Di masa lampau umat manusia kerap mengalami minimnya ketersediaan pangan. Ini adalah sebuah keadaan yang umumnya disebabkan oleh bencana alam berujung gagal panen serta rendahnya produktivitas akibat teknik pertanian yang masih terbelakang; dengan kata lain produksi pangan sangat bergantung pada kondisi alam sehingga berujung terjadinya bencana kelaparan. Namun di epos hari ini, sejak kapitalisme lahir hingga masa uzurnya kini, masyarakat telah memiliki kekuatan produksi di level yang sangat tinggi. Ini ditandai dari lahirnya berbagai teknologi modern yang canggih yang telah mengubah wajah pertanian. Namun ironisnya, keadaan di kutub yang lain berbanding terbalik dengan capaian-capaian megah tersebut. Faktanya masih ada sebagian umat manusia yang menderita kelaparan. Sebuah momok dari masa lalu yang seharusnya telah terselesaikan terus menunjukkan dirinya.
Tiga tahun terakhir angka kelaparan dunia terus mengalami tren peningkatan yang pesat. Sebanyak 828 juta orang terkena dampak kelaparan pada tahun 2021. Angka tersebut bertambah 45 juta dari tahun sebelumnya, yaitu 783 juta orang dan 150 juta lebih banyak dari angka tahun 2019 yaitu 678 juta orang. Apabila dihitung dengan cakupan lebih luas, sekitar 2,3 miliar orang di dunia (29,3 persen populasi dunia) mengalami kerawanan pangan tingkat sedang dan parah pada tahun 2021.
Di tahun 2022, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB menyebut angka kerawanan pangan yang akut terus mengalami peningkatan di 45 negara. Sekitar 45 juta orang di 37 negara diperkirakan memiliki makanan yang sangat sedikit. Sebagian terancam akan mengalami kekurangan gizi dengan risiko kematian. Angka di atas juga telah mencakupi korban yang sudah menghadapi kelaparan dan kematian. Oxfam menyebut 1 orang di dunia diperkirakan meninggal setiap 4 detik akibat kelaparan. Ada pula proyeksi yang suram dari PBB di masa yang akan datang. Lembaga ini mengatakan bahwa 8% dari populasi dunia masih akan menghadapi kelaparan hingga tahun 2030. Sekalipun ekonomi dunia mengalami pemulihan dalam 1 dekade ke depan, sebanyak 50 juta orang akan memulai tahun 2023 di ambang kelaparan.
Inilah fakta mengerikan yang terpampang jelas di depan mata kita. Namun seribu sayang, di bawah logika kapitalisme hal ini bukanlah variabel input yang dipertimbangkan dalam agenda memperoleh laba sebanyak-banyaknya.
Banyak anggapan bahwa permasalahan kelaparan hanya datang dari negara-negara miskin. Namun kenyataannya tidak demikian. Permasalahan ini juga terus mengusik rakyat pekerja di negara-negara maju. Salah satu contohnya seperti Amerika dengan angka 1 dari 10 orang mengalami kesulitan untuk mendapatkan makanan yang cukup. Begitu pula Inggris: 1 juta anak hidup di bawah rumah tangga yang mengalami kekurangan makanan.
Kelaparan di atas keberlimpahan pangan
Sejak 2009 PBB sendiri telah mengumumkan, atas dasar pencapaian level teknik dan teknologi abad ini, dunia telah mampu memproduksi pangan mencapai surplus 50% dari jumlah kebutuhan pangan seluruh populasi manusia seisi bumi. Tingkat produksi pangan ini bahkan digadang-gadang dapat memenuhi kebutuhan pangan 10 miliar orang. Misalnya produksi komoditas sereal di tahun 2022 yang telah mencapai 2,8 miliar metrik ton yang berarti setara dengan 1 kilogram per orang per hari. Ini adalah rekor produksi tertinggi sepanjang sejarah. Dengan jumlah tersebut sudah cukup untuk memberi makan dua kali lipat dari seluruh populasi penduduk dunia saat ini.
Tidak hanya itu, sebuah laporan terbaru mengatakan sepertiga dari pangan yang diproduksi secara global (setara 1,3 milyar ton) terbuang sia-sia setiap tahun. Sekitar 75% bahan pangan terbuang sebelum mencapai tangan konsumen. Sebanyak 35% dari makanan yang tersedia dibuang begitu saja oleh supermarket, toko, dan juga rumah tangga. Sebagian besar masih layak untuk dikonsumsi.
Gambaran tersebut menunjukkan perbedaan situasi masyarakat hari ini dengan masa lampau yang serba kekurangan. Seturut dengan bekal level teknik dan teknologi modern, kekurangan pangan bukan lagi tantangan masyarakat dunia saat ini. Yang jadi problem adalah aksesibilitas terhadap pangan yang dihalangi oleh sistem yang lebih mengutamakan profit dibandingkan penderitaan orang-orang yang sedang kelaparan. Alih-alih efisien, produksi dan distribusi pangan di bawah kapitalisme yang mengandalkan mekanisme pasar terbukti menjadi penghambat penyelesaian masalah kemanusiaan yang ada.
Kekurangan biaya penanganan bencana kelaparan
Pada tahun 2022, dalam sebuah surat terbuka yang berjudul “Surat Terbuka dan Rekomendasi Kebijakan kepada Negara Anggota PBB tentang krisis kelaparan global”, 238 LSM di dunia menekankan kurangnya pendanaan penanganan bencana kelaparan. Mereka menyerukan penguasa di setiap negara segera mengucurkan anggaran yang dibutuhkan.
Di tahun 2021, Davied Beasley direktur eksekutif Program Pangan Dunia-PBB, mengeluhkan hal yang sama dalam sebuah wawancaranya dengan salah satu media. Mereka sedang kehabisan dana untuk menjangkau 42 juta orang yang sedang mengalami kondisi kelaparan yang paling akut. Biaya yang dibutuhkan pada saat itu adalah US$ 6 miliar. Melalui media sosialnya, Beasley lantas mencoba mengemis kepada Elon Musk lantaran angka biaya ini hanya 2% dari kekayaan Musk di tahun tersebut. Upaya tersebut mendapatkan tanggapan sinis dari Musk yang mempertanyakan transparansi seluruh penggunaan anggaran bantuan kemanusiaan. Dalam melakukan ini, Beasley secara tidak sengaja mengekspos fakta bahwa dunia ini memiliki kekayaan yang cukup untuk mengatasi kelaparan dunia, hanya saja kekayaan ini ada di tangan segelintir orang. Di tahun 2021 para miliarder di dunia memperoleh keuntungan sebanyak $4 triliun. Seandainya para miliarder ini memberikan 0,15% dari keuntungan tersebut, pastinya dapat mencegah orang mati karena kelaparan. Apabila ditingkatkan lagi menjadi 3% dari angka keuntungan tersebut, tentu dipastikan bahwa 828 juta orang kelaparan telah cukup makan. Menurut laporan Oxfam, keuntungan perusahaan-perusahaan bahan bakar fosil selama 18 hari, telah memenuhi permintaan PBB sebesar $49 miliar untuk bantuan kemanusiaan di tahun 2022.
Dana pembiayaan program-program bantuan yang sering dikumpulkan oleh PBB maupun LSM, bersumber dari sumbangsih sukarela pemerintah negara-negara kaya maupun swasta. Namun akibat pandemi dan berlanjut perang Ukraina-Rusia, saat ini kapitalisme sedang mengalami krisis terdalamnya. Bayang-bayang resesi tahun ini berulang kali telah diperingatkan. Situasi ini telah memukul kondisi keuangan setiap negara maupun juga perusahaan-perusahaan yang ada dan memaksa perampingan pengeluaran, termasuk dihapusnya biaya bantuan kemanusiaan. Jikalau pun tetap dipertahankan, alokasi anggarannya dipastikan tidak signifikan.
Biaya menghapus kelaparan sebenarnya hanya secuil kuku dari kekayaan para miliarder yang ditimbun dari pencurian nilai lebih terhadap kelas pekerja. Terkadang kita menyaksikan adanya aksi filantropi yang dilakukan oleh kaum kaya atas dasar proposal yang diajukan oleh orang-orang seperti Beasley. Kita mungkin saja bisa merasa lega karena masalah kemanusiaan di masa tertentu anggaplah tertangani. Namun melalui filantropi, teratasinya bencana kelaparan hanya bersifat temporer. Di kemudian hari permasalahan yang sama akan tetap lahir kembali. Ini karena filantropi tidaklah menyentuh akar masalah pangan, yakni sistem ekonomi kapitalisme yang menimbun kekayaan di satu kutub dan kesengsaraan di kutub lain. Sistem ekonomi pasar yang bermotif profit kapitalis terbukti tidak efektif dalam memastikan kemakmuran seluruh rakyat dunia. Belum lagi kerusakan lingkungan dan krisis iklim yang disebabkan oleh produksi kapitalis yang mementingkan profit di atas kelangsungan lingkungan hidup.
Reaksi dan tindakan naif
Banyak elemen masyarakat yang bereaksi terhadap kondisi darurat ini. Terlihat salah satu yang paling lantang menyuarakan perihal ini adalah 238 LSM yang telah disebut di atas. Melalui surat terbukanya, kelompok ini mengatakan: “Masyarakat internasional dan pemerintah nasional gagal memenuhi tugas mereka dan telah memprioritaskan kepentingan politik dan ekonomi di atas kesejahteraan anak, keluarga, dan masyarakat yang paling rentan di dunia.”
Dari pernyataan ini terdapat sebuah kekeliruan yang sangat mendasar. Kelompok LSM ini telah memisahkan bencana kelaparan dengan perihal ekonomi-politik – yakni kapitalisme – yang sejatinya merupakan akar semua permasalahan kemanusiaan. Mereka tidak bertanya, “kepentingan politik dan ekonomi” kelas mana yang diprioritaskan pemerintah? Setiap kebijakan ekonomi pemerintah saat ini selalu mengandung kepentingan akumulasi modalnya kelas kapitalis. Sehingga sedarurat apapun situasinya, perhitungan untung rugi korporasi adalah nomor satu dalam setiap keputusan pemerintah. Watak akumulasi modal dalam setiap kebijakan politik ini bahkan juga memberi peluang untuk memanfaatkan situasi darurat sekalipun demi meraup keuntungan. Dalam kerangka logika kapital, memberi makan kepada jutaan orang lapar secara cuma-cuma adalah tindakan yang merugikan. Terbukti supermarket ataupun toko makanan, lebih memilih membuang produk makanan masih layak konsumsinya secara sia-sia, alih-alih membagikannya kepada yang membutuhkan.
Kita sering kali mendapati para penguasa berjanji untuk menyelesaikan permasalahan akut ini di berbagai panggung. Namun berkali-kali juga mereka terus mengingkarinya. Jika kaum kapitalis punya keinginan untuk mengakhiri kelaparan di dunia, harusnya telah dilakukannya sedari dulu. Akan tetapi motif keuntungan mencegah mereka melakukan tindakan tersebut. Kelaparan tidak bisa diakhiri oleh mereka-mereka yang menghisap kaum miskin dan menjadi kaya darinya.
Oleh karenanya, tindakan menagih komitmen rezim kapitalis untuk menyelesaikan masalah ini adalah sebuah tindakan yang naif. Yang dibutuhkan adalah perubahan fundamental dalam sistem ekonomi kita, dalam relasi produksi dan distribusi. Hari ini yang dibutuhkan adalah upaya politik yang real berbasis kelas mayoritas yaitu kelas pekerja.
Sosialisme jalan keluar sesungguhnya
Kita sering kali membaca berbagai opini dari para ahli yang mencoba menjelaskan mengapa terjadi bencana kelaparan. Namun, argumentasinya hanya terbatas pada faktor ketimpangan, krisis iklim, konflik, bencana alam dan kemiskinan. Mereka sama sekali tidak mengungkapkan lebih mendalam mengapa faktor-faktor tersebut muncul. Inilah yang menyebabkan rekomendasi dan tindakan mereka tidak menyentuh akar permasalahan.
Bila faktor-faktor tersebut ditelusuri lebih jauh, kita akan sampai pada satu permasalahan pokok. Tidak lain dan tidak bukan, penyebab utamanya adalah sistem kapitalisme yang sedang berlaku saat ini. Para pembelanya menyebut sistem ini paling efisien dalam mengalokasikan sumber daya. Namun kenyataan berkata lain.
Penjelasan sederhana berbasis pada realitas adalah kapitalisme melahirkan ketimpangan yang begitu besar. 1% orang kaya menguasai 50% kekayaan dunia, sehingga kemiskinan adalah konsekuensi logis. Berkenaan dengan krisis iklim, faktanya 100 perusahaan multinasional terbesar di planet ini bertanggung jawab atas 71% emisi global selama 30 tahun terakhir. Perubahan iklim ini bermuara pada tingginya intensitas bencana alam yang terjadi hari-hari ini. Sebanyak 60 persen orang kelaparan di dunia tinggal di negara-negara yang mengalami konflik aktif. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa perang adalah konsekuensi lanjutan dari praktik bisnis-bisnis besar di bawah sistem ini.
Filsuf dan ekonom Amartya Sen pernah mengatakan, “Alasan utama kelaparan adalah kurangnya akses ke makanan. Itu hanya dapat diatasi setelah kita beralih dari globalisasi pangan ke kedaulatan pangan, khususnya di bagian dunia yang lebih miskin. Kedaulatan pangan harus menjadi tujuan semua donor bantuan resmi dan swasta. Makanan bukanlah komoditas industri yang dapat diperdagangkan di seluruh dunia. Ini adalah bahan paling vital untuk bertahan hidup.”
Namun dia tidak mengungkapkan bagaimana merealisasikan kedaulatan pangan yang disebutnya itu. Dia juga tidak menyebutkan, kedaulatan pangan untuk kelas mana? Karena bila produksi pangan masih ada di tangan kapitalis, bahkan bila ini adalah kapitalis domestik, maka motif profit masih akan mendominasi sehingga akan selalu ada yang kekurangan pangan. Pesan yang dibuat Amartya Sen tiga dekade lalu tersebut tentunya diabaikan dengan keras kepala oleh logika profit. Bagi para kapitalis, justru karena pangan merupakan hal vital bagi manusia, maka ada peluang besar untuk mendulang laba yang besar pula darinya. Seperti halnya kesehatan maupun pendidikan, di bawah kapitalisme segala sesuatunya wajib dijadikan komoditas pasar untuk diperjual-belikan. Maka dari itu, ketika Amartya Sen mengatakan bahwa “makanan bukanlah komoditas industri”, dia mengabaikan sistem kapitalisme yang membuat semua hal menjadi komoditas. Bahkan cinta pun adalah komoditas. Untuk membuat makanan tidak lagi menjadi komoditas yang diperjualbelikan untuk profit, maka industri pangan harus diekspropriasi dari tangan kapitalis dan kepemilikannya diletakkan di tangan rakyat pekerja untuk dijalankan secara kolektif dan demokratik. Kesimpulan ini luput dari kritikus liberal seperti Amartya Sen.
Realitas telah menegaskan kepada kita bahwa kapitalisme lebih efisien hanya dalam mengalihkan kekayaan untuk terkonsentrasi ke tangan segelintir orang. Melalui penindasan dan penghisapan terhadap kelas pekerja, merusak lingkungan, memicu perang tanpa akhir atas nama profit, miliaran orang menjadi melarat sekalipun ada keberlimpahan.
Untuk menyelesaikan permasalahan ini, produksi pangan harus dibebaskan kepemilikan pribadi kapitalis yang hanya mengelola produksi demi profit dan bukan demi pemenuhan kebutuhan rakyat. Produksi pangan tidak sepatutnya dikuasai segelintir orang yang sesungguhnya tidak bekerja. Buruh dan tanilah yang melakukan produksi dan menghasilkan kekayaan. “Kedaulatan pangan” hanya dapat terealisasi apabila kapitalisme ditumbangkan dan digantikan dengan sosialisme, melalui kekuatan kelas pekerja sedunia. Dengan memenangkan sosialisme, motif keuntungan dan kepemilikan pribadi atas pangan dapat dihapus. Alih-alih diberlakukan tangan pasar yang tak terlihat (Invisible hand), biarlah yang berlaku adalah tangan demokratik dan kolektif dari kelas pekerja, yang menentukan seluruh alokasi sumber daya dan kekayaan di dunia ini dengan sistem perencanaan ekonomi yang rasional. Dengan demikian permasalahan bencana kelaparan dan juga masalah kemanusiaan lainnya niscaya dilenyapkan.