Serangan-serangan yang diluncurkan bertubi-tubi terhadap KPK baru-baru ini telah mengangkat kembali wacana pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertanyaan yang menghinggapi pikiran setiap orang: bagaimana cara terbaik memberantas korupsi? KPK sampai hari ini adalah metode terbaik yang ada dan paling efektif. Prestasinya sampai hari ini melebihi prestasi semua institusi hukum yang ada. Tidak heran bila ia mendapatkan dukungan masyarakat yang luas ketika berbagai pihak yang kepentingannya terusik oleh gebrakan KPK mulai menghantarkan serangan untuk melemahkan KPK.
Kendati demikian, terasa jelas kalau usaha yang dilakukan KPK ini masihlah seperti setetas air di lautan yang luas. Tak kurang dari 240 orang sudah dilempar ke balik jeruji lewat penyidikan KPK, tetapi semua orang tahu bahwa masih ada puluhan ribu pelaku KKN lainnya yang belum terjaring. Keberadaan KPK hanya menghukum pelaku korupsi tanpa menyentuh akar dari korupsi itu sendiri.
Para pakar ilmu sosial dan hukum sudah mengajukan 1001 solusi untuk memberantas korupsi, dari solusi-solusi administratif sampai solusi-solusi moralis. Namun seperti yang akan kita lihat nanti, solusi-solusi ini hanya menyentuh permukaan saja karena tidak didasarkan pemahaman yang tepat akan akar korupsi itu sendiri.
Korupsi hanya mungkin terjadi ketika ada segelintir orang yang memegang kekuasan ekonomi dan politik di atas masyarakat luas yang tak berdaya. Kita saksikan dengan jelas bagaimana korupsi itu biasanya dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan koridor kekuasaan. Kejahatan para koruptor itu berbeda dengan kejahatan maling ayam, karena kejahatan para koruptor terlindungi oleh kekuasaan politik dan ekonomi yang dimilikinya. Kejahatan maling ayam hanya terlindungi oleh berapa cepatnya ia bisa lari. Maka dari itu para koruptor bisa melakukan pencurian maha besar tanpa kekuatiran yang besar.
Korupsi itu setua masyarakat kelas itu sendiri. Ketika masyarakat terbagi menjadi kelas-kelas, yakni kelas yang berpunya dan kelas tidak berpunya – dari masyarakat perbudakan, masyarakat feodal, sampai masyarakat kapitalis hari ini – praktek korupsi pun lahir dan menjadi karakter dari kelas penguasa itu sendiri. Ketika manusia masih hidup dalam masyarakat tanpa kelas, ia belum jatuh dalam lembah dosa korupsi. Kalau kita perhatikan sejumlah masyarakat adat di Indonesia maupun di negara-negara lain — yang kehidupannya masih dekat dengan cara hidup leluhur mereka — tidak akan kita temui korupsi begitu mengakar dan merajalela di dalam tiap-tiap sendi kehidupan. Di tiap-tiap epos masyarakat, etika dan kebiasaan kelas penguasa selalu menjadi etika dan kebiasaan masyarakat luas. Inilah mengapa kita juga temui korupsi di hampir setiap lapisan masyarakat.
Mereka-mereka yang tidak memahami asal muasal korupsi, dan hari ini menemukan tabiat korupsi merajalela di setiap lapisan masyarakat, tidak bisa tidak lalu menyimpulkan kalau mental korupsi adalah sesuatu yang “ada sejak manusia ada [dan] secara potensial inheren ada pada tiap manusia” – begitu ujar seorang sosiolog terkemuka Indonesia, Mochtar Naim (Menghapus Korupsi, Kompas, 1/10/12). Bagi sang sosiolog, korupsi adalah tabiat dasar manusia sejak ia lahir dan bukan produk dari sistem kemasyarakatan. Maka dari itu, solusi mereka pun tidak menyentuh masalah kekuasaan ekonomi dan politik yang, seperti yang sudah saya kemukakan di atas, adalah basis riil dari korupsi itu sendiri. Solusi-solusi yang mereka tawarkan bersifat administratif (gaji yang lebih tinggi, perangkat hukum yang lebih baik, hukuman yang lebih berat, dll.) dan moralis (pendidikan etika, ceramah moral, pembentukan karakter pemimpin, dll.)
“Dikatakan agar jangan korupsi, tapi bagaimana kalau gajinya tidak cukup untuk menyekolahkan anak?” Keluhan Wakapolri Nanan Soekarna ini menjadi landasan pemikiran untuk pemberian gaji lebih tinggi sebagai upaya memberantas korupsi. Dengan gaji yang cukup, diharapkan aparat pemerintah tidak akan terdorong untuk korupsi. Akan tetapi solusi ini bertentangan dengan kenyataan bahwa justru para pejabat yang sudah bergaji tinggi-lah yang adalah koruptor kakap. Selain itu, berapa gaji yang cukup agar orang tidak korupsi? 5 juta, 10 juta, 20 juta? Juga sekolah apa yang cukup memadai bagi anak-anak para aparat pemerintah agar orangtuanya tidak melakukan korupsi? Sekolah negeri, sekolah swasta yang biasa-biasa saja, atau yang prestigious? Atau bahkan sekolah luar negeri?
Tanggapan dari Prof. Bambang Widodo Umar, seorang guru besar Universitas Indonesia, terhadap keluhan Wakapolri kita ini juga tidak kurang utopisnya. Dia tidak setuju dengan solusi gaji-lebih-tinggi dan menawarkan solusi moralis sebagai gantinya. Agar aparat tidak korup, maka diperlukan “jiwa sederhana, jujur, dan tulus mengabdi kepada masyarakat.” Dalam kata lain, seorang aparat itu korup karenanya punya mental korupsi, dan supaya tidak korup maka ia harus tidak punya mental korupsi – yakni harus sederhana, jujur, dan tulus. Pernyataannya tampak seperti sebuah solusi, tetapi ternyata hanyalah sebuah pernyataan ulangan — sebuah tautologi — yang tidak mengandung solusi sama sekali. Mungkin jiwa sederhana, tulus, dan jujur bisa dibangun lewat gereja dan masjid, lewat ceramah moral dan relijius, lewat kelas-kelas etika. Fakta sekali lagi membantah ini. Kita tidak kekurangan tempat ibadah dan pejabat-pejabat yang naik haji. Kementrian Agama kita juga terbukti sebagai sarang koruptor. Vatikan, yang dianggap sebagai tempat tersuci, ternyata juga penuh dengan noda-noda korupsi. “Saya telah melihat kejahatan dan korupsi merajalela di Gereja [Vatikan],” ujar mantan pelayan pribadi Paus Benedict, yang baru-baru ini menjadi sorotan dunia karena membeberkan praktek-praktek korupsi yang mengakar di Vatikan.
Bagaimana dengan hukuman mati terhadap koruptor yang belum lama ini bahkan difatwakan oleh Nahdlatul Ulama? Jatuh dalam kategori solusi hukuman-lebih-berat, solusi ini juga sudah terbukti gagal. Tiongkok, yang menghukum mati para koruptor, ternyata masih merupakan salah satu negara terkorup di dunia. Tentunya tidak sedikit masyarakat yang akan merasa sangat puas bila para koruptor Indonesia dihukum lebih berat, sampai pada hukuman mati. Akan tetapi memuaskan kegeraman rakyat tidak akan menyelesaikan akar korupsi. Secara umum, hukuman berat untuk memberantas kejahatan hanya menjerat orang-orang kecil karena mereka tidak punya akses ke koridor kekuasaan. Di Amerika Serikat, hukum anti-narkoba memenjarakan lebih banyak rakyat miskin — kebanyakan orang hitam dan hispanik — tetapi meloloskan bos-bos mafia narkoba yang punya uang dan koneksi politik. Sementara para pengguna dan pengedar kecil diberikan hukuman puluhan tahun sampai dengan seumur hidup, para bankir yang menyebabkan krisis finansial 2008 hanya diberikan hukuman ringan.
Dihadapi oleh fakta kegagalan dari tiap-tiap solusi administratif dan moralis yang mereka tawarkan, para pakar ilmu sosial dan hukum akan mengelak dan mengatakan: “Tidak ada satu solusi manjur. Kita harus menggabungkan berbagai macam solusi dan menyerang korupsi dari berbagai sudut.” Mereka berharap kalau semua solusi ini dilempar ke dalam sebuah topi maka seekor kelinci akan melompat keluar darinya. Namun sang kelinci putih tak kunjung melompat keluar.
Namun kita tidak bisa menutup mata kita terhadap rendahnya tingkat korupsi di negara-negara Barat yang maju. AS dan Eropa adalah model bagi banyak penggiat anti-korupsi: ada kepastian hukum, ada perangkat hukum yang kompeten dan bisa dipercaya, para pejabat bermental anti-korupsi, budaya korupsi tidak mengakar di dalam masyarakat, dll. Akan tetapi, pertanyaan yang sering dilupakan oleh banyak orang adalah: bagaimana AS dan Eropa bisa menjadi bebas korupsi seperti sekarang ini? Apakah hanya karena political will dari segelintir pemangku kekuasaan, atau ada kekuatan sosial yang mendorongnya? AS dan Eropa tidak selalu bebas korupsi. Di masa lalu korupsi, kolusi, dan nepotisme juga mengakar di sistem pemerintahan mereka. Sebelum kita menjawab pertanyaan ini, harus kita tekankan bahwa negara-negara kapitalis maju tidak sesungguhnya bebas korupsi. Hanya saja praktek korupsi mereka lebih “anggun”, lebih “terpelajar”, lebih “beradab” dan lebih “legal”. Korupsi di negara-negara maju dilakukan dengan begitu “halus”nya sehingga tidak terlihat sebagai praktek korupsi sama sekali. Inilah korupsi yang paling canggih, yakni korupsi yang tidak kelihatan seperti korupsi sama sekali. Ini tidak seperti korupsi di negara-negara terbelakang yang sungguh tidak tahu malu dan dilakukan begitu vulgar. Seperti barang-barang produk Indonesia yang kasar dan rendah kualitasnya dibandingkan produk-produk “Made in USA”, begitu juga korupsi di Indonesia dibandingkan dengan korupsi di AS. Selain itu, praktek korupsi di negara-negara maju juga berskala lebih besar. Misalnya, kasus LIBOR belum lama ini, dimana para bankir melakukan kolusi dalam mempermainkan nilai suku bunga yang mempengaruhi pasar kredit, hutang korporasi, dan derivative yang bernilai ratusan trilyun dolar AS.
Walau secara fundamental di negara-negara maju korupsi masihlah inheren, kita tidak bisa menyangkal kalau korupsi di Indonesia itu jauh lebih parah tingkatannya. Di setiap level dan institusi pemerintah, dari ketua RT hingga Presiden, semua terimplikasikan dalam praktek korupsi. Seperti yang telah saya nyatakan di atas, bahwa korupsi adalah akibat dari kekuasaan politik dan ekonomi yang ada di tangan segelintir orang, yang berdiri di atas masyarakat luas. Korupsi adalah karakter inheren dari sebuah masyarakat kelas.
Di masyarakat kapitalis, kita temui dua kelas utama: kelas buruh dan kelas kapitalis. Kaum kapitalis memiliki Negara dengan aparat-aparatnya, yang digunakan untuk menjaga kepemilikan pribadinya atas alat-alat produksi, yang merupakan sumber utama kekuasaannya. Negara digunakan oleh kaum kapitalis sebagai alat pukulnya, yang setiap saat siap digunakan untuk merepresi rakyat pekerja yang melawan dan menjaga ketertiban sosial demi profit mereka. Dengan menggunakan aparatus-aparatus Negara — tentara, polisi, hakim, jaksa, gubernur, anggota parlemen, dll. — kaum kapitalis melanggengkan eksploitasi buruh di pabrik-pabriknya dan kekuasaannya di atas masyarakat. Kalau ada buruh yang melakukan demo menuntut gaji lebih tinggi, para pemilik pabrik lalu menyuap polisi agar datang untuk membubarkan demo. Jaksa dan hakim — yang sudah disuap oleh para bos dan sering berpesta bersama — menjatuhi hukuman penjara pada para pemimpin buruh dengan berbagai tuduhan yang mengada-ada. Kalau ada pengusaha yang dibawa ke pengadilan oleh masyarakat, polisi sampai hakim sudah dibeli sehingga pengusaha pun bebas dari tuntutan. Serikat-serikat buruh diberangus dengan berbagai trik-trik ilegal dan “legal”. Petinggi-petinggi pemerintah berkolusi dengan para pemilik modal untuk menjaga profit mereka. Inilah potret kenyataan di AS dan Eropa 100 tahun yang lalu, yang tidak berbeda dengan Indonesia hari ini. Untuk memperjuangkan kepentingan kelas mereka, buruh lalu melakukan perlawanan menuntut agar ada keadilan dan kepastian hukum, ada transparansi di dalam pemerintahan, ada check and balance (pertanggungjawaban). Mereka mogok dan demo tidak hanya untuk tuntutan ekonomi, tetapi juga untuk tuntutan keadilan hukum dan transparansi dalam pemerintahan. Lewat partai buruh, mereka memperjuangkan hukum-hukum anti-KKN. Semua ini agar alat-alat Negara tidak digunakan secara sembarangan oleh kaum kapitalis untuk menindas mereka. Perjuangan semacam inilah yang memungkinkan sistem pemerintahan yang relatif bersih, transparan, dan prosedural di negara-negara maju. Hanya tekanan sosial dan politik dari kelas buruh yang berhasil menciptakan pemerintahan yang relatif bersih
Kata kunci di sini yang harus terus kita ingat adalah “relatif”, karena yang dimenangkan oleh buruh adalah reforma-reforma. Korupsi masihlah inheren di negara-negara maju ini tetapi tidak merajalela dan sewenang-wenang seperti dulu. Pemerintahan yang relatif bersih korupsi masihlah pemerintahan yang melayani kepentingan kelas yang berkuasa dengan praktek korupsi yang lebih “halus”. Seperti halnya buruh memenangkan kenaikan gaji, ini hanyalah reforma karena bentuk penindasan dasar – yakni kerja upahan – masih eksis.
Dari sini kita bisa melihat bahwa perjuangan melawan korupsi erat dengan perjuangan melawan kesewenang-wenangan kaum penguasa. Korupsi, sebagai karakter dari masyarakat kelas, hanya bisa dilawan secara serius dengan perjuangan kelas. Buruh, yang awalnya berjuang untuk hak-hak normatif, akan menemui hambatan dari praktek KKN antara kapitalis dan birokrat negara. Walau sudah ada undang-undang yang katanya melindungi hak buruh, ternyata UU tersebut impoten di hadapan suap yang diberikan oleh pengusaha kepada orang-orang Kemenaker, jaksa, dan hakim. Begitu juga dengan undang-undang lainnya. Buruh akan menemui bahwa semua aparat dan semua hukum bisa dibeli oleh kaum berpunya, dan oleh karenanya mereka juga harus berjuang untuk pemerintahan yang relatif bersih sehingga setidaknya memberikan mereka keuntungan lebih dalam memperjuangkan tuntutan-tuntutan mereka. Pemerintahan yang relatif bersih, transparan, dan bertanggungjawab setidaknya akan memberikan medan perang yang lebih mudah bagi perjuangan buruh.
Korupsi lahir karena terpecahnya masyarakat menjadi kelas-kelas, yakni satu kelas berkuasa di atas kelas yang lain. Dari kenyataan ini maka korupsi hanya bisa dihilangkan dari muka bumi bila sudah tidak ada lagi kelas-kelas di dalam masyarakat. Kebijakan-kebijakan administratif dan moralis tidak akan efektif dalam memberantas korupsi selama sistem masyarakat kita menaruh satu kelas di atas kelas yang lain. Penyelesaian masalah korupsi oleh karenanya harus menyentuh masalah kekuasaan ekonomi dan politik, masalah perebutan mereka dari segelintir kaum kapitalis. Ini menaruh kelas buruh di depan sebagai satu-satunya kelas yang bisa merebut kekuasan kaum kapitalis dan oleh karenanya menyelesaikan masalah korupsi.