Rezim Prabowo Subianto lahir di antara krisis. Bagaimana tidak, utang pemerintah dari obligasi beserta bunganya yang jatuh tempo di tahun 2025 sendiri saja mencapai Rp1.353 triliun, yang merupakan warisan pemerintahan sebelumnya. Sampai tahun 2029 nilai utang ini kian fantastis, menyentuh angka Rp3.086 triliun. Rasio utang Indonesia sekarang sudah mencapai 41 persen dibanding produk domestik bruto. Cepat atau lambat ia harus dibayar. Mungkin berhari-hari dalam alam pikiran Prabowo kalimat ini menari-nari: “Dari mana duitnya?”
Selain utang yang menumpuk, Prabowo juga harus menepati janji manisnya kepada rakyat. Kita masih ingat program makan gratis kepada setiap murid sekolah di seluruh Indonesia, agar rakyat terbebas dari kelaparan. Kata “gratis” di sini tentu saja salah dan palsu—seperti kata pepatah, tak ada makan siang gratis. Prabowo harus membayarnya senilai Rp171 triliun (ini pun jauh dari kata layak). “Dari mana duitnya?”
Janji manis Prabowo juga bukan hanya kepada rakyat. Lebih dari itu, dia juga harus membayar para pendukungnya dengan posisi dan jabatan. Sejumlah 53 menteri dan 56 wakil menteri masuk ke dalam kabinet gendut Prabowo-Gibran. Mereka semua mendapatkan berbagai privelese yang ditanggung negara: gaji dan tunjangan beserta jaminan pensiun yang besar; rumah dinas beserta biaya listrik, air, kebersihan dan keamanan; sampai mobil dinas beserta supir dan voorrijder yang bikin macet jalanan. Ini belum ditambah ratusan staf khusus dan staf ahli, pejabat-pejabat non-menteri atau kepala badan. Seluruh kegiatan mereka dibayar negara. “Dari mana duitnya?”
Belum cukup itu pula, Prabowo dan para pendukungnya juga tengah menggodok “Danantara”, suatu megaproyek yang mampu menyaingi dan bahkan mengalahkan Ibu Kota Nusantara dalam segi anggaran. Danantara digadang-gadang sebagai suatu “sovereign wealth fund” atau pengelola dana investasi milik negara, ala Temasek milik pemerintah Singapura. Pemerintah mengonsolidasikan modal semua BUMN dan membuat mereka berada di bawah naungan Danantara. Aset yang akan dikelola oleh Danantara berjumlah US$ 900 miliar dolar, atau sekitar 14 ribu triliun rupiah. Pengelolaan aset besar ini membutuhkan modal minimal Rp 1000 triliun. Modal dari BUMN sendiri tak cukup menutup target modal awal, sehingga harus ditambah lagi oleh pemerintah. “Dari mana duitnya?”
Prabowo menghadapi ini semua di tengah krisis dunia, dengan peningkatan kompetisi antar kekuatan imperialis, terutama AS dan Tiongkok, di mana Indonesia mau tak mau terdampak olehnya. Kebijakan proteksionis di mana-mana. Konflik imperialis di depan mata. Modal asing sulit mengucur; tak ada dana segar dari luar. Lagi, “Dari mana duitnya?”
“Aha!” begitu kata Prabowo, Sri Mulyani dan kawan-kawan. Bertemulah mereka dengan jawabannya, yang tak lain dan tak bukan adalah pengetatan anggaran. Mengurangi jatah anggaran yang “tidak diperlukan,” untuk meningkatkan “efisiensi” dan “ketepatan sasaran” anggaran, demi membayar utang dan proyek impian kelas penguasa. Inilah jawaban terbaik dari representasi terpilih kelas penguasa kita. Timbullah pertanyaan di pikiran kita: siapa yang sebenarnya membayar dampak “efisiensi anggaran” itu?
Pemangkasan anggaran oleh Prabowo tidak tanggung-tanggung. Jumlahnya mencapai Rp306 triliun sesuai Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tanggal 22 Januari 2025. Belum cukup, Prabowo berencana lagi kembali memangkas anggaran sehingga totalnya menjadi Rp750 triliun. Ini ia sampaikan pada perayaan ulang tahun partai pribadinya, Gerindra, di Bogor pada 15 Februari 2025.
Pemotongan anggaran ini berpengaruh kepada berbagai sektor. Misalnya, anggaran Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) diturunkan dari Rp2,826 triliun menjadi Rp1,423 triliun. Artinya, BMKG akan kesulitan mendapatkan akurasi informasi cuaca, iklim, gempa bumi dan tsunami, dari 90 persen menjadi 60 persen. Informasi peringatan dini tsunami diperlambat dari 3 menit menjadi 5 menit. Penyebarluasan informasi gempa dan tsunami menurun 70 persen. Tentu ini berakibat pada kesiapan kita menghadapi bencana alam. Kelas pekerja yang jauh lebih rentan terdampak dibanding kelas borjuasi, dipaksa menelan akibat dari bencana yang sebenarnya dapat dihindari.
Sektor pendidikan pun juga terdampak, dari semula Rp722 triliun menjadi Rp607,4 triliun. Pemangkasan anggaran di sektor ini berdampak bukan hanya pada operasional, seperti alat tulis kantor yang dipotong hingga 90 persen, tetapi juga kesejahteraan pendidik dan pelajar, seperti misalnya tunjangan dosen dan beasiswa yang terkena pemangkasan 10 sampai 25 persen. Beban ini tentu akan ditaruh di pundak para pekerja, yang menginginkan anaknya untuk mengenyam pendidikan layak. Anaknya yang ingin menjadi dokter atau sutradara film sekarang harus terpaksa bekerja dulu sebagai barista di kafe, karena ayahnya si buruh kantoran tidak punya cukup uang untuk membayar uang kuliah. Otak yang harusnya diasah untuk memajukan kebudayaan dan ilmu pengetahuan malah disia-siakan untuk kerja fisik yang melelahkan.
Kita belum menghitung sektor-sektor lain, seperti sektor transportasi dan kesehatan. Kita akan melihat jalan-jalan berlubang yang tak kunjung diperbaiki, meningkatnya kecelakaan bus dan truk akibat inspeksi tidak memadai, transportasi umum semakin jarang dan biayanya naik, subsidi BBM diperketat atau naik, dan lain-lain. BPJS akan semakin ketat menagih iuran, daftar antrian kian panjang, rumah sakit kurang dokter dan suster karena tidak mampu membayar gaji, dan lain-lain.
Pengetatan anggaran oleh kelas penguasa akan dibayar oleh keringat dan darah kelas pekerja.
“Ide bagus” Prabowo lahir bukan karena ia bodoh atau inkompeten. Tak ada siapapun dari jajaran kelas penguasa yang mampu menyelamatkan anggaran nasional. Krisis kapitalisme yang terjadi sekarang sudah mencapai stadium tertingginya. Ibarat kanker ganas, ia semakin lama semakin menggerogoti sekujur tubuh masyarakat, membuatnya semakin tidak stabil. Upaya Prabowo memangkas anggaran adalah suatu cara tipikal kelas borjuasi dalam menghadapi krisis. Sialnya, langkah mereka malah memperparah krisis. Dengan pemangkasan anggaran, daya beli masyarakat menjadi lebih rendah sehingga kelas pekerja tak mampu membeli kembali barang dagangan yang tersedia di pasar. Mereka harus menahan diri dari belanja, yang membuat roda ekonomi berhenti berputar. Padahal, ini diperlukan untuk meningkatkan laba si kapitalis. Untuk memacu roda ekonomi, langkah kelas penguasa biasanya adalah dengan berutang, tetapi sekarang, mereka mengetatkan anggaran juga karena mereka harus membayar utang. Tak mungkin lagi mereka menambah beban utang yang sudah tinggi. Maju kena, mundur kena.
Kapitalisme semakin lama semakin membagi masyarakat ke dalam dua kelas: kelas proletar dan kelas borjuasi. Peningkatan kekayaan, kemewahan dan hura-hura di satu sisi minoritas, adalah peningkatan kemiskinan, kemelaratan dan kesedihan di satu sisi mayoritas. Ini bahkan terjadi di antara kaum PNS, yang dahulu dianggap sebagai kelompok pekerja “menengah atas” yang paling kolot dan angkuh, hidup penuh dalam privilese. Akibat pengetatan anggaran, satu demi satu privilese mereka dicabut. Tunjangan mereka diperkecil, semisal, antar-jemput kantor ditiadakan. Di saat bersamaan mereka melihat atasan mereka diantar-jemput supir pribadi dengan mobil Alphard atau Pajero Sport, bahkan dengan pengawalan. Mereka mulai melihat ada perbedaan antara “kita” dan “mereka”. PNS yang dahulu dianggap konservatif mulai berubah menjadi kebalikannya. Akibat pengetatan anggaran, mereka mulai menjadi vokal dan melawan, bahkan beberapa di antara mereka mulai bergerak secara kolektif, tak lagi bersuara secara pribadi dan anonim. Dalam tingkatan tertentu, semakin banyak yang mulai sadar akan posisi mereka di masyarakat—sebagai bagian dari kelas pekerja. Ini seperti yang dijelaskan oleh Marx lebih dari seabad yang lalu, “Borjuasi telah melucuti kemuliaan dari setiap pekerjaan yang selama ini dihormati dan dikagumi. Mereka telah mengubah para dokter, pengacara, pendeta, penyair, ilmuwan, menjadi pekerja-upahan yang dibayarnya.”
Pengetatan anggaran berarti penajaman perang kelas. Akan ada banyak gejolak dalam masyarakat, yang dapat dengan cepat berubah menjadi situasi revolusioner. Kelas pekerja harus mampu merebut kesempatan historis ini, menumbangkan bukan hanya rezim yang berkuasa, tetapi juga keseluruhan sistem kapitalisme, menggantikannya dengan sosialisme. Selama kapitalisme masih bercokol, maka rakyat pekerjalah yang akan dipaksa untuk membayar krisis kapitalisme. Ini telah menjadi fakta hari ini di semua negara di seluruh dunia. Hanya dengan sosialisme – yaitu kelas buruh merebut kekuasaan politik dan ekonomi dari kelas kapitalis – kita bisa membiayai makan gratis, pendidikan gratis, kesehatan gratis dan segala impian kelas pekerja yang diambil oleh kelas penguasa.