berkembang, maka kita bisa berjuang untuk sosialisme. Teori ini dibantah oleh apa yang terjadi setelah PKC berkuasa.
Awalnya Mao membentuk “Front Popular” dengan serangkaian partai borjuis. Ini membuat beberapa orang percaya bahwa Mao akan “mengkhianati” revolusi, seperti yang dilakukan oleh Partai Komunis di Spanyol [pada 1936] dan negara-negara lain di mana Front Popular digunakan untuk mengekang gerakan kelas buruh. Namun, ada perbedaan fundamental di China pada 1949. Kekuasaan negara ada di tangan Mao; “badan orang-orang bersenjata” tidak dikendalikan oleh kaum borjuis. Kaum borjuis melarikan diri bersama Chiang Kai-shek ke Taiwan. Secara efektif, tidak ada kaum borjuis untuk secara nyata membentuk Front Popular itu.
Dalam kondisi seperti ini, Front Popular menjadi alat untuk mengekang kaum buruh di kota-kota, untuk menghentikan mereka bergerak melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh rezim Stalinis. Namun karena tidak ada “borjuis progresif” yang dapat mereka gunakan untuk membangun kapitalisme yang “demokratik” di China, yang dapat memimpin bangsa dan ekonomi secara efektif, dan karena kekuasaan negara yang sebenarnya ada di tangan Tentara Merah, mereka terpaksa mengambil alih tuas-tuas penting ekonomi. Ini, dalam arti tertentu, merupakan penegasan teori Revolusi Permanen secara terdistorsi.
Meskipun revolusi China tidak mengambil bentuk revolusi proletar, kaum Marxis mendukungnya karena revolusi ini membebaskan kekuatan produktif dari kekangan kapitalisme dan feodalisme dan meletakkan fondasi bagi perkembangan ekonomi, yang mustahil tanpa mengekspropriasi kaum tuan tanah dan kaum kapitalis. Namun, kaum Marxis menjelaskan, meskipun PKC dan birokrasi negara akan mampu memainkan peran yang relatif progresif dalam mengembangkan China, deformasi birokratik yang sama ini akan berarti bahwa rakyat China harus meluncurkan revolusi politik yang kedua untuk bisa melangkah maju menuju sosialisme yang sejati, kekuasaan buruh yang sejati.
Pertumbuhan ekonomi China setelah 1949 sangatlah spektakuler. Kita cukup membandingkan perkembangan ekonomi China dan India selama periode 1949-1979. Kedua negara ini mulai dengan level ekonomi yang kurang lebih sama, tetapi pertumbuhan di China jauh lebih tinggi selama periode ini. Ini hanya dapat dijelaskan oleh fakta bahwa China memiliki sistem ekonomi terencana dan terpusat, dengan tuas-tuas ekonomi yang dikuasai oleh negara. Walaupun di bawah rezim demokrasi buruh yang sejati perekonomian China pastinya bisa tumbuh lebih pesat. ekonomi terencana di bawah Mao merupakan langkah maju yang besar dan pertumbuhan besar ini menjadi fondasi yang menopang China modern hari ini.
Namun, birokrasi Stalinis ini memiliki banyak cacat. Yang terutama, birokrasi China memiliki pandangan nasionalis yang sempit, yang merupakan ciri khas semua rezim Stalinis. Jika China dan Rusia benar-benar negara buruh, mereka akan bersatu dalam sebuah Federasi Sosialis dengan negara-negara Eropa Timur dan mengembangkan rencana produksi internasional dengan menggunakan sumber daya manusia dan material dari semua negara tersebut secara terpadu dan rasional. Sebaliknya, seperti yang telah diprediksi oleh kaum Marxis, pandangan nasionalis birokrasi China dan Soviet pada akhirnya membawa mereka ke dalam konflik.
Inilah yang mendasari perpecahan Sino-Soviet pada 1960. Birokrasi Soviet berupaya membawa China ke dalam “lingkup pengaruhnya”. Ini tidak dapat diterima oleh birokrasi China dan karena Mao tidak naik ke tampuk kekuasaan berkat Tentara Merah Rusia (seperti yang terjadi di sebagian besar negara Eropa Timur). Mao memiliki basisnya sendiri yang independen dari Stalin, seperti halnya Tito. Kaum Marxis bahkan sudah mengatakan pada saat itu bahwa Stalin akan memiliki Tito lain. Ketika konflik Sino-Soviet ini meletus, kaum Stalinis Rusia menarik semua bantuan ekonomi, tenaga ahli, dsb., dari China, dan ini menjadi pukulan telak bagi perkembangan China saat itu. Setelah itu, birokrasi China menapak jalan autarki yang sepenuhnya reaksioner, dengan mengisolasi China dari perekonomian dunia dan dengan demikian mengisolasinya dari pembagian kerja internasional.
Mao berusaha menyamarkan apa yang sebenarnya ia lakukan dengan mengecam “revisionisme” birokrasi Soviet, karena ia membutuhkan pembenaran ideologis dan teoritis untuk pecah dari Uni Soviet. Namun pada hakikatnya, birokrasi China tidak berbeda dari birokrasi Soviet. Mao berusaha membangun “sosialisme di satu negara” versinya sendiri, sesuatu yang mustahil dicapai bahkan di negara yang memiliki wilayah hampir seluas benua.
Dengan demikian, China yang terbelakang dan terisolasi ini terpaksa mengembangkan alat-alat produksi dimulai dari level yang sangat rendah dan bahkan tanpa bantuan teknik yang lebih maju yang tersedia di Uni Soviet pada saat itu. Ini berarti perkembangan China dicapai dengan biaya yang sangat besar, baik dari segi sumber daya manusia maupun material. Meskipun demikian, China, dari negara kolonial yang terbelakang, yang sebelumnya didominasi oleh negara-negara imperialis, berubah menjadi kekuatan besar.
Kendati semua kendala yang dihadapinya, birokrasi China berhasil mencapai apa yang gagal dicapai oleh kaum borjuis China yang lemah itu, yakni menciptakan persatuan nasional yang sejati dan negara modern untuk pertama kalinya dalam sejarah negara tersebut. Revolusi agraria juga dicapai dengan sekali pukul dan nasionalisasi alat-alat produksi menjadi fondasi bagi perkembangan ekonomi China dalam tempo yang tanpa-preseden dalam sejarah.
Antara 1949 dan 1957, ekonomi China tumbuh rata-rata 11% per tahun, dan dalam kurun waktu 1957 hingga 1970, produksi industri terus tumbuh sebesar 9% per tahun, jauh lebih tinggi daripada dunia kapitalis (pada periode yang sama, tingkat pertumbuhan India kurang dari setengah tingkat pertumbuhan China). Pada 1952, China masih hanya memproduksi 1000 traktor per tahun, yang merupakan indikasi bahwa pertanian masih sangat primitif. Pada 1976, China memproduksi 190.000 traktor per tahun.
Semua ini tercapai kendati sejumlah disrupsi dari berbagai petualangan seperti Lompatan Jauh ke Depan pada 1958 dan Revolusi Kebudayaan pada 1966. Lompatan Jauh ke Depan bertanggung jawab atas penurunan serius dalam produksi pertanian, yang menyebabkan bencana kelaparan yang merenggut nyawa 15 juta orang dan antara tahun 1967 dan 1968 produksi industri menyusut sebesar 15%, yang mengakibatkan penurunan tajam dalam standar hidup massa. Setelah dua disrupsi besar ini, ekonomi pulih berkat sistem ekonomi terencana.
Bahkan pada 1974, ketika seluruh dunia mengalami resesi – yang merupakan resesi global pertama sejak Perang Dunia Kedua, di mana produksi dunia secara keseluruhan menyusut sebesar 1% – China tumbuh sebesar 10%. Ini seperti Uni Soviet pada tahun 1930-an ketika dunia dihantam depresi besar, dan menunjukkan keunggulan nyata sistem ekonomi nasional yang terencana.
Semua ini mengubah masyarakat China dan membawanya ke abad ke-20. Sebelum 1949, tingkat buta huruf di China mencapai 80%. Pada 1975, 93% anak-anak duduk di bangku sekolah. Ada perkembangan luar biasa dalam perawatan kesehatan, perumahan, dll. Kemiskinan parah yang eksis sebelum revolusi berhasil diberantas, dengan peningkatan umum dalam standar hidup dan juga serangkaian pencapaian sosial yang penting. Harapan hidup pada 1945 hanyalah 40 tahun, tetapi pada 1970 telah mencapai 70 tahun, mendekati angka harapan hidup di negara-negara kapitalis paling maju. Posisi perempuan juga meningkat pesat seperti yang ditunjukkan oleh contoh penghapusan pengikatan kaki perempuan dan reforma-reforma lainnya.
Trotsky tentang birokrasi
Kendati pencapaian-pencapaian besar ini, birokrasi Stalinis bukanlah lapisan sosial yang secara historis diperlukan dalam perkembangan ekonomi China. Sistem ekonomi terencana tidak memerlukan birokrasi untuk berfungsi. Sebaliknya, sistem ekonomi terencana tersebut berhasil meskipun ada birokrasi yang menjadi perintangnya. Dalam artikel yang ditulisnya pada Oktober 1939, yang diterbitkan dalam buku In Defence of Marxism, Trotsky menulis:
“Jika birokrasi Bonapartis ini adalah sebuah kelas, ini berarti mereka bukanlah sebuah aborsi, tetapi anak sejarah yang layak. Jika parasitisme yang menjarah ini adalah ‘eksploitasi’ dalam pengertian ilmiah dari istilah tersebut, ini berarti birokrasi memiliki masa depan historis sebagai kelas penguasa yang tidak bisa digantikan bagi sistem ekonomi yang ada.” (Leon Trotsky. Again and Once More Again on the Nature of the USSR)
Sebaliknya, Trotsky menjelaskan bahwa birokrasi tidak memiliki masa depan historis. Birokrasi lahir dari degenerasi Uni Soviet di bawah kondisi keterbelakangan dan keterisolasian yang ekstrem. Rezim China dibentuk berdasarkan model rezim Stalinis di Rusia, dan birokrasi China memainkan peran yang sama seperti birokrasi Soviet.
Keberadaan birokrasi ini berarti, terlepas dari semua retorika dari rezim, ada privilese dan kesenjangan sosial dalam masyarakat China. Misalnya, pada 1976, upah seorang buruh pabrik yang bekerja 48 jam seminggu adalah $12 per bulan. Sementara pekerja profesional memperoleh $120 atau lebih. Ada perbedaan upah sebesar 10 banding 1.
Di Uni Soviet, Lenin menoleransi perbedaan upah 4 banding 1 sebagai “kompromi borjuis”, yang ditujukan untuk menggerakkan ekonomi. Namun kebijakan ini dilihat sebagai kebijakan sementara, karena kaum Bolshevik menunggu kemenangan revolusi dunia yang saat itu tengah berkobar. Kaum Bolshevik memiliki pandangan internasionalis dan melihat satu-satunya keselamatan mereka yang sesungguhnya dalam kemenangan revolusi dunia. Perspektif mereka adalah, begitu kaum proletar di negara-negara yang lebih maju menggulingkan kapitalisme, maka perkembangan ekonomi yang harmonis menjadi mungkin, karena teknik yang lebih modern di negara-negara ini akan tersedia bagi Rusia yang terbelakang. Sayangnya revolusi-revolusi di Eropa Barat mengalami kekalahan satu demi satu, dan sebagai akibatnya Rusia bahkan semakin terisolasi dan proses degenerasi birokratik di Uni Soviet menjadi keniscayaan.
Birokrasi China tidak memandang perbedaan upah seperti kaum Bolshevik. Perbedaan upah setelah revolusi China tidak dilihat sebagai kompromi “borjuis” sementara yang dipaksakan oleh keterisolasian revolusi dan keterbelakangan ekonomi Rusia, tetapi sebagai konsolidasi kekayaan dan privilese birokrasi. Kaum birokrat hidup jauh lebih baik daripada buruh rata-rata. Tersirat dalam situasi seperti itu adalah kemungkinan pemulihan kapitalisme pada tahap tertentu.
Selama sistem ekonomi terencana menjamin kekuasaan, pendapatan, privilese, dan prestise mereka, maka kaum birokrat membelanya. Namun, seperti yang ditunjukkan Trotsky di Uni Soviet, birokrasi tidak akan puas hanya dengan privilese yang mereka peroleh dari posisi administratif mereka dalam masyarakat. Mereka ingin bisa mewariskan privilese ini ke anak-anak mereka, dan untuk memungkinkan ini maka relasi properti harus diubah. Ia menjelaskan dalam Bab 9 Revolusi yang Dikhianati:
Dan dia melanjutkan:
Seperti yang kita lihat, dalam perspektif Trotsky, restorasi kapitalisme merupakan kemungkinan yang konkret. Ia menunjukkan bagaimana ekonomi terencana yang dinasionalisasi tidak aman di tangan birokrasi semacam itu dan ini menyiratkan ancaman restorasi kapitalis pada tahap tertentu.
Negara buruh yang cacat (deformed workers’ state) pada dasarnya adalah rezim transisi antara kapitalisme dan sosialisme, yang entah akan digulingkan oleh revolusi politik atau tergelincir kembali ke kapitalisme. Secara historis, negara buruh yang cacat pertama kali muncul dari degenerasi Revolusi Rusia. Negara buruh yang cacat merupakan fase yang tidak diperlukan dalam perkembangan kekuatan produktif. Negara buruh yang cacat bukanlah fase yang tak terelakkan atau bentuk sosial yang diperlukan dalam sejarah. Bila saja revolusi Rusia berhasil menyebar ke negara-negara maju pada tahun 1920-an, Stalinisme tidak akan pernah lahir.
Namun, terlepas dari keterbatasan mereka, rezim-rezim ini berhasil mengembangkan alat-alat produksi hingga tingkat yang belum pernah terdengar sebelumnya. Dalam pengertian ini, mereka memiliki konten yang progresif. Ini mengalir dari kepemilikan negara atas alat-alat produksi dan sistem ekonomi terencana. Trotsky menganalisis ini dalam Revolusi yang Dikhianati dan membuat sebuah prediksi: selama rezim ini mampu mengembangkan ekonomi negara yang terbelakang, ia dapat meraih sejumlah keberhasilan. Namun, semakin ekonomi menjadi maju dan kompleks, semakin birokrasi akan menjadi belenggu bagi perkembangannya.
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, birokrasi mulai mengonsumsi porsi kekayaan yang semakin besar. Kita saksikan pemborosan, korupsi, dan penjarahan besar-besaran atas kekayaan yang dihasilkan oleh kelas buruh dan petani. Lebih penting lagi, seiring dengan perkembangan ekonomi yang semakin maju dan kompleks, menjadi jelas bahwa sistem komando birokratik tidak dapat mengelola setiap detail ekonomi yang semakin kompleks. Birokrasi yang tadinya merupakan belenggu relatif terhadap perkembangan kekuatan produktif berubah menjadi belenggu absolut.
Trotsky juga menekankan masalah produktivitas. Seperti yang akan kita lihat, produktivitas merupakan elemen kunci dalam memahami bagaimana dan mengapa rezim Stalinis runtuh di Eropa Timur dan Uni Soviet. Trotsky menjelaskan ini dalam Bab 1 Revolusi yang Dikhianati:
Dia menambahkan poin penting berikut:
Seawal Agustus 1925, Trotsky telah menulis sebuah analisis yang sangat berwawasan jauh dan tajam tentang problem-problem yang dihadapi negara Soviet yang masih muda, Whither Russia? (yang kemudian dikenal dengan judul Towards Capitalism or Socialism?). Dalam karya ini Trotsky mengajukan problem yang dihadapi Uni Soviet secara gamblang: “Seberapa besar laju pertumbuhan kita jika dilihat dari sudut pandang ekonomi dunia?” Dan dalam menjawab pertanyaan ini Trotsky mengatakan:
“Justru karena keberhasilan kita, kita telah memasuki pasar dunia, yakni kita telah memasuki sistem pembagian kerja universal. Dan pada saat yang sama kita masih dikelilingi oleh kapitalisme. Dalam kondisi ini, laju pertumbuhan ekonomi kita akan menentukan kekuatan perlawanan kita terhadap tekanan ekonomi kapitalisme dunia dan tekanan militer-politik imperialisme dunia.”
Trotsky memberi penekanan besar pada masalah laju pertumbuhan ekonomi Soviet pada 1925. Ia menekankan bahwa, “laju pertumbuhan merupakan elemen yang menentukan!” Dan menambahkan:
“Jelas sekali bahwa begitu kita menjadi bagian dari pasar dunia, bukan hanya prospek kita tetapi juga bahaya yang kita hadapi akan meningkat. Sumbernya, seperti halnya banyak kondisi lainnya, di sini lagi-lagi adalah bentuk ekonomi tani kita yang terpencar-pencar, keterbelakangan teknologi kita, dan produktivitas kapitalisme dunia saat ini yang jauh lebih unggul dibandingkan dengan kita.
“Keunggulan ekonomi negara-negara borjuis secara fundamental terletak pada kenyataan bahwa kapitalisme saat ini masih menghasilkan barang-barang dengan biaya produksi yang lebih murah dan kualitas yang lebih baik daripada sosialisme. Dengan kata lain, produktivitas tenaga kerja di negara-negara yang masih beroperasi dengan hukum inersia peradaban kapitalis lama untuk saat ini masih jauh lebih tinggi daripada di negara yang mulai menerapkan metode sosialis dalam kondisi barbarisme yang diwarisinya dari masa lalu.
“Kita mengenal dengan baik hukum dasar sejarah: kemenangan final pada akhirnya ada di tangan sistem yang mampu memastikan taraf ekonomi yang lebih tinggi untuk masyarakat.
“Pergulatan historis akan diputuskan – dan tentu saja tidak sekaligus – oleh koefisien komparatif produktivitas tenaga kerja.”
Apa yang dikatakan Trotsky di sini sangat penting untuk bisa memahami nasib negara-negara bekas Stalinis beberapa dekade kemudian. Meskipun ekonomi terencana memungkinkan Uni Soviet untuk membuat kemajuan luar biasa dalam perkembangan alat-alat produksi, ia masih jauh tertinggal dari negara-negara kapitalis maju. Namun, selama birokrasi mampu mengembangkan kekuatan produktif, stabilitas relatif terjamin bagi rezim Stalinis. Pada 1930-an, kekuatan produktif tidak hanya berkembang, tetapi juga berkembang jauh lebih pesat daripada di dunia kapitalis. Hal ini menjelaskan ketangguhan rezim Stalinis selama periode itu dan juga mengapa kecenderungan pro-kapitalis dalam birokrasi belum dapat mengkristal menjadi kekuatan yang serius.
Namun, Trotsky juga menjelaskan pada tahap tertentu dalam perkembangannya, birokrasi, dari yang tadinya merupakan belenggu relatif, akan menjadi belenggu absolut terhadap perkembangan alat-alat produksi. Laju pertumbuhan akan melambat dan ini akan membuka kembali kemungkinan restorasi kapitalisme. Inilah yang terjadi pada 1960-an dan 1970-an. Pertumbuhan ekonomi di Uni Soviet mula-mula melambat ke tingkat yang sebanding dengan pertumbuhan ekonomi di negara-negara kapitalis Barat, dan kemudian stagnan.
Begitu titik itu tercapai, menurut Trotsky, ada dua kemungkinan: kaum buruh akan menggulingkan birokrasi, sambil mempertahankan ekonomi terencana di bawah kontrol demokratik buruh, atau akan ada kontra-revolusi yang merestorasi kapitalisme.
Sejarah telah menunjukkan bahwa kemungkinan kedualah yang menjadi nasib rezim-rezim ini. Di Rusia dan Eropa Timur, yang telah mengalami krisis sejak tahun 1970-an, kita saksikan keruntuhan rezim-rezim Stalinis setelah menjadi jelas bahwa mereka tidak dapat lagi mengembangkan ekonomi. Di Rusia, rezim runtuh dengan tiba-tiba dan butuh beberapa tahun sebelum ekonomi akhirnya stabil dan mulai berkembang sekali lagi di atas basis kapitalis.
Birokrasi China mengambil pelajaran
Di China, perkembangannya agak berbeda. Birokrasi China mengamati dengan saksama apa yang terjadi di Rusia. Sayap birokrasi yang diwakili oleh Deng mengambil pelajaran dari pengalaman Rusia dan dari masa lalu mereka sendiri. China memiliki wilayah yang berdimensi benua dengan populasi raksasa, tetapi bahkan negara yang sangat besar ini tidak dapat berkembang secara terpisah dari ekonomi dunia. “Sosialisme di satu negara” telah terbukti gagal. Rezim autarki yang coba dibangun oleh birokrasi di bawah Mao akhirnya menunjukkan semua keterbatasannya.
Sayap Deng mengamati bagaimana Rusia dan Eropa Timur memasuki krisis dan diguncang oleh gejolak demi gejolak pada 1989-1991, di mana satu demi satu semua rezim ini runtuh dan restorasi kapitalisme dimulai. Mereka menyaksikan bagaimana birokrasi Rusia yang monolitik dan sangat kokoh itu runtuh seperti rumah kartu. Di semua negara bekas Stalinis di Eropa Timur dan Uni Soviet – dan terutama di Rusia – ekonomi terlempar ke belakang, kekuatan produktif mengalami kehancuran besar, dan birokrasi kehilangan kendali atas proses tersebut. Butuh beberapa waktu sebelum ekonomi stabil dan mulai tumbuh lagi. Birokrasi China melihat bagaimana ini dapat menjadi nasib mereka di masa depan. Oleh karena itu mereka menarik kesimpulan bahwa mereka tidak dapat membiarkan hal yang sama terjadi di China dan bahwa mereka perlu mengubah kebijakan ekonomi guna menghindari keruntuhan serupa di negara mereka sendiri.
Pada periode yang sama, peristiwa Tiananmen mengungkapkan bagaimana birokrasi China pada suatu saat dapat menghadapi nasib yang sama. Semua ini memiliki dampak yang luar biasa pada pemikiran birokrasi China, dan mendorong mereka untuk mengubah kebijakan mereka. Awalnya mereka menggunakan mekanisme pasar untuk meningkatkan produktivitas, sembari mempertahankan dominasi BUMN. Ini lalu diubah, dengan mempercepat proses yang pada akhirnya mengarah ke posisi saat ini di mana sektor swasta mendominasi.
Di China, seperti yang terjadi di Uni Soviet, seiring dengan pertumbuhan ekonomi di bawah Mao, nafsu birokrat pun ikut tumbuh dan koordinasi antara berbagai sektor ekonomi pun semakin memburuk. Ini menjelaskan fenomena seperti “Lompatan Jauh ke Depan” dan “Revolusi Kebudayaan”. Mao berupaya mendorong ekonomi maju dengan metode-metode ini, sementara pada saat yang sama berupaya mengekang ekses-ekses birokrasi yang mengancam kestabilan sistem.
Ekses-ekses dari sebagian birokrasi dapat membahayakan kepentingan kasta birokrasi secara keseluruhan. Dalam hal ini, apa yang dilakukan Mao mirip dengan apa yang dilakukan Stalin pada 1930-an, di mana dia menghantarkan pukulan terhadap beberapa elemen dalam birokrasi, tetapi selalu dengan tujuan menjaga kestabilan rezim. Stalin bahkan menghukum mati sejumlah birokrat; dia menyerang sayap birokrasi yang paling korup guna menyelamatkan birokrasi secara keseluruhan. Kita juga melihat hal serupa dalam Revolusi Kebudayaan, ketika selapisan birokrasi China diserang. Secara demagogis, Mao menyerang “antek-antek kapitalis” untuk mengonsolidasikan posisinya sendiri, sementara pada saat yang sama mengekang bentuk-bentuk korupsi yang lebih ekstrem yang mengancam keseluruhan sistem.
Revolusi Kebudayaan dalam esensinya bukanlah, seperti yang diklaim oleh sejumlah kaum Kiri di Barat, sebuah gerakan buruh dan pemuda yang menyerang kaum birokrat. Ernest Mandel dkk. membandingkan Revolusi Kebudayaan dengan Komune Paris, dan dengan demikian menunjukkan ketidakmampuan mereka untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Mereka membingungkan gerakan yang diluncurkan oleh satu sayap birokrasi China untuk menyerang sayap lainnya dengan pemberontakan buruh yang sejati di Paris pada 1871. Mereka tidak memahami bahwa Revolusi Kebudayaan selalu dikendalikan dari atas, oleh Mao, sang arbitrer tertinggi. Seperti yang telah kami jelaskan, dengan metodenya, Mao, jauh dari mendorong ekonomi maju, hanya menghasilkan dislokasi dan kekacauan ekonomi yang besar. Selama tiga tahun, total produksi pertanian dan industri kolaps total, dan semua sekolah dan universitas ditutup. Sayap yang dipimpin oleh Deng Xiaoping merasa ngeri dan mulai menarik kesimpulan juga dari pengalaman-pengalaman ini.
Kita harus memahami bahwa ekonomi terencana hanya dapat berjalan secara efisien jika ada pengawasan di semua tingkatan oleh kelas buruh. Rencana tersebut harus didiskusikan di semua tingkatan oleh buruh. Itulah mengapa demokrasi buruh, kontrol buruh dan manajemen buruh merupakan elemen esensial dalam ekonomi terencana. Buruh, yang juga merupakan konsumen, memiliki kepentingan material untuk memastikan agar rencana ekonomi berjalan secara efisien di semua tingkatan. Birokrat hanya tertarik untuk memenuhi kuotanya – tanpa memedulikan kualitas atau apakah ini dikoordinasikan dengan produksi lainnya – supaya bonusnya terjamin. Lebih jauh lagi, birokrasi yang tersentralisasi tidak dapat memutuskan setiap aspek produksi. Distorsi dan inefisiensi merajalela ketika semuanya bergantung pada perintah pusat birokrasi. Rencana produksi secara keseluruhan harus diperiksa di semua tingkatan oleh buruh. Ini menjelaskan mengapa “Lompatan Jauh ke Depan” dan “Revolusi Kebudayaan” gagal. Kita tidak dapat melawan birokrasi dengan cara-cara birokratik. Walhasil, kedua episode ini hanya berakhir dengan memperparah gangguan ekonomi yang disebabkan oleh birokrasi.
Kita harus memahami apa yang terjadi selama Revolusi Kebudayaan untuk bisa memahami perkembangan selanjutnya di bawah Deng. Birokrasi Maois bersandar pada massa untuk menyerang sayap birokrasi lainnya. Dengan melakukan itu, dengan cara Bonapartis, Mao dan pengikutnya telah melepaskan kekuatan dari bawah. Namun ini mengandung risiko. Bila massa dibiarkan melangkah lebih jauh, birokrasi dapat kehilangan kendali. Setelah mereka memangkas ekses-ekses dari sebagian birokrasi, Mao dan para pengikutnya meredam gerakan yang telah mereka lepaskan awalnya, dan pada 1969 menjinakkannya. Dengan demikian, slogan utama, dari “Rakyat benar, apa yang dikatakan rakyat benar” menjadi, “Yang benar adalah apa yang ada dalam pikiran Ketua Mao”.
Dengan meredam gerakan massa, perimbangan kekuatan secara tak terelakkan berayun kembali ke sayap pro-kapitalis. Begitu Mao mengekang massa, maka perimbangan kekuatan ditentukan di dalam birokrasi. Mao punya alasan kuat untuk merasa cemas dengan massa, karena ada berbagai gelombang aksi mogok dan gerakan dari bawah pada periode sebelumnya, yang terakhir terjadi pada tahun 1966-67 dan 1976 ketika ada kebangkitan organisasi buruh yang memperjuangkan upah dan kondisi kerja mereka. Apa yang kita lihat di sini adalah kecenderungan kelas buruh untuk melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh birokrasi. Yang harus kita pahami adalah bahwa birokrasi Maois dalam membela sistem ekonomi terencana tidak mungkin memberikan kekuasaan ke tangan buruh, karena ini akan berarti hilangnya privilese mereka.
Akan tetapi, mereka masih dihadapkan dengan masalah bagaimana mengembangkan ekonomi. Dari sudut pandang Marxis, satu-satunya solusi adalah memperkenalkan demokrasi buruh yang sejati, yang tentu saja merupakan hal terakhir yang akan dilakukan birokrasi. Kita tidak boleh lupa bahwa sayap birokrasi yang membela sistem ekonomi terencana melakukannya hanya untuk membela kepentingan mereka sendiri, privilese mereka sendiri. Trotsky menjelaskan situasi tersebut dengan sangat baik dalam bukunya In Defence of Marxism: “Di atas segala-galanya, birokrasi paling peduli dengan kekuasaannya, prestisenya, pendapatannya. Ia membela dirinya sendiri jauh lebih baik daripada membela Uni Soviet. Ia membela dirinya sendiri dengan mengorbankan Uni Soviet dan dengan mengorbankan proletariat dunia.” Inilah watak dasar birokrasi.
Selapisan luas birokrasi menghela napas lega ketika Revolusi Kebudayaan berakhir. Mereka ingin kembali ke stabilitas dan menikmati privilese mereka. Yang jelas, sudah ada sayap birokrasi yang membahas gagasan untuk memperkenalkan semacam stimulus pasar bagi perekonomian.
Berakhirnya era Mao
Setelah Mao meninggal, sayap “antek kapitalis” meluncurkan ofensif dan mengangkat masalah pasar, yaitu masalah pasar dunia. Sesungguhnya, Deng Xiaoping tidak sepenuhnya keliru, bahwa China tidak mungkin bisa dipisahkan dari ekonomi dunia dan China harus berpartisipasi di pasar dunia. Tanpa adanya demokrasi buruh, pasar dunia dapat berfungsi sebagai mekanisme kasar untuk memperbaiki mismanajemen dan inefisiensi dalam produksi dan distribusi.
Dalam kondisi seperti di China pada 1970-an, bahkan partai Marxis revolusioner dapat menerapkan semacam NEP (Kebijakan Ekonomi Baru), seperti yang dilakukan Partai Bolshevik pada awal tahun 1920-an. Selama tuas-tuas utama ekonomi tetap berada di bawah kendali negara, di bawah panduan ekonomi terencana, kebijakan NEP dapat digunakan untuk merangsang dan mengembangkan ekonomi di negara buruh yang terisolasi.
Lenin mempertimbangkan hal serupa ketika ia menawarkan konsesi kepada kapitalis Barat untuk membuka usaha di Siberia, yang memiliki banyak bahan mentah tetapi ekonominya belum berkembang. Soviet yang lemah dan masih muda tidak memiliki sumber daya untuk mengembangkan Siberia. Jadi, Lenin menekankan dalam situasi seperti itu satu-satunya cara untuk mendapatkan investasi dan teknologi yang dibutuhkan untuk mengembangkan kekuatan produktif adalah dengan memberikan konsesi kepada modal asing. Intinya, dengan menjamin profit bagi kapitalis, mereka dapat mengembangkan wilayah tersebut, memperoleh alat-alat produksi yang baru, teknik, dan sebagainya, dan ini akan menguntungkan revolusi.
Pada 1918 dalam karyanya “Left-wing” Childishness, Lenin menulis: “Kami, partai proletariat, tidak memiliki cara lain untuk memperoleh kemampuan untuk mengelola produksi skala-besar seperti trust, sebagaimana trust dikelola, kecuali dengan memperolehnya dari kapitalis kelas satu.” Tahun berikutnya pada 4 Februari, ia mengajukan sebuah resolusi kepada Dewan Komisar Rakyat yang menyatakan, “Dewan Komisar Rakyat … menganggap konsesi kepada perwakilan modal asing pada umumnya, secara prinsipil, diperbolehkan demi kepentingan pengembangan kekuatan produktif negara.” Tentu saja, perbedaannya pada 1918-19 Uni Soviet jelas adalah negara buruh yang sehat, atau setidaknya relatif sehat, di mana konsesi-konsesi semacam itu digunakan untuk memperkuat negara buruh, bukan melemahkannya.
Kita juga harus ingat bahwa kaum Bolshevik terpaksa mengadakan kompromi-kompromi ini karena tertundanya revolusi dunia. Kompromi-kompromi ini dapat diterima selama kekuasaan negara tetap berada di tangan kelas buruh dan negara ini mempertahankan kendali atas tuas-tuas ekonomi yang terpenting. Namun, masalahnya, kaum kapitalis asing sama sekali tidak berniat mencapai kesepakatan ekonomi dengan Rusia Soviet pada 1921, dan justru berniat menghancurkannya. Dengan birokrasi China, masalahnya berbeda. Dengan kasta berprivilese ini, kaum kapitalis asing dapat membuat kesepakatan. Bahkan Presiden AS Richard Nixon yang sangat reaksioner itu tidak punya masalah mencapai kesepakatan dengan birokrasi China.
Setelah kematian Mao, gagasan untuk membuka pintu lebar-lebar bagi pemodal asing semakin menguat di kalangan birokrasi dan Deng Xiaoping menjadi personifikasi gagasan ini. Ini mencerminkan fakta bahwa sebagian besar birokrasi telah menarik kesimpulan bahwa autarki telah gagal, bahwa China tidak dapat berkembang secara terisolasi.
Deng pernah menjabat sebagai sekretaris jenderal partai (pada 1954) tetapi kemudian disingkirkan dari kepemimpinan selama Revolusi Kebudayaan. Namun pada Januari 1974 ia kembali menjadi anggota Politbiro. Sebelum dilucuti lagi dari semua jabatannya, Deng tidak hanya menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, tetapi juga Wakil Ketua PKC dan Kepala Staf Umum Tentara Pembebasan Rakyat, yakni orang kedua di China setelah Mao. Meskipun menduduki jabatan tinggi, ia dikecam sebagai “monster” dan pemimpin konspirasi kontra-revolusioner yang mengikuti “kebijakan kapitalis.” Namun, kendati semua ini, ia masih mempertahankan kartu keanggotaan partainya. Biasanya siapa pun yang tidak disukai oleh “sang pemimpin besar” akan dipecat, atau bahkan bernasib lebih buruk lagi. Ini tidak terjadi pada Deng karena ia memiliki dukungan besar dalam birokrasi. Kita bahkan bisa mengatakan bahwa mayoritas birokrasi – setidaknya di antara lapisan atas – mendukung Deng, tetapi tidak dapat berkutik karena posisi Mao yang kuat.
Dukungan luas birokrasi terhadap Deng ini terkonfirmasi setelah kematian Mao. Geng Empat, yang mencakup jandanya Mao, ingin melanjutkan Revolusi Kebudayaan. Akan tetapi, lapisan birokrasi yang dominan memiliki pandangan lain. Geng Empat ditangkap pada 6 Oktober 1976 dan Deng bangkit sebagai pemimpin partai pada 1978.
Dari periode itulah kita dapat menemukan akar situasi saat ini. Perdebatan di dalam Partai Komunis tentang membuka pintu untuk investasi asing dimulai pada 1977-78. Kubu Deng menciptakan istilah “sosialisme pasar” untuk menjelaskan apa yang mereka usulkan. Mereka berargumen era Mao telah mengacaukan ekonomi. Ini tidak sepenuhnya benar, karena meskipun terjadi banyak gejolak, selama sekitar 25 tahun ekonomi telah tumbuh cukup pesat.
Namun, seiring dengan semakin kompleksnya ekonomi, sistem komando birokrasi mulai menunjukkan keterbatasannya. Sama seperti di Uni Soviet, kita saksikan kurangnya koordinasi antar-sektor, ketidakseimbangan investasi antar-sektor, dengan kelebihan produksi barang-barang tertentu dan kekurangan produksi barang-barang lainnya. Kita saksikan semakin banyak kecerobohan, korupsi, sabotase, pemborosan, dan kekacauan dalam skala besar. Produktivitas industri menurun. Ada kecenderungan inflasi, kelangkaan barang-barang konsumen, dan keresahan sosial.
Ini mulai berdampak pada taraf hidup buruh dan tani, yang mulai gelisah. Semua ini sesungguhnya dapat diselesaikan dengan menerapkan kontrol buruh dan manajemen buruh yang sejati. Tetapi, untuk mewujudkan ini diperlukan revolusi politik; birokrasi harus disingkirkan dari kekuasaan. Namun, birokrasi tidak akan menyerahkan kekuasaannya semudah itu. Menurut Deng dan sayap birokrasi yang diwakilinya, untuk bisa melanjutkan tugas membangun kekuatan produktif dan meningkatkan produktivitas China membutuhkan stimulus pasar.
Meskipun mereka telah melampaui negara-negara seperti Inggris dalam nilai produksi absolut, dalam hal produktivitas tenaga kerja, baik China maupun Rusia masih jauh tertinggal dari negara-negara kapitalis Barat. Di Rusia, krisis telah menjadi nyata dengan perlambatan pertumbuhan yang signifikan. Di China, sayap birokrasi Deng memahami perlunya memperkenalkan teknik-teknik yang paling maju ke dalam ekonomi China. Ini hanya dapat dilakukan dengan membuka China untuk investasi asing dan berpartisipasi di pasar dunia.
Bila saja kekuasaan negara berada di tangan kelas buruh, mereka dapat mengekang kecenderungan ke arah restorasi kapitalis. Namun, kekuasaan negara ada di tangan birokrasi, dan dalam kondisi ini, penerapan kebijakan insentif kapitalis menjadi bahaya nyata yang dapat sepenuhnya menghancurkan sistem ekonomi terencana cepat atau lambat.
Namun, kita tidak boleh mekanis dalam mendekati masalah ini. Sekarang tampaknya mudah untuk mengatakan sejak Deng berkuasa pada 1978 birokrasi memiliki tujuan jelas untuk memperkenalkan kapitalisme. Tetapi ini keliru. Birokrasi bergerak secara empiris, tergantung pada kebutuhan yang ada pada saat itu. Bahkan di Uni Soviet di bawah Stalin, ada periode di mana rejim lebih terbuka pada kekuatan pasar dan melakukan desentralisasi, yang disusul oleh periode resentralisasi. Ini merupakan upaya birokrasi untuk menggerakkan ekonomi. Birokrasi mafhum, jika mereka tidak mengembangkan alat-alat produksi maka privilese mereka akan terancam.
Deng Membuka China pada 1978
Pertimbangan inilah yang membuat PKC pada akhir 1970-an menarik kesimpulan bahwa China harus membuka pintu untuk investasi asing. Pada Desember 1978 PKC mengadakan Sidang Pleno Ketiga untuk membahas perubahan kebijakan. Meskipun PKC menyatakan bahwa perencanaan terpusat akan tetap menjadi bentuk yang dominan, mereka mulai memperkenalkan elemen desentralisasi dan mendorong pendirian perusahaan swasta. Gagasan utamanya adalah kekuatan pasar harus diperkenalkan sebagai sarana untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan ekonomi.
Ini mengarah ke pembentukan empat zona ekonomi khusus pada 1979 di sekitar Hong Kong dan Makau, di provinsi Guangdong dan Fujian di pantai selatan. Zona-zona ini terbuka untuk investasi asing. Awalnya, ada pembatasan yang cukup ketat terhadap level dan jenis investasi yang dapat dilakukan oleh kapitalis asing. Ini menunjukkan apa yang kami katakan di atas, bahwa bahkan sayap Deng melihat langkah-langkah ini sebagai sarana untuk memodernisasi kekuatan produktif, sambil mempertahankan sistem ekonomi yang terencana secara terpusat oleh negara. Awalnya, mereka sangat berhati-hati dan hanya membuat konsesi terbatas.
Namun, justru karena pembatasan tersebut, keempat zona khusus tersebut tidak serta merta sesukses yang diharapkan. Itulah sebabnya pada 1983 pembatasan tersebut dicabut dan, misalnya, perusahaan-perusahaan yang sepenuhnya milik asing kemudian diizinkan untuk beroperasi. Di sini kita melihat empirisme birokrasi. Tidak ada “rencana” yang matang. Namun begitu birokrasi memulai jalan ini, rencana ini mulai mengembangkan logikanya sendiri. Birokrasi merasa semakin sulit untuk mendikte kekuatan pasar. Jika mereka ingin para kapitalis berinvestasi, mereka harus menciptakan iklim investasi yang ramah bagi mereka.
Selain pendirian zona-zona khusus ini, ada proses paralel yang berlangsung di sektor pertanian. Sistem tanah kolektif yang lama dibongkar dan logika produksi swasta diperkenalkan. Ini dilakukan dengan “menyewakan” tanah kepada petani. Secara hukum, tanah tetap menjadi milik negara – dan masih demikian hingga hari ini – tetapi dalam praktiknya telah menjadi seperti milik pribadi. Misalnya, tanah yang disewa dapat diwariskan ke anak cucu. Pada akhir 1980-an, mereka yang telah menyewa tanah bahkan dapat menjual sewa tersebut atau mewariskannya.
Ini menciptakan diferensiasi di kalangan petani. Beberapa petani memperkaya diri mereka, sementara yang lain kehilangan sumber penghidupan mereka dan terpaksa mulai bermigrasi ke kota. Di satu sisi terjadi peningkatan produktivitas lahan dan di sisi lain terjadi pemiskinan di antara selapisan luas petani. Ini menyediakan suplai tenaga kerja murah yang akan menjadi dasar bagi perkembangan kapitalisme di kota.
Proses ini mirip dengan apa yang terjadi di Rusia setelah 1861, dengan dibubarkannya Mir, yaitu komune pertanian Rusia yang lama. Ketika komune-komune ini dibubarkan, petani mulai bermigrasi ke kota-kota, menyediakan tenaga kerja yang diperlukan untuk perkembangan kapitalisme pada periode 1880-1912. Namun, apa yang terjadi di China saat ini jauh lebih besar daripada di Rusia saat itu. Ini juga dapat dibandingkan dengan proses di masa-masa awal kapitalisme Inggris, ketika para petani secara brutal diusir dari tanah mereka dan dipaksa bermigrasi ke kota-kota dalam kondisi yang mengenaskan. Bahkan dapat dibandingkan dengan periode Wild West selama ekspansi kapitalisme di AS. Apa yang kita lihat di China sebenarnya memiliki unsur-unsur dari semua contoh historis ini. Proses di China tidak memiliki preseden dalam hal cakupan maupun kecepatan prosesnya.
Salah satu kebijakan pertama yang diperkenalkan PKC dalam upaya menarik investasi asing adalah penciptaan “pasar tenaga kerja”. Serangkaian reforma diperkenalkan yang memperbolehkan para manajer BUMN tertentu untuk mengakhiri jaminan pekerjaan seumur hidup bagi PNS. Gagasan bahwa pekerja dapat dipecat pun diperkenalkan.
Beberapa tahun kemudian, pada 1983, pemerintah melangkah lebih jauh. BUMN kini dapat mempekerjakan buruh kontrak dengan jangka waktu terbatas. Sistem baru ini berarti pekerja-pekerja yang baru dipekerjakan tidak berhak atas tunjangan kesejahteraan yang sebelumnya diterima oleh pegawai negeri. Pada 1987, 7,5 juta pekerja telah dipekerjakan dengan sistem kontrak oleh BUMN dan 6 juta lainnya telah mengubah status mereka dari pekerja seumur hidup menjadi pekerja kontrak.
Pada periode yang sama, tenaga kerja sektor swasta mulai tumbuh. Dari sekitar seperempat juta pada 1979, jumlahnya mencapai 3,4 juta pada 1984, kebanyakan di perusahaan-perusahaan yang sangat kecil. Awalnya, ada batasan jumlah pekerja yang dapat dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan swasta, tetapi pada 1987 batasan ini dihapus.
Selain itu, bentuk perusahaan swasta yang terselubung diizinkan untuk berkembang, dalam bentuk apa-yang-disebut “kolektif perkotaan” atau “Perusahaan Kota dan Desa” (Town and Village Enterprises, TVE). Perusahaan-perusahaan ini dikendalikan dan bergantung pada pemerintah daerah setempat, tetapi “berorientasi laba”, yakni beroperasi layaknya perusahaan kapitalis.
Kendati demikian, sepanjang periode ini sektor negara tetap mendominasi dan mengarahkan keseluruhan ekonomi. Pada pertengahan 1980-an sektor negara masih mempekerjakan sekitar 70% tenaga kerja perkotaan. Namun status pekerja ini telah berubah. Semakin banyak dari mereka yang bekerja dengan kontrak terbatas.
Penutupan BUMN-BUMN menyebabkan fenomena pengangguran yang sebelumnya tidak ada. Begitu “reformasi pasar” pertama diperkenalkan, inflasi mulai naik, yang memicu keresahan sosial. Karena khawatir akan konsekuensi politiknya, rezim pada 1981 memutuskan untuk memperlambat proses tersebut. Ini adalah sesuatu yang akan diulang di setiap krisis selama proses restorasi kapitalisme. Namun, setelah memperlambat proses reformasi pasar dan menstabilkan kembali situasi, rejim kembali bergerak maju dan mempercepat proses ini sekali lagi. Mereka tidak pernah mengambil langkah mundur.
Pada 1982 PKC masih secara resmi menyatakan sektor negara sebagai sektor dominan. Pada saat itu, negara China masihlah negara buruh yang cacat, dengan birokrasi yang menggunakan metode kapitalis untuk mengembangkan ekonomi secara keseluruhan. Namun pada 1984 mereka bergerak maju lagi ke arah perkembangan kapitalis yang lebih luas. Penekanan yang lebih besar diberikan pada produksi swasta dan pasar. Harga sebagian besar produk konsumsi dan pertanian diliberalisasi. Sejak itu pasar menjadi kekuatan yang menentukan tingkat harga.
Di Kongres PKC ke-12 pada tahun yang sama, partai memperkenalkan gagasan “ekonomi komoditas yang terencana”. Kita saksikan permulaan kontradiksi antara ekonomi terencana dan kapitalisme yang diekspresikan bahkan dalam terminologi yang digunakan oleh rezim. Wilayah kawasan ekonomi khusus (KEK) diperluas dengan menambah empat belas kota di sepanjang pantai. Setahun kemudian, wilayah delta Sungai Mutiara, delta Sungai Min, dan delta Sungai Yangtze juga dimasukkan ke dalam KEK. Pada akhirnya, seluruh wilayah di sepanjang garis pantai China yang panjang dibuka untuk investasi asing.
Proses ini terus dipercepat pada 1986 ketika kebijakan-kebijakan baru diperkenalkan, yang semakin memudahkan investasi asing: pajak yang lebih rendah, kebebasan yang lebih besar untuk mempekerjakan dan memecat, dan akses yang lebih mudah ke valuta asing. Sebagai bagian dari proses ini, mereka memperkenalkan sejumlah perubahan: mereka menghapus sistem upah yang egaliter, menghapus pekerjaan seumur hidup, mengaitkan upah dengan produktivitas, dan memperbolehkan sistem kerja kontrak jangka pendek. Semua ini dikenal dengan sangat baik oleh buruh di Barat.
Di kongres PKC ke-13 pada 1987, diajukan proposal lebih lanjut untuk mengembangkan “ekonomi berorientasi ekspor”. Pertumbuhan kapasitas industri menuntut impor mesin dan barang-barang lainnya. Sebagai akibatnya, pada pertengahan 1980-an defisit neraca perdagangan naik dengan tajam, yang dikombinasikan dengan ledakan inflasi. Dalam dua tahun, pada 1988 dan 1989, inflasi tahunan mencapai 18%. Daya beli riil kelas buruh terpukul keras.
Ketidakstabilan sosial yang ditimbulkannya memaksa rezim untuk memperlambat proses. Di bawah tekanan, pada akhir 1988, rezim menghentikan “reforma” dan memperketat suplai uang dalam upaya untuk mengendalikan inflasi. Ini memicu fenomena baru dalam ekonomi China, yaitu resesi pada 1989. Semua ini memperburuk keresahan sosial dan gelombang pemogokan pun terjadi. Dalam konteks inilah kita melihat gerakan protes di sekitar Lapangan Tiananmen di Beijing.
Apa makna gerakan Lapangan Tiananmen? Jelas ada unsur-unsur revolusi politik pada 1989. Sejumlah besar mahasiswa turun ke jalan. Para pemuda menyanyikan Internationale, seolah-olah berkata kepada rezim dan opini dunia, “Lihat, kami tidak mendukung kapitalisme, kami bukan kontra-revolusioner”.
Namun, apa yang awalnya dimulai sebagai gerakan mahasiswa dan pemuda mulai menyebar ke kalangan buruh. Ini membuat rezim ketakutan dan meyakinkan sayap Stalinis untuk meremukkan gerakan tersebut dengan kekerasan. Dengan represi brutal ini, rezim memastikan mereka tetap memegang kendali ketat atas masyarakat. Mungkin ada yang bertanya: kapan titik balik utama dalam proses restorasi kapitalis terjadi? Karena kita berhadapan dengan keseluruhan proses yang dimulai hampir 30 tahun lalu, mustahil untuk menentukan satu titik balik utama. Namun, ada beberapa peristiwa yang telah mempercepat proses tersebut. Jadi, akan lebih tepat untuk berbicara tentang serangkaian titik balik dan salah satu titik tersebut adalah Tiananmen.
Setelah penumpasan protes Tiananmen, pendulum berayun ke kanan. Gerakan Tiananmen membangkitkan harapan banyak buruh dan pemuda, tetapi massa dikalahkan. Setelah Tiananmen, rezim memburu semua pemimpin kunci gerakan ini, dan banyak di antara mereka menghilang atau mendekam di penjara bertahun-tahun. Pada saat yang sama, untuk sementara birokrasi memperlambat proses reformasi pasar dalam upaya untuk menstabilkan kembali situasi. Begitu birokrasi merasa yakin kembali, gerakan ke arah kapitalisme menjadi semakin intensif.
Sementara itu, kita harus mengingat apa yang terjadi di Eropa Timur dan Uni Soviet. Pada 1989, semua rezim Stalinis di Eropa Timur runtuh satu demi satu. Birokrasi kehilangan kendali atas situasi dan transisi ke kapitalisme berlangsung dengan kekacauan besar. Uni Soviet bertahan sedikit lebih lama, tetapi akhirnya menyerah pada proses yang sama, dengan keruntuhannya pada 1991. Seperti yang telah kami tunjukkan, rezim-rezim ini begitu busuk sehingga runtuh tanpa perlawanan dari birokrasi. Di Rusia, di mana prospek perang saudara benar-benar nyata, kaum Stalinis garis keras terbukti begitu korup mereka tidak dapat mengorganisir perlawanan serius apa pun. Sistem yang mereka wakili telah mencapai batasnya.
Peristiwa-peristiwa ini tidak diragukan lagi berdampak pada kaum Stalinis China. Hingga saat itu, mereka telah memperkenalkan reformasi pasar, membuka sejumlah wilayah di China untuk investasi kapitalis, tetapi sektor negara masih tetap dominan – dan posisi PKC adalah sektor negara harus tetap mendominasi. Tuas-tuas kendali ekonomi masih berada di tangan birokrasi. Proses restorasi kapitalis ini masih dapat dibalik. Namun, birokrasi tidak berminat untuk membalikkan proses ini. Seperti yang telah kami katakan, mereka tidak pernah mengambil langkah mundur. Ketika mereka dihadapkan dengan momen-momen ketidakstabilan, mereka memperlambat proses tersebut tetapi tidak pernah membaliknya.
1992: “ekonomi pasar sosialis dengan karakteristik China”
Efek gabungan dari protes Tiananmen dan runtuhnya Stalinisme di Eropa Timur dan Uni Soviet berdampak besar pada birokrasi China. Setelah peristiwa ini, pimpinan PKC memutuskan untuk mempercepat proses “reformasi pasar”. Mereka mulai melihat restorasi kapitalis sebagai solusi atas krisis mereka sendiri, tetapi mereka bertekad proses tersebut akan berlangsung di bawah kendali ketat birokrasi. Intinya, birokrasi tengah mempersiapkan landasan untuk mengubah dirinya menjadi kelas kapitalis yang baru.
Fakta bahwa birokrasi bergerak ke arah ini tidak berarti birokrasi serta merta pasti akan berhasil menyelesaikan proses restorasi kapitalis. Mendeklarasikan niat adalah satu hal, mencapainya adalah hal lain. Jika ada krisis ekonomi besar di negara-negara kapitalis Barat seperti Keruntuhan 1929, mungkin saja hasilnya akan berbeda. Namun, itu tidak terjadi. Boom ekonomi di Barat terus berlanjut [dari 1990an hingga pertengahan 2000an]. Ini hanya menambah kontradiksi baru dan mempersiapkan krisis yang lebih besar ketika tiba saatnya [Ini terbukti 2 tahun kemudian setelah dokumen ini ditulis, dengan Krisis Finansial Global 2008 yang menjadi titik balik krisis organik kapitalisme hari ini]. Namun, birokrasi China tidak memahami hal ini. Mereka tidak memiliki pemahaman Marxis tentang proses-proses ini, tetapi bereaksi secara empiris terhadap peristiwa. Kapitalisme mengalami boom ekonomi di seluruh dunia sementara Stalinisme runtuh, dan hanya itu yang dapat mereka lihat.
Kesimpulan yang ditarik oleh birokrasi dari semua peristiwa ini menjadi jelas pada 1992. Pada tahun itu, Kongres Partai XIV digelar, dan PKC secara resmi mencampakkan gagasan bahwa sektor negara harus mendominasi. Mereka mengumumkan rencana untuk membangun apa yang disebut “ekonomi pasar sosialis dengan karakteristik China”. Pada tahun yang sama Deng meluncurkan tahap baru dalam “program reformasi”. Ia melakukan tur ke zona khusus Shenzhen dan membuat pernyataan terkenalnya: “Selama ini menghasilkan uang, maka ini baik untuk China.” Ini adalah titik balik penting lainnya dalam rezim PKC.
Mekanisme pasar telah beroperasi selama beberapa waktu di China. Yang signifikan pada 1992 adalah Partai secara resmi memutuskan untuk mencampakkan komitmennya untuk mempertahankan BUMN sebagai sektor dominan. Dengan demikian mereka memutuskan untuk memangkas sektor negara. Hingga saat itu, yang terjadi adalah pengembangan sektor swasta di luar sektor negara. Sekarang mereka memutuskan untuk melanjutkan privatisasi BUMN. Untuk privatisasi ini, mereka memilih 2500 perusahaan milik negara yang dikelola secara lokal dan 100 BUMN yang dikelola oleh pemerintahan pusat. Pada 1998, proses privatisasi ini rampung.
Pada 1994 mereka memperluas program privatisasi tersebut dan menyatakan mereka akan mempertahankan kendali atas 1000 perusahaan milik negara terbesar sementara semua perusahaan milik negara yang tersisa akan disewakan atau dijual ke swasta. Pada akhir 1990-an BUMN mempekerjakan 83 juta orang, tetapi ini hanya mewakili 12% dari total tenaga kerja, dan bahkan di daerah perkotaan hanya sepertiga dari tenaga kerja. Kita melihat perubahan yang sangat besar dari 1978 ketika 78% tenaga kerja perkotaan berada di sektor negara.
Pada akhir 1990-an kontribusi BUMN terhadap PDB telah menyusut menjadi 38%. Pada September 1999 di Sidang Pleno ke-4 Kongres Partai ke-15 mereka mengambil langkah lain. Mereka menyebutnya “Kebijakan Melepaskan”, yaitu negara melonggarkan dan melepaskan kendali. Mereka melanjutkan pelonggaran BUMN menengah dan kecil. Pada Juli 2000, misalnya, pemerintah Kota Beijing mengumumkan kepemilikan negara dan kolektif akan dihapuskan secara bertahap di semua BUMN kecil dan menengah dalam waktu tiga tahun. Pada 2001 perusahaan milik negara hanya mencakup 15% dari total tenaga kerja manufaktur, dan kurang dari 10% tenaga kerja di perdagangan dalam negeri.
China selamat dari ambruknya bursa saham Asia Tenggara (krisis finansial Asia 1997), sebagian karena negara masih memiliki kendali tertentu atas perdagangan luar negeri dan mata uangnya tidak dapat dikonversi. Kedua faktor ini melindungi China dari dampak krisis tersebut. China justru muncul lebih kuat setelahnya dan mengambil peran dominan di kawasan tersebut. Setelah itu, dalam kurun waktu sekitar dari 1998 hingga 2001, terjadi percepatan lebih lanjut dalam proses restorasi kapitalis. Arah proses tersebut kini menjadi sangat jelas. Para petinggi PKC sepenuhnya yakin perusahaan swasta lebih efisien daripada perusahaan milik negara. Satu-satunya jenis industri milik negara yang dapat mereka bayangkan adalah industri yang beroperasi di bawah rencana birokratik, dengan semua mismanajemen yang menyertainya. Mereka tidak dapat membayangkan industri milik negara yang efisien di bawah kontrol buruh.
Beberapa statistik menarik disediakan oleh dokumen dengan judul China’s Ownership Transformation: Process, Outcomes, and Prospects, yang diterbitkan pada 2005 oleh Bank Dunia. Para penulis menekankan bahwa privatisasi dimulai dengan sungguh-sungguh pada 1992. Mengacu pada 1995, buku tersebut menyatakan “negara memutuskan untuk mempertahankan antara 500 dan 1000 perusahaan negara besar dan mengizinkan perusahaan yang lebih kecil untuk disewakan atau dijual”. Mereka menjelaskan, ada alasan yang baik untuk ini karena pada 1997, 500 perusahaan negara terbesar yang sebagian besar dikendalikan oleh pemerintah pusat menguasai 37% aset industri negara, dan mereka menyediakan pendapatan besar bagi negara dan seterusnya.
Dokumen tersebut, ketika merujuk pada periode ketika China mempercepat proses restorasi kapitalis, menjelaskan bahwa “tren tersebut mencerminkan keyakinan bahwa agar suatu perusahaan benar-benar dapat ditransformasikan, manajemen harus memiliki saham mayoritas”. Dan dalam tradisi China, slogan tersebut kini menjadi “negara mundur dan sektor swasta maju”. Mereka menciptakan slogan tersebut untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat.
Ada banyak statistik di dalam dokumen tersebut yang menguraikan proses restorasi kapitalisme dan menunjukkan percepatannya. Misalnya, dokumen itu menjelaskan: “Jika kinerja ini mencerminkan kinerja di seluruh negeri [mengacu pada sampel enam kota], maka privatisasi di China telah melangkah lebih jauh daripada di banyak negara Eropa Timur dan bekas Uni Soviet.”
Namun, ini bukan proses yang sederhana dengan menjual semua aset negara. Ini bukan sekadar membandingkan persentase kepemilikan negara dan swasta (meskipun pada analisis terakhir ini merupakan faktor yang menentukan). Ini bukan sekadar berapa banyak yang ada di tangan negara, tetapi juga bagaimana sektor yang masih berada di tangan negara itu berfungsi, dan dengan tujuan apa. Kita juga perlu melihat arah keseluruhan proses ini, dan secara tak terelakkan ini mengarah ke kapitalisme.
Akan tetapi, dalam proses transformasi kapitalis, mereka belum mengembangkan borjuasi yang mampu menjalankan korporasi-korporasi besar dalam skala seperti perusahaan multinasional Amerika dan Jepang, tanpa bantuan negara. Negara akan terus memainkan peran kunci untuk beberapa waktu, tetapi pada akhirnya borjuasi yang kuat akan muncul.
Birokrasi telah menjual sebagian besar BUMN kecil dan menengah dan pada saat yang sama mendorong perkembangan perusahaan swasta. Sekarang 450 dari 500 perusahaan multinasional terbesar beroperasi di China. Jadi, elemen penting dalam proses ini adalah fakta bahwa sektor swasta telah berkembang lebih cepat daripada sektor negara. Dan jika kita melihat apa yang tersisa dari sektor negara, kita melihat sebagian darinya sedang dipersiapkan untuk privatisasi lebih lanjut. BUMN raksasa tengah dipecah menjadi beberapa perusahaan, dengan sektor yang tidak efisien ditutup dan sektor yang lebih menguntungkan dijual.
Para manajer BUMN sibuk terlibat dalam perampasan aset negara. Mereka punya teman-teman di sektor swasta, dan mereka membiarkan teman-teman mereka ini mendapatkan mesin terbaik, suku cadang terbaik, dan sebagainya, sementara mereka membiarkan perusahaan negara itu hancur. Sentimen di antara para manajer ini adalah “pabrik ini akan diprivatisasi cepat atau lambat, dan sayalah yang akan ditawari pabrik itu”. Jadi mereka dengan sengaja membuat perusahaan negara itu hancur, sehingga dapat dibeli dengan harga murah. Di banyak kota, dewan lokal memutuskan bahwa cara terbaik untuk menjalankan perusahaan adalah dengan menjualnya dengan harga murah kepada para manajer guna menghentikan perampasan aset; idenya adalah begitu para manajer menjadi pemilik, mereka akan menggunakan aset tersebut untuk mengembangkan perusahaan karena mereka akan meraup profit.
Dalam proses tersebut, buruhlah yang harus membayar mahal, dengan hilangnya jutaan pekerjaan. Dalam kurun waktu 1990 hingga 2000, 30.000.000 pekerjaan di sektor negara hancur. Apa yang disebut “sabuk karat” muncul di kawasan industri tradisional, seperti kawasan Timur Laut, yang merupakan jantung sistem ekonomi terencana lama China. Mereka yang masih memiliki pekerjaan melihat semua tunjangan sosial yang telah lama mereka miliki tergerus. Selama beberapa tahun, semua pencapaian dari revolusi 1949 secara bertahap terkikis. Kelas buruh berusaha menentangnya, tetapi birokrasi terus maju tanpa henti.
Mereka memperkenalkan pasar bebas dalam pelayanan kesehatan, perumahan, dan tenaga kerja. Bahkan orang sekarang harus membayar untuk pendidikan. Pada awal 1990-an, elemen kapitalisme sudah menguat. Pada 1992, 40 persen penjualan berasal dari sektor swasta. Pada 1991, ada 13.000.000 industrialis swasta dengan 21.000.000 pekerja – sebagian besar usaha kecil – tetapi ini baru permulaan. Di desa-desa, mereka memperkenalkan konsesi kepada petani yang lebih kaya: penyewaan tanah dan mengizinkan produk untuk dijual di pasar; mereka telah membubarkan pertanian kolektif, yang menghasilkan diferensiasi lebih lanjut antara petani kaya dan miskin. Pada 1998, masih ada 238.000 perusahaan yang dikendalikan negara, tetapi pada 2003 angka ini telah turun menjadi 150.000.
Perusahaan Desa dan Kota (TVE)
Seperti yang telah kita singgung, elemen lain dalam perkembangan kapitalisme adalah pertumbuhan Perusahaan Kota dan Desa (TVE). TVE sekarang menyumbang 30% dari PDB, tetapi karakternya tidak selalu jelas dan bersifat kontradiktif. Tidak mungkin bagi para birokrat untuk begitu saja memprivatisasi semua BUMN tanpa kekacauan ekonomi dan politik. Memprivatisasi semuanya sekaligus akan menyebabkan ditutupnya dan bangkrutnya banyak perusahaan dan sektor. Ini akan berarti berakhirnya kekuasaan PKC.
Oleh karena itu, pengenalan TVE hanyalah langkah transisi di sepanjang jalan menuju privatisasi penuh. Ini memberi waktu bagi para manajer dan lapisan-lapisan parasitik lainnya dalam masyarakat untuk mengumpulkan modal yang diperlukan guna mengambil alih kepemilikan perusahaan-perusahaan ini. Ini adalah contoh baik bagaimana perusahaan-perusahaan milik negara lama dan sektor milik negara kini melayani kepentingan kapitalisme di China, dengan memelihara dan mendukung elemen-elemen borjuis yang baru lahir dalam masyarakat hingga mereka dapat mengambil alih kepemilikan secara langsung. Dalam beberapa kasus, TVE adalah perusahaan milik pemerintahan kota, dalam kasus lain, mereka adalah usaha patungan dengan kapitalis swasta. Bagaimanapun, mereka semua berfungsi sebagai perusahaan kapitalis dan secara bertahap jatuh ke tangan kapitalis swasta.
TVE terkadang dimasukkan dalam statistik untuk menunjukkan bahwa mayoritas ekonomi dimiliki publik, dan beberapa orang bahkan menggunakannya untuk mencoba mengklaim bahwa TVE adalah bentuk “sosialisme”. Namun, jika ditelusuri lebih lanjut, gambaran yang berbeda terungkap. Jumlah TVE tumbuh dari 1,5 juta pada 1987 menjadi 25 juta pada 1993, mempekerjakan 123 juta pekerja. Tetapi sejak 1996 jumlah mereka telah menurun karena mereka sepenuhnya diprivatisasi. Bahkan ketika mereka tetap menjadi perusahaan milik negara atau pemerintahan kota, mereka beroperasi layaknya perusahaan swasta dengan manajemen yang memiliki hak untuk mempekerjakan dan memecat buruh.
Menurut Hart-Landsberg dan Burkett, dalam buku mereka China and Socialism – Market Reforms and Class Struggle, studi menunjukkan bahwa “rata-rata pekerja TVE memperoleh upah pokok yang lebih rendah dari upah minimum dan harus memperoleh sisanya dari lembur dan upah borongan. Bahkan upah pokok tidak dijamin karena upah minimum ditetapkan oleh otoritas kotamadya setempat yang kepentingan materialnya – baik secara kelembagaan maupun pribadi – adalah memaksimalkan laba. Memang, daya saing dan margin laba TVE sebagian besar didukung oleh pasokan tenaga kerja pedesaan yang sangat murah yang dibebaskan oleh pembubaran sistem komune dan pemiskinan keluarga petani perorangan.”
Nasib TVE terkait erat dengan keseluruhan proses yang tengah berlangsung dalam perekonomian. Karena sektor swasta menjadi dominan, maka TVE harus beradaptasi dengan realitas baru ini. Seperti yang dijelaskan oleh penulis yang sama, “Yang sama menghancurkannya bagi TVE, dengan peluang baru untuk mendapatkan profit dari produksi swasta, banyak manajer mulai secara ilegal mentransfer aset atau produk TVE ke perusahaan swasta di mana mereka dapat meraup profit yang lebih besar. Perampasan aset ini dipercepat pada pertengahan 1990-an setelah partai berkomitmen untuk memprivatisasi perusahaan-perusahaan negara kecil… Menghadapi penurunan profit dan deindustrialisasi, para pejabat kota dan desa mengikuti petunjuk dari pemerintahan pusat dan mulai menjual TVE dengan cepat mulai tahun 1996.”
Menggunakan negara untuk membangun kapitalisme China yang kuat
Birokrasi di China tidak ingin menjadi mangsa dominasi imperialis. Dan mereka tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Mereka tahu mereka harus mempertahankan sektor kapitalis China yang kuat, dan mereka melakukannya dengan membangun dan memperkuat beberapa perusahaan negara. Mereka memiliki modal besar. Bank-bank negara digunakan untuk memompa uang ke perusahaan-perusahaan negara ini.
Menurut penulis China’s Ownership Transformation, “China telah membina lebih dari 20 perusahaan raksasa dan konglomerat yang telah terbukti kompetitif di pasar internasional. Beberapa perusahaan ini memecat puluhan atau ratusan ribu karyawan, bukan karena mereka mengalami kesulitan keuangan, beberapa dari mereka sangat menguntungkan, tetapi karena mereka ingin memosisikan diri sebagai pemain internasional yang penting. Pada 2002, 12 perusahaan transnasional China terbesar, terutama perusahaan milik negara, mengendalikan lebih dari $30 miliar aset asing dan memiliki sekitar 20.000 karyawan asing dan $33 miliar dalam penjualan di luar negeri.”
Jadi, meskipun mereka adalah milik negara, mereka dipersiapkan sebagai korporasi besar untuk bersaing dengan AS dan Jepang, dll., di atas basis kapitalis. Dokumen tersebut menyajikan tabel Komposisi PDB China Berdasarkan Kepemilikan. Kita melihat pada 1988 sektor yang dikendalikan negara telah turun menjadi 41% dari PDB. Pada 2003, sektor tersebut telah turun lebih jauh menjadi 34% [Pada 2017, sektor negara telah turun lebih jauh menjadi 23-28% dari GDP, yang memperkerjakan 5-16% tenaga kerja, berdasarkan studi pada 2019 oleh World Bank Group[1]]. Apa yang mereka sebut “Sektor Swasta Riil”, dalam periode yang sama dari 1988 hingga 2003 telah naik dari 31% menjadi 44%. Namun jika kita melihat keseluruhan sektor Non-Negara, pada 2003 sektor tersebut menyumbang 66% dari PDB. Dan dokumen tersebut menyimpulkan, “sektor swasta sekarang menjadi sektor dominan ekonomi China”. Dokumen tersebut melanjutkan, “pangsa sektor swasta bahkan lebih besar jika kita memperhitungkan bahwa persentase yang signifikan dari pertanian kolektif pada dasarnya dikendalikan secara swasta dan bahwa sektor swasta secara umum lebih produktif daripada sektor ekonomi lainnya.”
Kita telah melihat ini sebelumnya di tempat lain dalam skala yang lebih kecil. Di Korea Selatan, negara mengembangkan korporasi-korporasi besar, tetapi itu sama sekali tidak membuat Korsel menjadi negara buruh yang cacat, atau bahkan negara dalam transisi ke sosialisme. Korsel adalah kapitalisme lemah yang hanya dapat dibangun di atas basis negara yang menginvestasikan modal, karena borjuasinya terlalu kecil dan terlalu lemah untuk melakukan itu. Dalam konteks China, kita melihat proses serupa dalam skala yang jauh lebih besar. Meskipun borjuasi yang jauh lebih kuat tengah diciptakan di China, mereka masih belum memiliki sumber daya untuk menjalankan dan mengembangkan korporasi besar, yang banyak di antaranya masih dimiliki negara. [15 tahun setelah artikel ini ditulis, borjuasi China sudah menjadi lebih kuat dan memiliki pengaruh ekonomi yang mendunia, dengan berkembangnya sejumlah korporasi swasta raksasa seperti Tencent, Alibaba, BYD, Huawei, dan yang lainnya.] Oleh karena itu, negaralah yang memerintah China dan negara ini tengah membangun kapitalisme dan borjuasi
Jika kita melihat struktur hukum di China, kita akan melihat sejumlah perubahan penting selama tiga atau empat tahun terakhir untuk menyelaraskan kerangka hukum dengan relasi kepemilikan yang baru. Pada 2004, pemerintah mengesahkan sejumlah perubahan penting dalam Konstitusi, yang menekankan peran sektor non-negara dalam mendukung kegiatan ekonomi dan melindungi kepemilikan pribadi dari perampasan sewenang-wenang.
Hingga baru-baru ini, ada undang-undang di China yang meregulasi atau melarang perusahaan swasta memasuki sektor-sektor seperti utilitas publik dan layanan keuangan. Pada 2005, UU ini dihapuskan, sehingga perusahaan swasta dapat memasuki sektor-sektor ini. Ini juga terjadi di sektor perbankan. Mereka mulai melakukan privatisasi dan mengizinkan modal asing masuk ke bank. Bahkan, para analis borjuis, ketika menulis tentang China, membahas secara terperinci undang-undang dan struktur hukum yang perlu disesuaikan dengan bentuk kepemilikan baru. Mereka melihatnya sebagai sisa-sisa masa lalu yang harus disingkirkan untuk memfasilitasi operasi perusahaan swasta.
Di China, relasi kepemilikan telah berubah. Namun, meskipun banyak yang telah dilakukan untuk menyelaraskan struktur hukum, masih ada sisa-sisa sistem hukum lama. Perkembangan relasi kepemilikan baru memang dapat berbenturan dengan bentuk hukum lama. Struktur hukum tidak serta-merta langsung selaras dengan basis ekonomi. Namun, cepat atau lambat, “superstruktur” ini harus selaras dengan basis ekonomi. Seperti yang ditunjukkan Karl Marx dalam kata pengantarnya untuk A Contribution to the Critique of Political Economy:
“Pada tahap perkembangan tertentu, kekuatan produktif material dalam masyarakat akan berbenturan dengan relasi-relasi produksi yang ada atau – ini hanya mengekspresikan hal yang sama dalam istilah hukum – dengan relasi-relasi kepemilikan di dalam kerangka di mana mereka telah beroperasi sampai sekarang. Relasi-relasi ini berubah dari bentuk perkembangan kekuatan produktif menjadi belenggu terhadap kekuatan produktif. Kemudian, dimulailah era revolusi sosial. Perubahan-perubahan dalam fondasi ekonomi cepat atau lambat akan mengarah ke transformasi seluruh superstruktur yang besar.” [Penekanan kami]
Di China, kita tidak berhadapan dengan revolusi sosial, tetapi kontra-revolusi. Meskipun demikian, poin yang dikemukakan Marx masih berlaku. Begitu relasi kepemilikan berubah, suprastruktur hukum harus mengikutinya. Dengan demikian, proses penyelarasan “superstruktur” hukum dengan basis ekonomi akan terus berlanjut dengan cepat. Meskipun ada selapisan birokrasi tertentu yang menentangnya, “cepat atau lambat”, keduanya harus diselaraskan. Banyak yang telah diselaraskan, sebagaimana dibuktikan oleh perubahan Konstitusi baru-baru ini.
Menjadi Anggota WTO
Titik balik penting lainnya terjadi pada November 2001 ketika China memutuskan bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Masalah bergabungnya China ke WTO merupakan masalah penting. Dengan bergabung ke WTO, China berkomitmen untuk melepaskan semua kendali atas perdagangan luar negeri dalam waktu lima tahun dan mereka telah melakukannya selangkah demi selangkah sejak saat itu. Alasan China bergabung dengan WTO jelas. Ekonomi China saat ini hanya dapat bertahan jika terkait erat dengan ekonomi dunia. Ekonomi China sangat bergantung pada ekspor dan China harus memiliki perjanjian perdagangan internasional. China harus berpartisipasi penuh dalam ekonomi dunia. Ini pada gilirannya mempercepat proses transformasi kapitalis di China.
Melepaskan kontrol negara atas perdagangan luar negeri merupakan elemen penting dalam membuka China ke pasar dunia. Mari kita ingat bahwa salah satu elemen kunci dalam program Bolshevik – yang dibela dengan sangat tegas oleh Trotsky dari serangan Stalin dan Bukharin yang hendak melonggarkan kendali pemerintahan Soviet atas perdagangan luar negeri – adalah bahwa negara buruh yang dikepung oleh dunia kapitalis harus memiliki monopoli negara atas perdagangan luar negeri. Ini terutama penting untuk negara terbelakang.
Bukharin juga berpendapat bahwa untuk mengembangkan ekonomi, Uni Soviet harus memberikan kesempatan kepada selapisan petani untuk memperkaya diri mereka. Menurutnya, insentif material ini akan meningkatkan efisiensi dan produksi. Namun, Bukharin tidak tahu idenya ini dapat membawa Soviet ke restorasi kapitalis. Bila saja idenya diterapkan, kapitalisme akan kembali di Uni Soviet sejak 1928. Bahkan pada saat itu, tekanan dari kapitalisme sangatlah kuat. Ada persamaan antara Deng dan Bukharin. Bahkan bahasa yang mereka gunakan pun mirip. Deng menggunakan slogan “menjadi kaya itu mulia”, sementara slogan Bukharin adalah “Jadilah kaya!”
Monopoli negara atas perdagangan luar negeri pada hakikatnya merupakan kebijakan untuk melindungi ekonomi dari pengaruh kapitalis dari luar. Jika kita menilik sejarah kapitalisme di negara-negara maju, kita akan melihat bagaimana pada tahapan tertentu negara-negara ini pernah menggunakan proteksionisme untuk melindungi pasar dalam negeri mereka, dan perdagangan bebas hanya menjadi kebijakan yang diterapkan oleh kaum borjuis pada tahap-tahap selanjutnya. Bahkan kaum borjuis Inggris melindungi pasar mereka saat mereka mengembangkan industri mereka. Begitu mereka mengembangkan industri yang modern dan kompetitif, mereka tidak lagi membutuhkan proteksionisme. Xxx Pada tahap ini, industri mereka sudah cukup kuat untuk mendominasi pasar dunia. Seperti yang ditulis Marx dan Engels dalam Manifesto Komunis:, “Komoditas dengan harga murah adalah meriam yang digunakannya [borjuasi] untuk merobohkan semua Tembok Besar China.”
Hingga baru-baru ini, proteksionisme juga diterapkan oleh negara-negara terbelakang. Pakistan, misalnya, memiliki banyak tarif dan kebijakan proteksionis hingga sekitar 20 tahun yang lalu. Namun, selama periode terakhir, mereka terpaksa membuka pasar internal mereka. Kaum imperialis mendikte kebijakan kepada negara-negara ini dan mereka tidak dapat menoleransi kebijakan proteksionis, meskipun pada saat yang sama mereka dengan ketat menjaga pasar dalam negeri mereka sendiri di bidang pertanian, dll. Mereka ingin membuka semua pasar bagi barang-barang mereka.
Perbedaan antara China dan Pakistan adalah bahwa penerapan apa yang disebut pasar terbuka di Pakistan telah mengakibatkan hancurnya ribuan industri dan pabrik. Tingkat perkembangan industri Pakistan terlalu rendah untuk melawan persaingan dari luar. Namun China bukanlah Pakistan dan pemerintah China pasti berpikir: “Kami cukup kuat sekarang, kami memiliki produktivitas yang tinggi untuk menghadapi persaingan dari luar.” Namun, ini memicu kebijakan tandingan terutama dari AS, di mana pemerintahan AS kini sedang mempertimbangkan proteksionisme untuk mempertahankan pasar AS dari serbuan barang-barang China yang murah. [Perang dagang yang sengit antara AS dan China kini telah menjadi realitas utama dalam perekonomian dunia. Trump yang terpilih untuk kedua kalinya berniat menerapkan tarif besar hingga 60% terhadap barang China.]
Transisi dingin?
Sekarang sudah jelas, telah terjadi transisi ke kapitalisme di China. Tetapi bagaimana transisi ini berlangsung? Tidak ada kontra-revolusi bersenjata, tidak ada konfrontasi besar antara berbagai sayap birokrasi. Trotsky pernah menggunakan analogi film reformisme yang diputar mundur. Ia menjelaskan, kontra-revolusi dapat terjadi hanya lewat konflik kekerasan. Hanya dengan demikian maka restorasi kapitalisme akan mungkin terjadi. Ia mengatakan, rejim Soviet tidak dapat “direformasi” menjadi kapitalisme.
Di sini kita harus belajar dari Trotsky. Kita harus mengambil dari Trotsky bukan hanya kalimat-kalimat yang terpisah di sana-sini, melainkan metode yang digunakannya. Ia berbicara mengenai Rusia pada 1930-an, di mana tradisi Revolusi Oktober masih hidup. Kelas buruh Rusia telah memainkan peran kunci dalam revolusi dan menyadari apa artinya restorasi kapitalisme. Kelas buruh Rusia saat itu akan melawan usaha untuk memulihkan kapitalisme. Situasi internasional juga menentukan perimbangan kekuatan di dalam Uni Soviet. Ada lapisan birokrasi yang cukup besar yang memiliki kepentingan untuk mempertahankan sistem ekonomi terencana.
Akan tetapi, di Uni Soviet, Stalinisme bertahan selama puluhan tahun, jauh lebih lama daripada yang dapat diantisipasi Trotsky, bahkan lebih dari 70 tahun. Perubahan kuantitatif menentukan perubahan kualitatif. Dalam periode itu, tradisi revolusioner telah terhapus dari kesadaran kaum buruh. Generasi buruh yang hidup di masa Revolusi Oktober sudah tidak ada lagi. Generasi-generasi baru menyaksikan birokrasi yang rakus yang semakin terpisah dari massa dan berdiri di atasnya. Mereka tidak melihat apa pun selain mismanajemen, pemborosan, dan korupsi di semua tingkatan pemerintah, dan di periode terakhir Uni Soviet yang tersisa bagi mereka hanyalah sistem yang stagnan. Terkadang, sebuah rezim bisa begitu busuk sehingga kelas penguasa – atau kasta penguasa – tidak mampu membendung bahkan tekanan yang paling kecil sekali pun ketika gerakan meledak dari bawah.
Gagasan bahwa revolusi borjuis dibutuhkan untuk membangun basis bagi perkembangan kapitalisme datang dari pengalaman revolusi borjuis klasik di Prancis pada 1789 atau di Inggris pada 1640. Kaum borjuis telah berkembang dan membangun kekayaannya dalam batasan feodalisme, dan mereka akhirnya harus menghancurkan batasan tersebut. Kelas borjuis yang muda ini memimpin seluruh bangsa untuk melawan kaum tuan tanah aristokrat dan menggulingkan feodalisme, menciptakan kondisi untuk perkembangan kapitalisme modern. Namun, begitu kapitalisme telah berkembang di beberapa negara utama (Inggris, Prancis, AS), ini berarti perkembangan yang sama seperti negara-negara kapitalis utama ini praktis mustahil di negara-negara kurang berkembang lainnya. Marx dapat melihat ini dalam kasus Jerman, di mana ia menyatakan borjuasi Jerman telah menjadi reaksioner bahkan sebelum berkuasa.
Kaum Menshevik tidak memahami ini. Mereka mengira semua negara akan melalui tahap-tahap perkembangan yang sama. Rusia adalah negara yang terbelakang, dengan kaum tani yang besar dan sistem pertuantanahan. Kaum Menshevik secara mekanis memaksakan alur perkembangan kapitalisme di Prancis dan Inggris ke Rusia. Oleh karena itu, bagi mereka, tugas kaum Komunis Rusia adalah mendukung “kaum borjuis progresif”. Mereka tidak memahami apa yang dijelaskan Trotsky dalam teorinya tentang Revolusi Permanen. Di era imperialisme, kaum borjuis di negara-negara terbelakang tidak dapat memainkan peran progresif seperti kaum borjuis di Prancis atau Inggris dulu.
Ini juga menjelaskan mengapa perkembangan kapitalisme di negara-negara lain tidak selalu mengikuti mekanisme klasik revolusi borjuis, di mana kaum borjuis memimpin massa. Bukan seperti itu cara kapitalisme muncul di Jepang atau Jerman, misalnya. Saat ini, keduanya adalah salah satu negara paling kuat di dunia. Di Jepang, perkembangan kapitalisme dibimbing oleh birokrasi feodal Jepang, di bawah tekanan kapitalisme AS, dan bukan borjuasi yang lemah dan tak berdaya saat itu. Mengapa demikian? Karena perkembangan dunia mendominasi semua proses. Masa depan Jepang sebagai negara yang kuat hanya dapat dipertahankan jika mereka mengembangkan kapitalisme. Maka dari itu, karena kaum borjuis Jepang tidak mampu memainkan peran historisnya, kelas lainlah yang memainkan peran tersebut. Di Jerman, kaum Junker dari aparatus negara feodal lama menjadi kekuatan yang membimbing proses perkembangan kapitalisme.
Akan tetapi, karena tidak ada revolusi borjuis, maka sisa-sisa sistem feodal yang lama tetap bercokol. Di Jerman, kontradiksi ini akhirnya baru dapat diselesaikan oleh revolusi proletar 1918, yang walaupun gagal setidaknya mampu menuntaskan tugas-tugas revolusi yang belum selesai [yaitu mengakhiri monarki Jerman dan mendirikan republik]. Di Jepang, tugas yang sama dilakukan oleh pasukan pendudukan Amerika setelah 1945. Jendral McArthur memaksakan revolusi agraria di Jepang karena takut akan dampak revolusi China terhadap massa Jepang.
Dalam kasus Jepang dan Jerman, tidak ada “revolusi borjuis”, melainkan semacam transisi “dingin” dari satu sistem ke sistem lain. Lenin menekankan bahwa sejarah mengenal berbagai macam mutasi dan transformasi. Proses kehidupan yang nyata tidak selalu harus sesuai dengan setiap detail dalam buku! Tidak ada aturan kaku tentang bagaimana transformasi sosial terjadi. Sebagai kaum Marxis, kita harus menyadari hal ini, jika tidak, kita akan terombang-ambing ke sana kemari oleh peristiwa-peristiwa yang tidak sesuai dengan pandangan mekanis yang baku.
Oleh karena itu, kita harus menempatkan pandangan Trotsky tentang “transisi dingin” dalam konteks historis di mana ia mengemukakan gagasan tersebut. Namun, Trotsky menjelaskan bagaimana birokrasi dapat dengan mudah beradaptasi dengan restorasi kapitalis. Ia menjelaskan, jika ada kontra-revolusi borjuis di Uni Soviet, maka kelas penguasa yang baru tidak perlu membersihkan terlalu banyak aparatur negara, dibandingkan dengan revolusi politik kelas buruh yang menyingkirkan birokrasi. Inilah yang terjadi dengan birokrasi Soviet lama ketika Yeltsin berkuasa, dan birokrasi China tidak berbeda. Ini yang ditulis oleh Trotsky dalam Revolusi yang Dikhianati:
“Jika kita mengadopsi hipotesa kedua, yakni jika partai borjuis menggulingkan kasta penguasa Soviet, partai borjuis ini akan menemukan cukup banyak pelayan yang siap sedia di antara para birokrat, administrator, teknisi, direktur, sekretaris partai dan lapisan atas yang berprivilese pada umumnya. Tentu saja dalam kasus ini kaum borjuis juga harus membersihkan aparatus negara. Namun, restorasi kapitalis kemungkinan hanya perlu menyingkirkan lebih sedikit orang dibandingkan jika partai revolusioner menggulingkan birokrasi Soviet. Tugas utama kekuasaan yang baru ini adalah memulihkan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Pertama-tama, perlulah menciptakan kondisi untuk mengembangkan petani kaya dari pertanian kolektif yang lemah, dan mengubah pertanian kolektif yang kuat menjadi koperasi produsen tipe-borjuis atau perusahaan saham-gabungan. Di bidang industri, denasionalisasi akan dimulai dari industri ringan dan industri makanan. Prinsip sistem ekonomi terencana akan diubah selama masa peralihan ini menjadi serangkaian kompromi antara kekuasaan negara dan “korporasi” swasta – yaitu calon pemilik alat-alat produksi yang datang dari kalangan manajer industri Soviet, emigran mantan-kapitalis, dan kapitalis asing. Meskipun birokrasi Soviet telah melangkah jauh dalam menyiapkan restorasi kapitalis, rejim kapitalis yang baru ini harus menerapkan bukan reformasi, tetapi revolusi sosial dalam bentuk kepemilikan dan metode industri.”
Basis sosial Uni Soviet adalah negara buruh, dengan sistem ekonomi milik-negara yang terencana secara terpusat. Namun, jika rejim ini berubah menjadi rejim borjuis, tidak banyak orang yang harus disingkirkan dari pemerintah. Ini karena kaum birokrat adalah lapisan berprivilese dan mereka akan mengubah diri mereka dari birokrat negara buruh yang berprivilese menjadi pelayan kapitalis yang berprivilese. Di sisi lain, revolusi politik [yang diluncurkan oleh kelas buruh untuk menyingkirkan kasta birokrasi dari kepemimpinan negara buruh] akan memaksakan upah buruh kepada para birokrat itu dan mencabut privilese mereka. Oleh karenanya, konflik yang lebih besar akan terjadi. Situasi saat ini di Rusia menunjukkan bahwa Trotsky benar.
Analisis Trotsky tentang Uni Soviet dapat membantu kita memahami proses saat ini di China. Di sini kita juga berhadapan dengan kasta birokrasi yang berprivilese, yang seperti ditekankan Trotsky, pada titik tertentu ingin menjadi pemilik alat-alat produksi untuk menjamin privilese mereka.
Ada beberapa faktor yang mendorong birokrasi China ke arah ini. Ada boom ekonomi besar pasca-Perang Dunia Kedua di negara-negara kapitalis barat, dengan perkembangan kekuatan produksi yang tanpa-preseden. Ini disusul oleh krisis rezim Stalinis di Eropa Timur dan Uni Soviet. Kaum Marxis memperhatikan perkembangan ini pada awal tahun 1970-an. Kaum birokrat China juga memperhatikannya. Tingkat pertumbuhan ekonomi di Uni Soviet turun menjadi 3%, 2% dan kemudian nol. Sistemnya mengalami stagnasi. Akhirnya Eropa Timur runtuh dan dua tahun kemudian Uni Soviet juga runtuh. Uni Soviet kehilangan sebagian besar wilayahnya.
Ini adalah faktor yang sangat menentukan pemikiran kaum birokrat China. Mereka memulai dengan apa yang pada dasarnya adalah NEP versi China; mereka berusaha membuat ekonomi China menjadi lebih efisien dan lebih produktif. Mereka mengamati perkembangan dunia dan seluruh situasi mendorong mereka ke arah tertentu. Tepat di seberang perbatasan di Uni Soviet, mereka melihat kekacauan dan bencana. Mereka pastinya berpikir: “Kita tidak akan membiarkan itu terjadi di sini. Kita harus memperkenalkan metode pasar, tetapi kita akan mengendalikan prosesnya.” Jadi mereka melakukannya secara perlahan-lahan, selangkah demi selangkah. Namun begitu mereka mulai menempuh jalan ini, proses ini mengambil logikanya sendiri, yang akhirnya berakhir dengan situasi saat ini.
Sekarang di China ada kepentingan borjuis yang sangat kuat. Borjuasi baru ini tengah menggunakan Partai Komunis untuk membela kepentingan kelas mereka. Dalam kondisi seperti ini, bisakah birokrasi membalikkan proses tersebut? Kami menganggap proses tersebut sudah melampaui titik balik, dan usaha membalikkan proses ini pasti akan memicu konflik besar. Bila salah satu sayap birokrasi China memutuskan untuk membalikkan proses restorasi kapitalis, maka ini akan memicu konfrontasi besar dengan sayap pro-kapitalis. Maka, “transisi dingin” kembali ke bentuk ekonomi yang terencana secara birokratis tidak akan mungkin terjadi. Namun, ini adalah hipotetis semata, karena tidak ada indikasi adanya sayap birokrasi semacam itu.
Elemen penting di China hari ini adalah jumlah dan pengalaman kelas buruh. Setiap gerakan melawan kapitalisme sekarang harus didasarkan pada mobilisasi kelas buruh ini dan kaum buruh China tidak akan menerima gerakan kembali ke Stalinisme; mereka akan cenderung bergerak maju menuju sosialisme sejati, menuju kekuasaan buruh yang sejati.
Tidak diragukan lagi, dalam skenario seperti itu, akan ada lapisan dalam PKC yang dapat terpengaruh. Dari surat-surat dan artikel-artikel yang muncul di pers China, tampaknya masih ada sejumlah anggota PKC yang percaya pada cita-cita revolusi 1949, dan mereka akan terpengaruh oleh gerakan revolusioner kelas buruh dan akan terdorong ke dalam konflik dengan sayap pro-kapitalis yang mendominasi. Ini dapat menciptakan perpecahan dalam partai, dengan lapisan atas yang membela relasi kapitalis yang baru, dan beberapa dari lapisan bawah yang terseret di belakang gerakan kelas buruh.
Trotsky merujuk pada keberadaan “sayap Reiss” dalam birokrasi Soviet, yaitu sayap yang ingin kembali ke cita-cita revolusi Oktober, ke Bolshevisme sejati.[2] Pada tahun 1930-an, sayap semacam itu ada. Revolusi Oktober masih merupakan peristiwa yang relatif baru dan ada banyak anggota partai dari periode sebelum revolusi yang dapat melihat perbedaan antara Stalinisme dan Bolshevisme sejati.
Namun, rezim Stalinis di Uni Soviet bertahan selama puluhan tahun. Stalin secara bertahap menghancurkan semua koneksi dengan Revolusi Oktober. Kendati demikian, ketika Uni Soviet runtuh pada 1991, ada satu sayap, meskipun minoritas kecil, yang mencari ide-ide Leninisme sejati.
Di China situasinya agak berbeda. Tidak pernah ada “sayap Reiss” seperti yang dijelaskan oleh Trotsky. Revolusi 1949 tidak didasarkan pada ide-ide Lenin. PKC telah berubah menjadi organisasi Stalinis jauh sebelum mereka berkuasa. Oleh karena itu, bahkan anggota-anggota yang datang dari periode sebelum 1949 memiliki Stalinisme sebagai titik acuan mereka.
Kita harus memahami perbedaan antara “negara buruh yang mengalami degenerasi” dan “negara buruh yang cacat”. Uni Soviet adalah negara buruh yang mengalami degenerasi, karena negara ini awalnya adalah negara buruh yang relatif sehat. Karena terisolasinya revolusi, negara ini mengalami degenerasi menjadi negara buruh yang cacat, dengan birokrasi yang merebut kekuasaan. Untuk menyelesaikan proses degenerasi ini, birokrasi Stalinis harus secara fisik melenyapkan ribuan Komunis sejati yang memahami perbedaan antara apa yang telah diperjuangkan oleh kaum Bolshevik dan karikatur mengerikan yang lahir dari terisolasinya revolusi di negara yang terbelakang. Uni Soviet adalah satu-satunya negara buruh yang mengalami degenerasi di dalam sejarah.
Di China tidak ada periode ketika negara ini adalah negara buruh yang sehat. Tidak pernah ada periode demokrasi buruh yang sejati dan kekuasaan buruh yang sejati. Sejak hari pertama PKC berkuasa, negara China adalah negara buruh yang cacat. Pada kenyataannya, PKC mewarisi aparatur negara Mandarin lama. Bahkan di masa-masa awal Soviet Rusia, Lenin telah mengatakan bahwa jika kita menggores permukaan negara buruh, kita akan menemukan aparatur negara Tsar yang lama, karena terutama di negara terbelakang, negara buruh yang baru ini harus mengandalkan banyak pejabat lama. Namun setidaknya pada masa Lenin, kaum buruh, melalui organ kekuasaan mereka, Soviet, dapat mengekang kecenderungan konservatif dari lapisan pejabat lama ini. Namun tidak demikian di China.
Meskipun demikian, ada beberapa elemen di dalam PKC yang memandang dengan ngeri transisi menuju kapitalisme di China. Mereka melihat bagaimana kaum buruh telah kehilangan semua hak mereka dan semua cita-cita revolusi telah diinjak-injak. Mereka ingin kembali ke masa Mao yang mereka pandang sebagai masyarakat yang jauh lebih “egaliter”. Namun dalam konteks saat ini, dengan perkembangan kaum proletar yang begitu besar, gagasan lama Maois yang mendasarkan segalanya pada kaum tani tidak akan ada artinya bagi kaum proletar saat ini. Saat ini kaum proletar telah menjadi kekuatan yang dominan, oleh karena itu kaum buruh di kota-kota yang mencari jalan keluar melalui “kembali ke Mao” akan mendapati diri mereka mengajukan masalah kekuasaan buruh. Perkembangan seperti itu dapat berdampak pada PKC, yang pasti akan terpecah belah menurut garis kelas.
Akan tetapi, di antara lapisan atas birokrasi, tidak ada indikasi sama sekali adanya sayap yang ingin kembali ke sistem ekonomi negara yang terencana dan terpusat seperti dulu. Dari sudut pandang birokrasi, sistem sekarang berjalan dengan sangat baik bagi mereka. Kami telah menunjukkan apa yang dikatakan Trotsky tentang birokrasi yang ingin mewariskan privilese mereka kepada keturunan mereka. Saat ini, banyak sekali anak-anak kaum birokrat ini yang telah berubah menjadi pemilik alat produksi. Di antara lapisan ini, tidak ada keinginan untuk kembali ke ekonomi terencana yang dinasionalisasi. Tidak ada basis material bagi mereka untuk kembali ke sana. Mereka akan menolak segala upaya untuk memutar balik waktu, dan mereka akan didukung oleh pemerintah.
China menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia
Statistik terbaru [pada 2006] menunjukkan bahwa China kini telah menjadi kekuatan ekonomi ke-4 di dunia setelah AS, Jepang, dan Jerman, serta merupakan produsen barang-barang manufaktur terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Jepang. [Sejak 2010, China telah melampaui Jepang dan menjadi kekuatan ekonomi ke-2 terbesar di dunia.] Pada 2004, China mengonsumsi setengah dari beton yang digunakan di dunia. China tengah menjadi kekuatan besar, tidak hanya secara militer, tetapi juga secara ekonomi.
Awalnya, kapitalis asing mengira mereka dapat memaksa China untuk membuka diri dan kemudian mereka akan membanjiri China dengan barang-barang mereka. Namun, China telah berkembang secara berbeda dari apa yang diharapkan oleh kaum imperialis. China sekarang menjadi negara eksportir besar. AS mencatat defisit perdagangan dengan China, yang telah mencapai rekor US$205 miliar. Mereka mengeluh China mengekspor terlalu banyak, mengekspor ke Eropa, ke AS, ke seluruh dunia. Mereka terus berbicara mengenai tarif, mencoba membatasi impor dari China. Namun, untuk menghentikan barang-barang China, mereka harus mengenakan tarif yang sangat tinggi, karena tingkat produktivitas China sangat tinggi dan barang-barangnya sangat murah.
Dengan perkembangan pesat kekuatan produktifnya, perubahan besar dalam ekonominya, serta konsolidasi relasi kapitalis di dalam negeri, masuk akal jika sekarang China berperilaku seperti kekuatan imperialis. China mengimpor bahan mentah dan mengekspor produk manufaktur dan modal. Salah satu faktor yang menentukan kenaikan harga minyak adalah permintaan besar dari China, yang kini telah menjadi konsumen minyak terbesar kedua di dunia dan pengimpor bersih minyak. China juga mengimpor bijih besi, tembaga, bauksit, kayu, seng, mangan, timah, dan kedelai dalam jumlah besar.
Hubungan China dengan Amerika Latin dan Karibia menyoroti karakter imperialis China. Misalnya, pada 1999, China mengekspor barang senilai $5 miliar dolar ke Amerika Latin dan Karibia serta mengimpor $3 miliar. Pada 2004, China mengekspor barang senilai $18 miliar dolar dan mengimpor $22 miliar dari kawasan yang sama. Amerika Latin terutama mengekspor makanan dan bahan mentah ke China, sementara China mengekspor tekstil, pakaian, sepatu, mesin, TV, dan plastik ke Amerika Latin. Pada 2004, China berinvestasi $6,32 miliar di Amerika Latin. Hampir separuh dari investasi asing China berada di Amerika Latin dan Karibia. Untuk minyak Venezuela saja, mereka berencana menanamkan modal $350 juta lebih lanjut. China juga telah membentuk “aliansi strategis” dengan Brasil, di mana sudah ada pabrik-pabrik milik China. Lima belas persen ekspor Brasil ditujukan ke China, dan angkanya terus bertambah [pada 2024, angka ini telah mencapai 30 persen]. China juga bersaing dengan India untuk mengamankan sumber daya minyak di Asia. China telah menjadi pesaing utama dalam skala dunia. Pada 2004, perdagangan dunia tumbuh sebesar 5%. China bertanggung jawab atas 60% pertumbuhan ini. Hampir dua pertiga pertumbuhan perdagangan dunia bersumber dari China.
Sejalan dengan perkembangan ini, kita melihat bagaimana China bahkan telah mengirim pasukan untuk bertugas sebagai pasukan PBB di Haiti. Mereka sedang membangun angkatan laut yang besar. Alasannya, di masa mendatang mereka perlu mengendalikan jalur laut di Pasifik dan kawasan lain. Ini akan membawa mereka ke dalam konflik terbuka dengan AS. Anggota-anggota Kongres AS sudah mulai cemas dengan meningkatnya keterlibatan China di Amerika Latin dan mengutip “doktrin Monroe” yang menetapkan prinsip bahwa tidak ada kekuatan yang boleh memiliki pengaruh lebih besar daripada AS di Amerika Latin.
Memperkuat kelas buruh
Perkembangan ekonomi China yang luar biasa ini memiliki sisi lain. Bersamaan dengan perkembangan masif kekuatan produktif, kelas buruh juga menjadi sangat kuat. Rakyat bermigrasi ke kota-kota dengan laju 20 juta per tahun. China telah berubah dengan cepat dengan pembangunan besar-besaran di daerah perkotaan karena para petani yang sangat miskin mencoba melarikan diri dari kemiskinan di pedesaan. Hingga 40 persen populasi sekarang tinggal di kota. Ada 166 kota di China dengan lebih dari satu juta penduduk. Selama 15 tahun ke depan, 300 juta orang diperkirakan akan pindah ke kota. Industri konstruksi di China berkembang pesat, dengan 38 juta buruh konstruksi. Di lebih dari 80 kota, mereka membangun sistem transportasi bawah tanah. Semua ini berdampak pada ekonomi, dengan meningkatnya permintaan baja, beton, dan sebagainya. Ini memproletarisasi masyarakat China dalam skala yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Dalam waktu 15 tahun diperkirakan akan ada 800 juta penduduk kota [Tingkat urbanisasi China telah mencapai 66 persen pada 2023, yaitu 925 juta penduduk kota]. Ini adalah konsentrasi kaum proletar terbesar dalam sejarah. Ini akan menjadi fenomena tanpa preseden. Ini akan menjadi urbanisasi terbesar dalam sejarah. Dan ini akan melahirkan kaum proletar terbesar yang pernah ada dalam sejarah. Proletariat China akan menjadi yang paling kuat di dunia.
Petani yang berbondong-bondong bermigrasi ke kota-kota hidup dalam kondisi yang buruk di desa mereka. Kolektif-kolektif desa mereka telah dihancurkan. Kolektif-kolektif itu dulunya menyediakan berbagai tunjangan, perawatan kesehatan, pensiun, dll. Dua pertiga penduduk desa di China hari ini tidak memiliki tunjangan hari tua. Jadi, mereka mencari pekerjaan di kota-kota.
Kita telah menyaksikan fenomena ini sebelumnya: di AS dan Eropa dengan para imigran dari Amerika Latin, Afrika, dan Asia. Mereka siap melakukan pekerjaan terburuk dan hidup dalam kondisi buruk, tetapi setidaknya mereka menerima penghasilan dan uang untuk dikirim kembali ke keluarga mereka. Bagi mereka, itu adalah cara untuk keluar dari kemiskinan. Meskipun demikian, banyak dari mereka yang nyaris tidak bisa bertahan hidup. Mereka hanya memperoleh sedikit keuntungan dari kekayaan luar biasa yang mereka hasilkan. Situasi ini memiliki potensi revolusioner di masa mendatang.
Satu elemen progresif dalam semua ini adalah terciptanya jutaan “penggali kubur” kapitalisme, jutaan kaum proletar. Dari sudut pandang ini, kita menyambut baik perkembangan industri di China. Meskipun dengan konsekuensi yang buruk bagi rakyat pekerja, industri menciptakan kelas yang akan mengubah masyarakat. Distrik-distrik kelas buruh yang besar sedang diciptakan di kota-kota, dengan akumulasi kontradiksi yang sangat besar.
Meskipun kapitalisme China berkembang dengan sangat pesat, ini dilakukan dengan membongkar sistem ekonomi terencana, yang merupakan langkah mundur yang reaksioner. Dengan rejim kontrol buruh yang sejati, tingkat pertumbuhan ekonomi saat ini dapat dengan mudah disamai dan dilampaui, dan karakter pertumbuhan yang tidak seimbang dan kacau, dan polarisasi sosial yang semakin tajam, dapat dengan mudah dihindari.
Ada polarisasi yang sangat tajam antara kelas-kelas, antara kota dan desa, antara zona kapitalis dan zona-zona industri milik negara yang lama. Ada kesenjangan sosial yang sangat besar. 10% orang terkaya di kota memiliki 45% total kekayaan. Sementara 10% orang termiskin hanya memiliki 1,4%. Sementara kelas borjuis kaya yang baru sedang diciptakan, ada hingga 200 juta orang yang menganggur.
Pembangunan yang tidak merata ini juga mempengaruhi berbagai wilayah di China. Beberapa di antaranya tidak memperoleh manfaat dari pertumbuhan besar di wilayah timur dan pesisir. Pembangunan yang tidak merata ini berisiko memicu masalah kebangsaan di China. Ada 100 juta orang yang termasuk dalam kelompok minoritas nasional (Tibet, Turkmenistan, Mongolia, Uighur), dan kelompok-kelompok minoritas ini terus bentrok dengan polisi. Dalam situasi polarisasi seperti ini, masalah kebangsaan dapat muncul kembali dengan tajam.
Memang benar bahwa pembangunan ekonomi telah meningkatkan taraf hidup sebagian orang, tetapi ada sisi lain. Pertumbuhan ekonomi ini tidak menjamin stabilitas, dan justru memperkuat militansi buruh dan mempersiapkan gejolak sosial yang lebih besar. Kondisi hidup dan kerja yang buruk, serta ketimpangan sosial yang ada, adalah penyebab utamanya. Massa membenci para birokrat yang menghancurkan semua pencapaian mereka.
Kondisi kelas buruh di China mirip dengan kondisi di Inggris, seperti yang digambarkan oleh Engels pada abad ke-19. 80% kematian di pertambangan di dunia terjadi di China, walaupun China hanya menghasilkan 30% batu bara dunia. Pada 1991, 80.000 pekerja tewas dalam kecelakaan kerja. Pada 2003 angka itu telah melonjak menjadi 136.340. Kelas buruh China ada di bawah tekanan besar. Ini bukanlah masyarakat yang bahagia dan stabil yang menantikan masa depan yang nyaman. Di antara penduduk berusia 20-35 tahun, bunuh diri adalah penyebab kematian nomor satu. Setiap tahun ada 250.000 kasus bunuh diri, dan 2,5 hingga 3,5 juta lainnya mencoba bunuh diri. Jutaan rakyat telah kehilangan pekerjaan mereka. Ada protes-protes besar, tetapi proses menuju kapitalisme terus berlanjut.
Apa yang terjadi di China saat ini memiliki beberapa kesamaan dengan perkembangan awal kapitalisme di Rusia lebih dari seratus tahun yang lalu. Pembubaran komune pertanian lama, yang disusul oleh perkembangan industri pada akhir abad ke-19, melahirkan proletariat baru yang terdiri dari para petani yang meninggalkan desa mereka. Terciptanya proletariat seperti itu dan kondisi buruk yang diciptakan oleh proses ini mengarah pada Revolusi 1905 dan kemudian Revolusi Oktober. Kondisi-kondisi serupa kini tengah diciptakan di China, yang sedang menyiapkan konflik kelas yang pada akhirnya akan mengarah pada hasil yang serupa, yaitu pergolakan revolusioner.
Kita telah saksikan sejumlah pemogokan besar belakangan ini. Jumlah konflik buruh-majikan meningkat sebesar 12,5% pada 2000, dan sebesar 14,4% pada 2001, hingga mencapai 155.000. Pada 1999, berlangsung hampir 7.000 “aksi kolektif”, sebagaimana mereka menyebutnya, yang biasanya berupa aksi mogok atau aksi melambatkan kerja, dengan minimal tiga orang yang ambil bagian, yang melibatkan lebih dari 250.000 orang. Ini meningkat 900% sejak 1992. Sejak 1999, jumlah konflik sosial telah meningkat sekitar 20% per tahun. Meskipun angka absolutnya masih cukup rendah, gerakan-gerakan ini merupakan indikasi dari apa yang akan terjadi. Ini merupakan indikasi bahwa pertumbuhan ekonomi tidak secara mekanis berarti kestabilan sosial. Faktanya justru sebaliknya.
Ekonomi China kini diatur oleh hukum kapitalisme. Ada investasi besar-besaran, yang didasarkan pada perspektif bahwa pasar dunia akan terus tumbuh. Namun, ini tidak mungkin dipertahankan selamanya, dan oleh karenanya, pada tahap tertentu China juga akan menghadapi krisis. [Perspektif ini mulai terbukti hari ini. Pada 2021, krisis properti melanda China, dengan gelembung properti yang meletus. Pertumbuhan ekonomi melambat, dari yang sebelumnya 8-10% menjadi 5% pada 2024.] Kita tidak dapat menentukan waktu dan mengatakan kapan tepatnya ini akan terjadi. Namun, cepat atau lambat ini akan terjadi, dan ketika ini terjadi, ini akan menjadi krisis yang mendalam dan akan berdampak pada seluruh dunia.
Kelas buruh China adalah kelas yang baru dan segar. Masih ada selapisan buruh yang cukup besar yang bekerja di BUMN. Lapisan ini telah memenangkan sejumlah pencapaian yang besar. Sekarang pencapaian-pencapaian ini sudah mulai hilang. Hubungan antara buruh dan perusahaan tempat mereka bekerja lebih seperti di Barat. Pada tahap tertentu, ini akan memicu ledakan perjuangan kelas.
Posisi Partai Komunis China
Saat ini PKC mendominasi dan mengendalikan situasi. Namun, apa yang terjadi dengan Partai ini? PKC memiliki sekitar 60 hingga 70 juta anggota, kira-kira 5 persen dari populasi. Di masa lalu, partai ini merupakan instrumen birokrasi negara, tetapi selama periode terakhir kaum kapitalis China telah diizinkan untuk bergabung. Sekarang, 30 persen kapitalis China adalah anggota Partai Komunis, yang menunjukkan bahwa mereka merasa kepentingan mereka dapat dipertahankan dengan baik dengan menjadi anggota partai. Kaum kapitalis masih merupakan minoritas kecil, tetapi sangat signifikan bahwa sejumlah besar kapitalis telah diizinkan masuk ke partai.
Beberapa tahun yang lalu, hampir separuh Komite Sentral diganti. Mereka menyingkirkan beberapa birokrat lama yang dianggap menghambat restorasi kapitalisme. Dengan demikian, PKC digunakan oleh kaum kapitalis sebagai instrumen untuk membela kepentingan kelas mereka. Di jajaran bawah Partai pasti masih banyak yang percaya pada “Komunisme”, atau setidaknya apa yang mereka anggap sebagai Komunisme, dan beberapa dari mereka mengenal ide-ide Marx. Namun lapisan atas yang memegang kendali kekuasaan di tangan mereka sedang membimbing proses menuju kapitalisme.
Bagaimana masa depan PKC? Selama ekonomi terus berkembang seperti sekarang, kepemimpinan PKC akan mampu mempertahankan situasi dan menjaga semacam kestabilan dalam masyarakat dan dalam Partai. Namun, jika dihadapkan dengan pergolakan besar yang serius, krisis ekonomi besar, konflik kelas besar, konflik nasional, konflik sosial dalam berbagai bentuk, ini mungkin dapat memecah belah partai menjadi berbagai faksi. Kita harus ingat, PKC bukanlah partai dalam arti sesungguhnya, maka tidak dapat dibandingkan dengan Partai-partai Komunis di Barat. PKC merupakan bagian dari aparatus negara sejak 1949 ketika mereka berkuasa.
Namun, dihadapkan dengan peristiwa besar, cengkeramannya terhadap negara dapat dipatahkan. Dalam kasus birokrasi Rusia, ini terjadi secara tiba-tiba. Partai Komunis Uni Soviet yang monolitik pecah menjadi banyak partai yang mewakili berbagai kepentingan. Dari sini muncul pula beberapa Partai Komunis, yang menjadi partai buruh sejati. Namun, di China, ini adalah perspektif untuk masa depan. Saat ini, situasi ada di bawah kendali birokrasi China. Dan PKC digunakan untuk mengembangkan kapitalisme.
Satu hal yang pasti, proses restorasi kapitalisme ini tidak akan berjalan mulus begitu saja. Karena ekonomi kapitalis yang baru ini menghasilkan kontradiksi-kontradiksi baru, ini akan memicu perpecahan dalam hierarki Partai. Pada kenyataannya, sudah ada perpecahan, yang ditunjukkan oleh konflik saat ini seputar masalah perubahan lebih lanjut dalam undang-undang kepemilikan. Bagaimana kita dapat memahami perpecahan dalam PKC ini? Kita harus memulai analisis kita dari keseluruhan proses dan melihat ke mana arahnya. Proses restorasi kapitalis ini telah mencapai titik di mana relasi-relasi kapitalis telah terbentuk. Ada diferensiasi antara buruh upahan dan modal, persaingan di pasar, motif laba, dan sebagainya. Masih ada sisa-sisa dari sistem ekonomi terencana yang lama, tetapi sisa-sisa ini sedang dipersiapkan untuk privatisasi atau berfungsi sebagai perusahaan kapitalis negara. Kita harus memperhitungkan sektor negara ini, tetapi kita harus memahami bahwa sekarang sektor swasta adalah sektor ekonomi yang paling dinamis dan gerakan menuju kapitalisme telah terkonsolidasi.
Dengan birokrasi negara yang sebesar itu, pasti akan ada berbagai faksi dengan pandangan dan kepentingan yang berbeda-beda pula. Ada satu sayap yang mengamati keseluruhan proses ini dan mereka merasa khawatir dengan ketidakstabilan yang ditimbulkannya [faksi Hu Jintao atau faksi Tuanpai]. Perdana Menteri [Wen Jiabao] dan Presiden [Hu Jintao] juga merasa khawatir karena mereka melihat bahaya yang timbul dari ketidakseimbangan dan polarisasi yang berkelanjutan. Sayap ini ingin memperkenalkan sejumlah reforma sosial guna meringankan penderitaan massa. Mereka takut akan revolusi dari bawah sehingga mereka menuntut sejumlah investasi di daerah-daerah yang kurang berkembang dan peningkatan anggaran sosial.
Mereka tidak menentang esensi kapitalisme dan tidak akan secara aktif mengintervensi untuk menghentikan perkembangan dan konsolidasi kapitalisme, tetapi mereka khawatir bahwa ketimpangan dan ketegangan sosial yang menajam pada suatu saat akan mengarah ke gerakan revolusioner kaum proletar. Tentu saja, mereka benar. Masalahnya, mempertahankan struktur Stalinis yang lama juga akan mengarah pada gerakan massa pada tahap tertentu dan pada akhirnya keruntuhan rejim Stalinis. Oleh karena itu, sayap birokrasi ini tidak akan mendorong proses tersebut kembali, tetapi akan mencoba memperkenalkan beberapa reforma sosial untuk mencoba meringankan penderitaan massa.
Birokrasi di China Timur [Faksi Jiang Zemin atau Klik Shanghai], yang lebih erat hubungannya dengan kelas kapitalis baru, melihat reforma-reforma ini sebagai kebijakan yang mengalihkan sumber daya penting dari pengembangan industri. Alih-alih memperlambat proses, sayap ini ingin mempercepat proses restorasi kapitalisme dan mengakhiri sisa-sisa sistem lama untuk selama-lamanya. Oleh karena itu, konflik saat ini bukanlah antara mereka yang ingin “kembali ke masa Mao” [Faksi Hu] dan mereka yang menginginkan kapitalisme [Faksi Jiang]. Kedua faksi ini berselisih mengenai bagaimana cara terbaik untuk menjaga kestabilan sistem secara keseluruhan. Ironisnya, dalam jangka panjang, proses restorasi kapitalisme ini dapat memecah belah PKC, yang akan menyebabkan ketidakstabilan yang lebih besar.
Kontradiksi dalam birokrasi ini mencerminkan konflik mengenai tahap berikutnya dalam reformasi hukum properti. Di bawah tekanan tertentu, proses ini telah diperlambat. Ini menggarisbawahi fakta bahwa proses restorasi kapitalisme bukanlah proses yang linier. Pada lebih dari satu kesempatan, seperti yang telah kita lihat, ada periode di mana birokrasi terpaksa memperlambat proses ini, tetapi tanpa pernah sekalipun mencampakkan “reformasi” pasar.
Keseimbangan yang sementara dan tidak stabil ini dapat dipertahankan selama PDB dapat tumbuh sekitar 9 persen setiap tahunnya seperti sekarang. Jutaan pekerjaan hilang setiap tahun di sektor BUMN, tetapi jutaan lainnya tercipta di sektor swasta. Demikian pula migrasi jutaan petani ke kota-kota sebagian besar masih dapat diserap. Meskipun pekerjaan yang diciptakan memberikan upah yang sangat rendah, upah tersebut masih jauh lebih tinggi daripada yang mereka peroleh di desa. Dengan demikian, para buruh migran, meskipun bekerja dalam kondisi yang buruk, dapat meraih nafkah dan mengirim uang ke keluarganya.
Seperti yang telah kita lihat, sebagian besar ekonomi China kini beroperasi secara kapitalis. Hanya sekitar sepertiga dari PDB yang kini diproduksi oleh sektor negara. Masih banyak yang harus diprivatisasi, namun sektor negara tidak lagi mendominasi. Dengan restrukturisasi dan privatisasi lebih lanjut, puluhan juta pekerjaan akan hilang. Dalam situasi seperti itu, pertumbuhan yang berkelanjutan menjadi kebutuhan mutlak.
Jika mereka dapat mempertahankan pertumbuhan tahunan 7-10% selama 10-20 tahun ke depan, mereka mungkin dapat mencapai tingkat urbanisasi dan industrialisasi ini dengan relatif lancar. Tetapi ini tergantung pada pasar dunia. China mengekspor lebih dari 50% PDB-nya. Biaya tenaga kerjanya sangat murah dan alat produksinya sangat modern, dalam kata lain China memiliki tingkat produktivitas yang sangat tinggi. Tetapi China ada di bawah tekanan. Ada tanda-tanda perlambatan di beberapa sektor ekonomi dunia. Ekonomi Zona Euro mengalami stagnasi atau tumbuh dengan sangat lambat. Ada tanda-tanda krisis overproduksi dalam skala dunia, sebagian karena pertumbuhan China. Oleh karenanya, menurunnya permintaan pasar dunia akan secara drastis mempengaruhi pertumbuhan ekonomi China, seperti yang terjadi di Korea Selatan di masa lalu. China sudah menghadapi prospek overproduksi dalam baja, bijih besi dan batu bara, dan juga dalam barang-barang konsumen. Ada tanda-tanda krisis overproduksi di masa depan. [Sejak 2023, pertumbuhan ekonomi China telah melambat menjadi 5%.]
Ini membuat IMF cemas. Walaupun IMF berbicara banyak tentang efisiensi pasar, mereka menyadari bahwa masalah utama yang dihadapi ekonomi dunia adalah overproduksi. Menurut ekonom IMF, lebih dari 75% industri China memiliki problem over-kapasitas, yang menekan tingkat profit. Ini tidak dapat dihindari, mengingat investasi gila-gilaan di negara tersebut, di mana investasi mencapai 45% PDB. Ini adalah tingkat investasi yang tidak ada presedennya dalam sejarah. Bahkan Jepang tidak pernah mencapai tingkat investasi seperti ini selama boom pasca-perang. Selama ekspor terus tumbuh dan negara-negara Barat terus terjerat utang, mereka dapat terus meraup profit. Tetapi dengan tingkat pertumbuhan investasi seperti ini, China menggandakan kapasitas produksinya setiap 4-5 tahun, dan cepat atau lambat ini akan mengarah ke krisis overproduksi. Pada Juli 2005, IMF menerbitkan laporan umum mengenai situasi di China, yang mengkaji problem boom investasi, yang telah secara drastis meningkatkan apa yang didefinisikan Marx sebagai komposisi organik kapital (rasio modal-tenaga kerja telah meningkat sebesar 450% sejak 1984), sehingga mengurangi laba atas investasi dari 16% menjadi 12%.
Lonceng overproduksi akan berdentang pertama-tama untuk sektor perbankan, yang akan mulai menumpuk utang yang insolven. Dari sini problemnya akan bergeser ke tingkat pengangguran dan dengan demikian ke konflik sosial.
China juga mendapat tekanan dari AS untuk merevaluasi mata uangnya atau menghadapi tarif tinggi atas ekspornya. Saat ini, sebuah rancangan undang-undang sedang dibahas di Kongres AS yang akan mengenakan tarif sebesar 27,5% atas impor China! Pada 2008, China berencana membuat mata uangnya mengambang. Namun, China bukanlah Haiti atau Nigeria yang dapat diperintah IMF. China adalah negara adidaya dan karena itu akan ada konflik besar mengenai masalah ini.
Pada 2005, ekspor China ke AS melonjak besar. Multi-Fibre Agreement mengakhiri perjanjian kuota tekstil pada Januari tahun lalu; tidak ada lagi kuota ekspor. Sebagai akibatnya, dalam empat bulan pertama tahun lalu, ekspor tekstil China meningkat hingga 70%. China memproduksi lebih banyak tekstil dengan biaya lebih murah dan ini berarti berakhirnya industri tersebut di Eropa. Saat ini, China adalah penerima investasi asing langsung terbesar. Pada 2004, China menerima $54 miliar dalam investasi asing, yang merupakan indikasi jelas akan kepercayaan kelas kapitalis internasional terhadap relasi kapitalis baru yang berlaku di China.
China dan AS
Apa perspektif ekonomi China untuk tahun-tahun mendatang? Ada yang mengatakan bahwa krisis ekonomi seperti 1997 sedang dipersiapkan, bahwa ekonomi China seperti kereta yang lepas kendali. Krisis overproduksi tengah mengancam, yang menunjukkan adanya perubahan fundamental dalam sistem ekonomi China. Overproduksi adalah ciri utama ekonomi kapitalis, bukan ekonomi terencana. Jika China melambat, ini akan berdampak besar pada AS dan negara-negara Asia. Malaysia telah meningkatkan ekspor ke China dari $1 miliar menjadi $7 miliar dalam 5 tahun. Jepang juga memiliki kepentingan besar di China – 16.000 perusahaan Jepang beroperasi di sana.
Karena industri China sangat kompetitif, kini China mulai berkonflik dengan imperialisme AS. Akan tetapi, ada kontradiksi dalam hubungan antara kedua kekuatan tersebut. Di antara pemegang surat obligasi Treasury AS terbesar adalah China dan Jepang. Oleh karena itu, China berkepentingan untuk menjaga ekonomi Amerika karena AS merupakan salah satu pasar ekspor terbesarnya. Mereka tidak menginginkan krisis di Amerika Serikat. Mereka lebih memilih hubungan yang baik dan akrab, tetapi itu tidak mungkin. AS dan China tengah memperebutkan pasar dunia; ada defisit neraca perdagangan AS yang sangat besar dan sebagian besar dengan China. Ini memicu kontradiksi di Amerika Serikat. Perusahaan-perusahaan AS yang telah berinvestasi di China meraup profit besar. Mereka memproduksi dengan harga murah di China dan menjual barang-barang mereka di AS dengan harga yang ditentukan oleh pasar dunia. Hampir setiap perusahaan multinasional raksasa memiliki kantor di China. Lalu, bagaimana AS dapat mengekang kekuatan China ketika ekonomi dan perusahaan-perusahaan besar mereka bergantung pada ekonomi China? Oleh karena itu, ada tekanan-tekanan yang kontradiktif, dan konflik antara AS dan China akan terus berkembang di masa mendatang.
Revolusi sedang dipersiapkan
Seiring dengan perkembangan kapitalisme, diferensiasi kelas menjadi semakin lebar. Ini mempersiapkan landasan bagi konflik kelas di China. China telah menjadi salah satu masyarakat dengan tingkat ketimpangan paling tinggi di dunia. Kita telah menyentuh problem ketimpangan di kota. Gambaran umumnya seperti demikian: 20% populasi teratas mengonsumsi 50% pendapatan nasional, sementara 20% populasi terbawah hanya mengonsumsi 4,7%.
Statistik ini diambil dari laporan PBB dan diterbitkan oleh Xinhua News Agency. Artikel yang sama melanjutkan dengan mengatakan: “Sebuah laporan oleh Institut Studi Tenaga Kerja dan Upah dari Kementerian Tenaga Kerja dan Jaminan Sosial menunjukkan bahwa sejak 2003, ketimpangan pendapatan di China telah memburuk dengan cepat dan kini telah mencapai level ‘oranye’, level paling serius kedua menurut standar lembaga tersebut. Jika tidak ada langkah-langkah efektif yang diambil, ini dapat memburuk hingga mencapai level ‘merah’ yang paling serius.”
Laporan PBB tersebut melaporkan, koefisien Gini di China telah mencapai 0,45. Ketika koefisien Gini di negara mana pun melampaui 0,40, situasinya bisa menjadi tidak stabil. Di China, koefisien 0,40 tidak hanya telah dilampaui, tetapi terus meningkat.
Seperti yang dilansir oleh Xinhua News Agency, “Jika tren ini tidak dikendalikan, cita-cita negara untuk mencapai kesejahteraan umum bagi seluruh rakyatnya tidak akan tercapai dan kesenjangan yang semakin lebar dapat memicu keresahan sosial.” Kita saksikan gedung-gedung pencakar langit raksasa yang baru bermunculan di mana-mana di kota-kota modern China, dikelilingi oleh kawasan-kawasan miskin yang sangat luas. Ini saja sudah cukup untuk memicu perjuangan kelas di China.
Apa saja tugas kaum Marxis dalam situasi ini? Jelas, tugas pertama adalah menjelaskan apa yang sedang terjadi. Jika kita ingin berdialog dengan buruh, mahasiswa, anggota PKC yang jujur di China, kita harus memastikan bahwa analisis kita sesuai dengan situasi konkret yang sebenarnya. Oleh karena itu, kita harus mempelajari secara terperinci semua aspek ekonomi, masyarakat, dan politik China.
Akan menjadi kesalahan serius jika kita mencoba memahami proses yang rumit, kontradiktif, dan tanpa-preseden dalam sejarah berdasarkan formula yang sudah jadi yang tidak sesuai dengan apa yang dialami oleh buruh dan pemuda. Dengan pendekatan seperti itu, kita tidak akan mencapai apa pun.
Kita perlu mempertimbangkan tradisi China. Rusia memiliki tradisi Bolshevik, Lenin, dan Trotsky. Di China, tradisi itu tidak ada. Tradisi utama China adalah Maoisme. Namun, itu bukan satu-satunya tradisi. Ada pula tradisi penting Chen Duxiu (1879-1942), salah satu pendiri Partai Komunis China, yang pada tahap tertentu bergerak ke arah Trotskisme.
Chen sangat dipengaruhi oleh Revolusi Oktober 1917, yang membuatnya memahami bahwa progres sosial hanya dapat terjadi dengan menggulingkan sistem pertuantanahan dan kapitalisme. Ia adalah pemimpin Gerakan Empat Mei anti-imperialis tahun 1919. Tahun berikutnya, ia bergabung dengan kaum revolusioner lainnya untuk mendirikan Partai Komunis China yang lalu menyelenggarakan konferensi nasional pertamanya di Shanghai pada Juli 1921.
Nasibnya tragis. Setelah mengikuti nasihat Stalin pada 1926, revolusi China dikalahkan.[3] Namun, Komintern tidak mengambil tanggung jawab atas kegagalan tersebut dan menyalahkan segalanya pada Chen. Pada 1927 ia dijadikan kambing hitam dan disingkirkan dari kepemimpinan partai. Ia lalu menuntut penilaian ulang yang serius terhadap kebijakan Komintern, dan karena itu dipecat dari partai pada 1929 dan dituduh sebagai Oposisi. Ia kemudian bergabung dengan Oposisi Kiri Trotskis.
Merupakan hal yang positif bahwa di China modern sekarang ada sejumlah perkumpulan Chen Duxiu yang secara khusus dibentuk untuk mempelajari karya-karyanya. Belakangan ini, khususnya di kalangan mahasiswa, lingkaran-lingkaran diskusi Marxis juga telah dibentuk. Ada kehausan di antara beberapa lapisan untuk menemukan ide-ide Marxisme yang sebenarnya. Ini mencerminkan keinginan untuk bergerak menuju masyarakat yang benar-benar egaliter, yang hanya dapat menjadi masyarakat sosialis yang berdasarkan demokrasi buruh.
Kepada lapisan yang lebih maju ini dan kepada kelas buruh dan kaum muda, kita harus menyatakan dengan jelas apa yang telah terjadi di China, menjelaskan keunggulan ekonomi terencana, tetapi juga menganalisis krisis birokrasi China, mengapa rezim Maois tidak bertahan.
Meskipun masih ada sisa-sisa sistem lama, baik dalam sektor BUMN maupun aparatur negara, tugas fundamental yang kini dihadapi China adalah revolusi sosial. Sebagian besar ekonomi berada di tangan swasta. Restorasi kapitalisme telah menjadi fakta yang tak terelakkan. Semua retorika tentang “sosialisme dengan karakteristik China” hanyalah kedok yang tidak dipercayai lagi oleh siapa pun, bahkan birokrasi China. Meskipun ada kecenderungan yang berlawanan, proses restorasi kapitalisme sudah melampaui titik balik dan tidak dapat lagi dibalikkan.
Aparatus negara China sedari awal adalah aparatus rejim birokratik totaliter yang mengerikan dan telah menyatu dengan fitur-fitur kapitalisme dan Stalinisme yang paling menjijikkan. Cangkang luarnya, bentuknya, adalah aparatus negara Stalinis, tetapi kontennya borjuis. Situasi ini menghasilkan kontradiksi yang pada tahap tertentu pasti akan menghasilkan gerakan revolusioner.
China kini telah muncul sebagai kekuatan dunia. Nasibnya terkait dengan ekonomi dunia. Dengan cara yang sama, peristiwa di China dapat mempengaruhi dunia baik secara ekonomi maupun politik.
Kelas buruh China ditakdirkan untuk memainkan peran kunci di masa mendatang. Napoleon pernah berkata, “China bagaikan raksasa yang sedang tidur. Dan ketika ia bangun, ia akan mengejutkan dunia.” Dengan mengutip Napoleon, kita dapat mengatakan bahwa saat ini raksasa yang sedang tidur itu adalah proletariat China. Ketika ia bangkit, tidak ada satu pun kekuatan di planet ini yang akan mampu menghentikannya dan ia akan mengubah seluruh dunia.
April 2006
[1] Zhang, Chunlin. How Much Do State-Owned Enterprises Contribute to China’s GDP and Employment. World Bank Group.
[2] Ignace Reiss (1899-1937) adalah seorang agen rahasia Soviet, yang pada 1937 memutuskan untuk menentang Stalin dan melawan degenerasi birokratik di Uni Soviet, guna memulihkan tradisi Oktober yang sejati. Ia menyatakan bergabung dengan Leon Trotsky dan Internasional Keempat. Sebagai akibatnya, dia dibunuh oleh GPU di Prancis. Trotsky melihat orang-orang seperti Reiss sebagai manifestasi keberadaan sayap di dalam birokrasi Soviet yang ingin melawan degenerasi birokratik dan kembali ke cita-cita Revolusi Oktober.
[3] Stalin menganjurkan PKC untuk masuk dan tunduk pada partai borjuis nasional KMT, dengan dalih bahwa tahapan Revolusi di China adalah revolusi borjuis dan tugas PKC adalah mendukung borjuasi progresif. KMT di bawah Chiang Kai-shek kemudian membantai puluhan ribu kader komunis saat Revolusi 1927.