Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja menghapus Presidential Threshold atau syarat ambang batas 20 persen bagi partai-partai politik peserta pemilu yang akan mencalonkan presiden dan wakil presiden. Aturan baru ini dipuji kaum liberal membuat demokrasi semakin membaik karena memberikan ruang persaingan politik. Tetapi kita patut bertanya, demokrasi membaik bagi siapa? Untuk kelas yang mana?
Aturan baru ini mengubah medan pilpres yang selama ini didominasi partai-partai besar. Sekilas keputusan ini tidak mewakili kepentingan tertentu dan memberikan kesempatan bagi partai-partai kecil berlaga. Tetapi perubahan ini mencerminkan pergeseran kekuatan partai-partai yang berkuasa.
Lebih dari 20 tahun presedential threshold ini berdiri. Beberapa kali digugat tetapi gagal. Tetapi kali ini presidetial threshold dibatalkan MK. Dari pemilu ke pemilu presidential threshold selalu berubah dan mencerminkan siapa dan dari partai mana mereka berkuasa.
Pada Pemilu 2004, untuk pertama kalinya presidential threshold dirumuskan sebagai undang-undang dan digunakan oleh PDIP yang saat itu berkuasa untuk melegitimasi kekuasaannya dan mencegah partai-partai kecil lain berkontestasi dalam pilpres. Saat itu ambang batas pencalonan pilpres adalah minimal 15 persen kursi DPR atau 20 persen suara sah nasional. Tetapi berubah lagi pada Pemilu 2009, ketika PDIP mulai merasakan ada kompetitor dari Partai Demokrat yang mencalonkan Susilo Bambang Yudhoyono.
Sekarang ketika PDIP telah kehilangan posisi dominan dalam politik, aturan juga ikut berubah. Koalisi Indonesia Maju (KIM) telah menggeser PDIP dengan mengeksploitasi skandal-skandal korupsi. Partai-partai kecil yang berhimpun di KIM sekarang diuntungkan oleh keputusan MK. Di pemilu berikutnya mereka memiliki kemungkinan berlaga tanpa harus berkoalisi. Mereka lebih ‘bebas’ dengan aturan ini. Mereka dapat memilih calon-calon yang memiliki coat-tail-effect atau efek ekor jas, yang merujuk pada ketokohan calon yang akan diusung. Ini juga memberi kesempatan bagi dinasti Jokowi melanjutkan kronisme mereka melalui Partai Solidaritas Indonesia.
Dengan keputusan MK ini, pemilu selanjutnya akan lebih cair dan lebih banyak kandidat. Pemilu bisa berlangsung dua atau lebih putaran. Meskipun menurut kaum liberal kita, pemilu ini ‘lebih terbuka dan sehat’, politik transaksional dan dagang sapi tidak dapat dihindari.
Ketika pemilu berlangsung dua putaran lebih, maka akan ada pengelompokan partai-partai yang akan membuat pemilu ini benar-benar pragmatis dan transaksional, meskipun tidak dalam bentuk ‘koalisi’ resmi. Berapa banyaknya capres dari parpol-parpol yang ada tidak akan dapat mengubah hakikat pemilu sebenarnya, yakni memilih wakil penindas mana yang akan berkuasa selama 5 tahun ke depan. Ini juga tidak akan mengubah watak demokrasi borjuis, di mana hanya mereka yang kaya dan berkuasa yang dapat mengakses demokrasi ini.
Yang dibutuhkan rakyat hari ini bukan lebih banyak capres atau caleg dari parpol-parpol borjuis yang ada. Yang dibutuhkan adalah partai kelas buruh yang sejati, yang memiliki program sosialis untuk mengakhiri kapitalisme. Partai ini akan menjunjung tinggi kemandirian kelas mereka, bukan yang belum apa-apa sudah menggadaikan kemandirian kelas mereka dengan bergandengan tangan dengan parpol-parpol kelas penguasa.
Skandal-skandal korupsi terus menggerus legitimasi parpol di mata rakyat. Dengan menghapus presidential threshold mereka ingin membuat demokrasi borjuis menarik kembali di mata rakyat pekerja. Tetapi demokrasi borjuis sedang mengalami krisis. Krisis demokrasi borjuis adalah cerminan krisis kapitalisme. Kaum liberal bersusah payah membangun reputasi demokrasi borjuis yang krisis. Meskipun kaum liberal tengah berusaha memberi ilusi bahwa ada demokrasi ‘sehat dan terbuka’, usaha mereka tidak akan mencegah krisis ini berlanjut. Mereka akan terlempar ke tong sampah sejarah. Dengan keputusan MK yang terbaru mereka dapat tertawa untuk sementara, tetapi mereka akan kecewa. Kita kaum revolusioner hanya akan menertawakan mereka.