Gelombang kedua pandemi, atau yang lebih tepatnya disebut tsunami, telah memporakporandakan kehidupan ratusan juta rakyat pekerja. Tsunami ini sesungguhnya sudah menjadi keniscayaan sejak awal karena kebijakan pemerintah yang kriminal sejak awal. Campuran antara ketidakbecusan di satu sisi dan ketidakpedulian terhadap nyawa rakyat di sisi lain – berbalik dengan kepedulian besar mereka pada profit kapitalis – telah menjadi resep untuk gelombang kedua ini.
Kebijakan PPKM darurat terlalu terlambat diimplementasikan, dan ketika diimplementasikan tersingkap sebagai kebijakan kejam yang justru semakin mencekik rakyat pekerja. Alih-alih memberi rakyat pekerja miskin bantuan untuk bisa bertahan hidup selama PPKM darurat, yang diberi justru adalah hardikan kasar, pentungan, semprotan air, dan denda. Sementara, banyak pabrik besar yang bisa mengangkangi aturan PPKM.
Tidak heran bila banyak rakyat miskin yang menolak PPKM darurat ini, dengan sejumlah bentrokan yang sudah tercatat. Tidak heran pula kalau banyak rakyat yang tidak percaya pada Covid-19. Kalau pilihannya mati kelaparan atau mati kena virus, orang akan memilih ambil risiko terpapar Covid-19, dan dalam prosesnya mereka akan merasionalisasi pilihan tersebut dengan memilih fakta-fakta (hoaks) yang sesuai dengan pilihannya tersebut. Untuk yang beragama, mereka akan memilih hoaks vaksin Covid-19 mengandung bahan babi. Untuk yang lebih berpikiran ilmiah, mereka akan memilih argumen hoaks yang lebih berbobot ilmiah, seperti bahwa campuran obat-obatan Covid-19 dapat menyebabkan kematian. Yang sudah punya prasangka rasis anti-China, akan puas dengan penjelasan bahwa Covid-19 adalah konspirasi China. Setiap prasangka punya hoaksnya tersendiri, tetapi di balik semua ini adalah tekanan ekonomi. Kalau kita ingin mengubah situasi ini, maka harus ada jaminan kebutuhan hidup bagi semua rakyat selama pandemi.
Untuk itu, maka kita harus perjuangkan “PPKM dengan Jaminan Penuh Kebutuhan Pokok” sekarang juga. Seluruh rakyat harus mendapat bansos penuh tanpa-syarat, tanpa harus melalui proses pendaftaran dan pembuktian yang berbelit dan sering kali memalukan. Hanya dengan tuntutan ini pula kita bisa menghindari perpecahan di antara rakyat pekerja, antara yang mendukung PPKM dan yang menolak PPKM. Tuntutan ini juga akan menghindarkan kita dari mengambil posisi yang sama dengan kapitalis Indonesia, yang sejak awal juga telah menuntut dilonggarkannya PPKM demi kelancaran profit mereka.
Pemerintah pun diuntungkan dengan penolakan PPKM oleh selapisan rakyat, karena dengan ini mereka bisa menyalahkan rakyat pekerja sebagai biang kerok atas gelombang kedua ini. Padahal, yang bertanggung jawab atas munculnya oposisi terhadap PPKM dan bahkan menjamurnya berbagai hoaks adalah pemerintah itu sendiri.
Kapitalis harus membayar untuk pandemi ini, dan bukan rakyat pekerja. Selama pandemi, kapitalis telah meraup kekayaan besar. Kekayaan 15 konglomerat terkaya di Indonesia naik 33,7%, dari US$53,7 miliar menjadi US$71,8 miliar. Musibah nasional tidak menghentikan kapitalis dalam meraup profit. Selama pandemi, pemerintah telah menyediakan ratusan triliun rupiah kepada pemodal. Semisal, dalam bentuk insentif pajak saja, sejak April 2020 hingga Juni 2021 pemerintah telah memberi insentif pajak Rp 106,62 triliun untuk dunia usaha. Masyarakat kita memiliki cukup kekayaan untuk bisa menjamin ketersediaan sandang, pangan, papan bagi semua rakyat selama pandemi, tetapi kekayaan ini tertimbun di tangan segelintir kapitalis. Oleh karenanya, kita harus menuntut agar kapitalis yang membayar untuk pandemi ini. Perusahaan harus menjamin upah penuh bagi semua pekerja yang mereka rumahkan atau kurangi jam kerjanya selama pandemi, dan bukan lantas meminta pemerintah untuk menyubsidi upah pekerja. Bila perusahaan ini menolak dan melanggar, nasionalisasi dan sita semua aset mereka untuk membayar upah buruh. Kita juga harus melarang segala bentuk pengambilan profit dari pandemi ini. Perusahaan yang terbukti mengambil untung dari pandemi ini harus disita dan dikelola secara publik untuk kepentingan memerangi pandemi. Terakhir, hentikan dengan segera kucuran ratusan triliunan rupiah yang telah digelontorkan untuk menyubsidi kapitalis, dan alihkan untuk pemenuhan kebutuhan pokok rakyat selama pandemi, anggaran fasilitas kesehatan, program vaksinasi, tes, dsb. Yang butuh bantuan bukan kaum kapitalis kaya, tetapi buruh, tani, dan kaum miskin kota.
Pabrik, kantor, dan tempat kerja telah menjadi salah satu sumber kluster yang fatal. Ini disebabkan minimnya sampai absennya penerapan prokes. Kita tidak bisa menunggu perusahaan atau pemerintah untuk menerapkan dan mengawasi prokes. Pengawasan dan penerapan prokes harus diambil alih dari tangan perusahaan dan pemerintah, dan diletakkan di tangan pekerja secara langsung secara demokratik, entah lewat serikat buruh atau organisasi ad hoc pekerja untuk penerapan prokes. Pekerja-lah yang terdampak langsung, dan mereka-lah yang oleh karenanya paling punya kepentingan untuk menjamin pelaksanaan prokes secara bertanggungjawab.
Maka dari itu, tuntutan yang harus kita kedepankan adalah:
-
PPKM dengan Jaminan Penuh Kebutuhan Pokok sekarang juga.
-
Kapitalisme harus membayar untuk krisis ini, bukan rakyat pekerja.
a) Perusahaan membayar upah penuh bagi semua pekerja yang dirumahkan atau dikurangi jam kerjanya. Bila melanggar, nasionalisasi dan sita semua aset mereka.
b) Larang segala bentuk pengambilan profit dari pandemi.
c) Hentikan semua subsidi dan stimulus ekonomi untuk kapitalis, dan alihkan untuk anggaran bansos, fasilitas kesehatan, program vaksinasi, tes, pelacakan, dsb.
-
Prokes di tempat kerja dengan pengawasan dan kontrol langsung oleh serikat buruh atau swa-organisasi pekerja.