Selama beberapa tahun terakhir, serikat-serikat kuning seperti FSPMI, KSPI, dll. telah semakin menggeser perayaan hari buruh internasional menjadi ajang dangdutan, jalan sehat, dan fiesta. May Day yang seharusnya adalah hari perjuangan buruh semakin dijinakkan oleh Said Iqbal, Andi Gani, dkk. May Day kali ini mungkin bisa dibilang titik balik dari proses deradikalisasi hari bersejarah ini, di mana untuk pertama kalinya – setidaknya selama 60 tahun terakhir – presiden terpilih pemerintahan kapitalis menjadi pembicara utama hari perayaan buruh.
Ini bukan kejutan bagi siapapun yang telah secara konsisten mengkritik keras kebijakan reformis dan kolaborasi kelas para pemimpin reformis ini. Bersekutu dengan Prabowo – atau lebih tepatnya menjadi pelayan setia kapitalis – adalah kesimpulan logis dari reformisme dan kolaborasi kelas.
Terakhir kali seorang presiden menjadi bagian dari acara May Day adalah pada 1965, ketika Sukarno berdiri bersama Aidit di hadapan ratusan ribu buruh pada 1 Mei 1965. Itu adalah May Day terakhir sebelum kelas kapitalis meluncurkan pembantaian berdarah-darah terhadap PKI dan pendukungnya. Bukan berlebihan kalau kita mengatakan mungkin hampir semua peserta May Day 1965 menemui ajalnya; terutama para pemimpin buruh di sana yang menemukan diri mereka mengendap di kedalaman sungai-sungai Jawa. Mengapa? Karena mereka adalah bunga proletariat yang paling harum. Seperti kata Wiji Thukul dalam puisi Bunga dan Tembok, mereka ini adalah “bunga yang tak kau hendaki tumbuh”.
Berbeda dengan para pemimpin buruh yang berjajar rapi penuh senyum semringah di May Day 2025 bersama Prabowo dan petinggi-petinggi negara lainnya. Para pemimpin buruh ini adalah sampah proletariat yang paling busuk dan amis. Perayaan May Day tidak hanya dijadikan fiesta murahan, tetapi juga jadi ajang bagi mereka untuk menyatakan kesetiaan dan penghambaan mereka pada kelas penguasa: “Bapak Prabowo yang kami cintai dan kami banggakan”, “yang kami muliakan Bapak Prabowo”, “Bapak Kapolri yang kami cintai”, “kami akan setia”, “kami akan menjaga dan mengawal Bapak,” dst. dst. Dengan ini mereka terus memupuk tabiat memohon-mohon yang mengakar di antara rakyat pekerja. Memang itu tugas mereka, seperti Satgas PHK yang mereka usulkan, yakni meredam gelora perlawanan buruh dan membuat buruh menjadi tidak berdaya, layaknya kambing untuk disembelih.
Lagu Internasionale, lagu perjuangan buruh yang paling suci itu, pun mereka seret ke lumpur kotor mereka, dinyanyikan dengan penuh sinisme yang memuakkan.
Nama Marsinah juga dikotorkan oleh mereka. Ya, pejuang buruh kita yang paling berani itu kabarnya akan dijadikan “pahlawan nasional” oleh Prabowo, dalam kata lain diubah ikon tidak berbahaya. Seperti kata Lenin: “Apa yang kini menimpa Marx telah, sepanjang sejarah, berulang kali menimpa para pemimpin revolusioner kelas tertindas. Selama masa hidup mereka, kelas penindas terus memburu dan menyerang mereka. Setelah mereka meninggal dunia, berbagai upaya dilakukan untuk mengubah mereka menjadi ikon yang tidak berbahaya, dalam kata lain mengubah mereka menjadi Nabi Suci, dan menguduskan nama mereka sampai batasan tertentu guna “menghibur” dan menipu kelas tertindas.”
Kita harus selamatkan Marsinah kita dari tangan-tangan kotor para birokrat serikat buruh itu. Marsinah sudah merupakan pahlawan kelas buruh, dan kita akan menolak usaha untuk kelas penguasa untuk mengkooptasinya menjadi “pahlawan nasional”.
Kita harus merenggut kembali May Day kita. Kita harus merenggut kembali Internasionale kita.
Perjuangan melawan birokrasi di dalam serikat buruh dan reformisme di dalam gerakan buruh adalah perjuangan hidup mati bagi kelas buruh. Birokrasi serikat buruh, para pemburu jabatan ini, dari atas hingga tingkat PUK, adalah kerak yang menjadi penghalang berkembangnya gerakan buruh. Terutama selama krisis kapitalisme, reformisme kerap menjadi benteng terakhir kapitalisme.
Namun perjuangan ini bukanlah perjuangan dalam level individu. Ini bukan masalah kepribadian para pemimpin ini yang tamak, oportunis, korup, penakut, dst. Mereka-mereka ini hanyalah pengejawantahan gagasan reformisme dan kolaborasi kelas yang mendominasi masyarakat, personifikasi dari tekanan kelas-kelas asing (borjuis dan borjuis kecil) di dalam gerakan buruh. Untuk melawan pemimpin-pemimpin ini, kita harus melawan gagasan yang mereka wakili. Umpatan-umpatan yang menyerang personal mereka tidak cukup. Kita harus menjelaskan kepada buruh serta mengekspos di mata buruh kekeliruan fatal gagasan reformis dan metode kolaborasi kelas yang diwakili dan dibela oleh para pemimpin ini. Hanya dengan demikian kita bisa mematahkan cengkeraman yang masih mereka miliki terhadap buruh akar rumput.
Ini berarti menjelaskan dengan sabar kepada buruh mengenai bagaimana kapitalisme berfungsi serta kontradiksi yang inheren yang mengalir darinya; apa itu negara dan demokrasi, bagaimana negara dan demokrasi yang ada tujuannya hanya untuk melayani kelas kapitalis; mengapa dalam era krisis hari ini perubahan-perubahan kosmetik atau reforma telah menjadi semakin mustahil; bagaimana hanya sosialisme yang dapat menjadi solusi bagi problem-problem buruh dan seluruh rakyat tertindas; dst. Ini membutuhkan pemahaman teori Marxisme serta organisasi revolusioner yang mampu mempropagandakan teori tersebut secara sistematis dan konsisten dan mampu menerjemahkan teori tersebut menjadi program tuntutan. Ada alasan mengapa kelas penguasa dengan begitu keras kepala melarang Marxisme. Ada alasan mengapa para pemimpin reformis ini terus berusaha menjauhkan anggota-anggota buruhnya dari gagasan Marx, Engels, Lenin dan Trotsky. Karena Marxisme itu benar. Pada akhirnya, kita harus menggali kembali Marxisme. Bukan memperbaharuinya, bukan menafsir ulangnya, melainkan kembali ke akar sejatinya. Hanya dengan demikian kaum buruh bisa mengklaim kembali May Day mereka dari tangan penguasa dan pembantu-pembantu setia mereka, yang dari mulut mereka berteriak “we are working class” tetapi sesungguhnya mereka adalah “traitors to the working class”.