Perang dagang antara Amerika dan Tiongkok terus memenuhi kolom-kolom berita. Meski tidak melibatkan Indonesia secara langsung, masalah perang dagang ini mendorong banyak perdebatan di antara para ekonom Indonesia mengenai fungsi kebijakan proteksionisme untuk melindungi pasar nasional. Perang dagang antara kedua kekuatan ekonomi ini juga menyeret sejumlah negara maju Eropa. Prospek pemulihan tampak samar bahkan membuat krisis semakin dalam. Outlook untuk pertumbuhan ekonomi global ke depan diprediksi semakin surut.
Hampir dua tahun lalu kenaikan Trump ke tampuk kekuasaan disambut dengan kecemasan oleh para politisi tidak hanya di Amerika tetapi juga di seluruh dunia. Trump dengan ide America First-nya, yang mengedepankan konsep proteksionisme untuk melindungi pasar nasionalnya sendiri, telah memicu konflik antar para petinggi dunia. Ia secara luas disalahkan karena kebijakannya tersebut menjerumuskan dunia ke dalam krisis politik dan ekonomi yang semakin mendalam. Tentu saja ini adalah klaim yang dibesar-besarkan. Krisis yang ada hari ini bukanlah ciptaan Trump ataupun individu lainnya. Krisis hari ini adalah manifestasi krisis organik dari sistem yang telah mencapai limit historisnya dan menemukan dirinya berada di jalan buntu.
Meskipun Trump bukanlah individu yang bertanggung jawab menciptakan krisis ini, kebijakan-kebijakannya memperparahnya. Dengan membatalkan banyak perjanjian perdagangan internasional dan menerapkan tarif impor yang tinggi, pemerintahannya membuat krisis kapitalisme menjadi semakin dalam dan memberinya karakter yang tidak stabil dan tidak bisa diprediksi.
Kondisi ekonomi hari ini diperparah dengan semakin intensnya perang dagang antara Amerika dengan Tiongkok yang telah berlangsung dalam satu tahun terakhir. Setiap kebijakan pengenaan tarif impor terhadap komoditas Tiongkok dengan segera mendapat balasan dari negeri tirai bambu itu, dan sebaliknya. Bulan lalu, AS memperluas tarif impor mereka, dari yang sebelumnya dikenakan ke 60 miliar dolar impor dari Tiongkok kini menjadi 200 miliar. Pemerintah AS mengatakan bahwa mereka meningkatkan tarif impor ini sebagai balasan atas kebijakan tarif Tiongkok.
Perang dagang telah menjadi satu tema umum yang kembali menyeruak. Di tengah situasi ekonomi global yang belum menunjukkan pemulihan berarti sejak krisis 2008, perang dagang dan kebijakan proteksionisme menjadi “ancaman” baru bagi kelas kapitalis. Christine Lagarde, Direktur Dana Moneter Internasional (IMF), berkali-kali mengatakan bahwa perang dagang justru semakin membuat muram prospek ekonomi dunia ke depan. Sebuah krisis ekonomi yang baru dapat terjadi lagi karena banyak pemerintah borjuis yang mulai berpaling dari konsep pasar bebas (globalisasi) dan mulai menoleh ke proteksionisme.
Trump ingin “membuat Amerika hebat lagi” dengan mengorbankan negeri-negeri lain. Dengan kata lain, Trump ingin menggunakan otot Amerika untuk merebut pangsa pasar dunia yang lebih besar dari tangan negeri-negeri lain. Selama beberapa tahun terakhir, Tiongkok memiliki surplus perdagangan yang besar. Pada tahun 2017 saja, surplus ini mencapai 275,81 miliar dolar. Ini adalah salah satu alasan mengapa Trump mengeluh mengenai Tiongkok yang telah merusak ekonomi AS.
Masalahnya adalah bila semua negeri kapitalis melakukan hal yang sama, yakni menutup perbatasannya dan melindungi pasar nasional mereka sendiri, ini akan memperlambat perdagangan dunia. Perlambatan ini akan mendorong perekonomian dunia semakin dalam ke jurang krisis. Ini yang ditakutkan oleh banyak ekonom kapitalis. Inilah yang terjadi pada krisis 1929, di mana kebijakan proteksionisme justru menjadikan krisis saat itu semakin dalam.
Situasi hari ini memberikan kita gambaran kerumitan kontradiksi kapitalisme yang tidak pernah mencapai posisi yang stabil. Tidak akan ada jalan keluar. Yang ada hanya jalan buntu. Kebijakan proteksionis ataupun kebijakan perdagangan bebas tidak akan menyelesaikan masalah krisis yang ada, karena dua kebijakan ini adalah dua sisi pada koin yang sama dari kapitalisme.