Pemilihan Presiden Venezuela yang berlangsung 20 Mei lalu adalah sebuah episode dalam sejarah panjang Revolusi Venezuela yang telah berlangsung lebih dari 15 tahun. Tetapi pemilihan presiden kali ini berlangsung di bawah kondisi krisis ekonomi dan semakin memburuknya kondisi hidup kelas buruh dan kaum miskin. Revolusi Venezuela oleh karenanya sedang memasuki satu persimpangan jalan yang penting, yang akan menentukan nasibnya ke depan.
Maduro terpilih kembali dalam pemilu kali ini, dengan 6.248.864 suara atau setara dengan 46,07 persen pemilih. Sementara saingan terdekatnya, kandidat oposisi Henri Falcon, menerima 1.927.958 suara atau setara dengan 20,93 persen. Secara umum, kelas menengah dan kelas atas memboikot pilpres ini. Di daerah yang didominasi oposisi, yakni di Caracas Timur, abstain sangat tinggi. Di Chacao, partisipasi berjumlah 13,8% sementara di El Hatillo dan Baruta 15%. Sementara di wilayah kelas pekerja dan wilayah chavista, jumlah pemilih jauh lebih tinggi. Di tempat pemungutan suara seperti di La Piedrita 86% pemilih terdaftar, dengan 92% suara untuk Maduro, Antimano 58,5%, San Agustun 52% dan El Valle 51%. Di wilayah-wilayah pedesaan jumlah pemilih juga tinggi, seperti di Cojedes 62%, Delta Amacuro 60%, Portuguesa 58%, Sucre 55%, Monagas 52%, dsb.
Tetapi ada selapisan pendukung Revolusi Bolivarian yang pada pilpres ini lebih memilih tinggal di rumah dan tidak berangkat ke TPS. Lapisan-lapisan ini dapat dihitung dengan mudah. Dibandingkan dengan 2013, Maduro telah kehilangan 1.338.715 suara. Sementara daftar pemilih justru meningkat 1.622.614. Pada 2013, Maduro didukung oleh 40% pemilih, tetapi kali ini angkanya turun menjadi 30%. Rakyat memberikan suara mereka pada Maduro sebagai upaya untuk memukul balik sayap kanan dan imperialisme. Tetapi gerakan Bolivarian semakin lemah dalam kemampuannya untuk memobilisasi lapisan rakyat luas, dibandingkan 5 tahun yang lalu ketika Maduro terpilih untuk pertama kalinya. Ini adalah tren yang mengkhawatirkan, yang mencerminkan tidak hanya dampak krisis ekonomi tetapi juga persepsi di mata rakyat bahwa pemerintah tidak mampu atau tidak mau mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasinya.
Situasi ini semakin diperparah oleh kelanjutan kebijakan Pemerintahan Maduro yang terus membuat konsesi pada kaum kapitalis dan oligarki. Jika bukan karena subsidi sembako, migrasi dan ekonomi berbasis dolar, situasinya akan menyebabkan ledakan sosial. Mood kemarahan para chavista semakin meningkat dan mereka mulai mengkritisi kepemimpinan Bolivarian.
Seperti yang diberitakan di media-media massa, negara-negara imperialis menolak untuk mengakui hasil pilpres 20 Mei lalu. Washington, Brussels dan apa yang disebut sebagai Kelompok Lima — yang beranggotakan Argentina, Brasil, Kanada, Chile, Kolombia, Kosta Rica, Guatemala, Honduras, Meksiko, Panama, Paraguay, Peru, Guyana dan Saint Lucia — mengeluarkan pernyataan keras mengecam pilpres Venezuela. Ini lalu disusul dengan pernyataan serupa dari Organisation of American States (Organisasi Negara-negara Amerika) pada 5 Juni, yang mendeklarasikan bahwa pilpres ini tidak sah. Mereka meminta negara-negara anggota untuk “menerapkan … langkah-langkah yang dianggap tepat di bidang politik, ekonomi dan finansial untuk membantu pemulihan tatanan demokrasi di Venezuela.” Di belakang semua manuver ini adalah Amerika Serikat.
Reaksi lebih lanjut dari imperialisme dan sekutunya tentu saja dapat diprediksi: peningkatan tekanan diplomatik, lebih banyak sanksi dan seruan lebih lanjut untuk kudeta. Mereka menyembunyikan niat mereka sesungguhnya dengan wajah “keprihatinan akan demokrasi” dan keinginan untuk segera “mengakhiri krisis kemanusian”. Tetapi kaum imperialis tidak bisa membodohi siapapun.
Administrasi Trump dengan cepat mengetatkan sanksi terhadap Venezuela, bahkan sebelum hasil akhir pemilihan diumumkan. Sanksi ini diputuskan oleh Trump pada Agustus 2017 atas dasar perintah eksekutif yang ditandatangani oleh Obama. Sanksi tersebut menargetkan pejabat tinggi Venezuela dan membuat ilegal perundingan kembali hutang Venezuela terhadap AS. Sanksi baru juga diumumkan pada 21 Mei, dimana Trump melarang perusahaan Amerika Serikat atau warga negaranya “untuk membeli hutang atau piutang” dari Pemerintah Venezuela, termasuk Petroleos de Venezuela, yang merupakan perusahaan minyak milik pemerintah.
Krisis Ekonomi Venezuela
Tahun lalu, inflasi sembako telah mencapai tingkat yang tak pernah terlihat sebelumnya. Sebagai contoh: satu kilo ayam pada 2017 harganya 4500 bolivar, dan sekarang meningkat menjadi satu juta. Peningkatan ini setara dengan 22.000%. Meskipun jumlah nominal upah telah meningkat tapi daya beli upah jauh tertinggal dari kenaikan harga. Upah minimum yang setahun lalu berkisar 148.648 bolivar sekarang meningkat menjadi 2.555.500, yakni peningkatan sebesar 1.620%. Ini jauh di bawah inflasi sembako, yang berarti daya beli menurun 90% dalam kurun waktu satu tahun.
Dalam kondisi ini, kelas pekerja merasa sangat sulit untuk menjalani kehidupan sehari-hari mereka. Banyak rakyat miskin yang mengandalkan subsidi sembako, tetapi suplai subsidi ini menjadi tidak menentu dalam pengirimannya. Banyak yang hanya dapat bertahan hidup dengan mendapatkan penghasilan dalam bentuk dolar melalui teleworking, pengiriman uang, migrasi dan penambangan bitcoin. Industri dasar di Guayana pun benar-benar lumpuh atau beroperasi hanya dalam kapasitas 5 hingga 15%. Krisis ekonomi ini semakin diperparah oleh sanksi ekonomi yang secara perlahan mencekik kemampuan pemerintah Venezuela untuk mendapatkan hutang dan mengimpor sembako.
Kebijakan pemerintah dalam mencetak uang untuk membiayai defisit fiskal tahunan sekitar 15% dari PDB telah menyebabkan devaluasi mata uang yang masif (sebesar 99% menurut nilai tukar resmi) dan hiperinflasi. Subsidi pemerintah dalam bentuk bonus, yang dibayar dengan mencetak uang, bahkan tidak bisa menutupi merosotnya daya beli rakyat. Pemerintah terus memohon kepada kapitalis untuk berinvestasi dan membuat konsesi yang lebih banyak lagi seperti menciptakan zona ekonomi khusus, mengontrol harga, membuka sejumlah lahan untuk eksploitasi mineral, dan menawarkan pinjaman murah.
Peluncuran mata uang kripto Petro adalah langkah putus asa untuk menghindari sanksi moneter terbaru AS, yang mencegah Venezuela dari merundingkan hutangnya. Petro adalah instrumen keuangan yang berdasarkan penjualan minyak yang belum diekstraksi. Penggunaan teknologi blockchain oleh mata uang Petro berarti bahwa investor dapat membayar Venezuela tanpa dikenakan sanksi AS dan pada saat yang sama ini memungkinkan pemerintah Venezuela untuk mendapatkan hutang baru tanpa harus melibatkan Majelis Nasional yang didominasi oleh oposisi. Uang yang terkumpul ini akan digunakan untuk membayar kembali hutang yang jatuh tempo pada 2018.
Krisis Ekonomi Semakin Memburuk
Akar penyebab krisis yang mengerikan ini adalah jatuhnya harga minyak dunia yang merupakan ekspor utama negara ini. Penurunan ini dimulai dari $100 per barel pada 2013, menjadi $85 pada 2014, $41 pada 2015 dan $35 per barel pada 2016. Selama 2017 terjadi sedikit pemulihan, tetapi pada saat yang sama produksi minyak di Venezuela merosot dari 2,8 juta barel per hari pada 2014 menjadi 1,5 juta barel per hari tahun ini. Alasan dari kemerosotan ini adalah kurangnya investasi dan pemeliharaan, serta korupsi dan salah urus. Kini, tingkat produksi minyak yang semakin rendah telah mencegah Venezuela dari mendapatkan keuntungan dari harga minyak yang telah pulih.
Turunnya harga minyak ini mengungkapkan keterbatasan dari “sosialisme minyak,” dimana pendapatan minyak yang besar digunakan untuk program sosial tanpa menyentuh kepemilikan alat-alat produksi milik segelintir kapitalis dan oligarki. Dengan merosotnya pendapatan negara dari minyak, pemerintah terpaksa menggunakan cadangan mata uang asing mereka untuk membayar hutang luar negeri. Ini pada gilirannya menyebabkan kemerosotan dan penyusutan impor secara brutal dari $32,5 miliar pada 2014 menjadi $9,3 miliar pada 2017. Ini lantas menyebabkan kelangkaan makanan dan obat-obatan.
Ada kerusakan serius di semua infrastruktur sebagai akibat dari kesalahan manajemen, korupsi selama bertahun-tahun dan kurangnya dana investasi, pemeliharaan dan perbaikan. Selain itu banyak pekerja sektor publik yang bermigrasi ke negara lain dan melarikan diri dari runtuhnya daya beli masyarakat.
Pemadaman listrik dan pemutusan aliran air rutin terjadi, yang terus mempengaruhi kehidupan jutaan orang, termasuk di ibukota Caracas, dimana anggaran Hidrokapital (PDAM) telah dipangkas habis-habisan dan memperparah dampak kekeringan yang sudah akut. Akibatnya wilayah ibukota kadang-kadang tidak mendapat suplai air selama berhari-hari atau berminggu-minggu. Rakyat harus menggunakan segala macam trik untuk sekedar mencuci muka dan pakaian mereka, mendapatkan air untuk minum, masak dan lain sebagainya.
Transportasi publik di sana juga kacau. Pemilik bus dan minivan menuntut kenaikan harga yang sangat tinggi untuk menutupi dampak hiperinflasi pada biaya pemeliharaan, perbaikan dan suku cadang. Di banyak daerah bahkan truk transportasi kargo berubah menggantikan layanan unit bus.
Ledakan Sosial yang Tertunda
Ada sejumlah katup pengaman yang mencegah krisis ekonomi ini berubah menjadi ledakan sosial. Salah satunya adalah sistem subsidi sembako yang disediakan oleh pemerintah, yang setidaknya di wilayah ibukota mencakup sebagian besar penduduk. Yang lainnya adalah bantuan langsung tunai (BLT) yang reguler diberikan oleh pemerintah untuk berbagai lapisan masyarakat. Ada sekitar 11 jenis bantuan langsung tunai seperti itu sepanjang tahun ini dan jumlahnya juga meningkat.
Katup pengaman lainnya adalah migrasi. Ini adalah masalah yang diperdebatkan dan sekali lagi tidak ada angka yang dapat diandalkan. Tetapi jelas bahwa ratusan ribu rakyat Venezuela, terutama pemuda, telah meninggalkan tanah air mereka untuk mencari pekerjaan di luar negeri dan menghidupi keluarga mereka melalui pengiriman uang. Beberapa tahun yang lalu, migrasi merupakan fenomena yang mempengaruhi keluarga kelas menengah dan atas, dan tujuannya adalah Eropa dan Amerika Serikat. Sekarang semakin banyak pemuda dari keluarga kelas pekerja yang berangkat ke Kolombia, Peru, Bolivia, Ekuador dan negara-negara lain di kawasan itu, dimana mereka secara brutal dieksploitasi dalam pekerjaan dengan upah dan kondisi yang buruk.
Maduro Membuat Banyak Konsesi Pada Kapitalis
Apa tanggapan pemerintah terhadap krisis yang kian parah di semua tingkatan ini? Segera setelah Pemilu 20 Mei berakhir, Maduro kembali membuat konsesi dan menawarkannya pada oposisi.
Pertama-tama ia mengadakan pertemuan tingkat tinggi dengan para petinggi kapital finans dimana ia pada dasarnya melanjutkan untuk menerima semua tuntutan mereka: penundaan dalam pengenalan mata uang baru, yang dijadwalkan akan berlaku mulai Juni, dan peningkatan tarif kartu kredit.
Keterlambatan pengenalan mata uang baru akan memberi para pedagang pasar gelap dan para spekulan banyak waktu untuk mencuci keuntungan haram mereka. Kenaikan tarif kartu kredit maksimum 29% akan memukul kelas pekerja karena mereka menggunakannya untuk mengakali hiperinflasi, dimana mereka meminjam hari ini dan membayar kembali dengan uang yang didevaluasi besok. Jika ada lebih banyak konsesi yang dibuat di bidang ini, maka ini akan menyebabkan krisis hutang yang serius dalam sistem perbankan karena pelanggan tidak akan dapat membayar kembali hutang mereka.
Pertemuan ini direspons oleh chavista dengan kemarahan karena pemerintah bersedia bertemu dengan para oligarki yang sebelumnya dituduh bertanggung jawab terhadap perang ekonomi. Selain itu mereka juga marah terhadap arogansi presiden Asosiasi Perbankan yang menuntut konsesi dari Maduro di TV secara langsung dan cara bagaimana Maduro menyetujuinya.
Mahkamah Agung juga membebaskan sejumlah tahanan yang terlibat dalam aksi kekerasan oposisi pada 2014 dan 2017. Mereka yang dibebaskan ini adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas kematian puluhan orang.
Sejumlah direktur bank BANECO juga dibebaskan secara terpisah. Mereka ditangkap sebelum pilpres dan dituduh sebagai dalang dari perang ekonomi melawan Venezuela. Pertanyaan yang harus diajukan: apakah mereka hanya dipenjara tepat sebelum pilpres sehingga pemerintah dapat tampil tegas terhadap kapitalis?
Sebagai indikasi dari mood di kalangan para chavista, sebuah video yang berisi pidato Chaves pada 1999 pada sumpah pertamanya sebagai Presiden beredar dan viral. Dalam pernyataan yang keras dalam video itu, Chaves mengatakan: “untuk mencari konsensus dengan mereka-mereka yang menentang perubahan yang diperlukan adalah pengkhianatan”. Sepertinya video ini digunakan untuk menanggapi pernyataan Maduro sejak 20 Mei.
Kegagalan Kebijakan Pemerintah
Apa yang gagal di Venezuela bukanlah sosialisme, melainkan upaya untuk mengatur kapitalisme melalui kontrol harga dan valuta asing, untuk menghaluskan sisi-sisi kasarnya dan entah bagaimana membuatnya bekerja untuk kepentingan mayoritas. Tendensi Marxis kita menunjukkan sejak awal bahwa tidak mungkin menggabungkan unsur nasionalisasi dan perencanaan negara dengan ekonomi pasar. Eksperimen semacam ini pasti akan berakhir dengan kekacauan, persis seperti yang kita lihat sekarang ini. Cepat atau lambat pemerintahan Maduro akan takluk pada ekonomi pasar.
Chavez berulang kali memperingatkan adanya birokrasi kontra-revolusioner. Birokrasi adalah kanker yang menggerogoti isi perut revolusi dan menghancurkannya dari dalam. Revolusi Bolivarian sedang dilubangi dari dalam, oleh birokrasi yang ingin mengosongkannya dari semua konten revolusionernya dan direduksi menjadi cangkang kosong, yakni kulit kering yang mudah dihempas oleh hembusan angin yang kuat. Cengkeraman birokrasi ini telah mencekik inisiatif revolusioner massa.
Di masa lalu program sosial pemerintah melibatkan elemen kontrol buruh. Tapi semua ini telah berubah. Subsidi pemerintah membuat penerimanya bergantung pada negara, yakni birokrasi. Subsidi ini digunakan sebagai pengungkit yang kuat untuk patronase politik. Mereka adalah sarana untuk membeli suara.
Pemilihan kembali Maduro belum menyelesaikan apapun. Ini hanya menunda oligarki untuk naik merangsek kembali ke tampuk kekuasaan. Sementara kebijakan pemerintah justru mempersiapkan kondisi untuk sebuah kekalahan. Sulit untuk memprediksi bagaimana situasi ini akan terpecahkan. Tapi satu hal yang jelas adalah dibutuhkannya kekuasaan kelas buruh dan tani dengan kebijakan independen mereka sendiri. Ini bukan tugas yang mudah, karena krisis ekonomi membebani kelas pekerja yang energinya terserap oleh upaya bertahan hidup.
Apa Yang Kita Perlukan?
Untuk mengatasi krisis akut ini diperlukan program yang tegas, berani dan revolusioner, yakni pengambilalihan bank-bank, perusahan-perusahaan kapitalis dan lahan-lahan yang dimiliki tuan tanah, sehingga ekonomi negara dapat direncanakan di bawah kontrol buruh yang demokratis untuk memenuhi kebutuhan mayoritas. Program ini hanya bisa dilakukan oleh kepemimpinan baru yang revolusioner, yang harus datang dari dalam jajaran chavista yang tersisa. Ini adalah satu-satunya cara untuk mencegah oligarki dan imperialisme mengambil alih kekuasaan.
Kita perlu memperingatkan kembali bahwa terpilihnya kembali Maduro tidak akan menyelesaikan masalah politik dan ekonomi yang dihadapi pemerintahan Bolivarian. Tugas utama yang dihadapi lapisan-lapisan paling maju di Venezuela sekarang ini adalah mengambil pelajaran yang serius dari empat tahun terakhir krisis ekonomi yang terjadi di Venezuela. Atas dasar itu program sosialis yang jelas harus segera diadopsi sebagai satu-satunya jalan ke depan. Atas dasar program semacam ini, seorang pemimpin baru yang revolusioner harus dibangun agar mampu mempraktekkannya.