Kira-kira lima bulan dari sekarang, kita semua akan menyaksikan datangnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA akan mengintegrasikan ekonomi dari negeri-negeri yang tergabung di dalam ASEAN, sebuah wilayah dengan penduduk 600 juta dan Produk Domestik Bruto sebesar 2,4 triliun dolar AS. Dengan menghapus semua regulasi dan kebijakan proteksionis (bea impor, dsb.) di antara negeri-negeri Asia Tenggara, harapannya adalah MEA akan menciptakan sebuah pasar dan basis produksi yang tunggal, dimana barang, jasa, investasi, buruh, dan kapital dapat mengalir bebas tanpa hambatan.
Ada ketakutan dari berbagai lapisan masyarakat akan dampak negatif integrasi ekonomi ini, terutama dari lapisan yang paling rentan, yakni buruh, tani dan nelayan. Inilah mengapa pemerintah mencoba begitu keras untuk meyakinkan rakyat pekerja bahwa tidak ada yang perlu ditakuti dari MEA. “Jangan takut,” kata Jokowi dengan mantap. “[Kita] harus siap karena sudah tidak bisa mundur lagi. Pokoknya, harus siap,” tambahnya. Mantra yang digunakan untuk mengusir rasa takut ini adalah bahwa kompetisi bebas yang diciptakan oleh MEA akan meningkatkan efisiensi produksi dan dengan demikian kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Di sini, semua adalah pemenang dan tidak ada yang dirugikan, seperti yang dinyatakan oleh Jusuf Kalla: “[MEA] akan mengefisienkan semua negara. Tak ada yang dirugikan. Siapa yang bilang ada yang dirugikan? Negara ASEAN akan saling menguntungkan.”
Pada kenyataannya, pemenang dari semua permainan ekonomi adalah mereka-mereka yang memiliki ekonomi tersebut, dan jumlah mereka tidak terlalu banyak. Merekalah yang akan “saling menguntungkan”. Bagi yang mengais rezeki lewat kerja upahan, yakni mayoritas rakyat, mereka selalu ada di pihak yang dirugikan, bukan karena dadu nasib yang kejam atau kurangnya upaya keras dari mereka, tetapi karena posisi ekonomi mereka di dalam relasi produksi kapitalis.
MEA, sebuah keniscayaan
MEA dan integrasi ekonomi yang diusungnya adalah bagian dari globalisasi ekonomi yang tak terelakkan di bawah sistem kapitalisme. Kita telah saksikan integrasi ekonomi serupa di wilayah-wilayah lain, misalnya: Uni Eropa yang menyatukan tidak hanya pasar dan ekonomi Eropa tetapi bahkan membentuk satu mata uang tunggal; NAFTA yang mengikat Kanada, AS, dan Meksiko; perjanjian perdagangan antara ASEAN dan China dalam ACFTA; TFP (Trans-Pacific Partnership) antar negeri-negeri Pacific Rim yang sedang digarap terutama oleh AS; dsb.
Intinya, dalam upayanya untuk mencari laba modal harus terus bergerak dan menyebar ke empat penjuru dunia. Inilah fitur utama dari kapitalisme yang lama telah dipaparkan oleh Karl Marx: “Kebutuhan untuk terus memperluas pasar untuk produk-produknya mendorong kaum borjuasi menyebar ke seluruh permukaan bumi. Ia harus bersarang di mana-mana, bertempat di mana-mana, mengadakan hubungan-hubungan di mana-mana.”
Kapitalisme harus terus memperluas produksi dan pasar. Ia harus terus membuka pabrik-pabrik, dan bersamaan dengan itu, karena lebih banyak pabrik berarti lebih banyak komoditas yang diproduksi, maka ia juga harus terus membuka pasar-pasar baru. Akan tetapi di sinilah letak kontradiksi dari keseluruhan kapitalisme. Buruh dibayar seminim-minimnya dan didorong untuk memproduksi sebanyak-banyaknya. Ini adalah satu-satunya cara seorang kapitalis bisa meraup profit dan berkompetisi dengan yang lainnya. Tetapi buruh juga adalah konsumen, sehingga pada akhirnya buruh tidak bisa membeli atau mengkonsumsi semua barang yang telah diproduksi oleh diri mereka sendiri. Terjadilah krisis over-produksi, atau istilah lain yang biasanya digunakan oleh ekonom kapitalis: over-kapasitas. Barang menumpuk tanpa bisa dijual. Untuk mengatasi ini, sang kapitalis mencoba memasuki pasar dari negeri-negeri lain. Ia juga mencoba mengekspor kapitalnya yang berlebihan (kapital yang tidak lain adalah nilai lebih yang diciptakan oleh buruh). Tetapi bumi ini bulat. Setelah berjalan terus ke arah Barat sang kapitalis akan kembali lagi dari Timur. Selain itu semua kapitalis dari berbagai negeri juga melakukan hal yang sama. Akhirnya ia kembali lagi dihadapi oleh masalah yang sama: over-produksi, tetapi kali ini dalam skala global dan dengan konsekuensi yang lebih parah bagi rakyat pekerja. Krisis finansial global 2008, yang merupakan krisis ekonomi terdalam dalam sejarah kapitalisme yang sampai hari ini belum usai, adalah ekspresi dari over-produksi global ini.
Siapa yang paling murah?
Globalisasi, selain sebagai cara bagi kaum kapitalis untuk mengekspor kapital dan komoditas seperti yang telah dijelaskan di atas secara singkat, adalah juga cara baginya untuk menekan kelas buruh. Buruh menjual kemampuan kerjanya untuk upah seperti halnya seorang tukang cendol menjajakan es cendolnya. Kemampuan kerjanya adalah komoditas yang dijualnya di pasar kepada kapitalis. Oleh karenanya sang buruh harus bersaing dengan penjaja kemampuan kerja lainnya, yakni buruh juga. Siapa yang bisa menjual paling murah?
Dengan globalisasi, MEA dalam kasus kita, diciptakanlah sebuah pasar tenaga kerja yang lebih luas, yang mana di dalamnya buruh-buruh se-Asia Tenggara saling bersaing untuk menunjukkan siapa yang paling kompetitif dan produktif . Dalam kata lain, siapa yang paling murah dan mau memeras keringat lebih banyak. Setiap kali buruh Indonesia menuntut kenaikan upah, sang kapitalis menjawab: “Buruh Vietnam siap menggantikan kalian semua!” Begitu juga sebaliknya. Tidak hanya dalam bentuk upah saja, rakyat pekerja diminta untuk bersedia melonggarkan berbagai regulasi dan undang-undang yang melindungi hak-haknya sebagai pekerja.
Petani gurem dan nelayan kecil di seluruh Asia Tenggara juga dirugikan dengan cara yang kurang lebih serupa, dimana mereka didorong untuk saling berkompetisi: siapa yang bisa bekerja lebih keras untuk menghasilkan lebih banyak dengan harga yang lebih murah. Dalam kata lain, siapa yang bisa menjual keringat mereka lebih murah untuk memenuhi nafsu pasar internasional. MEA juga akan memaksa petani kecil bersaing dengan perusahaan-perusahaan agrobisnis raksasa. Walaupun sebenarnya tidak ada persaingan di sini karena agrobisnis ini jauh lebih besar dan produktif, dan oleh karenanya hanya akan ada satu hasil: kehancuran petani-petani kecil. Selain itu, untuk mempermudah investasi asing UU pertanahan dirancang sedemikian rupa sehingga memudahkan penyerobotan tanah rakyat.
Melawan MEA
Dipelintir dan dikemas bagaimanapun juga, Masyarakat Ekonomi ASEAN dibentuk untuk melayani kepentingan modal. Di satu sisi untuk menyelesaikan kontradiksi over-produksi kapitalisme itu sendiri, tetapi dengan cara ini hanya mempersiapkan kontradiksi yang lebih besar di hari depan; di sisi lain untuk menekan buruh, tani, dan nelayan demi profit yang lebih besar. Ini karena profit kapitalis dan upah atau pendapatan rakyat pekerja adalah dua hal yang berbanding terbalik.
Sejumlah perlawanan untuk menolak MEA telah diluncurkan oleh rakyat pekerja tidak hanya di Indonesia tetapi di negeri-negeri Asia Tenggara lainnya. Akan tetapi tidak cukup hanya menolak MEA atau menuntut jaring-jaring pengaman untuk melindungi buruh, tani, dan nelayan dari dampak-dampak negatif MEA. Dibutuhkan sebuah perspektif dan program yang menyeluruh, yang mengikutsertakan pertimbangan mengenai pangkal dari seluruh masalah yang kita hadapi: kapitalisme.
Yang kita tentang bukanlah globalisasi itu sendiri, tetapi globalisasi yang didasari oleh kapitalisme. Oleh karenanya perlu kita pertentangkan program globalisasi kapitalis dengan program globalisasi sosialis. Kita menuntut kerja sama ekonomi antar seluruh rakyat pekerja se-Asia Tenggara atas dasar pemenuhan kebutuhan manusia dan bukan pencarian profit. Ini hanya bisa dipenuhi dengan meletakkan kepemilikan atas pabrik, bank, tambang, perkebunan, transportasi, telekomunikasi, dan semua tuas-tuas ekonomi yang penting ke tangan rakyat pekerja supaya bisa dikelola berdasarkan sistem ekonomi yang terencana secara demokratis. Akan ada orang yang menepis program ini sebagai sesuatu yang utopis. Tetapi mari kita bertanya secara jujur, mana yang lebih utopis? Berjuang untuk keluar dari kerangka kapitalisme atau berharap bahwa buruh bisa sejahtera selama ada di bawah kapitalisme?
Globalisasi yang tengah berlangsung di bawah kapitalisme telah menyatukan nasib seluruh rakyat pekerja dunia, bahwa kita semua ada di bawah sistem penindasan yang sama. Selain itu, tidak ada satu pun negeri – dan bahkan wilayah – yang hari ini bisa berdiri sendiri tanpa interaksi ekonomi, sosial, dan budaya dengan negeri-negeri yang lain. Dengan demikian, kapitalisme telah mengukuhkan slogan “Buruh Sedunia Bersatulah” seperti halnya kapitalismelah yang menciptakan proletariat, sang penggali kuburnya. Yang dibutuhkan sekarang adalah sebuah organisasi perjuangan dengan perspektif internasionalis, yang akan menghimpun lapisan buruh dan muda yang termaju dari seluruh dunia, menempa mereka dalam tradisi dan metode Bolshevisme, mempersiapkan mereka untuk menyambut dan memenangkan momen revolusi yang niscaya akan tiba.