Belakangan ini, banyak aktivis – dan bahkan yang mengaku sosialis – mendambakan perubahan melalui parlemen. Mereka berdalih “sistem yang ada sudah bagus, aktornya saja tidak!”. Tapi apakah demikian? Berkali-kali aktivis kiri masuk parlemen atau bahkan masuk partai borjuis seperti PDIP, dll., tapi hasilnya mereka justru menjadi perabot penguasa. Budiman Sudjatmiko dan Dita Indah Sari, bekas pemimpin PRD itu, adalah salah satu contoh menjijikkan dari orang-orang ini. Begitu juga PRD hari ini (yang telah menjadi PRIMA), yang kini bernaung di bawah ketiak Prabowo.
Tan Malaka sudah mewanti-wanti ini sejak tahun 1921. Dalam karyanya Parlemen atau Soviet? Tan Malaka menulis bahwa tak mungkin sosialisme bisa terlaksanakan melalui parlemen, karena parlemen hanya warung kopi tempat ahli pendebat berdebat. Dia menulis karya ini jauh sebelum Indonesia merdeka dan dia sudah jauh mengantisipasi keterbatasan parlemen.
Parlemen atau Soviet? ditulis Tan Malaka pada tahun 1921 di Semarang. Karya ini ditulis pada saat dia menjadi guru sekolah di Sarekat Islam dan mengajar anak-anak buruh kereta api. Dia menulis buku ini dengan analisis historis yang jelas, seperti peristiwa Parlemen melawan istana di Inggris pada zaman Oliver Cromwell yang berhasil mengeksekusi Raja Charles I di abad ke-17. Dia juga menjelaskan bagaimana kondisi parlemen Jerman yang tak sehebat parlemen Inggris.
Walaupun di sini Tan Malaka seperti memuji parlemen Inggris yang sering bermusuhan dengan istana, tapi dia juga memperlihatkan bagaimana mereka (istana dan parlemen) akan bersatu ketika ada perang antar negara (perang imperialis). Maka dari itu, menurutnya semua parlemen adalah sama, yaitu alat dari sang penguasa.
Buku ini juga menjelaskan bahwa dalam benak pikiran Tan Malaka, Indonesia tidak memerlukan parlemen, tapi memerlukan “Soviet”. Soviet adalah sebuah badan pemerintahan pekerja yang berbeda sepenuhnya dengan parlemen borjuasi. Bila di parlemen kekuasaan terbagi melalui Trias Politica (Yudikatif, Legislatif dan Eksekutif), yakni mereka yang membuat aturan dan melaksanakan aturan dibedakan, maka di dalam Soviet semuanya sekaligus.
Di sini dia menjelaskan bahwa negara Indonesia itu akan bergerak selayaknya soviet bergerak, di mana negara terdiri dari soviet-soviet buruh dan soviet-soviet tani. Dia menganggap parlemen sebagai tempat warung kopi di mana orang hanya berdebat tanpa bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi rakyat. Hal ini dibuktikan sejak Indonesia merdeka keberadaan parlemen tidak membuat kehidupan rakyat pekerja lebih baik, tetapi senantiasa melayani kepentingan kapitalis.
Apa itu soviet dan bagaimana cara soviet bekerja? Dia menulis bahwa ada tiga tingkat untuk menuju masyarakat sosialis:
Pertama, ialah ketika kapitalisme masih ada. Di masa ini kaum buruh mesti punya serikat buruh dan partai yang revolusioner. Serikat dan partai ini kemudianlah yang akan mengambil kekuasaan ketika revolusi terjadi. Seperti halnya kaum Bolshevik pada saat Revolusi Oktober 1917
Kedua, ialah ketika kaum buruh sudah berkuasa atau yang dinamakan “kediktatoran proletariat”. Dalam fase ini kaum kapitalis sudah digulingkan dan kaum buruh akan membuat komite-komite buruh yang akan memiliki dan mengontrol kepemilikan atas alat-alat produksi. Komite buruh ini mengatur ekonomi secara terencana, yang bertentangan dengan sifat anarki produksi dalam kapitalisme. Komite-komite buruh ini juga diperluas ke lapisan sosial lainnya seperti petani.
Wakil-wakil Soviet dapat di-recall setiap saat, atau dapat diganti sewaktu-waktu tanpa menunggu pemilu 5 tahunan. Dengan demikian Soviet akan menghilangkan sifat birokratisme yang menjadi implisit dalam sistem kapitalisme. Dia menulis “Yang terutama sekali harus dihilangkan sifat birokratis itu. Sebab itulah, maka wakil itu tidak mesti membikin undang-undang saja (Parlemen), tetapi haruslah membikin dan menjalankan undang-undang sekaligus.”
Tulisan tersebut menjelaskan perbedaan demokrasi parlemen borjuis dengan demokrasi soviet pekerja. Dalam demokrasi borjuis, para birokrat mendapat privilese seperti gaji yang lebih tinggi, tunjangan mobil, rumah mewah dinas, dsb. Dalam demokrasi soviet pekerja, semua privilese dihilangkan, bahkan gaji para wakil soviet sama dengan gaji para buruh.
Ketiga, tahapan tertinggi Sosialisme di mana soviet-soviet seluruh dunia sudah terbentuk dan sudah mencapai kesempurnaannya. Ketika sudah mencapai zaman ini, maka soviet-soviet sudah tidak lagi dibutuhkan. Segala sesuatu akan menjadi pengaturan administrasi sederhana di mana manusia hidup dan bekerja sesuai kemampuan dan mendapatkan sesuai kebutuhannya. Kelas-kelas dan negara melenyap.
Kaum Revolusioner tidak secara prinsipil menolak taktik parlemen. Parlemen memang sudah membusuk secara teori, tapi secara praktis medan parlemen masih bisa digunakan untuk terus mengekspos kebusukan itu. Tugas kaum revolusioner adalah membuatnya busuk di hadapan massa. Ini terbukti seperti halnya kaum Bolshevik menggunakan parlemen sebagai tribune untuk mengekspose keterbatasan parlemen. Sementara kaum reformis sekuat mungkin mempertahankan parlemen sebagai cara menyejahterakan rakyat, kita kaum revolusioner berusaha membuktikan sebaliknya bahwa tidak mungkin mewujudkan kesejahteraan di bawah kapitalisme melalui parlemen.
Begitulah mengapa kita perlu membaca buku Parlemen atau Soviet? Tan Malaka di sini jelas posisinya sebagai seorang Revolusioner dan tak seperti yang orang bilang bahwa beliau hanyalah seorang “Bapak Republik”. Memang jalan hidup seorang revolusioner itu sangat sulit, dan seperti yang Lenin tuliskan di Negara Dan Revolusi: “Selama masa hidup tokoh revolusioner itu, kelas penindas terus memburu mereka, dan menyerang teori mereka dengan kebencian dan kedengkian yang paling brutal, dengan kampanye dusta dan fitnah yang tak mengindahkan moral. Setelah mereka meninggal dunia, berbagai upaya dilakukan untuk mengubah mereka menjadi ikon yang tidak berbahaya, dalam kata lain mengubah mereka menjadi Santo, dan menyucikan nama mereka sampai batasan tertentu guna “menghibur” dan menipu kelas tertindas, sementara pada saat yang sama menghapus substansi dari teori revolusioner mereka, menumpulkannya dan memvulgarkannya.”
Jelaslah hal ini terjadi pada diri Tan Malaka. Ketika ia hidup, ia dikejar-kejar dan dibenci para penguasa hingga pada puncaknya dibunuh pada 1948. Hari ini oleh kebanyakan orang dia dianggap sebagai tokoh pahlawan dan “Bapak Republik” saja. Oleh karenanya, menggali kembali sejarah perjuangan revolusioner di Indonesia, dan dengan itu juga gagasan-gagasan revolusioner Tan Malaka, adalah salah satu syarat bagi kemenangan revolusi di hari depan.