Perang genosida Israel di Gaza sangatlah mengerikan. Lebih dari 11 ribu rakyat Palestina telah mati. Perang ini membuka mata dunia akan konflik mematikan antara Israel-Palestina. Jutaan orang di seluruh dunia menentang perang ini. Semua orang berusaha mencari-cari solusi bagaimana mengakhiri konflik ini. Dari semua cara yang ada, di antaranya adalah solusi dua negara dan solusi satu negara. Tapi apakah solusi ini bisa benar-benar dapat mengakhiri konflik Israel-Palestina?
Pada bulan Oktober kemarin, Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Lestari Priansari Marsudi mengatakan akan mendukung solusi dua negara. Dia mengatakan, “Tidak akan ada perdamaian hingga kita mengakhiri akar permasalahan konflik. Perlanjutan proses perdamaian untuk mewujudkan two state solution adalah suatu keharusan.”
Pertama-tama, untuk mengakhiri sebuah konflik kita harus memahaminya. Konflik Israel-Palestina memiliki akar sejarah. Ini bukan sesederhana konflik dua orang yang bertengkar dan lalu dipisah dalam perbatasan sehingga bisa melahirkan perdamaian. Ini adalah masalah kebangsaan yang telah lama ada. Eskalasi yang terjadi saat ini merupakan akibat dari ketidakmampuan semua solusi yang ditawarkan oleh kapitalisme-imperialisme. Bahkan, sesungguhnya konflik Israel-Palestina ini merupakan produk dari desain imperialisme.
Kegagalan Solusi Dua Negara
Seperti yang kita lihat di masa lalu, solusi dua negara ini sudah pernah diterapkan dan terbukti gagal. Permulaan solusi dua negara ini dapat kita telusuri pada 31 Agustus 1947 ketika Komite Khusus PBB untuk Palestina mengusulkan kepada Majelis Umum PBB sebuah rencana untuk membagi Palestina menjadi negara Arab dan Yahudi guna menyelesaikan konflik yang semakin menajam antara rakyat Arab dan Yahudi. Pada 29 November 1947, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 181, yang menyerukan pembentukan negara Arab dan negara Yahudi, dengan kota Yerusalem di bawah pengelolaan internasional. Namun solusi utopis ini hancur berantakan. Rezim Zionis Israel dengan segera meluncurkan ofensif militer untuk mencaplok sebanyak mungkin wilayah dan mengusir ratusan ribu rakyat Palestina, dalam peristiwa yang lalu dikenal dengan nama Nakba. Sebagai konsekuensi dari Nakba, Israel menguasai 78% wilayah bersejarah Palestina, dan 22% sisanya menjadi wilayah Tepi Barat yang saat ini diokupasi dan Jalur Gaza yang terkepung. Sejak itu pula, Israel menjadi benteng utama imperialisme Barat di wilayah Timur Tengah.
Solusi dua negara dicoba kembali lewat Perjanjian Oslo 1993. Perjanjian ini tidak mengakhiri pendudukan Israel, tetapi melanggengkannya. Meskipun perjanjian tersebut memberikan pemerintahan otonom bagi Palestina, yang dikenal dengan nama Otoritas Palestina, tapi pemerintahan tersebut berada di bawah kontrol langsung Israel. Otoritas Palestina menjadi semacam polisi Israel, yang tugasnya menertibkan rakyat Palestina. PLO (Palestine Liberation Organization) alih-alih menjadi kekuatan pembebasan nasional Palestina kini telah menjelma menjadi pemerintahan bonekanya Israel. Rakyat Palestina menderita kerugian selama 30 tahun terakhir di bawah Perjanjian Oslo. Israel menghancurkan perekonomian Palestina melalui penutupan jalan, fragmentasi wilayah, penyitaan tanah, dan perluasan permukiman. Kondisi ekonomi rakyat Palestina terus memburuk dan seluruh perekonomian Palestina sepenuhnya tergantung pada Israel. Bukannya semakin bebas, Palestina semakin terjajah.
Perdamaian yang dijanjikan oleh PBB dan “komunitas internasional” lewat solusi dua negara ini ternyata semu. Kekerasan terus berlangsung dari satu pihak, yakni dari Israel terhadap Palestina yang tak berdaya. Ekspansi pemukiman Yahudi ilegal di Tepi Barat telah menjadi kebijakan semua pemerintahan Israel sejak ditandatanganinya Perjanjian Oslo.
Semenjak Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel pada 2017, ini membuat imperialisme Israel semakin percaya diri. Pemukiman-pemukiman Yahudi di wilayah Palestina terus bertambah. Ketika Perjanjian Oslo diratifikasi, ada sekitar 110 ribu pemukim Yahudi di Tepi Barat dan 140 ribu di Yerusalem Timur. Hari ini, 30 tahun kemudian, jumlah pemukim Yahudi di Tepi Barat telah mencapai 465 ribu, dan 230 ribu di Yerusalem Timur. Di bawah pemerintahan sayap kanan Netanyahu, pemukiman Yahudi terus bergerak semakin agresif. Milisi-milisi sayap kanan Yahudi reaksioner, dengan bantuan tentara dan polisi Israel, terus mengobarkan kekerasan dan teror terhadap rakyat Palestina. Pengakuan Donald Trump atas Yerusalem sebenarnya telah mengungkapkan akhir dari proses perdamaian dan solusi dua negara Perjanjian Oslo, dan juga mengakhiri omong kosong munafik dari imperialis Barat mengenai perdamaian di Israel-Palestina.
Saat ini, terlepas dari banyaknya diplomasi untuk melanjutkan solusi dua negara di bawah Perjanjian Oslo, kaum Zionis Israel memiliki ambisinya sendiri, yaitu solusi satu negara Israel. Seperti yang diungkapkan dengan jelas oleh Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich: “Saya menyambut baik inisiatif emigrasi sukarela warga Arab Gaza ke negara-negara di seluruh dunia. Ini adalah solusi kemanusiaan yang tepat bagi penduduk Gaza dan seluruh wilayah setelah 75 tahun menjadi pengungsi, kemiskinan, dan bahaya.”
Kita setuju dengan perdamaian, tapi di bawah kapitalisme tidak akan pernah ada perdamaian karena perang adalah inheren dalam sistem ini. Dengan kondisi seperti ini, berharap menyeret Israel untuk berdialog dan mencapai proses perdamaian adalah mustahil. PBB jelas impoten. Ini terungkap ketika kemarin AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB untuk melakukan “jeda kemanusiaan”. Jadi ketika Menteri Luar Negeri kita mengatakan akan “melanjutkan proses perdamaian” ini terdengar hampa dan tanpa makna.
Kegagalan solusi dua negara bukanlah karena Israel memiliki pemerintahan sayap kanan yang tidak serius dalam menerapkan Perjanjian Oslo. Ini bukan karena para politisi Israel pembohong dan buas, dan bila saja kita memiliki politisi dan diplomat yang lebih baik dan cinta-damai di Israel maka solusi dua negara dapat terwujud. Seluruh kegagalan solusi dua negara terletak pada fakta bahwa Israel adalah negeri kapitalis dengan kepentingan imperialis di wilayah Timur Tengah. Maka dari itu, dominasi Israel terhadap Palestina adalah kondisi utama bagi Israel. Kelas penguasa Israel tidak akan pernah bisa mentolerir terbentuknya sebuah negara Palestina yang independen dan kuat di sampingnya. Negara kapitalis Israel tidak menyisakan ruang bagi negara Palestina yang mandiri. Skenario terbaik solusi dua-negara yang bisa diharapkan Palestina di bawah kapitalisme-imperialisme adalah menjadi negara boneka yang sepenuhnya berada di bawah jempol Israel, yakni Perjanjian Oslo.
Solusi satu negara
Di tengah eskalasi yang semakin meningkat saat ini wacana solusi satu negara kembali muncul sebagai alternatif bagi pembebasan Palestina. Solusi ini dianggap sebagai antitesis dari solusi dua negara yang terbukti gagal. Lalu apa itu solusi satu negara?
Sebenarnya solusi satu negara ini bukan hal baru. Ini sudah eksis jauh sebelum solusi dua negara. Di masa lalu, solusi ini tidak hanya populer dalam gerakan nasionalis borjuis kecil PLO tapi juga dalam gerakan kiri reformis di seluruh dunia.
Ada beberapa versi mengenai solusi satu negara. Salah satunya adalah solusi satu negara Palestina merdeka dengan mengusir penjajah Israel dari tanah Palestina dan menolak Israel sebagai entitas yang ada. Solusi satu negara yang lain berkonsep memadukan Israel dan Palestina menjadi satu negara, “Isratine”, yaitu sebuah gagasan negara dwi-nasional yang menyatukan dua bangsa ke dalam satu negara. Mari kita bahas satu-satu apakah ini dapat diwujudkan.
Pertama, gagasan solusi satu negara Palestina yang menolak keberadaan Israel sebagai bangsa. Gagasan ini awalnya diusung oleh PLO sebelum dicampakkan olehnya dalam Perjanjian Oslo. Pada 1969, PLO menyerukan gagasan untuk membangun “masyarakat demokratis bebas di Palestina yang mencakup seluruh warga Palestina, termasuk Muslim, Kristen, dan Yahudi … [di mana] orang Yahudi tidaklah membentuk sebuah bangsa tunggal dengan identitasnya sendiri; mereka adalah warga dari negara di mana mereka berada.” Praktis gagasan ini berarti menghapus bangsa Israel yang sudah terbentuk. Walaupun orang Yahudi di banyak negara lainnya adalah warga dari negara di mana mereka bermukim, di Israel kaum Yahudi telah menjadi sebuah bangsa. Maka dari itu solusi demikian tidak akan pernah bisa diterima oleh rakyat Yahudi, dan justru solusi satu negara semacam ini hanya memperkuat reaksi dan mendorong kaum pekerja Yahudi untuk mendukung imperialisme Israel. Karena adanya antagonisme yang telah eksis selama bergenerasi, rakyat Yahudi tidak akan menerima menjadi minoritas di bawah sebuah negara Palestina kapitalis.
Pendirian negara Israel adalah kejahatan terhadap rakyat Palestina. Tetapi faktanya hari ini bangsa Israel telah terbentuk, dan upaya memutar balik waktu ke masa sebelum 1948 adalah reaksioner. Jutaan rakyat pekerja Israel telah hidup, lahir, dan dibesarkan di Israel, dan telah membentuk identitas nasional mereka sendiri yang unik. Keberadaan bangsa Israel tidak bisa disangkal.
Gagasan solusi satu negara, dimana Palestina menolak keberadaan bangsa Israel memiliki konsekuensi reaksioner. Ini berarti mendirikan Palestina yang merdeka di atas bangsa Israel. Terlepas dari tujuan ‘demokratis’ yang tertuang dalam deklarasi PLO, ini memiliki konsekuensi mengusir orang-orang Israel yang telah mendiami wilayah Palestina. Terlebih lagi, secara militer, Palestina tidak akan bisa menundukkan negara imperialis Israel, dengan kekuatan militernya yang teramat modern serta sokongan penuh dari imperialisme Barat. Ini membuat solusi satu negara Palestina sebuah utopia, sesuatu yang bahkan dengan pahit harus diakui oleh PLO. Tetapi setelah mencampakkan solusi satu negara Palestina yang reaksioner dan utopis, kepemimpinan PLO justru mengadopsi solusi dua negara yang mana Palestina tunduk pada Israel, solusi yang telah mengantarkan perjuangan pembebasan Palestina ke kebuntuan hari ini.
Maka dari itu, solusi satu negara Palestina hanya akan terus memupuk kebencian bangsa satu atas bangsa yang lain. Bangsa Israel telah menjadi fakta sekarang dan gagasan mengusir orang-orang Israel dari tanah Palestina – atau menyangkal keberadaan bangsa Israel – hanya akan memperkuat cengkeraman ilusi Zionis atas rakyat Israel alih-alih melemahkannya. Kita tidak dapat mencapai kesetaraan antar bangsa dengan menindas bangsa lain. Kita menginginkan perdamaian antara orang Yahudi dan Arab di Palestina, tapi gagasan ini justru menjadikan sebaliknya. Ini hanya akan menciptakan peperangan antar bangsa terus menerus yang menjadikan sungai darah yang tak pernah kering di tanah Palestina.
Sebagai Marxis kami menolak penindasan sebuah bangsa. Kami juga menolak gagasan reaksioner sauvinisme. Kita menginginkan penyatuan bangsa-bangsa berdasarkan federasi sukarela sosialis. “Tidak ada bangsa yang bisa bebas jika mereka menindas bangsa lain,” kata Marx dan Engels. Kami menginginkan bangsa Palestina yang bebas, mandiri, dan demokratis, sebuah kebebasan yang mendasarkan hubungannya dengan bangsa lainnya berdasarkan prinsip kesetaraan dan persaudaraan antar bangsa. Tapi semua ini hanya bisa dicapai dengan menyatukan kelas pekerja Israel dan kelas pekerja Palestina, dan juga kelas pekerja seluruh dunia Arab, dalam melawan dan mengakhiri kapitalisme dan imperialisme yang menjadi biang kerok dari kekacauan, perang, konflik, dan kemiskinan.
Gagasan satu negara lainnya adalah menyatukan dua bangsa dalam satu negara. Pionir gagasan ini adalah intelektual liberal Edward Said dan kemudian dipopulerkan oleh intelektual liberal Israel, Ilan Pappé. Gagasan ini berargumen bahwa pendirian sebuah negara Isratine (Israel-Palestina) yang bersatu akan mewujudkan kesetaraan antara rakyat bangsa Palestina dan bangsa Israel. Gagasan ini tampaknya masuk akal, tetapi dalam kerangka sistem kapitalisme akan hancur berkeping-keping dihantam oleh realitas yang ada.
Pertama, gagasan ini mensyaratkan adanya kesetaraan ekonomi antar dua rakyat dari dua bangsa yang berbeda itu. Namun faktanya hari ini perekonomian sepenuhnya ada di tangan kelas kapitalis Yahudi, dan rakyat Palestina adalah lapisan yang sangat termiskinkan. Di atas ketimpangan ekonomi seperti itu, dalam negara Isratine maka rakyat Palestina akan termarjinalisasi secara politik, ekonomi, dan sosial, seperti halnya kaum kulit hitam di Amerika Serikat, dan bahkan lebih parah lagi. Mereka akan menjadi warga negara kelas dua. Fakta ini sudah bisa dilihat dalam negara Israel hari ini, yang populasinya mencakup juga sekitar 20 persen orang Arab. Warga Arab-Israel adalah lapisan yang paling miskin di Israel. 45 persen keluarga Arab-Israel berada di bawah garis kemiskinan, sementara di antara keluarga Yahudi-Israel hanya 13 persen yang berada di bawah garis kemiskinan. Warga Arab-Israel umumnya bekerja di sektor tidak-terampil dengan upah lebih rendah. Ada ketimpangan besar di antara kedua lapisan ini dalam semua aspek (pendidikan, upah, kesehatan, dll.), yang secara praktis membuat warga Arab-Israel menjadi warga kelas dua.
Seperti halnya kelas kapitalis di AS (dan banyak negara lainnya) menggunakan perpecahan rasial, etnis dan agama untuk melanggengkan kekuasaan mereka, kelas penguasa Zionis akan selalu menggunakan perpecahan rasial untuk mengalihkan perhatian massa dari kebusukan kapitalisme. Dalam skema satu-negara-dua-bangsa ini, rakyat Palestina akan termarjinalisasi dan menjadi warga kelas dua. Secara praktis ini akan menjadi solusi satu negara Israel, yang tidak menyelesaikan sama sekali antagonisme Israel-Palestina, tetapi hanya membungkusnya dalam kemasan berbeda.
Salah satu gagasan Pappé untuk mencapai perdamaian antara Israel-Palestina dalam kerangka Isratine adalah pengakuan terhadap akibat dari Peristiwa Nakba 1948. Dia menulis, “pengakuan Nakba dan kembalinya pengungsi Palestina akan menjadi perwujudan perdamaian nyata antara Israel dan Palestina.” (Ilan Pappe. The State of Denial: The Nakba in the Israeli Zionist Landscape.) Mari kita periksa solusi ini. Bila 4 juta pengungsi Palestina yang tersebar di berbagai negeri kembali ke tanah dan rumah milik mereka, maka populasi Yahudi akan merasa terdesak. Kelas penguasa Israel akan menggunakan ini untuk mengobarkan kebencian di antara kedua rakyat ini. Dalam batasan kapitalisme, tidak akan ada rumah, pekerjaan, tunjangan sosial yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan seluruh populasi Israel dan Palestina, dan kelas penguasa akan memecah belah rakyat pekerja untuk saling berebut remah-remah kecil. Inilah fakta sehari-hari kapitalisme di mana-mana, kaum pekerja hidup dalam kondisi bersaing satu sama lain, saling injak menginjak, untuk sesuap nasi dan sejengkal tanah, sementara kaum kapitalis terus menghisap mereka.
Satu-satunya solusi: Federasi Sosialis Timur Tengah
Perdamaian dan kesetaraan antar bangsa tidak ada dalam wacana Zionis yang saat ini berkuasa dan mereka menolak mengakui fakta tersebut. Pada kenyataannya, kelas borjuasi Israel bisa terus berkuasa hanya dengan mengandalkan konflik Israel-Palestina.
Bahkan seperti yang kita lihat di masa lalu, “perdamaian” apapun yang tercapai sebelumnya bukanlah hasil dari tekanan “komunitas internasional” atau dari belas kasihan dari penguasa Israel. Ini adalah hasil dari gerakan massa revolusioner (yaitu Intifadah Pertama) di mana Yitzhak Rabin dari pemerintahan Partai Buruh Israel terpaksa memberikan konsesi dalam bentuk Perjanjian Oslo. Perdamaian Perjanjian Oslo ini pun pada kenyataannya adalah perdamaian semu, perdamaian “imperialis”, yang hanya menabiri penjajahan oleh Israel dan mempersiapkan perang yang lebih besar lagi. Maka dari itu, mengharap penguasa Zionis, yaitu borjuasi Israel, mengakui kejahatan mereka sendiri sama saja memberi khotbah pada singa supaya memakan sayur. Ini adalah solusi yang benar-benar utopis.
Kita tidak akan menemukan obat tanpa memahami sepenuhnya penyakit yang diderita pasien. Semua cara yang ada selama ini hanya mencari-cari obat nyeri untuk mengobati kanker. Sebagai Marxis kita harus mengajukan solusi yang benar-benar dapat mengakhiri konflik Israel-Palestina. Kami Marxis akan selalu mewartakan kebenaran betapa pun pahitnya kebenaran tersebut. Dan kebenarannya adalah: di dalam kerangka kapitalisme dan imperialisme, usaha mencari solusi perdamaian akan selalu gagal.
Kita kaum Marxis sering kali dituduh oleh intelektual liberal ini sebagai utopis. Tapi selama ini para intelektual liberal ini menawarkan banyak solusi yang sudah terbukti gagal. Mereka menawarkan kepada kita suatu bentuk eksploitasi dan penindasan dalam bentuk dua negara atau satu negara. Mereka selalu mengatakan bahwa ini adalah solusi ‘praktis’. Tapi ini bukan solusi ‘praktis’ sama sekali. Selama 70 tahun lebih kita tidak kekurangan “solusi praktis” yang ditawarkan oleh banyak intelektual liberal ini. Tapi semua solusi yang katanya praktis ini telah gagal, dan cita-cita kemerdekaan Palestina semakin jauh setiap harinya.
Satu-satunya solusi terhadap konflik Israel Palestina bukanlah satu, dua atau tiga negara kapitalis, melainkan perjuangan revolusioner untuk mengakhiri kapitalisme dan imperialisme tidak hanya di Israel-Palestina tetapi di seluruh Timur Tengah. Problem Israel-Palestina jelas-jelas tidak bisa diselesaikan dalam batasan wilayah Israel-Palestina, karena kepentingan imperialis Barat dan negeri-negeri kapitalis Arab lainnya berkait kelindan dengan nasib Israel-Palestina sedari awal.
Pada akhirnya perjuangan untuk mengakhiri konflik ini akan bergantung bukan pada lobi-lobi di meja PBB dan diplomasi dengan imperialis, tapi perjuangan sampai akhir untuk revolusi sosialis. Penyelesaian konflik Israel-Palestina hanya bisa terwujud dalam struktur federasi sosialis, dengan otonomi bagi rakyat pekerja Yahudi dan Palestina, dengan Yerusalem sebagai ibukota kedua bangsa, sebagai bagian dari Federasi Sosialis Seluruh Timur Tengah. Hanya setelah kita singkirkan kepentingan kapitalis dan imperialis, maka kedua bangsa ini dapat berunding secara terbuka dan setara mengenai relasi mereka di masa depan dan mengenai perbatasan wilayah otonomi untuk tiap-tiap bangsa. Kedua bangsa ini akan dapat menyelesaikan semua problem-problem yang ada di antara mereka, tanpa adanya desain imperialis yang secara aktif memecah belah mereka dan membuat perdamaian mustahil.
Kita tidak bisa memprediksi ataupun merumuskan secara rinci bagaimana perbatasan dalam Federasi Sosialis ini akan ditarik nantinya. Kita akan serahkan ini pada rakyat pekerja Israel dan Palestina yang telah bebas dari kapitalisme dan imperialisme, yang oleh karenanya untuk pertama kalinya dapat memulai membangun relasi yang harmonis satu sama lain, yang tidak terdistorsi oleh kepentingan kapitalis-imperialis.
Tidak hanya itu saja, sistem ekonomi sosialis akan menghilangkan kondisi produksi borjuis yang sebelumnya memecah belah rakyat, yang sebelumnya menciptakan kekurangan artifisial sehingga rakyat harus saling injak menginjak untuk berebut roti dan tanah. Sosialisme akan menjamin pertumbuhan ekonomi yang pesat bagi seluruh Timur Tengah, yang akan mengakhiri keterbelakangan ekonomi sehingga kemakmuran terjamin bagi seluruh rakyat secara setara. Di bawah sosialisme, akan ada lebih dari cukup roti dan tanah bagi semua populasi Israel dan Palestina. Lenin pernah mengatakan bahwa masalah kebangsaan pada akhirnya adalah masalah roti. Pastikan seluruh rakyat memperoleh roti mereka, maka semua konflik nasional (dan juga etnis, agama, dll.) yang ada sebelumnya akan menghilang. Federasi Sosialis Yugoslavia menjadi contoh bagaimana sosialisme berhasil mendamaikan berbagai bangsa yang sebelumnya bertikai; sebaliknya, runtuhnya Yugoslavia dan restorasi kapitalisme di Balkan membangkitkan kembali semua konflik nasional, etnis dan agama di Balkan, dengan perang genosida yang berdarah-darah.
Tidak ada yang utopis dan tidak masuk akal dengan program revolusi sosialis dan federasi sosialis untuk menyelesaikan konflik nasional. Kelas buruh sudah pernah memenangkan revolusi sosialis di Rusia dan Yugoslavia, dan kemenangan ini menyelesaikan konflik-konflik nasional yang sebelumnya mengakar di sana. Yang utopis justru mengulang-ulang formula yang sama – diplomasi yang mengandalkan PBB dan “komunitas internasional”, dengan solusi satu negara atau dua negara kapitalis – yang sejak 1948 tidaklah menyelesaikan, tetapi justru memperburuk, masalah kebangsaan Palestina. Kita bahkan bisa katakan, solusi Zionisme (yaitu solusi kapitalis) bagi masalah kebangsaan Yahudi tidak menciptakan keamanan dan ketenteraman bagi rakyat Yahudi, tetapi justru membuat mereka lebih tidak aman.
Pada analisa terakhir, perjuangan untuk membebaskan Palestina dari cengkeraman imperialis Israel dan Barat adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan revolusioner untuk sosialisme sedunia. Inilah jalan keluarnya! Dan inilah mengapa kita menyerukan Intifada sampai menang! Revolusi sampai kemenangan!