Saat ini sering kita temukan beragam organisasi aktivis berada dalam pusaran kegiatan praktis tiada henti. Mereka bertemu anggota DPR atau DPRD, menghadiri rapat dengan pejabat pemerintah, sampai membuat “kontrak politik” dengan calon gubernur atau walikota untuk melakukan perubahan di sektor-sektor dan isu-isu yang spesifik. Banyak di antara mereka masuk ke Partai Buruh dan berusaha memenangkan kursi di parlemen sebagai tujuan akhir. Ada dari mereka yang mengadvokasi rakyat untuk membikin koperasi swakelola, yang kata mereka menunjukkan “sosialisme nyata” di masyarakat.
Beberapa dari mereka menampik teori. Mereka kira teori yang dibuat seratus tahun lebih itu sudah usang, tak sesuai dengan zaman. Gerakan dan aksi merekalah yang mutakhir. Bahkan beberapa di antaranya berujar: “Buat apa kita membaca Rosa Luxemburg yang ditulis hampir satu seperempat abad yang lalu?”
Lucunya, seperti inilah situasi yang dihadapi Rosa Luxemburg saat ia aktif memimpin gerakan buruh, ketika ia terorganisir di dalam Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD). SPD kala itu terjangkit oleh reformisme dan revisionisme yang dipimpin oleh teoretikusnya Eduard Bernstein. Bernstein mencoba mengubah dasar-dasar ajaran Marx dan Engels dengan karya-karyanya yang diterbitkan di Neue Zeit, jurnal teoritis SPD,yang dikumpulkan ke dalam bukunya “Prakondisi Sosialisme dan Tugas untuk Sosial Demokrasi” yang terbit tahun 1899. Buku ini diterbitkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Sosialisme Evolusioner”. Bernstein, pada intinya, menolak revolusi dan memilih reformasi.
Rosa Luxemburg tidak berdiam pasif. Dia langsung mengangkat pena, berpolemik melawan teori revisionis Bernstein. Karya Luxemburg“Reformasi atau Revolusi”, bagian pertama terbit pada 1898 dan bagian kedua pada 1908, berisikan serangan-serangan teoritis terhadap revisionisme Bernstein. Dibekali pemahaman mendalam teori dan metode Marxis ia menguliti kebangkrutan teorinya Bernstein, yang bagi Luxemburg, tak lebih dari oportunisme borjuis-kecil yang “diangkat” menjadi teori.
Apakah kaum revolusioner menolak reforma?
Pertama-tama, Luxemburg menekankan bahwa ketika kita melawan reformisme, bukan berarti kita menolak reforma. Ini tuduhan tak berdasar yang kerap dilontarkan kaum reformis kepada kaum revolusioner.
Perjuangan untuk reforma-reforma sehari-hari dan perjuangan untuk revolusi bukanlah bertentangan, malah saling berkaitan. Perjuangan sehari-hari dalam memperbaiki kondisi hidup kaum buruh dan menerapkan reforma-reforma dalam kerangka sistem kapitalis, melalui institusi-institusi demokratiknya adalah jalan bagi kita untuk “masuk ke dalam perang kelas proletar dan berjuang ke arah tujuan akhirnya”, yaitu perebutan kekuasaan oleh kelas buruh. “Perjuangan untuk reforma adalah caranya; revolusi sosial, tujuannya,” tulis Luxemburg.
Luxemburg menegaskan kembali bahwa reforma-reforma tersebut juga tidak bisa dengan sendirinya mewujudkan sosialisme. Reforma-reforma yang diperjuangkan dalam kerangka kapitalisme bertujuan untuk mempersiapkan kelas buruh demi suksesnya revolusi sosialis. Buruh senantiasa dididik dari pengalamannya sendiri. Melalui pengalamannya memperjuangkan reforma sehari-hari, bila perjuangan ini dibimbing oleh kepemimpinan yang revolusioner maka buruh akan semakin sadar atas tugas historisnya: mengambil kekuasaan ke tangannya untuk menegakkan sosialisme. Sehingga ketika kapitalisme masuk ke dalam periode krisis, buruh siap untuk memenangkan revolusi sosialis.
Ini jelas berbeda dengan reformismenya Bernstein, yang mentah-mentah menolak kebutuhan akan revolusi sosialis dan menerapkan kediktatoran proletar. Bernstein mengatakan reforma-reforma yang dimenangkan oleh kerja-kerja serikat dan parlementer sudah cukup, karena reforma-reforma ini secara perlahan akan mengubah kapitalisme menjadi sosialisme.
Menurutnya, revolusi tidak diperlukan. Yang bisa kita lakukan adalah mengubah kapitalisme secara perlahan. Persis kata Bernstein: “Tujuan akhir, apapun itu, bukanlah apa-apa; gerakan adalah segalanya”.
Bernstein, sang Revisionis Utopis
Teori revisionis Bernstein secara eksplisit menolak postulat fundamental dalam teori Marxis: bahwa kapitalisme akan selalu memasuki krisis. Bernstein menganggap bahwa kapitalisme mampu beradaptasi dan menyelamatkan dirinya dari krisis, sehingga semakin lama, kapitalisme akan menjadi semakin stabil. Menurut Bernstein, ada tiga metode yang dilakukan sistem kapitalisme untuk beradaptasi: melalui kredit, pembentukan asosiasi-asosiasi pengusaha atau kartelisasi, serta “meluasnya moda jasa informasi dan komunikasi”. Dengan tiga metode itulah kapitalisme menurutnya akan bisa bertahan terus-menerus.
Lalu bagaimana dengan perjuangan menuju sosialisme? Di sinilah Luxemburg mengkritik keras Bernstein. Dengan memberikan postulat bahwa “kapitalisme mampu beradaptasi dan bertahan dari keruntuhan”, Bernstein menolak kebutuhan historis akan sosialisme, sebagai kelanjutan dari sistem kapitalisme yang kolaps akibat kontradiksinya sendiri. Toh, kapitalisme bisa memperbaiki dirinya sendiri.
Maka konsekuensinya, sosialisme hanya sekedar “ide bagus” belaka. Dia bukan lagi suatu kebutuhan obyektif. Teori revisionis Bernstein menghilangkan dasar dialektis dan materialis dari Marxisme, dan oleh karenanya menentang sosialisme ilmiah. Dalam hal ini Bernstein mundur kembali ke arah utopianisme, ke ide-ide sosialis pra-Marxis. Sosialisme, sebagaimana kata Luxemburg, “menjadi apapun yang ingin Anda sebut sebagai sosialisme, tetapi bukan lagi hasil dari perkembangan material masyarakat.”
Apakah kapitalisme mampu “beradaptasi”?
Luxemburg menolak bahwa kapitalisme mampu beradaptasi dan menyelamatkan dirinya sendiri dari krisis dengan sejumlah sarana, yaitu melalui kredit, kartel dan “meluasnya moda jasa informasi dan komunikasi” (Poin yang ketiga ini tidak banyak dibahas oleh Luxemburg, mungkin karena tidak relevan). Sebaliknya, semua metode yang dipakai oleh kapitalisme untuk menyelamatkan dirinya sendiri justru berbalik memperdalam kondisi krisis.
Kapitalisme membutuhkan kredit sebagai pelumas. Secara jangka pendek, kredit menerobos batasan dalam pasar yang sudah ada, yang sudah kaku dan tak mampu lagi meninggikan tingkat profit. Melalui kredit, pasar dibuat kian fleksibel, membuka ruang lebih banyak bagi kaum kapitalis untuk berinvestasi. Namun fleksibilitas dalam pasar inilah yang membuka ruang spekulasi dan anarki dalam pasar menjadi tidak terkontrol. Kredit mempermudah terjadinya krisis dan membuat krisis yang ada semakin dalam. Bukannya menyelamatkan kapitalisme, kredit adalah sekop yang kapitalisme gunakan untuk mengubur dirinya sendiri.
Lihat saja sekarang, gunungan tingkat utang dunia hampir menyentuh 100% dari PDB dunia. Jumlah ini tertinggi selama 210 tahun terakhir. Siapa yang akan membayar utang-utang ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah kelas pekerja. Inilah mengapa semua negara di dunia melakukan penghematan dan memajaki kelas pekerja.
Begitu pula dengan asosiasi pengusaha atau kartel. Kartel bagi Bernstein dapat menghapuskan krisis dengan pengaturan-pengaturan dalam produksinya. Dengan persetujuan antar-pengusaha satu industri, mereka mampu menentukan harga, jumlah produksi, dan teknis-teknis lain agar suplai produksi tetap terkendali dan tidak berakibat krisis overproduksi. Mereka akan dengan sendirinya mengakhiri atau setidaknya mengontrol anarki dalam pasar.
Argumen Bernstein hancur ketika kita mulai mempertimbangkan pasar dunia, di luar batasan-batasan dalam pasar nasional. Kompetisi dalam negeri bisa diatur sedemikian rupa, tetapi kompetisi dunia malah semakin tajam antar kartel-kartel global. Rosa Luxemburg menjelaskan: “Mereka [kartel] menjual [barang dagangan] ke luar negeri dengan harga yang lebih murah daripada harga dalam negeri. Akibatnya adalah menajamnya persaingan di luar negeri – justru sangat berlawanan dengan apa yang diharapkan oleh sejumlah pihak tertentu.”
Tentunya dampak kartelisasi ini bisa kita lihat sekarang, dengan meningkatnya persaingan antar negara imperialis yang dimanifestasikan dalam perang, baik berupa perang dagang sampai perang bersenjata atau militer. Kartelisasi — dalam bahasa lain monopolisasi —berakibat kapitalisme masuk ke dalam tahapan tertingginya, yaitu imperialisme. Tentu saja ini juga memperdalam krisis kapitalisme, dengan meningkatnya ketegangan di antara kekuatan imperialis. Perang dan revolusi menjadi tak terhindarkan.
Serikat Buruh dan Koperasi
Jika kapitalisme mampu terus beradaptasi, lalu bagaimana dengan perjuangan menuju sosialisme? Bagi Bernstein dan kaum reformis, sosialisme dapat terwujud melalui kerja-kerja serikat buruh dan pembentukan koperasi-koperasi. Tetapi apakah benar mereka mampu mewujudkan sosialisme?
Memang benar melalui serikat, kaum buruh dapat mengupayakan kenaikan upah, dan oleh karenanya mengurangi tingkat profit yang diterima oleh kapitalis. Tetapi ini tidak menghilangkan sama sekali salah satu tujuan terpenting gerakan buruh revolusioner: mengakhiri kapitalisme. Kebalikannya: serikat buruh mempertahankan upah sebagai suatu kebenaran yang diterima mentah-mentah oleh buruh. Serikat buruh hanya dapat mampu memperjuangkan upah yang “lebih baik”. “Hukum upah tidaklah hancur, melainkan diterapkan oleh aktivitas serikat buruh,” begitu tulis Luxemburg.
Selain itu pula serikat buruh harus menghadapi perkembangan kapitalisme yang terus-menerus meningkatkan produktivitas lewat mesin dan mem-proletarianisasi lapisan kelas menengah atau borjuis-kecil. Artinya, nilai tenaga kerja atau upah yang diperjuangkan oleh serikat buruh akan semakin tertekan. Serikat buruh pun terjebak dalam perjuangan mirip Sisifus tokoh legenda Yunani Kuno, di mana serikat buruh terus berjuang untuk menaikkan upah, hingga akhirnya jatuh, lalu ia berjuang menaikkan upah lagi. Begitu terus tiada akhir.
Lalu bagaimana dengan koperasi? Apakah dengan buruh mempunyai usahanya sendiri yang dimiliki secara kolektif, alih-alih oleh segelintir pemilik saham, ia bisa mewujudkan sosialisme? Jawabannya tentu tidak. Ini karena sifat koperasi (produksi) yang, walaupun secara mikro memang berbentuk “sosialis”, tetapi dia harus berhadapan dengan kenyataan kompetisi dalam pasar, berseteru melawan perusahaan-perusahaan kapitalis konvensional.
Cepat atau lambat koperasi harus mengambil logika kapitalis agar dapat bersaing. Ini hampir tidak mungkin mengingat tingkat kedisiplinan perusahaan kapitalis – yang dilakukan melalui proses dari atas ke bawah secara birokratik atau absolutis – yang lebih tinggi. Ini fakta yang diakui Bernstein sendiri ketika ia mengomentari kegagalan koperasi produksi di Inggris akibat “kurang disiplin”-nya para pekerja. Namun kurang kedisiplinannya para pekerja bukan karena mereka malas, tetapi secara natural pekerja tidak mungkin menggunakan kekuatannya dalam koperasi untuk melawan dirinya sendiri. Hal ini tentu saja menghambat produktivitas koperasi dibanding perusahaan kapitalis konvensional, yang mengakibatkan mereka kalah saing.
Pentingnya Perjuangan Teoritis
Perjuangan teoritis Luxemburg melawan Bernstein bukanlah sekedar “debat sehat antar sejawat”. Ini bukan persoalan akademik yang hanya dibahas di ruang kuliah, steril dari perjuangan kelas nyata yang dilalui buruh sehari-hari. Ini persoalan fundamental agar gerakan buruh dapat menang dan mengakhiri kapitalisme. Tanpa perjuangan teori tidak ada gerakan revolusioner.
Inilah kenapa perjuangan teori begitu penting: ia merupakan kepentingan nyata gerakan buruh itu sendiri. Di saat-saat paling menentukan, ini adalah persoalan hidup dan mati kelas proletar.
Dalam gerakan buruh memang selalu ada kaum oportunis yang mencoba untuk mewujudkan kepentingan mereka secara sempit alih-alih mewujudkan transformasi sosial secara keseluruhan. Bahkan dari zaman Marx dan Engels sudah ada yang semacam ini, seperti tendensi Lassalean yang dikritik oleh Marx. Namun baru pada era Bernstein lah oportunisme memiliki landasan teoritis. Inilah kenapa Luxemburg begitu gencar melawan teori Bernstein. Bernstein adalah ancaman bagi gerakan, yang mampu membingungkan dan meninabobokan buruh dalam ilusi “demokrasi parlementer” negara borjuis.
Sekarang kita dihadapi situasi yang serupa tetapi tidak sama. Bernstein dilupakan oleh sejarah. Namanya tidak tercatat dalam memori perjuangan buruh, malah Luxemburg lah yang dikenang sebagai pejuang sosialis revolusioner sejati. Tidak ada orang sekarang yang mengaku “Bersteinis”. Namun, watak Bernstein masih ada dan menjamur dalam gerakan hari ini.
Kita yang mengikuti jejak pendahulu kita seperti Lenin, Trotsky, dan Luxemburg, harus dengan tabah dan pasti memperkaya diri kita dengan teori revolusioner, dengan tujuan untuk menyadarkan massa tentang tugas sejarahnya dan memenangkan revolusi. Membaca “Reformasi atau Revolusi” adalah langkah awal memahami esensi dari reformisme. Hanya dengan inilah kita dapat memastikan kemenangan bagi kelas buruh secara total dan permanen.