Dalam beberapa minggu ke depan pemilihan umum akan diselenggarakan. Secara umum tidak ada perbedaan mendasar dari pemilu-pemilu sebelumnya selain perwakilan-perwakilan dari borjuasi kita ingin mempertahankan legitimasinya. Meskipun dengan berbagai dalih dan tipu muslihat, para wakil rakyat kita tidak lebih daripadanya. Dalam berbagai isu secara keseluruhan mereka adalah sama. Seperti halnya sebuah kompetisi, beberapa dari mereka akan bertarung di pemilihan nanti. Namun tidak ada satu pun program yang mampu menarik massa ke sisi mereka. Selain kecut melihat tingkah laku para penjabat yang korup, pemilu kali ini tidak mampu memberikan jaminan hari depan yang lebih baik bagi rakyat pekerja.
Dengan kondisi yang demikian buruk, yang tampaknya tidak ada jalan keluar, banyak ilusi-ilusi bertebaran mengenai sosok juru selamat yang mampu mengatasi segala macam keterpurukan dengan satu resep ajaibnya. Dalam kondisi demikian hal yang nampak tidak rasional menjadi rasional. Bila kondisi sosial bisa diselesaikan dengan sebuah resep ajaib, maka kita tidak perlu lagi mendekati permasalahan demikian dengan pendekatan ekonomi. Cukup kita serahkan pada satu orang yang mempunyai kekuatan magis. Namun pendekatan demikian tidaklah memadai untuk menganalisa bahkan untuk memecahkan sebuah problem sosial. Kita harus berangkat dari pemahaman bahwa sistem saat ini adalah sistem yang membagi masyarakat menjadi kelas-kelas sosial yang berbenturan, dan oleh karenanya kepentingan kelas buruh sangat bertolak belakang dengan kepentingan borjuasi.
Bahkan ketika borjuasi mampu memberi sejumlah konsesi, ini adalah hasil langsung ataupun tidak langsung dari tekanan kelas buruh dan bukan karena kemurahan hati kaum kapitalis. Pada periode-periode boom kapitalisme, atas desakan dan tuntutan kelas buruh kemungkinan konsesi akan dapat diperoleh dengan mudah. Kondisi bisa berbalik tiga ratus enam puluh derajat bila kapitalisme sedang mengalami krisis seperti yang sedang terjadi hari ini. Jatuhnya standar hidup di hampir seluruh dunia semenjak pecahnya krisis finansial 2008 telah membuat keabsahan kapitalisme dipertanyakan dan membawa kembali perjuangan kelas ke dalam agenda.
Apabila perekonomian dunia dilihat sebagai badan dari keseluruhan bangunan, maka negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia adalah bagian dari penopangnya seperti halnya kaki-kaki ayam yang sedang menopang sebuah bangunan besar. Bila negeri-negeri maju di Barat sebagai bangunan atas dari sebuah bangunan goyah, maka ini tentu membawa dampak bagi bangunan penopang di bawahnya. Sebagai sebuah satu kesatuan, perekonomian Indonesia tidak terlepas dari imbas krisis tersebut.
Krisis kapitalisme telah memporak-porandakan semua analisis para ekonom borjuis kita. Mereka tidak melihat anasir sebuah pemulihan yang pasti dalam beberapa tahun ke depan. Justru hal yang paling berat mereka katakan adalah kata pemulihan karena setiap prediksi pemulihan mereka selalu terbantahkan oleh fakta. Satu-satunya hal yang bisa mereka lihat adalah program penghematan, yang akan menjadi program krusial dalam dekade-dekade ke depan. Ini berarti sebuah era panjang di mana kelas pekerja harus mengencangkan ikat pinggang mereka karena standar hidup mereka telah diserang. Capaian-capaian yang terdahulu telah dimenangkan seperti jaminan kesehatan, pensiun, dll., kemudian menjadi arena perjuangan di mana kelas pekerja akan mempertahankan ini mati-matian.
Tidak di Eropa tidak pula di Indonesia. Bangunan perekonomian dunia yang sedang runtuh serta ketidakmampuan kelas borjuis Indonesia menyelesaikan problem-problem rakyat telah membawa persoalan menjadi semakin keruh. Untuk membawa penyelesaian akhir problem-problem rakyat pada skema kapitalisme hanya akan membawa kehancuran bagi kelangsungan hidup umat manusia. Jalan yang ditempuh sekarang mengambil bentuknya seperti apa yang telah kita saksikan, yaitu sebuah era panjang periode penghematan. Untuk itu kaum buruh perlu mendobrak keluar batasan kapitalisme membawa persoalan ini pada persoalan kelas yakni dengan menyita semua properti kelas borjuis.
Bila kita bertolak pada kondisi perekonomian dunia, kita sedang menyaksikan sebuah keruntuhan sistem kapitalis. Peristiwa-peristiwa dunia mencerminkan kebangkrutan-kebangkrutan rezim-rezim borjuis. Bahkan rezim-rezim yang populis seperti Lula di Brazil, Bachelet di Chile, Correa di Ekuador, pada masa awal kepemimpinan mereka mampu memberikan reforma-reforma bagi kelas pekerja. Sekarang setelah krisis mengguncang negara tersebut mereka langsung bergerak ke konter-reforma, yakni menerapkan kebijakan penghematan. Sosok-sosok populis ini bersandar pada sistem kapitalisme yang sudah bangkrut sehingga mereka impoten dalam mengambil langkah-langkah untuk kesejahteraan rakyat pekerja.
Populisme sangatlah penting apalagi dalam krisis-krisis politik. Apabila populisme mereka dilengkapi dengan program mengambil alih properti borjuis di bawah kontrol rakyat pekerja maka jaminan kesejahteraan adalah hal yang mungkin diwujudkan. Tanpa program-program penggulingan sistem kapitalis, populisme mereka cepat atau lambat akan segera gugur di mata rakyat.
Selain itu permasalahan korupsi yang ada di Indonesia rupanya telah membawa krisis di dalam institusi demokrasi borjuis, baik lembaga-lembaga penyokongnya maupun partai-partai yang menjadi dasar demokrasi tersebut. Partai-partai borjuis yang ada telah kehilangan kapital politik untuk menjaga demokrasi borjuis tetap bertahan di dalam norma-norma masyarakat. Perjuangan kelas yang semakin menajam tidak memungkinkan kaum borjuis menggunakan aparatus negara, yakni tentara, polisi dan penjara, untuk menjaga stabilitasnya. Dalam batasan tertentu, kelas borjuis membutuhkan sebuah sosok yang mampu mengembalikan kapabilitas demokrasi borjuis sehingga mampu membuatnya bertahan.
Pada tahun lalu kita menyaksikan popularitas Jokowi mampu memenangkan pemilihan gubernur DKI Jakarta. Tidak berhenti di situ popularitas Jokowi di gadang-gadang untuk memenangkan pemilihan presiden tahun ini. Popularitas Jokowi memberi angin segar bagi kaum borjuis di samping pengharapannya akan mampu memulihkan demokrasi borjuis di mata rakyat. Di sisi lain popularitas Jokowi diharapkan mampu mengatasi semua masalah-masalah rakyat. Dua kepentingan yang berbeda ini haruslah kita bedakan dari selubungnya yang pekat. Sehingga kita bisa menarik pembatas yang tegas di antara keduanya.
Kelas borjuis menginginkan pemulihan orde demokrasi borjuasi yang tidak bisa dipulihkan dengan mengajukan sosok-sosok lama yang terbukti sudah bangkrut. Selanjutnya, ketidakmampuan kelas pekerja memberikan sebuah ekspresi kepemimpinan membuat rakyat pekerja menaruh kepercayaannya pada kepopuleran Jokowi. Bila kita kesampingkan populisme dalam masalah ini, kita akan melihat permasalahan-permasalahan yang sudah mengakar dalam sistem kapitalisme yakni, kemiskinan, pengangguran, sistem kesehatan yang buruk dan lain sebagainya. Permasalahan yang mengakar ini sudah melekat semenjak kelahiran kapitalisme dua ratus tahun yang lalu sampai sekarang. Ini adalah masalah sistem yang tidak mampu diselesaikan dalam batasan populisme. Di sini populisme membutuhkan sandarannya.
Kemiskinan, pengangguran, serta permasalahan-permasalahan rakyat yang semakin akut membutuhkan sebuah penanganan yang tepat dan program yang tepat. Dalam hal ini kepopuleran sangat dibutuhkan dalam menerapkan sebuah kebijakan sehingga didukung atas seluruh partisipasi rakyat. Di sisi lain kepopuleran akan menunjukkan kelemahannya bila ia bersandar pada fondasi kapitalisme yang sudah terbukti usang. Yang dibutuhkan sekarang bukan popularisme dalam komik-komik dan bacaan-bacaan lucu yang mampu menghibur dalam waktu sekejap dan lalu menghilang; yang dibutuhkan di sini adalah sebuah kepopuleran yang bersandar pada penumbangan masyarakat kapitalis, dalam konteks yang sama ini berarti kepopuleran kelas buruh sebagai kelas yang mampu menumbangkan kapitalis dan membawa tugas-tugas sosialis.
24 Maret 2014