
Sosialisme dan Perjuangan Demokrasi
Di balik slogan-slogan indah tentang kebebasan dan persamaan, demokrasi borjuis tak lebih dari alat kelas penguasa untuk mempertahankan dominasinya atas rakyat pekerja
Di balik slogan-slogan indah tentang kebebasan dan persamaan, demokrasi borjuis tak lebih dari alat kelas penguasa untuk mempertahankan dominasinya atas rakyat pekerja
Setelah 14 tahun perang, Suriah memasuki babak baru yang penuh ketidakpastian, di mana kekosongan kekuasaan pasca runtuhnya rezim Assad diambil alih oleh milisi-milisi lokal dan pasukan Islamis fundamentalis HTS.
Krisis kapitalisme global memaksa pemerintah Indonesia memangkas subsidi BBM, meninggalkan rakyat pekerja, termasuk driver ojek online, dalam ketidakpastian ekonomi dan menambah beban hidup mereka yang sudah berat.
Leon Trotsky, dalam salah satu ceramahnya yang mendalam, menggambarkan bagaimana pengembangan teknologi menjadi syarat mutlak untuk mewujudkan sosialisme yang kokoh di Uni Soviet.
Ketakutan kaum liberal terhadap kebangkitan “Hitler Jawa” di bawah Prabowo lebih merupakan histeria kosong, tanpa analisis sosial mendalam, yang justru mengaburkan akar persoalan krisis demokrasi borjuis.
Lebih dari sekadar pertarungan tinju, laga antara Mike Tyson dan Jake Paul menggambarkan bagaimana kapitalisme memeras keuntungan dari tubuh-tubuh yang pernah menjadi simbol kejayaan olahraga.
Bentrokan di Amsterdam menunjukkan jelas bagaimana media Barat membingkai kekerasan suporter Israel terhadap pengunjuk rasa Palestina sebagai ‘progrom antisemit’, sekaligus menutupi tindakan anti-Arab yang mereka lakukan.
Ketika Trump meraih kekuasaan, kita dihadapkan pada fenomena yang lebih dari sekadar politik, yaitu refleksi dari perubahan mendalam dalam struktur ekonomi dan sosial Amerika.
Di tengah dominasi opini dan strategi anti-Trump, hasil Pilpres AS menunjukkan besarnya amarah publik terhadap elite penguasa yang semakin terputus dari kenyataan sehari-hari masyarakat.
Saat seni direduksi menjadi komoditas di pasar yang dikendalikan oleh segelintir kapitalis, kita dihadapkan pada ironi: seni yang seharusnya bebas dan inklusif justru terasingkan dari mereka yang seharusnya menikmatinya.