Jutaan orang, tidak hanya di Prancis tetapi juga di seluruh Uni Eropa, bersorak-sorai setelah mendengar pengumuman hasil pemilu. Blok kanan-ekstrem National Rally (RN) yang sebelumnya diperkirakan akan memenangkan mayoritas ternyata tersungkur.
Sehari setelah putaran pertama di mana RN jauh unggul di depan, kepemimpinan RN merasa sangat percaya diri dan segera mempersiapkan pemerintahan mereka. Nama-nama menteri sudah dibocorkan ke media. Botol-botol champagne telah dijajar rapi untuk perayaan kemenangan mereka. Tetapi, hasil putaran kedua menghancurkan semua mimpi mereka. RN tersungkur ke urutan ke-3. Jutaan rakyat menghelakan napas mereka. Media mainstream dan pengamat politik liberal memanjatkan syukur kepada Tuhan karena doa mereka terkabul.
Namun perayaan ini terlalu tergesa-gesa. Bila kita periksa hasil pemilu dengan lebih dekat, yang ada adalah gambaran yang jauh dari berbunga-bunga. Masa depan yang terungkap justru adalah menjadi masa depan penuh krisis.
Runtuhnya Tengah
Politik tengah Prancis – yang diwakili oleh Emmanuel Macron – tengah runtuh dengan kecepatan yang luar biasa. Partainya, Ensemble pour la Republique, kehilangan 86 kursi, anjlok dari 245 kursi (42%) yang diperolehnya 2 tahun yang lalu menjadi 159 kursi (28%). Ini bukan gambaran kemenangan, melainkan kekalahan telak. Tidak hanya itu. Walaupun perolehan kursi blok RN lebih sedikit, 142 kursi, tetapi jumlah pemilihnya jauh melampaui partai Macron: 10,1 juta (33%) versus 6,7 juta (21%).
Sementara, walaupun RN tidak memperoleh mayoritas yang diperlukan untuk membentuk pemerintah, mereka de fakto adalah pemenang pemilu. Jumlah suara mereka meningkat 3 kali lipat hanya dalam 2 tahun: dari 3,5 juta pada 2022 menjadi 10,1 juta. RN menduduki peringkat pertama dalam perolehan suara meskipun jumlah kursi mereka di urutan ke-3. Pada kenyataannya, perolehan suara RN telah meningkat dari tahun ke tahun semenjak krisis finansial 2008, yang di seluruh dunia menandai berakhirnya kestabilan politik dan semakin menajamnya polarisasi politik ke kanan dan ke kiri.
Di spektrum yang lain adalah polarisasi ke kiri, yang ditandai dengan kemunculan partai kiri-radikal La France Insoumise (LFI). Dipimpin oleh Jean-Luc Mélenchon, LFI memperoleh 74 kursi. Sebagai bagian dari blok kiri New Popular Front (NFP) yang meraih total 184 kursi, FI meraup kursi terbanyak. Partai Sosialis meraih 59 kursi, Partai Hijau 28 kursi, Partai Komunis Prancis 9 kursi, dan partai-partai kecil yang lainnya 12 kursi. NFP dalam pemilu ini tampil sebagai pemenang, tetapi ini pun adalah kemenangan yang lemah.
Tidak ada satupun yang meraih mayoritas. Di Kiri, NFP dengan 184 kursi; di Tengah Macron dengan 159 kursi, dan di Kanan RN dengan 142 kursi. Ini berarti parlemen ini akan tergantung di udara. Pemilu ini tidak menyelesaikan krisis politik Prancis, tetapi membukanya ke fase yang baru, yang akan menjadi lebih tajam dan penuh gejolak di hari-hari depan.
Polarisasi ke Kanan dan Kiri
Kubu kanan-ekstrem bisa meraih begitu banyak suara bukanlah karena rakyat Prancis itu rasis, bigot, anti-imigran, dan reaksioner. Anggapan ini keliru. Ini penjelasan yang tidak menjelaskan apapun. Katakanlah ini benar, maka kita harus menjawab pertanyaan ini: mengapa 10 juta yang hari ini memilih RN tidak memilih RN 10 atau 15 tahun yang lalu? Apa yang membuat mereka tiba-tiba menjadi bigot hari ini? Apa yang unik dengan periode 10-15 tahun terakhir? Yang berlangsung selama 10-15 tahun terakhir adalah semakin busuknya kapitalisme, yang membuat semakin banyak orang mempertanyakan dan menentang status-quo.
Para demagog populis-kanan seperti Le Pen dapat memenangkan jutaan suara rakyat karena mereka dilihat sebagai partai anti-kemapanan, partai anti-status quo. Dengan krisis kapitalisme yang begitu dalam, semua politisi status quo yang lama telah terdiskreditkan, termasuk partai-partai kiri tradisional seperti Partai Sosialis (PS) dan Partai Komunis Prancis (PCF). Kedua partai ini, yang merupakan partai reformis, telah kehilangan otoritasnya di antara rakyat jelata karena berkali-kali mereka justru menjadi bagian dari tatanan yang ada dan membelanya. Demikianlah karakter inheren dari kaum reformis. Di tengah krisis kapitalisme, kaum reformis justru bersikeras ingin menyelamatkannya, dan dengan demikian menjadi pelayan status-quo.
Tanpa adanya alternatif dari “kiri”, yang dilihat oleh rakyat sama busuknya seperti status-quo, rakyat mencoba partai lainnya yang di mata mereka tidak datang dari koridor kekuasaan yang amis itu. Di sinilah RN mengisi kevakuman tersebut.
RN memobilisasi selapisan rakyat pekerja yang paling terbelakang dengan retorika anti-imigran, yang menjadikan imigran kambing hitam untuk krisis kapitalisme. Tetapi mayoritas pemilih RN tidak memilih RN karena kebijakan anti-imigran mereka, tetapi semata karena RN bukanlah partai status-quo. RN selalu berdiri sebagai oposisi, tanpa pernah memasuki koalisi dengan pemerintahan yang berkuasa. Rakyat sudah muak memilih partai-partai status-quo lama yang berulang kali ingkar janji. Mereka berpikir: lebih baik memilih “kuda hitam”, yang mungkin saja akan membawa perubahan. Dengan demikian, keresahan mendalam dalam masyarakat Prancis menemukan ekspresinya yang terdistorsi lewat partai kanan-ekstrem. Ini tidak berbeda jauh dengan kebangkitan Trump di AS.
Tetapi secara fundamental, partai kanan-ekstrem ini adalah partai yang melayani kapitalis. Le Pen berdiri untuk program pro-kapitalis yang sama seperti Macron, namun dia bungkus dengan demagogi anti-kemapanan. Kaum kapitalis tidak terlalu antusias dengan Le Pen karena mereka khawatir Le Pen justru akan memperburuk situasi yang ada. Mereka membutuhkan politisi terhormat yang diplomatik. Tetapi bila situasi semakin memburuk, dan kaum kiri radikal seperti Mélenchon dan LFI semakin dekat ke tampuk kekuasaan, kaum kapitalis akan lebih memilih kaum kanan-ekstrem.
Partai kiri radikal seperti LFI juga berhasil menjadi ekspresi keresahan rakyat dan meraup suara besar. Akan tetapi, masih cukup banyak rakyat yang melihat LFI tidak berbeda jauh dengan partai reformis status-quo lainnya (PS dan PCF). Ini terutama terpampang dalam pemilu sekarang di mana LFI membentuk koalisi dengan PS dan PCF, dan juga membuat kesepakatan elektoral dengan Macron, yang disebut “Republican Front against the extreme right” (Front Republiken melawan Kanan Ekstrem). Dalam kesepakatan elektoral ini, yang pada dasarnya adalah kebijakan kolaborasi kelas, LFI (dan koalisi kiri NFP) menarik mundur sejumlah kandidatnya di dapil-dapil tertentu untuk menjamin kemenangan kandidat Macron.
Kaum revolusioner mengutuk keras kolaborasi kelas ini, yang sebenarnya lebih menguntungkan Macron. LFI dan Mélenchon seharusnya menggunakan pemilu ini untuk menyerang tanpa belas kasihan semua partai kapitalis yang ada, baik Macron maupun Le Pen.
Di mata selapisan rakyat, kesepakatan seperti ini menodai kemandirian politik LFI yang dilihat berkongkalikong dengan Macron yang dibenci itu. Le Pen dapat dengan mudah mengutuk “Front Republiken” sebagai manuver pro-status-quo dan dengan demikian memperkuat citra anti status-quo mereka.
Selama kampanye, Mélenchon menyatakan: “Pemilu ini adalah antara mereka [RN] atau kami [NFP]! Tidak ada yang di tengah.” Namun ini bertolak belakang dengan seruan Mélenchon kepada sejumlah kandidat LFI untuk mundur guna memenangkan “tengah”.
Bila kita melihat hasil pemilu, polarisasi ke arah kiri ini tampaknya lebih kecil dibandingkan ke arah kanan. Namun hasil pemilu hanyalah satu potret saja dari perkembangan kesadaran kelas, dan potret yang agak buram pula. Kita harus melihat proses yang telah berlangsung secara keseluruhan selama dekade terakhir, dengan serangkaian aksi massa buruh dan pemuda yang telah mengguncang Prancis. Sebut saja Gerakan Rompi Kuning pada 2018, gelombang pemogokan melawan reforma pensiun pada 2023, protes kaum muda melawan brutalitas polisi pada musim panas 2023, dst. Ada radikalisasi di antara kaum muda yang semakin bergerak ke arah revolusi. Kaum “Kiri” dan liberal yang selalu mengeluh mengenai bangkitnya fasisme tidak pernah melihat ini. Mereka buta, atau lebih tepatnya sengaja menutup mata mereka pada kapasitas revolusioner kelas pekerja.
Pemerintahan krisis
Walaupun NFP menang, dan LFI sebagai sayap kirinya NFP adalah pemegang kursi terbesar, koalisi NFP ada dalam posisi sulit untuk bisa memenuhi program-programnya (kenaikan upah minimum, membatalkan reforma pensiun Macron, kontrol harga untuk kebutuhan pokok, dll.) Pasalnya, para pemimpin sayap-kanan NFP seperti Partai Sosialis dan Partai Hijau sudah menyatakan kesediaan mereka untuk mencampakkan program NFP guna membentuk koalisi dengan partai Macron. Politik dagang sapi tengah berlangsung di belakang layar, dan LFI harus menjauhinya bila mereka ingin memenangkan kepercayaan rakyat yang sudah muak dengan semua manuver politik borjuis yang kotor itu. LFI harus menjaga kemandirian kelas mereka dan menegakkan dirinya sebagai partai anti-kemapanan yang sejati.
Siapapun yang nantinya akan memerintah, borjuasi akan menekan pemerintahan tersebut untuk menjadi pemerintahan yang “bertanggung jawab”, dalam kata lain, meluncurkan kebijakan penghematan dan pemangkasan yang menyerang kelas buruh. LFI tidak boleh menjadi bagian dari pemerintahan seperti itu atau mereka akan terdiskreditkan.
Periode krisis yang lebih dalam tengah menanti Prancis. Krisis kapitalisme Prancis tidak akan bisa diselesaikan di arena elektoral, tetapi akan diselesaikan di jalanan dengan kekuatan mobilisasi aksi massa buruh dan pemuda. Hanya mobilisasi aksi revolusioner massa yang bisa memastikan bahkan terpenuhinya program NFP yang terbatas itu. Dan rakyat pekerja akan cepat belajar, bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan penghematan, menghapus pengangguran, melawan inflasi, menangani krisis biaya hidup dan beragam problem sehari-hari yang mereka hadapi adalah dengan mengekspropriasi kapitalis. Hanya dengan meluncurkan perjuangan yang gigih untuk mengakhiri kapitalisme maka kelas buruh Prancis dapat menghentikan pembusukan masyarakat dan kebangkitan National Rally.