Dalam beberapa hari ini, puluhan juta rakyat akan berangkat ke bilik suara dan memberikan pilihan mereka. Di tengah euforia ini, mungkin akan ada sedikit kelegaan di antara para pemilih bahwa akhirnya kampanye pilpres ini berakhir. Betapa tidak, kegilaan dan keabsurditasan dari kampanye pilpres tahun ini telah mencapai tingkat yang tidak pernah terlihat sebelumnya. Kedua kubu punya kendali atas sejumlah media, yang begitu gencar saling menyerang dalam berbagai level, secara terbuka maupun secara terselubung dengan dalih independensi media. Media sosial jadi ajang baku hantam antar pendukung. Kaum intelektual mengeluarkan jurus-jurus pamungkasnya untuk membuktikan pasangan yang satu lebih baik dari yang lainnya. Akan tetapi, pertanyaan yang perlu kita jawab adalah: apa perspektif rejim ke depan, entah Jokowi ataupun Prabowo?
Keduanya menjanjikan penyelesaian terhadap masalah-masalah kemiskinan yang menimpa rakyat pekerja luas, dengan program-program yang katanya bernuansa “kerakyatan” dan “berdikari”. Inilah yang menjadi fondasi dukungan terhadap kedua calon ini karena tidak ada lagi politisi yang bisa menjual kapitalisme pasar bebas laissez-faire kepada rakyat. Elit politik harus meminjam hantu Soekarno dari periode revolusioner bangsa ini. Secara umum rakyat pekerja terpecah menjadi dua: yang satu percaya bahwa dibutuhkan orang yang “tegas” untuk menjalankan program-program kerakyatan, yang satu lagi percaya bahwa dibutuhkan orang yang “sederhana dan jujur”. Akan tetapi, kemiskinan dan kebobrokan sistem ini tidak akan pernah bisa diselesaikan oleh karakter-karakter pribadi dan gaya manajemen pemimpin ini atau itu. Terlepas dari karakter pribadi dan keinginan mereka, selama mereka masih bergerak di dalam kerangka kapitalisme maka mereka harus bekerja di bawah logika kapitalisme, yakni penumpukan kekayaan di satu kutub dan penumpukan kesengsaraan di kutub yang lainnya.
Namun ini bukan berarti tidak bisa ada reforma atau perbaikan taraf kehidupan di bawah kapitalisme. Rakyat pekerja telah berjuang dan telah memenangkan banyak reforma. Akan tetapi, di tengah krisis kapitalis hari ini, reforma sudah tidak memungkinkan lagi, dan kalaupun mungkin diraih ini harus dimenangkan dengan metode-metode perjuangan yang semakin hari semakin militan. Kenyataan inilah yang akan mendikte perspektif ke depan bagi rejim yang berkuasa, entah itu Prabowo ataupun Jokowi. Mereka tidak akan punya ruang yang banyak untuk melakukan manuver ekonomi. Kenyataan krisis kapitalis hari ini, yakni krisis yang paling akut di dalam sejarah, akan memaksa mereka melakukan program-program penghematan, privatisasi yang semakin luas dan mendalam, pemotongan subsidi, penekanan upah buruh, dan lain sebagainya. Kita sedang memasuki periode konter-reforma, dan inilah keniscayaan yang ada hari ini.
Maka dari itu, rejim yang akan datang akan menjadi rejim krisis. Ilusi terhadap rejim ini akan segera terbongkar dengan cepat. Bulan madu kelas penguasa akan berakhir sebelum ia dimulai. Kita juga tidak boleh lupa kalau perspektif rejim ke depan tidak hanya ditentukan oleh presiden yang terpilih, tetapi juga hasil pemilihan legislatif yang telah melahirkan parlemen yang lemah. Hanya sampai menit terakhir koalisi bisa dibentuk untuk pilpres, dan koalisi ini bahkan sangat lemah, yang de fakto langsung pecah ketika digulirkan. Tidak sedikit petinggi-petinggi partai dari kedua kubu yang menyeberang. Bahkan Partai Demokrat, yang secara formal netral, juga terbelah antara yang mendukung Prabowo dan yang mendukung Jokowi. Oleh karenanya, dihadapi oleh situasi ekonomi yang akan semakin sulit, oleh desakan politik dari rakyat luas agar pemerintahan ke depan ini mulai memenuhi janji-janji mereka, dan oleh kenyataan bahwa pemerintahan ini harus melanjutkan kebijakan pemotongan subsidi BBM – seperti yang sudah diutarakan oleh kedua calon ini – maka akan terjadi perpecahan yang lebih dalam di antara kelas penguasa.
Perjuangan kelas buruh yang meningkat selama 2 tahun terakhir telah terinterupsi sementara waktu oleh momen pemilu ini. Para pemimpin reformis dari serikat-serikat buruh ini berhasil mengarahkan aspirasi politik kaum buruh ke salah satu kubu: KSPSI dan SBSI ke Jokowi dan FSPMI-KSPI ke Prabowo. Namun, kaum buruh akan cepat belajar kalau tidak satu pun dari kedua pasangan ini yang akan bisa memenuhi tuntutan-tuntutan mereka. Ini akan menjadi pembelajaran politik bagi kaum buruh, bahwa mereka tidak bisa menitipkan nasib mereka ke partai politik borjuasi seperti halnya mereka tidak menitipkan nasib mereka pada para majikan. Di sinilah seruan agar serikat-serikat buruh mulai bergerak ke pembentukan partai buruh menjadi penting dikumandangkan secara konsisten, tegas, dan konsekuen. Ini akan mempercepat pembelajaran politik kaum buruh, agar mereka tiba ke kesimpulan yang tepat: hanya kemandirian kelas buruh yang bisa menunjukkan jalan ke depan bagi kaum buruh dan seluruh rakyat tertindas.
Krisis juga akan menyambut serikat-serikat ini ketika taktik “membonceng partai borjuasi” yang diusung oleh sejumlah pemimpin mereka terbukti impoten. Kaum buruh tidak akan diam saja, seperti halnya mereka tidak diam saja ketika dieksploitasi oleh majikan mereka. Mereka akan merespons ini, dan akan ada perubahan di dalam serikat-serikat tersebut. Kepemimpinan yang reformis akan mulai terdiskreditkan dan mendapat perlawanan dari para anggotanya. Akan ada benturan-benturan dan friksi-friksi di dalam serikat-serikat ini.
Setelah berduyun-duyun bergerak ke bilik suara, kaum buruh akan mulai membalikkan langkah mereka ke jalan-jalan lagi. Selama masalah upah dan kesejahteraan buruh tidak terselesaikan, dan ini tidak akan bisa diselesaikan oleh rejim Prabowo ataupun Jokowi terutama pada periode krisis kapitalis dunia hari ini, maka kaum buruh akan kembali ke dasar perjuangan kelas 101. Tetapi kali ini mereka telah belajar banyak, dari pengalaman 2 tahun terakhir dan dari pemilu ini, dan perjuangan ini akan lebih tinggi tingkatannya daripada sebelumnya. Monas selanjutnya tidak akan menjadi pengulangan semata.