Protes massa pecah di seluruh pelosok Indonesia menyusul disahkannya undang-undang kontroversial Omnibus Law. DPR mempercepat pengesahan undang-undang ini, dari yang seharusnya tanggal 8 Oktober palu diketok pada 5 Oktober. Dengan menyolong start, pemerintah berharap ini dapat menghindari protes massa yang telah disiapkan oleh berbagai unsur gerakan. Tetapi usaha ini tidak berhasil mengecoh massa yang telah marah dan justru menyulut kegeraman massa lebih lanjut.
Buruh langsung merespons dengan mobilisasi di sejumlah kawasan industri. Serikat-serikat buruh melakukan pemogokan nasional tiga hari, dari 6-8 Oktober, seperti yang telah direncanakan sebelumnya. Puluhan ribu buruh di berbagai kota tumpah ruah ke jalanan. Di beberapa kawasan industri di Karawang, Sukabumi, Bekasi dan Tangerang pemogokan ini menjadi kemarahan terbuka terhadap manajemen, yang dilihat jelas sebagai kekuatan di balik disahkannya Omnibus Law. Buruh mengobrak-abrik pabrik dan mendobrak pintu gerbang.
Namun yang paling mengejutkan rejim adalah keterlibatan radikal anak-anak muda, yakni mahasiswa dan pelajar, dalam aksi menentang Omnibus Law. Terutama kaum pelajar, yang hampir tanpa organisasi dan kepemimpinan turun dalam jumlah ribuan di hampir setiap kota utama dan berdiri di barisan paling depan dalam melawan represi polisi dan tentara.
Pada saat artikel ini ditulis, demonstrasi telah menyebar bak api liar ke berbagai kota di seluruh Indonesia. Bentrokan keras terjadi di mana-mana tanpa bisa dikendalikan. Tembakan gas air mata dan kantor-kantor polisi yang terbakar menjadi pandangan pekat dalam tiga hari demonstrasi ini. Ribuan anak-anak muda dipukuli dan ditangkapi. Cakupan, energi, dan intensitas demonstrasi ini melebihi demonstrasi #reformasidikorupsi pada 2019 yang lalu.
Selama 1 tahun terakhir, selain pandemi Covid-19, pembahasan Omnibus Law menjadi pusat dari perhatian seluruh bangsa. Bagi pemerintah dan kelas borjuasi yang diwakilinya, Omnibus Law dilihat sebagai senjata pamungkas untuk terus menjaga terbukanya keran investasi dan berputarnya kapital — dan dengan itu profit kapitalis — di tengah kondisi ekonomi dunia yang tidak menentu. Krisis ekonomi yang dampaknya berkepanjangan sejak 2008, yang lalu diperburuk oleh pandemi, jadi latar belakang diloloskannya Omnibus Law. Seperti yang dipaparkan oleh Bank Dunia dalam laporannya Indonesian Economic Prospects: “Kondisinya perlu ada yang memfasilitasi masuknya perusahaan baru, ini termasuk mengatasi investasi jangka panjang. Pemerintah bisa mengatasi masalah tersebut lewat RUU Omnibus Law Ciptaker.” (Baca Ekonomi Politik Omnibus Law)
Tetapi, bagi rakyat pekerja, buruh, tani, masyarakat adat, Omnibus Law berarti semakin terpuruknya taraf hidup mereka, karena kepastian profit kapitalis selalu berbanding terbalik dengan kesejahteraan rakyat pekerja. Tidak bisa tidak. Bila bukan pemilik modal yang membayar untuk krisis kapitalisme ini, maka yang harus membayarnya adalah rakyat pekerja.
Demonstrasi anti-Omnibus yang pecah juga menjadi saluran keresahan umum rakyat akan kondisi ekonomi dan sosial yang semakin hari semakin tidak menentu. Kaum muda, sebagai barometer sosial yang paling sensitif, meresponsnya dengan sigap dan inilah mengapa mereka tumpah ruah di jalan-jalan. Pemerintah dan media menunjukkan keheranan mereka: mengapa pelajar bau kencur ikut turun menentang Omnibus Law yang tidak berdampak pada mereka? Tetapi pemuda-pemudi ini, yang katanya “bau kencur”, adalah anak buruh, anak tani, anak rakyat pekerja, yang setiap harinya mendengar keluh kesah orang tua mereka. Mereka pun calon-calon pekerja di masa depan.
Seperti biasanya, kelas penguasa selalu menyalahkan aktor-aktor intelektual di balik demo massa yang mengguncangnya. “Pemerintah tahu siapa yang demo itu, kami tahu siapa yang menggerakkan, siapa sponsornya, siapa yang membiayai. Pemerintah sudah tahu siapa tokoh-tokoh intelek di balik penggerak demo,” kata Ketua Umum Partai Golkar Airlangga. Kelas penguasa terbiasa melihat dan memperlakukan massa rakyat sebagai kerbau yang dicocok hidungnya, sehingga tidak bisa membayangkan kemampuan dan kemandirian massa untuk berdiri melawan ketidakadilan. Sebaliknya, karakter yang dominan dari aksi 3 hari kemarin adalah absennya “tokoh-tokoh intelek”, atau absennya kepemimpinan. Ini sendiri diakui oleh Airlangga, yang heran mengapa demo-demo bisa terjadi serentak di seluruh Indonesia ketika menurutnya para pemimpin dari “empat federasi pekerja atau buruh yang tergolong besar sudah mendukung Omnibus Law Cipta Kerja.”
Dari interview-interview yang dilakukan di lapangan dengan para pelajar ini, yang mereka tentang bukan Omnibus Law itu sendiri. Mereka kebanyakan tidak tahu isi rinci Omnibus Law, yang lalu dijadikan dalih oleh pemerintah bahwasanya kaum pelajar ditunggangi dan hanya ikut-ikutan. Namun sesungguhnya, yang dilawan oleh kaum muda ini adalah keseluruhan spirit yang terkandung dalam Omnibus Law ini: yakni kesewenang-wenangan pemerintah dan ketidakpekaan kelas penguasa atas penderitaan rakyat miskin.
Spontanitas kaum muda ini membawa energi besar yang meledak-ledak, yang menghancurkan rutinitas dan kelembaman dalam gerakan. Tidak bisa dipungkiri bahwa selama satu tahun terakhir gerakan menentang Omnibus Law seakan-akan berjalan di tempat, dengan rutinitas aksi yang tidak memiliki taring untuk membuat kelas penguasa bergidik. Inilah mengapa pemerintah begitu percaya diri, sampai-sampai bisa mengetok palu mengesahkan RUU Omnibus Law ini tanpa satupun anggota DPR yang punya naskah final RUU ini di tangan mereka.
Energi spontan kaum muda ini adalah seperti angin segar. Sisi terkuat dari spontanitas adalah kemampuannya mendobrak inersia dan kerak birokrasi yang sering kali jadi penghambat gerakan. Spontanitas massa juga menjadi kejutan bagi rezim dan membuat mereka limbung pada awalnya. Tetapi sisi terkuat spontanitas dapat dengan cepat berbalik menjadi sisi terlemahnya. Segera setelah rejim menemukan pijakannya dan mengerahkan aparatus penindas mereka yang terorganisir, barisan kaum muda ini, kendati keberanian mereka, berhasil dipukul mundur. Represi segera mengunjungi mereka, dengan penangkapan massal oleh polisi yang bekerja sama dengan preman dan elemen lumpen-reaksioner. Tanpa organisasi, kepemimpinan, dan program aksi yang terang, energi spontan ini dengan cepat menguap dan tidak memiliki stamina dan keberlangsungan untuk bisa meneruskan perjuangan dengan intensitas yang terus tumbuh.
Tetapi, kita tidak bisa menyalahkan para pelajar ini atas spontanitas mereka, atas tidak adanya organisasi, kepemimpinan, serta program perjuangan yang jelas.. Tanggung jawab atas kevakuman kepemimpinan ini dan kegagalan untuk mencegah diketoknya palu di gedung DPR ada di tangan para pemimpin reformis gerakan buruh. Seperti yang diakui oleh Ketua Partai Golkar, para pemimpin empat federasi buruh terbesar di Indonesia telah menyetujui Omnibus Law. Dan ini termasuk Said Iqbal dari KSPI yang menyerukan pemogokan nasional 3 hari. KSPI, KSBSI, KSPSI, Sarbumusi, dan serikat-serikat lainnya menghabiskan waktu dan energi melakukan taktik lobi, alih-alih mempersiapkan anggota mereka untuk berjuang (Baca Kebuntuan Taktik Lobi dalam Membendung Omnibus Law). Apa hasil dari manuver lobi terakhir KSPI dan KSPSI dalam memasuki Tim Perumus pada Agustus kemarin? Dikelabui oleh DPR yang menyolong mengetok palu.
Bila kepemimpinan KSPI lalu menyerukan pemogokan nasional, ini hanya untuk menyelamatkan muka mereka. Pemogokan nasional yang diserukan tanpa persiapan serius seperti ini sudah bisa dipastikan sejak awal akan menemui kegagalan. Ini seperti mencoba memantik bubuk mesiu yang sudah lembab. Said Iqbal mengumbar bahwa 2 juta buruh turun mogok selama 3 hari. Tetapi di lapangan, pemogokan ini jauh dari efektif dalam melumpuhkan produksi. Di sejumlah pabrik, anggota hanya diinstruksikan datang lebih pagi, berkumpul untuk difoto, dan lalu kembali masuk kerja; pemogokan hanya dilakukan oleh buruh dari shift lain, atau dengan ganti hari, atau buruh lalu lembur untuk mengejar produksi; atau, pemogokan hanya diwakili satu dua pengurus, sembari menginstruksikan anggota lain untuk tetap bekerja. Di PUK-PUK yang mogok, kebanyakan adalah inisiatif langsung dari akar rumput, sementara para pemimpin PUK geming seperti batu. Dengan pemogokan nasional seperti ini, tidaklah heran pengusaha dan pemerintah menepisnya dengan mudah.
Berkali-kali para pemimpin buruh ini telah mengancam demo raksasa dengan ratusan ribu buruh atau mogok nasional jutaan buruh. Tetapi ancaman ini terbukti hampa bahkan pada momen penentuan. Kelas penguasa tidak pernah sekalipun merasa terancam. Seperti kata Luhut kemarin dulu, “Hanya ngomong saja!” Kaum muda-lah yang pada 6-8 Oktober tampil ke muka dan memaksa seluruh bangsa untuk menaruh perhatian serius pada isu Omnibus Law.
Said Iqbal, dalam statemen di media sosial Suara FSPMI untuk menutup “pemogokan nasional” 6-8 Oktober, mengatakan bahwa “perjuangan ini akan berlanjut, melalui perjuangan hukum maupun perjuangan gerakan secara konstitusional.” Tetapi, bukankah pemerintah telah lewat hukum dan secara konstitusional mensahkan Omnibus Law? Langkah hukum apa lagi yang bisa ditempuh? Para buruh akar rumput pun langsung merespons dengan kritis: “Pakai jalur MK nggak bakalan menang, udah kebukti. Anjing-anjing banyak dikasih tulang di sana, yang ada revolusi”; “MK? Percuma, lengserin orangnya, dudukin gedung dpr sama istana negara”; “Ga bakalan menang klo lewat konstitusi, UU KPK harus jadi pelajaran”; “Contoh Hongkong dan Amerika, demo ampe sebulan lebih”; “Udah kepalang basah mandi sekalian, jangan bawa ke ranah hukum pasti ngak bakalan menang karena aparat penegak hukum sudah memihak siapa yg punya duit”; dst., dst. Buruh anggota jelas memiliki insting kelas yang lebih tajam dibanding pemimpin mereka. Lewat pengalaman mereka sadar bahwa hukum yang ada tidaklah lebih dari hukum kelas penguasa. Hukum hanyalah secarik kertas yang nilainya ditentukan oleh perimbangan kekuatan kelas.
Lebih memalukan adalah penekanannya di akhir agar buruh “Jangan melakukan tindakan anarkis dan tetaplah menempuh jalan konstitusional.” Ini seperti meludahi keberanian dan pengorbanan kaum muda yang telah maju ke depan dan berdiri bersama buruh melawan kezoliman pemerintah. Yang perlu dibicarakan bukanlah “tindakan anarkis”, seperti membeo pemerintah dan buzzer-buzzer mereka. Yang perlu langsung dikecam tanpa syarat adalah kebrutalaan aparat yang membabi buta memukuli anak-anak muda, dan melakukan pencidukan massal terhadap ribuan demonstran. Kerusuhan adalah bahasanya kaum yang dibungkam dan tak didengar oleh penguasa.
Yang kita butuhkan adalah organisasi buruh yang siap berjuang. Untuk ini, kran demokrasi organisasi buruh harus dibuka sebesar-besarnya. Gelar rapat-rapat akbar dan mimbar-mimbar bebas di setiap pabrik untuk melibatkan setiap buruh akar-rumput dalam menentukan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mematahkan Omnibus Law. Bentuk komite-komite pemogokan di setiap pabrik untuk memulai kerja persiapan pemogokan, yang melibatkan langsung buruh-buruh anggota. Instruksi mogok dari atas tidak akan pernah sampai ke bawah kalau yang di atas memang selalu dipenuhi keraguan dan keengganan untuk berjuang. Perjuangan melawan Omnibus Law bukan hanya perjuangan eksternal melawan pemerintah, tetapi terutama perjuangan internal melawan kerak-kerak perangkat birokrasi dan kepemimpinan yang telah menjadi penghalang terbesar bagi kemenangan buruh.
Kaum pelajar juga harus mulai berorganisasi agar energi besar mereka bisa dipusatkan menjadi gerakan yang terus membara, dan tidak menguap menghilang begitu saja. Bentuk serikat-serikat pelajar di tiap-tiap sekolah, yang saling terhubungkan lewat jaringan tingkatan daerah dan nasional, dan juga terhubungkan erat dengan serikat-serikat buruh. Bangun kesadaran berorganisasi dan berjuang melawan ketidakadilan sedini mungkin. Bila energi besar ini dipadukan dengan kemampuan berorganisasi dan teori revolusioner, bayangkan apa yang bisa dicapai oleh para pelajar ini.
Demo-demo militan kemarin akan menjadi pemandangan yang semakin sering terjadi di hari depan. Rejim boleh saja bersukacita telah meredam demonstrasi kemarin dengan represi brutal, dan mencegahnya dari terus menyebar dan berlanjut. Tetapi problem-problem mendasar rakyat pekerja yang jadi penyebab tumpah ruahnya massa ke jalan-jalan belum diselesaikan sama sekali. Miliaran rupiah bisa saja dihabiskan untuk meyakinkan rakyat pekerja kalau Omnibus Law akan menguntungkan mereka, tetapi hukum besi ekonomi politik akan terus menegakkan kebenarannya: bahwa kepentingan modal dan kepentingan rakyat pekerja adalah dua hal yang tak terdamaikan; agar modal bisa menggeliat tumbuh subur, maka keringat, air mata, dan darah rakyat pekerja harus membasahinya. Adalah satu hal untuk meloloskan Omnibus Law, hal lain lagi untuk mengimplementasikannya, terutama di tengah krisis ekonomi dunia yang tak kunjung berakhir. Api masih dalam sekam dan benturan-benturan yang lebih besar tengah dipersiapkan.