Analisa dan perspektif Marxis untuk ekonomi dan politik Indonesia masihlah cukup terbatas untuk sebuah bangsa yang berpopulasi keempat terbesar di dunia, sebuah bangsa dengan jumlah penduduk Muslim terbesar, dan yang paling dominan di Asia Tenggara. Kurangnya analisa semacam ini dapat dirunut kembali ke kekalahan historis gerakan kelas pekerja Indonesia pada tahun 1965, yang dapat dibilang sebesar kekalahan kelas pekerja Jerman ketika Nazi berkuasa.
Dengan bangkitnya kembali Marxisme di Indonesia, sebuah perspektif ekonomi dan politik dari lensa Marxis telah menjadi satu prioritas. Dari sebuah perspektif yang tepat akan mengalir sebuah aksi yang tepat yang mampu membawa emansipasi kelas pekerja Indonesia dan lapisan masyarakat tertindas lainnya: kaum tani miskin, nelayan, dan kaum miskin kota. Dokumen ini bukanlah sebuah usaha yang pertama untuk mengformulasikan perspektif semacam itu, dan ia tidak akan menjadi yang terakhir, terutama dengan dunia penuh gejolak yang sedang kita alami. Ia akan menjadi sebuah estimasi pertama darimana kita bisa meraih pemahaman akan apa yang perlu dilakukan.
Terlebih lagi, seorang revolusioner yang serius mendefinisikan tugasnya dari sudut pandang internasional, bukan karena nilai internasionalisme yang sentimental tetapi karena kenyataan bahwa kapitalisme adalah internasional. Walaupun untuk alasan-alasan praktikal kaum buruh harus mengorganisir diri mereka sebagai sebuah kelas dengan negerinya sendiri sebagai panggung perjuangan yang segera, isi sesungguhnya dari perjuangan kelas adalah internasional. Oleh karena itu, dokumen ini harus dibaca bersamaan dengan Dokumen Perspektif Dunia 2010, kalau tidak ia akan kehilangan nilainya sama sekali. Kita hanya perlu melihat tulisan-tulisan politik Tan Malaka (Menuju Republik Indonesia, Massa Aksi, Thesis, dll.) dimana dia selalu mulai dengan analisa internasional sebelum terjun ke perspektif politik untuk revolusi Indonesia.
Sejarah Massa Aksi
Sejarah Indonesia selalu menjadi aspek yang paling penting di dalam gerakan. Penyelewengan sejarah oleh rejim Soeharto sebegitu penuhnya sehingga aksi penting pertama dari gerakan Indonesia adalah untuk mengembalikan sejarah “Massa Aksi”. 32 tahun reaksi di bawah Soeharto bukan hanya telah menghancurkan gerakan kelas pekerja secara fisik, tetapi juga telah sepenuhnya menghapus secara ideologis semua tradisi perjuangan kelas dari gerakan. “Massa Mengambang”, inilah terminologi yang digunakan untuk masyarakat yang dibangun oleh rejim Soeharto: depolitisasi, ahistoris, dan demobilisasi.
Oleh karena itu, bagi banyak kaum muda, sang pelopor gerakan, mempelajari kembali tradisi “Massa Aksi” adalah sebuah aksi revolusioner, dan masih tetap merupakan satu aksi revolusioner. Rejim Soeharto sangatlah takut dengan sejarah Indonesia, dan dia patut takut karena sejarah Indonesia adalah sebuah negasi dari konsep “Massa Mengambang”. Satu karya yang memiliki sebuah pengaruh yang kuat dalam proses ini adalah Tetralogi Buru karangan Pramoedya Ananta Toer. Karyanya ini adalah sebanding dengan karya Chernyshevsky What is to be Done?, sebagian fiksi sebagian propaganda, sebuah karya yang mempengaruhi seluruh generasi muda Rusia yang lalu menjadi Bolshevik dan memimpin Revolusi Oktober. Tidak mengejutkan bahwa hanya setelah satu tahun penerbitan buku ini rejim Soeharto segera melarangnya. Tetapi ini tidak menghentikan teredarnya buku-buku ini yang dibaca oleh kaum muda di bawah tanah.
Sejarah Indonesia adalah satu sejarah yang penuh dengan Massa Aksi. Semenjak bangkitnya nasionalisme, mobilisasi massa telah menjadi karakter utama. Berkebalikan dengan apa yang coba digambarkan oleh rejim Soeharto, perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak diperjuangkan hanya di medan militer. Ia diperjuangkan di medan politik dengan mobilisasi massa. Bahkan ketika ia diperjuangkan di medan militer, pasukan bersenjata mengambil bentuk milisi rakyat yang kendalinya jatuh di tangan organisasi-organisasi massa.
Hingga tahun 1965, semua lapisan masyarakat Indonesia termobilisasi secara politik. Politik merasuki semua aspek kehidupan. Ada sebuah situasi perjuanga kelas yang tajam pada saat itu. 1960an adalah sebuah periode revolusi (dan konter revolusi) di seluruh dunia. Insiden G30S menjungkirbalikan semua ini dan Indonesia tidak pernah sama lagi.
Konter Revolusi 1965
Apa yang terjadi pada Partai Komunis Indonesia? Ini adalah pertanyaan membara yang masih menjangkiti pikiran kaum revolusioner Indonesia. Oleh karena kita harus mengunjungi permasalahan ini sebelum kita bisa berbicara mengenai Reformasi 1998 dan kemudian prospek untuk revolusi mendatang.
Sebelum kehancurannya, PKI mengklaim memiliki 3 juta anggota. PKI juga memiliki banyak organisasi-organisasi massa afiliasi dan simpatisas. Pemuda Rakyat dengan 1,5 juta anggota, SOBSI dengan 3,8 juta anggota (dari total 7 juta buruh terorganisir), Barisan Tani Indonesia dengan 5 juta anggota, dan Gerwani dengan 750 ribu anggota.[1] Ini membuat PKI sebagai partai komunis ketiga terbesar setelah Uni Soviet dan Tiongkok. Dengan satu pukulan, dan tanpa perlawanan yang berarti, PKI – dan dengannya seluruh gerakan buruh dan tani – dibabat habis oleh jendral-jendral reaksioner di bawah panduan kekuatan-kekuatan imperialis “demokratis”. 32 tahun reaksi menyusul. Tidak ada kekalahan yang lebih mendemoralisasi daripada kekalahan tanpa perlawanan.
Keganasan kelas penguasa bukanlah sesuatu yang perlu membuat kita terkejut. Semenjak usaha pertama revolusi proletar, yakni Komune Paris pada tahun 1871, kelas penguasa sudah brutal dalam serangan balik mereka. Untuk membandingkannya, kekalahan Komune Paris mengakibatkan dibantainya 80 ribu orang di sebuah kota dengan populasi 1,8 juta orang. Populasi Indonesia pada saat pembantaian 1965-66 adalah 90 juta. Penyebab kekalahan revolusi Indonesia adalah lebih dalam daripada keganasan atau trik-trik kelas penguasa. Faktor tersebut adalah sesuatu yang niscaya. Faktor yang penting bagi kita adalah kebijakan politik PKI yang keliru.
PKI adalah partai massa buruh Indonesia. Namun ia mempunyai kemalangan tumbuh di bawah panduan kaum Stalinis Rusia dan Tiongkok setelah kegagalan pemberontakan 1926-27. Ketika partai ini dibentuk kembali secara resmi pada tahun 1945, seperti kebanyakan partai-partai komunis lainnya, ia telah menjadi alat kebijakan luar negeri Moskow dan mengambil kebijakan yang keliru yang membawa kehancuran gerakan kelas pekerja. Adalah penting untuk memisahkan niat luhur para pemimpin ini (Aidit, Njoto, Lukman, Sudisman) dari kekeliruan politik mereka. Kalau tidak kita tidak akan bisa maju kemana-mana.
Hingga tahun 1930an, Partai Komunis Uni Soviet sudah bukan lagi partai yang sama yang memimpin Revolusi Oktober. Ia telah menjadi alat birokrasi Soviet untuk mempertahankan privilesenya. Sudah bukan lagi kepentingan mereka untuk berjuang demi sosialisme sedunia kendati retorika-retorika mereka. Kaum birokrasi ingin hidup damai dengan kapitalisme dan oleh karenanya menjadi sebuah rem aktif dalam perjuangan sosialis di seluruh dunia. Partai Komunis Tiongkok dibangun berdasarkan gambaran PKUS, dan negara Tiongkok mulai darimana Revolusi Rusia berakhir: sebagai sebuah negara buruh yang cacat. Kedua negara ini memiliki pengaruh politik yang besar di dalam gerakan kelas pekerja untuk seluruh periode.
Fakta sejarah ini menentukan nasib banyak partai-partai komunis seluruh dunia. Kepemimpinan PKI dididik di dalam “teori dua-tahap” Stalinis (yang sebenarnya adalah pengulangan kebijakan Menshevik), yang di dalam esensinya mengatakan bahwa di negara terbelakang seperti Indonesia tahapan pertama revolusi memiliki karakter borjuis-demokratik guna menghapus feodalisme dan imperialisme. Oleh karena itu, tugas kaum komunis di negeri seperti itu adalah untuk beraliansi dengan kaum borjuis progresif, untuk mengsubordinasi perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional melawan feodalisme dan imperialisme. Hanya setelah ini sebuah pintu akan terbuka untuk perjuangan kelas menuju sosialisme.
Dari “Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (Masalah-Masalah Mendasar Revolusi Indonesia)”[2], yang merupakan perspektif politik PKI yang ditulis oleh D.N. Aidit, yakni “sebuah manual untuk digunakan dalam sekolah partai di pusat dan di propinsi-propinsi dan disetujui oleh Plenum Komite Pusat, Juli 1957”, kita akan melihat dengan dekat “teori dua-tahap”nya PKI dan kontradiksi-kontradiksi di dalam teori dan kebijakan ini.
Dokumen ini dimulai dengan sebuah analisa masyarakat Indonesia, yang diklaim adalah semi-feodal dan semi-kolonial. Dari ini mengalir bahwa “musuh utama dari revolusi Indonesia pada saat ini adalah … imperialisme dan feodalisme.”[3] Ini adalah kesalahan yang pertama. Secara fundamental, masyarakat Indonesia moderen adalah masyarakat kapitalis. Mode produksinya didominasi oleh mode produksi kapitalis, yakni kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Ekonomi Indonesia telah terikat dengan kapitalisme semenjak kontak pertamanya dengan kekuatan kolonial Belanda lebih dari 400 tahun yang lalu (baca Lampiran “Sejarah Perkembangan Kapitalisme Indonesia”). Indonesia adalah semi-feodal hanya dalam pengertian bahwa kaum borjuis nasional – seperti kaum borjuis nasional di negera-negara belum berkembang lainnya – tidak pernah mampu melaksanakan tugas historisnya dalam reforma agraria, tidak pada saat itu dan tidak sekarang. Indonesia adalah semi-kolonial hanya dalam pengertian bahwa di dalam konteks kapitalisme global dan perkembangan tidak-berimbang dari kapitalisme, seperti negara-negara kapitalis kecil lainnya, Indonesia menjadi mangsa dari negara-negara kapitalis yang lebih besar.
Dari kesalahan utama ini maka mengalir perspektif bahwa tugas revolusi Indonesia adalah untuk menciptakan “pemerintahan rakyat” dan bahwa “pemerintahan ini (Pemerintahan Rakyat Demokratis) bukanlah sebuah pemerintahan kediktaturan proletariat tetapi sebuah pemerintah kediktaturan rakyat.”[4]
Marx dan Engels, dan kemudian Lenin, telah berjuang dengan keras melawan konsep “negara atau pemerintahan rakyat”. Lenin di dalam Negara dan Revolusi menjelaskan ini dengan jelas:
“ ‘Negara Rakyat bebas’ adalah suatu program tuntutan dan suatu semboyan umum yang tersebar luas di kalangan kaum Sosial-Demokrat Jerman dalam tahun 1870-an. Semboyan ini tidak mempunyai isi politik sama sekali kecuali ia melukiskan pengertian tentang demokrasi dengan gaya filistin yang muluk-muluk. Sejauh ia digunakan untuk, dengan jalan yang sah menurut undang-undang, menunjukkan suatu republik demokratis, Engels bersedia untuk ‘membenarkan’ penggunaannya itu ‘untuk suatu waktu saja’ dipandang dari sudut agitasional. Tetapi itu adalah semboyan oportunis, karena ia tidak saja menyatakan pembagusan demokrasi borjuis, tetapi juga gagal untuk memahami kritisisme sosialis terhadap Negara pada umumnya. … Lebih jauh lagi, setiap Negara adalah suatu ‘kekuatan penindas khusus’ terhadap kelas tertindas. Maka dari itu, setiap Negara tidak ‘bebas’ dan bukan ‘negara Rakyat’. Marx dan Engels menjelaskan hal ini berkali-kali kepada kawan-kawan separtainya selama tahun-tahun 70-an.” (Lenin, Negara dan Revolusi) [Penekanan ditambahkan]
Pemerintahan Soekarno bukanlah sebuah kediktaturan militer. Di bawah pemerintahannya, kaum komunis diberikan kebebasan; mereka menduduki posisi-posisi kabinet dan parlemen. Engels siap memberikan semacam pembenaran sementara untuk penggunaan slogan “pemerintahan rakyat” di Jerman pada tahun 1870an karena mereka pada saat itu hidup di bawah Kekaisaran Jerman, sebuah otokrasi. Tetapi ini bukanlah kasusnya di Indonesia jaman Soekarno. Slogan “pemerintahan rakyat”nya PKI hanyalah sebuah kapitulasi program kelas pekerja terhadap borjuis nasional.
Guna membenarkan kebijakan dua-tahap, sebuah kelas borjuis nasional yang progresif harus diciptakan. Maka dari itu, PKI memelintir karakter kelas borjuasi di Indonesia: “Kelas borjuasi terdiri dari para komprador dan kaum borjuis nasional. Kaum borjuis besar yang karakternya komprador melayani secara langsung kepentingan kapitalis asing besar dan oleh karenanya digemukkan oleh mereka … Akan tetapi, kaum borjuis nasional mempunyai dua fitur. Sebagai sebuah kelas yang juga tertindas oleh imperialisme dan seluruh perkembangannya tercekik oleh feodalisme, kelas ini adalah anti-imperialis dan anti-feodal, dan dalam hal ini ia adalah salah satu kekuatan revolusioner … Kaum borjuis nasional Indonesia, karena ia juga ditindas oleh imperialisme asing, dapat, di situasi tertentu dan dalam batasan tertentu, mengambil bagian dalam perjuangan melawan imperialisme. Dalam situasi seperti itu, kaum proletariat Indonesia harus membangun persatuan dengan kaum borjuis nasional dan mempertahankan persatuan ini dengan seluruh kekuatannya.”[5] [Penekanan ditambahkan]
Ada kaum borjuis yang baik dan ada kaum borjuis yang jahat. Tesis ini berlawanan dengan analisa kelas Marxis. Benar bahwa pada satu saat tertentu bisa ada perpecahan di dalam kelas penguasa karena satu seksi mungkin punya kepentingan ekonomi atau politik sekunder yang berbeda dengan seksi-seksi lain. Akan tetapi, kepentingan primer dari seluruh borjuasi tetap sama: penindasan kelas pekerja. Seluruh eksistensi dari kelas ini adalah kekuasaannya di atas kelas proletariat.
Borjuasi nasional Indonesia lahir terlambat di dalam sejarah. Sejak awal, keberadaannya terikat oleh imperialisme. Bahkan lebih parah, tidak seperti kaum borjuasi nasional di negara-negara berkembang lainnya (India dan Tiongkok misalnya) yang memainkan peran aktif dan dominan dalam gerakan nasionalis, kelas borjuasi Indonesia tidak pernah memimpin gerakan nasionalis.
Dengan penilaian mereka yang keliru mengenai kelas borjuasi nasional, PKI lalu secara aktif mencari aliansi dengan borjuasi progresif dengan cara mengsubordinasikan perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional, mengsubordinasikan kelas pekerja di bawah kelas borjuis nasional, kendati layanan bibir mereka bahwa “revolusi Indonesia tidak akan berhasil kalau ia tidak berada di bawah kepemimpinan kelas proletar Indonesia.”[6] Sejarah tidaklah baik hati kepada mereka yang telah mencoba mencari borjuasi nasional progresif karena sampai sekarang mereka belum ditemukan. Dimanakah kelas borjuasi progresif ini ketika PKI dihancurkan dan jutaan pendukungnya dibantai? Dimanakah kelas borjuasi progresif selama kediktaturan militer Soeharto?
Ketidakkonsistenan teori PKI mengenai watak kelas borjuasi nasional menjadi semakin vulgar:
“Dalam menghadapi karakter kebimbangan dari kelas borjuasi nasional Indonesia, perhatian harus diberikan ke kenyataan bahwa justru karena mereka lemah secara politik dan ekonomi maka tidaklah sulit untuk menarik kelas ini ke kiri guna membuatnya berdiri teguh di sisi revolusi selama kekuatan progresif besar dan taktik Partai Komunis tepat. Ini berarti bahwa elemen kebimbangan dari kelas ini tidaklah fatal, ini dapat diatasi. Tetapi di pihak lain, bila kekuatan progresif tidak besar dan taktik Partai Komunis tidak tepat, maka borjuasi nasional yang lemah secara ekonomi dan politik ini akan mudah lari ke kanan dan menjadi musuh revolusi.”[7] [Penekanan Ditambahkan]
Bila kaum borjuasi nasional sudah “lemah secara politik dan ekonomi”, maka semakin banyak alasan untuk menyingkirkan mereka ke samping. Justru karena mereka lemah maka mereka tidak boleh dijadikan sekutu. Di sebuah peperangan, beraliansi dengan sekutu yang lemah tidak pernah dianjurkan karena daripada menguatkan justru kekuatan kita akan menjadi lemah.
Sayangnya, sekarang kita melihat argumen serupa digunakan oleh PRD/PAPERNAS untuk membenarkan aliansi mereka dengan kaum borjuasi nasional. Sejarah mengulangi dirinya, pertama kali sebagai sebuah tragedi, dan kedua kali sebagai sesuatu yang konyol.
Mari kita lihat bagaimana Lenin mendekati permasalahan aliansi dengan kelas-kelas dan kelompok-kelompok sosial lainnya. Selama era Tsar, salah satu tugas mendesak dari kelas proletar Rusia adalah untuk melawan otokrasi Tsar. Di Tugas-tugas Kaum Sosial Demokrat Rusia (catatan: sebelum 1914, Sosial Demokrat adalah nama lain untuk kaum Marxis revolusioner) yang ditulis oleh Lenin pada tahun 1897 ketika di Siberia, dia menulis:
“Namun dalam perjuangan demokratik dan politik, kelas buruh Rusia tidak berdiri sendirian; di sisinya adalah semua elemen-elemen, strata-strata, dan kelas-kelas oposisi, karena mereka memusuhi absolutisme dan sedang berjuang melawannya dalam satu atau lain bentuk. Disini di samping proletariat berdiri elemen oposisi borjuasi, atau kelas yang terdidik, atau kelas borjuasi kecil, atau kelompok-kelompok nasional, agama, sekte, dsb., dsb., yang ditindas oleh pemerintahan otokrasi. Pertanyaan yang secara wajar timbul adalah apa sikap yang harus diambil oleh kelas buruh terhadap elemen-elemen ini. Terlebih lagi, haruskah kelas buruh bergabung dengan mereka dalam perjuangan bersama melawan otokrasi? … Bukankah mereka harus bergabung dengan semua elemen oposisi politik untuk berjuang melawan otokrasi, dan mengesampingkan sosialisme untuk sementara? Bukankah ini penting untuk menguatkan perjuangan melawan otokrasi?”
“Mari kita selidiki dua pertanyaan ini.”
“Sikap kelas buruh, sebagai seorang pejuang melawan otokrasi, terhadap semua kelas-kelas dan kelompok-kelompok sosial dalam oposisi politik ditentukan dengan jitu oleh prinsip-prinsip dasar yang tertulis di Manifesto Komunis. Kaum Sosial Demokrat mendukung kelas sosial yang progresif melawan kelas reaksioner … Dukungan ini tidak mensyaratkan, dan juga tidak membutuhkan, kompromi dengan program-program dan prinsip-prinsip non-Sosial Demokrat – dukungan ini adalah sebuah dukungan yang diberikan kepada seorang sekutu untuk melawan seorang musuh tertentu. Terlebih lagi, kaum Sosial Demokrat memberikan dukungan ini guna mempercepat jatuhnya musuh bersama, tetapi tidak mengharapkan apa-apa untuk dirinya sendiri dari sekutu-sekutu sementaranya, dan tidak berkompromi apapun kepada mereka.”
“ … Ini membawa kita pada pertanyaan yang kedua. Sementara menunjukkan solidaritas antara berbagai kelompok oposisi dengan kaum buruh, kaum Sosial Demokrat selalu memisahkan kaum buruh dari yang lainnya, mereka selalu menunjukkan bahwa solidaritas ini adalah sementara dan kondisional, mereka selalu menekankan kemandirian identitas kelas proletariat, yang esok hari dapat menemukan dirinya bermusuhan dengan sekutunya hari ini. Kita dibilangi bahwa “aksi semacam ini akan melemahkan semua pejuang kebebasan politik sekarang ini.” Kita akan membalasnya bahwa aksi ini akan memperkuat semua perjuang kebebasan politik. Hanya para pejuang yang kuat yang bergantung pada kepentingan riil kelas-kelas, dan setiap usaha untuk mengaburkan kepentingan-kepentingan kelas, yang telah memainkan peran utama dalam masyarakat sekarang ini, hanya akan melemahkan para pejuang. Ini adalah poin yang pertama. Poin yang kedua adalah bahwa dalam berjuang melawan otokrasi, kelas buruh harus memisahkan dirinya sendiri, karena dialah satu-satunya musuh otokrasi yang konsisten sepenuhnya dan tidak berbelas kasihan, hanya di antara kelas buruh dan otokrasi mustahil bisa ada kompromi, hanya di dalam kelas buruh demokrasi dapat menemukan seorang jawara yang tidak ragu-ragu, yang tidak bimbang dan tidak melihat ke belakang. Permusuhan kelas-kelas, kelompok-kelompok, dan strata-strata populasi yang lain terhadap otokrasi adalah terbatas, demokrasi mereka selalu menengok ke belakang.”
“Proletariat sendiri dapat menjadi – dan karena posisi kelasnya harus menjadi – musuh absolutisme yang teguh dan demokratis secara konsisten, yang tidak membuat konsesi dan kompromi apapun. Kaum proletar sendiri dapat menjadi pejuang pelopor untuk kebebasan politik dan institusi demokrasi. Pertama, ini karena tirani politik paling membebani proletariat yang posisinya tidak memungkinkannya untuk memodifikasi tirani itu – ia tidak punya akses ke otoritas tinggi, bahkan tidak ke para pejabat, dan ia tidak punya pengaruh atas opini publik. Kedua, proletariat sendirian dapat membawa demokratisasi penuh atas sistem politik dan sosial, karena ini akan menaruh sistem tersebut di tangan kaum buruh. Inilah mengapa merger aktivitas-aktivitas politik kelas buruh dengan aspirasi demokrasi dari kelas dan kelompok lain akan melemahkan gerakan demokrasi, akan melemahkan perjuangan politik, akan membuatnya lebih kurang teguh, konsisten, dan lebih rentan pada kompromi. Di pihak lain, bila kelas buruh berdiri sebagai pejuang pelopor untuk institusi demokrasi, ini akan memperkuat gerakan demokrasi, akan memperkuat perjuangan pembebasan politik, karena kelas buruh akan mendorong semua elemen demokratis dan oposisi politik lainnya, akan mendorong kaum liberal ke politik radikal, akan mendorong kaum radikal menuju perpecahan penuh dari seluruh struktur politik dan sosial masyarakat kini.” [Penekanan Ditambahkan]
Kami minta maaf bila kami harus mengkutip secara panjang dari Lenin, karena kami mencoba untuk menghindari kebiasaan mengutip secara selektif dan secara fragmen yang sering dilakukan oleh para kaum “Leninis”.
Jadi jelas bagaimana Bolshevik mendekati kelas-kelas sosial lainnya di dalam perjuangan melawan absolutisme: mengenali bahwa proletariat dan kaum borjuasi nasional dapat memiliki kepentingan yang sama untuk tujuan tertentu yang spesifik, tetapi pada saat yang sama mengkritik secara terbuka keterbatasan kaum borjuasi dalam perjuangan mereka dan memperingatkan untuk tidak merger dalam aktivitas demokratis dengan mereka. Dalam esensinya, kelas proletariat harus menjunjung kemandirian kelasnya dan tidak mengesampingkan tujuan sosialisnya.
Ini ditulis pada tahun 1897, sebelum Revolusi 1905 yang menghantarkan pukulan pertama terhadap otokrasi dan mengungkapkan lebih besar kebangkrutan kaum borjuasi nasional. Ini yang ditulis oleh Lenin pada tahun 1906 di “Tugas-Tugas Demokratik Kaum Proletariat Revolusioner” setelah pengkhianatan dan kepengecutan kaum borjuis nasional dalam perjuangan mereka melawan otokrasi:
“ … kaum borjuasi secara keseluruhan tidak mampu melakukan perjuangan yang teguh melawan otokrasi; dalam perjuangannya ia takut kehilangan properti yang mengikatnya pada orde yang eksis sekarang; ia takut terhadap aksi buruh yang sepenuhnya revolusioner, yang tidak akan berhenti pada revolusi demokratik tetapi berhasrat bergerak ke revolusi sosialis; ia takut pecah sepenuhnya dengan para birokrat negara, dengan kaum birokrasi, yang kepentingannya terikat oleh seribu benang dengan kepentingan kelas berpunya. Untuk alasan ini, perjuangan kaum borjuasi untuk kebebasan penuh dengan keraguan, tidak konsisten, dan setengah-hati.”
PKI, kendali klaim mereka sebagai kaum Leninis, tampaknya tidak membaca dengan seksama tulisan-tulisan Lenin. Kaum buruh dan tani Indonesia harus membayar sangat mahal karena kebijakan keliru PKI: tiga puluh dua tahun kediktaturan militer yang merampok seluruh generasi dari pejuang-pejuang kelasnya dan tradisi perjuangan kelas.
Jatuhnya Soeharto
Setelah kejatuhan Uni Soviet tahun 1991, kelas borjuasi seluruh dunia bersuka-cita. Mereka semakin menajamkan taring mereka untuk serangan ideologis. “Kapitalisme telah memang.” begitu seru mereka.
Indonesia diangkat sebagai sebuah contoh bagaimana sebuah negeri bisa menjadi makmur bila ia memeluk kapitalisme. Akan tetapi, di balik keajaiban Indonesia adalah awal dari gerakan yang akan menggoncang seluruh wilayah tersebut. Awal 1990an kita menyaksikan terbentuknya embrio kaum muda yang nantinya akan memimpin perjuangan melawan Soeharto. Pelajar-pelajar ini berkelompok di sekitar PRD, satu-satunya kekuatan Kiri yang terorganisir pada saat itu, bekerja di bawah tanah dengan ancaman penculikan dan penghilangan.
Awal 1990 kita melihat bangkitnya gerakan massa. Insiden-insiden protes kaum tani meningkat. Jumlah pemogokan yang tercatat meningkat dari 61 pada tahun 1990 ke 300 pada tahun 1994. Banyak yang tidak tercatat. Ini karena keajaiban ekonomi Indonesia dibangun dengan mengeksploitasi buruh dan tani. Pekerjaan semakin sulit didapati di desa-desa, and semakin banyak petani yang terpaksa pindah ke kota dimana mereka menjadi buruh urban atau menjadi kaum miskin kota.
Kaum borjuasi terlalu percaya diri dengan kemenangan mereka pada tahun 1991. Begitu percaya dirinya bahwa tidak akan pernah ada revolusi lagi, mereka melakukan orgi spekulasi tanpa pertimbangan apapun. Tujuh tahun sebelum krisis ekonomi 1997, ada influks kapital yang amat besar ke sektor swasta Indonesia, dari US$ 314 juta tahun 1989 menjadi US$ 11,5 milyar pada tahun 1996, sebuah peningkatan sebesar 3500%. Kapital swasta yang masif ini, kebanyakan adalah investasi spekulatif jangka pendek di sektor real estate, mendorong pertumbuhan ekonomi yang mencapai 10% per tahun. Gelembungm ekonomi ini harus pecah karena pada akhirnya semua gedung pencakar langit dan apartemen dibangun tanpa ada pembeli. Ini adalah krisis over-produksi yang klasik.
Krisis Finansial Asia 1997 adalah sebuah bencana, bukan hanya secara ekonomi tetapi juga secara politik untuk kelas penguasa. Hanya 8 tahun yang lalu mereka berbicara mengenai “akhir sejarah”, bahwa tidak akan pernah ada kemerosotan lagi di dalam ekonomi kapitalis, dan tidak akan pernah ada lagi revolusi. Di sini di Indonesia, negara yang dipamerkan sebagai contoh dari keunggulan kapitalisme, sistem tersebut runtuh. “Massa mengambang” hancur di bawah tekanan.
Dari dipuja sebagai “bapak pembangunan”, dalam beberapa bulan Soeharto menjadi simbol dari semua yang dibenci oleh rakyat. Dalam sebuah situasi pra-revolusioner, salah satu karakter yang selalu kita lihat adalah adanya perpecahan di dalam kelas penguasa: antara satu seksi yang ingin melakukan reforma dari atas guna mencegah revolusi dari bawah, dan satu seksi yang lain yang kawatir bahwa reforma apapun justru akan membuat rakyat tambah radikal.
Radikalisasi massa selama 9 tahun terakhir telah membuat posisi Soeharto semakin sulit sehingga bahkan orang kepercayaannya, Harmoko, ketua MPR, mendorong dia untuk mundur. Kaum kapitalis, domestik dan asing, mulai mencampakkan dia dengan tiba-tiba menangis air mata buaya mengenai represi demokrasi di bawah rejimnya. Sebuah kompromi akhirnya diputuskan: Soeharto akan turun tetapi dia tidak boleh diadili, dan kaum reformis akan mengambil kepemimpinan gerakan, untuk memastikan kalau gerakan ini berjalan di saluran yang aman.
Kiri, yang secara praktis adalah PRD sebagai satu-satunya kekuatan yang terorganisir, tidak siap merebut kekuasaan. Ada banyak faktor yang bermain, masing-masing saling menguatkan satu sama lain. 32 tahun reaksi di bawah Soeharto jelas adalah faktor yang utama. Gerakan buruh sebegitu hancurnya dan remuknya untuk seluruh generasi sehingga ini masih membebani kesadaran massa dan kepemimpinannya. Membuat masalah tambah parah adalah perspektif keliru dari PRD, yakni bergantung pada kaum borjuis progresif, yakni para pemimpin reformis.
Paska Reformasi
Gerakan Reformasi belum mengubah satupun hal yang fundamental di Indonesia. Ketika nampaknya kekuasaan ada di tangan rakyat dengan jutaan orang di jalan dan menduduki gedung parlemen, kekuasaan diserahkan kembali ke kelas penguasa. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kaum reformis telah memainkan peran historis mereka: menyelamatkan kapitalisme di saat-saat genting. Oleh karena itu, pengkhianatan mereka adalah satu hal yang niscaya. Ini tidak terelakkan. Maka usaha untuk menyalahkan kegagalan Reformasi 1998 pada para reformis ini tidak akan membawa kita kemana-mana. Tuduhan “reformis gadungan” yang telah menjadi sebuah slogan umum di antara kaum Kiri, terutama setelah kegagalan gerakan 1998, menunjukkan ketidakmampuan untuk memahami watak dari kaum borjuis reformis. Mereka-mereka yang disebut “reformis gadungan” justru adalah reformis tulen.
Tugas mendesak dari Reformasi 1998 adalah penumbangan kediktaturan militer Soeharto. Kita mengenali bahwa demokrasi parlementer adalah medan yang lebih baik bagi perjuangan kelas buruh. Akan tetapi, adalah satu hal untuk mengenali perlunya demokrasi parlementer untuk menggantikan kediktaturan militer, adalah satu hal yang lain lagi untuk mengharapkan bahwa demokrasi parlementer dapat direalisasi oleh kaum borjuis reformis. Hanya buruh, dengan aliansi bersama kaum tani dan miskin kota, yang dapat diandalkan untuk melaksanakan tugas-tugas demokratis sampai selesai. Kita tidak mengharapkan apa-apa dari kaum borjuasi. Ketergantungan PRD pada kaum borjuis nasional progresif telah menciptakan sebuah kebingungan di antara anggota PRD dan aktivis di sekitarnya. Ketika semua kaum borjuis reformis mengkhianati gerakan, ini menyebabkan kebingungan ideologis yang lalu membawa demoralisasi di dalam gerakan selama 3-5 tahun. Satu-satunya jawaban yang disediakan adalah bahwa reformis-reformis ini adalah “reformis gadungan”; dengan ini kampanye untuk mencari reformis tulen dimulai kembali.
Dapatkah Kiri merebut kekuasaan dan membawa sosialisme pada tahun 1998? Dengan keuntungan melihat ke depan, mempertimbangkan semua faktor, kita dapat mengatakan bahwa jawabannya adalah negatif. Untuk merebut kekuasaan, buruh membutuhkan sebuah partai yang siap untuk mengambil kekuasaan. Kekalahan 1965 merampok kelas buruh dari kesempatan ini. PRD, satu-satunya partai pada saat itu, terlalu muda dan ia tidak memiliki kepemimpinan yang diperlukan untuk bisa menghadapi masalah kekuasaan.
Akan tetapi, bila saja PRD memiliki program yang tepat, ia dapat menjadi lebih kuat setelah kegagalan Reformasi. Dengan taktik yang tepat, PRD dapat mundur secara teratur dan tidak terpecah-pecah yang lalu membuka periode demoralisasi setelah itu. Sebuah pasukan yang baik adalah pasukan yang dapat mundur secara teratur untuk mempersiapkan serangan baru yang lebih besar.
Ini bukan berarti kita tidak mendukung reforma-reforma. Kita mendukung reforma selama reforma tersebut masih memiliki kekuatan vital, selama reforma ini menyerang basis rejim penguasa. Contohnya, ketika Gus Dur berbicara mengenai penghapusan hukum anti-komunis, sikap kaum revolusioner adalah untuk mendukung tuntutan ini tetapi tidak mendukung pemerintahan Gus Dur. Kita beragitasi luas untuk tuntutan ini dengan cara dan syarat-syarat kita sendiri, yakni bahwa hanya pemerintah buruhlah yang dapat memenuhi secara penuh tuntutan ini, bahwa kita hanya mempercayai buruh untuk memenuhi tuntutan ini. Kita tidak mengharapkan apa-apa dari pemerintahan borjuis liberal Gus Dur. Kita mendukung reforma selalu dengan perspektif buruh merebut kekuasaan. Hanya dengan ini kita dapat mempersiapkan kelas buruh untuk tugas historis mereka. Dengan kebijakan yang mandiri kelas seperti ini, anggota-anggota partai revolusioner tidak akan kebingungan. Justru mereka akan mendapatkan kepercayaan diri dan kejelasan akan tugas selanjutnya.
Nasib PRD sekarang adalah satu-satunya kesimpulan logis dari kebijakan mereka. Dengan setiap tahun berlalu, PRD semakin bergeser ke kebijakan kolaborasi kelas. Banyak kadernya yang telah bergabung dengan partai-partai borjuasi. Awalnya, di mata mereka yang baru di politik, retorika PRD masih terdengar radikal dan revolusioner. Tetapi, di balik frase-frase revolusioner ini adalah gagasan “dua-tahap”, gagasan untuk mendukung kaum borjuis nasional progresif.
Titik-balik final dari PRD adalah koalisi mereka dengan Partai Bintang Rakyat (PBR), sebuah partai borjuis sepenuhnya, pada pemilu 2009. Ini bahkan bukan sebuah koalisi karena PRD tidak diperbolehkan menggunakan nama, bendera dan program partai mereka. Strategi elektoral ini gagal total. PRD/PAPERNAS diam saja mengenai hasil ini. Jadi, ketika pada kongres ke-tujuhnya awal tahun ini mereka mengganti prinsip partai mereka dari “Sosial Demokrasi Kerakyatan” ke Pancasila, ini tidaklah mengejutkan. Tidak mampu belajar dari kekeliruan kebijakan kolaborasi kelas mereka, hanya ada satu jalan: kembali ke kebijakan PKI yang membawa bencana.
Mereka-mereka di dalam PRD yang menyangkal bahwa PRD telah mengambil kebijakan kolaborasi kelas hanya perlu melihat dimana PRD sekarang. Banyak dari mereka yang menyangkal ini di masa lalu akhirnya menyadarinya setelah bertahun-tahun, dan mereka pecah dari PRD (PDS, KPRM, dan PRP yang bukan perpecahan langsung tetapi sebuah formasi dari mantan-mantan kader PRD) atau berhenti dari partai sepenuhnya dan jalan sendiri-sendiri.
Dari banyak perpecahan dan polemik selama 10 tahun terakhir, pergerakan kita memperoleh kejelasan ideologi. Menjadi jelas dimana setiap orang berdiri. Ini adalah proses yang penuh kepahitan yang harus dilalui setiap gerakan. Mereka yang membuat hingar bingar mengenai perpecahan-perpecahan ini dan mengumumkannya sebagai sebuah bencana tidak mengerti dialektika gerakan. Persatuan dibutuhkan di Kiri, tetapi bukan persatuan tanpa prinsip yang mengangkangi teori. Rakyat pekerja harus bersatu di bawah panji yang bersih, bukan panji yang penuh tambal sulam.
Kaum Borjuasi Sekarang
Setelah pukulan besar gerakan 1998, kaum borjuasi tidak bisa lagi mengandalkan sebuah sistem partai monolitik. Massa rakyat telah menolak Golkar mentah-mentah dan kemungkinannya kecil kalau partai ini bisa meraih kembali kejayaan masa lalunya. Jadi, yang kita miliki sekarang adalah sebuah sistem multi-partai borjuis, dimana kita memiliki 6-8 partai masing-masing merebut 5-20% suara. Tidak ada satu partaipun yang meraih mayoritas. Pukulan 1998 masih meninggalkan kaum borjuasi terpecah-pecah, tetapi pada akhirnya mereka masih bersatu bersama. Segera setelah pemilu 2009, enam partai membentuk koalisi yang memberikan mereka sebuah mayoritas 421 kursi dari 560.
Massa Aksi 1998 juga telah menghantarkan pukulan yang besar pada negara borjuis. Walaupun banyak hukum-hukum reaksioner Orde Baru masih ada di tempatnya, negara sudah tidak bisa mengimplementasikan mereka secara terbuka. Tentara dan polisi sudah tidak bisa digunakan secara terbuka dan semena-mena untuk meremukkan gerakan. Namun, ketika gerakan menjadi ancaman yang serius, negara menggunakan semua alatnya untuk merepresinya. Usaha PAPERNAS untuk ikut pemilu 2009 adalah satu contoh; partai ini bukan hanya dicegah dari berpartisipasi melalui peraturan elektoral, tetapi mereka juga diserang secara fisik.
Kekuatan militer masih utuh. Walaupun secara formal Dwifungsi ABRI telah dihapus, struktur yang sesungguhnya, Komando Teritorial (KODAM, KODIM, KOREM, KORAMIL, BABINSA), masih utuh. Tentara juga masih dominan di dalam politik. Kita hanya perlu mengingatkan diri sendiri bahwa presiden Indonesia sekarang adalah orang militer.
Akan tetapi, adalah keliru kalau kita berpikir bahwa karena kelas penguasa terpecah-pecah ke dalam banyak partai berbeda maka mereka lemah. Sebaliknya, kekuatan Orde Baru telah menjadi semakin percaya diri. Sekarang mereka dapat melaksanakan kediktaturan kapital di belakang topeng demokrasi. Mereka bahkan telah mengajukan untuk memberikan Soeharto status pahlawan nasional. Tindakan semacam ini tidak akan mungkin lima atau sepuluh tahun yang lalu.
Indonesia di dalam Krisis Ekonomi Global
Sementara indikator ekonomi tampak menunjukkan bahwa Indonesia sedang dalam jalur pemulihan setelah terpukul oleh krisis finansial global 2008/2009, pemulihan ini dibangun di atas pondasi yang lemah. Negara-negara kapitalis besar sedang mengalami pemulihan tanpa penciptaan lapangan kerja, dan beberapa negara telah masuk ke krisis yang baru. Baru-baru ini Yunani jauh ke sebuah krisis yang menggoncang ekonomi dunia kendati harapan para ekonom borjuis bahwa krisis di Yunani, sebuah negeri yang kecil. tidak akan mempengaruhi ekonomi global. Pada awal krisis Yunani, pemerintah Indonesia sangat yakin bahwa ekonominya tidak akan terpengaruh. Namun, dari tanggal 30 April hingga 24 Mei, Indeks Harga Saham Gabungan jatuh dari 2971 hingga 2514, merosot lebih dari 15% dalam 3 minggu.
Pemerintah Yunani telah dipaksa mengimplementasikan sebuah kebijakan penghematan, memangkas anggaran mereka sebesar 30 milyar euro dalam 3 tahun. Kaum pekerja dipaksa membayar untuk krisis kapitalisme. Spanyol, Portugal, Irlandia, Italia, dan Inggris – yang ekonominya lebih besar daripada Yunani – ada di situasi yang sama. Pada tanggal 29 Mei, Spanyol menyusul langkah Yunani, menyetujui rencana penghematan yang akan memangkas 15 milyar euro termasuk pemotongan gaji pegawai negeri. Ini di atas 50 milyar euro paket pengetatan yang sudah diumumkan sebelumnya pada bulan Januari. Pemerintahan koalisi Cameron-Clegg yang baru, pada 24 Mei, hanya dua minggu setelah berkuasa, telah mengambil langkah pertamanya untuk menyerang kaum buruh dengan mengumumkan pemotongan sebesar 6 milyar poundsterling. Pada tanggal 26 Mei, pemerintahan Italia di bawah Berlusconi mengungkapkan sebuah rencana untuk memangkas 24,9 milyar euro dari anggaran negara mereka, yang termasuk tiga tahun pembekuan gaji untuk pegawai negeri. Pada tanggal 13 Mei, pemerintahan Portugis mengumumkan kenaikan pajak dan pemotongan anggaran. Semua kebijakan penghematan ini telah direspon dengan demonstrasi-demonstrasi, tetapi tidak ada yang sebesar yang kita saksikan di Yunani.
Ekonomi dunia sedang perlahan-lahan bangkit dari krisis ekonomi terbesar semenjak 1930an. Akan tetapi, tidak akan ada pengembalian ke “normalitas”. Krisis ini menandai berakhirnya sebuah epos; secara ekonomi ia menandai akhir dari epos negara-kesejahteraan dan secara politik ia menandai akhir dari epos “akhir sejarah”nya Francis Fukuyama. Seperti yang ditunjukkan oleh gambaran di atas, kita sedang memasuki sebuah era penghematan. Sebuah depresi besar dari resesi 2008/2009 telah dihindari dengan bail-out yang tidak ada presedennya, yang diestimasikan sebesar US$ 14 trilyun. John Hawkswoth, kepala makroekonomi PricewaterhouseCoopers, menjelaskan: “Kita telah selamat dari shok ekonomi besar ini dengan melemparkan uang ke dalamnya. Tetapi siapa yang bilang kalau dalam 10 tahun ini tidak akan terjadi lagi? Jadi kita harus merencanakan untuk kembali ke surplus supaya kita punya uang untuk dilempar lagi.”
IMF menunjukkan bahwa pemerintahan seluruh dunia telah menambahkan, secara rata-rata, beban hutang sebesar 20% PDB, dan akan diproyeksikan menambah 20% lagi hingga tahun 2015. Saran IMF kepada negara-negara G20 adalah pemangkasan besar dalam pengeluaran sebesar 8,7% PDB.
Secara ekonomi ini berarti akan ada sebuah periode pemulihan tanpa penciptaan lapangan kerja, dengan permintaan yang lebih rendah. Walaupun ekonomi Indonesia tidak tergantung pada ekspor sebesar negara-negara Asia lainnya, kemerosotan yang lama dalam permintaan ekspor akan menghancurkan industri domestik Indonesia. Pemerintah Indonesia sudah mencoba mengatasi penurunan permintaan ekspor ini melalui perjanjian-perjanjian pasar bebas seperti ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) dan AIFTA (ASEAN-India Free Trade Area). Akan tetapi, harapan mereka akan hancur dengan segera. Pasar ekspor Tiongkok dan India juga terpangkas akibat krisis, karena permintaan dari Amerika Utara dan Eropa menurun, oleh karena itu mereka mencari pasar baru untuk ekspor mereka. Karena ekonominya yang lebih lemah, Indonesia tidak akan mampu bersaing dengan produk-produk dari Tiongkok dan India.
Kapitalisme telah menciptakan sebuah kontradiksi yang tidak dapat dipecahkan; di satu pihak adalah kontradiksi antara kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi dan karakter sosial dari produksi itu sendiri; di pihak lain adalah kontradiksi antara negara-bangsa dan karakter internasional dari ekonomi. Pasar bebas dan proteksionisme, yang diimplementasikan dengan derajat-derajat yang berbeda oleh banyak negara tergantung dari korelasi kekuatan ekonomi dari negara-negara tersebut, adalah metode-metode yang digunakan oleh kapitalis untuk mengatasi kontradiksi ini. Di kasus yang ekstrim, mereka menggunakan langkah militer: dua perang dunia dan banyak perang “kecil” dalam satu abad terakhir.
Yang dibutuhkan adalah pertukaran bebas hasil-hasil kerja rakyat yang dilaksanakan untuk kepentingan buruh dan tani, dan bukan kepentingan laba kapital swasta, dan ini hanya bisa dicapai bila alat-alat produksi dan distribusi disita dari tangan kapitalis dan ditaruh di bawah kontrol demokratis buruh dan tani. Negara-negara sosialis lalu dapat secara demokratis dan sukarela berdagang dengan satu sama lain bukan dengan maksud untuk menaklukkan pasar masing-masing dan memeras laba untuk kapital, tetapi untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Kaum sosialis harus mulai dari tuntutan menentang perjanjian-perjanjian pasar bebas (ACFTA, AIFTA, dll.) karena ini adalah reaksi wajar dari buruh dan tani yang melihat bahwa perjanjian-perjanjian ini akan merugikan kehidupan mereka. Namun, dari tuntutan “minimum” ini kita harus menghubungkannya ke sebuah perspektif sosialis, ke masalah kekuasaan. Kita tolak perdagangan bebas kapitalis, dan kita juga tolak proteksionisme kapitalis. Rejim kapitalis SBY tidak dapat dipercayai untuk mengatasi krisis ekonomi sekarang, seperti yang sudah kita lihat bagaiman pemerintahan “Reformasi” mengatasi krisis ekonomi 1997/1998 dengan melelang perusahaan milik negara dan meningkatkan eksploitasi, yakni dengan memaksa buruh dan tani untuk membayar krisis ini. Satu-satunya solusi adalah buruh Indonesia harus merebut kekuasaan di bawah program sosialis, dan membentuk Federasi Sosialis Asia Tenggara, membangkitkan kembali tuntutan Tan Malaka untuk pembentukan ASLIA Gabungan (Asia-Australia).
Krisis dan Kesadaran Massa
Sebuah krisis ekonomi dapat memiliki efek demoralisasi, dan ini yang sedang kita saksikan secara umum. Sekarang kita tidak melihat adanya mobilisasi dan radikalisasi masif sedunia setelah resesi yang baru-baru ini. Ini karena siklus ekonomi dan kesadaran tidak memiliki hubungan proporsional yang otomatis. Ini serupa dengan Depresi Hebat 1929 yang memaksa massa buruh untuk menundukkan kepala mereka dan bukannya menjadi radikal. Hanya pada tahun 1934 buruh mulai bergerak.
Ditambahkan di sini adalah beban sejarah yang telah diderita oleh kelas buruh dunia: kemandegan reformisme untuk seluruh generasi semenjak boom ekonomi paska-perang-dunia dan jatuhnya Uni Soviet yang disertai dengan ofensif ideologis kapitalis. Ini telah menciptakan sebuah periode yang dipenuhi dengan kebingungan dan kemunduran ideologis. Ide-ide asing merasuki gerakan buruh. Pesimisme dan sinisme menjadi dominan dimana banyak orang meninggalkan gerakan sama sekali, dan menyerahkan gerakan ke tangan kaum reformis dan pengejar karir seperti Tony Blair di Inggris.
Selama periode yang sangat sulit ini, Internastionale kita berdiri teguh; membela panji Marxisme dan kebijakan kelas revolusioner ketika semua orang mencampakkannya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi telah membuktikan kalau kita benar. Kita sedang hidup di sebuah periode yang bergejolak, secara ekonomi dan politik. Periode ini menggoncang kesadaran kelas buruh yang telah terbebani ilusi reformisme dan pesimisme di masa lalu. Namun, yang lebih penting, periode ini sedang menciptakan sebuah generasi buruh muda yang baru, yang sepenuhnya bebas dari ilusi reformis. Periode penghematan yang baru ini akan menciptakan untuk pertama kalinya dalam sejarah kapitalisme sebuah generasi muda baru yang taraf hidupnya tidak akan lebih baik daripada orang tua mereka. Akan ada sebuah generasi baru yang akan dibesarkan di sebuah periode penuh dengan gejolak, peperangan, revolusi dan konter-revolusi di seluruh dunia. Di Indonesia juga, sebuah generasi baru sedang muncul, sebuah generasi yang tidak pernah hidup di bawah periode reaksi Soeharto, yang tidak pernah menyaksikan kegagalan “Reformasi”, dan sekarang sedang menyaksikan kegagalan kapitalisme di seluruh penjuru dunia.
Secara ekonomi, dalam artian sejarah yang luas, situasi objektif untuk sosialisme sudah matang dan dewasa. Namun, yang kurang sekarang adalah sebuah kepemimpinan revolusioner dengan gagasan yang tepat. Dalam setengah abad yang lalu, kepemimpinan gerakan ada di tangan kaum reformis dan Stalinis – yang belakangan ini sebenarnya hanyalah kaum reformis dengan frase-frase revolusioner. Di periode mendatang, kepemimpinan gerakan kemungkinan besar masih akan jatuh di tangan kaum reformis karena kekuatan Marxisme masihlah terlalu kecil. Namun, rakyat akan belajar melalui pengalaman jalan buntu reformisme, dan akan mendorong pemimpin mereka jauh ke kiri atau menggantikan para pemimpin ini. Selama periode ini, ide-ide Marxisme akan mulai mendapatkan gaung. Ini akan menjadi sebuah proses yang berkepanjangan – bukan dalam hitungan bulan, tetapi mungkin tahun atau dekade – dipenuhi dengan loncatan-loncatan, tetapi arahnya jelas. Lapisan buruh dan kaum muda yang paling maju akan menemukan diri mereka bergerak ke Marxisme revolusioner.
Kaum Borjuis Nasional Progresif
Sejarah Indonesia (lihat Lampiran “Sejarah Perkembangan Kapitalisme Indonesia”) telah menunjukkan bahwa semenjak abad ke-16 perkembangan sosial, ekonomi, dan politik Indonesia telah terhubungkan dengan kelahiran dan perkembangan kapitalisme. Karena inilah perkembangan kelas di Indonesia tidak pernah mengikuti perkembangan kelas “klasik” seperti di negara-negara kapitalis maju. Bahkan feodalisme Indonesia sudah terpengaruh oleh kekuasaan Belanda karena kekuasaan kolonial menundukkan para pemimpin feodal ke lutut mereka dan lalu menggunakan mereka sebagai agen penguasa lokal, mengikat mereka ke imperialisme.
Bagaimana dengan borjuasi nasional? Kaum borjuasi nasional datang terlalu terlambat di dalam sejarah Indonesia, dan mereka lahir di bawah tekanan imperialisme, yang tidak membuat mereka lebih progresif sama sekali tetapi justru tunduk pada imperialisme dan kapital asing.
Kita cukup melihat bagaimana gerakan nasionalis Indonesia lahir pada awal abad ke 20. Gerakan nasionalis Indonesia awalnya dipimpin oleh kaum intelektual yang bersandar pada kaum tani dan proletariat yang baru muncul (terutama buruh perkebunan, buruh kereta api, dan kasir pelelangan). Kaum borjuasi Indonesia tidaklah eksis di gerakan nasionalis dari awalnya. Embrio borjuasi Indonesia, yakni para pedagang kecil, membentuk Sarekat Dagang Islam pada tahun 1911. Tetapi tujuan awalnya adalah untuk membela kepentingan pedagang batik Jawa dari persaingan yang meningkat dari pedagang Cina, dan bukan untuk memajukan pembebasan rakyat Hindia Timur dari kekuasaan Belanda. Dalam waktu setahun organisasi ini menangkap imajinasi popular rakyat tani miskin dan buruh Indonesia, yang masuk ke organisasi ini dalam jumlah ribuan dan membanjiri basis pedagang organisasi ini. Pada tahun 1912, SDI melepaskan nama komersialnya – dan secara efektif basis pedagangnya – untuk menjadi Sarekat Islam, gerakan massa politik pertama di Indonesia yang lalu menjadi basis massa gerakan nasionalis Indonesia. Satu-satunya partai yang signifikan secara serius adalah Partai Komunis Indonesia. Jadi sementara SI adalah basis massa pertama gerakan nasionalis Indonesia, PKI adalah satu-satunya partai yang menyediakan gerakan nasionalis Indonesia ini dengan sebuah ekspresi politik yang jelas.
Jatuhnya SI dan PKI pada tahun 1927 membuka panggung kepada elemen-elemen nasionalis-borjuis untuk mendominasi gerakan, walaupun ini adalah periode semi-reaksi dimana gerakan nasionalis terlempar ke belakang. Akan tetapi, tetap belum ada kelas borjuasi di Indonesia. Yang ada adalah kaum intelektual dengan ideologi nasionalis borjuis tetapi tanpa kelas borjuis pribumi untuk bersandar.
Perjuangan kemerdekaan 1945-1949 menunjukkan sekali lagi karakter reaksioner dari para pemimpin nasionalis-borjuis ini. Mereka siap membiarkan Indonesia di bawah kekuasaan kerajaan Belanda dan kekuasaan ekonomi imperialis. Program 100% Merdeka dikhianati oleh orang-orang seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, yang ditandai dengan perjanjian Hague pada tahun 1949.
Kelas borjuasi mulai mengkristal setelah periode topan badai 1945-49. Lahir terlalu terlambat, borjuasi Indonesia terlalu lemah untuk memainkan peran apapun – apalagi peran progresif, dan ketika mereka memainkan sebuah peran mereka justru mendukung Soeharto dan kapital asing di belakangnya dalam pembantaian berdarah jutaan rakyat Indonesia. PKI membayar harga yang mahal untuk kebijakan dua-tahap mereka yang keliru, dimana mereka menundukkan perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional, dan oleh karenanya mencari aliansi dengan kaum borjuis nasional “progresif”. Masalahnya, tidak ada kelas borjuasi progresif, bahkan bayangannya pun tidak ada. Aliansi dengan kaum borjuasi berarti penundukan program kelas pekerja terhadap kepentingan kapitalis, menunda perebutan kekuasaan oleh buruh, dan secara efektif melucuti mereka. Ketika para jendral reaksioner memukul, tidak ada satupun elemen dari borjuasi nasional ini yang maju membela PKI dan menghentikan pembantaian buruh dan tani miskin.
Dalam 32 tahun di bawah kediktaturan militer Soeharto, borjuasi nasional Indonesia tidak pernah mengangkat barang satu jaripun untuk mempertahankan demokrasi “parlementer borjuasi”, yang seharusnya menjadi tugas mendasar klasik dari kaum borjuasi. Mereka justru ikut serta dalam kediktaturan ini. Secara politik mereka impoten dan tentaralah yang harus menjalankan pemerintahan. Secara ekonomi mereka terikat pada kapital asing, dan bila mereka menggonggong terhadap kapital asing ini hanya untuk mendapatkan kue eksploitasi yang lebih besar, bukan karena aspirasi sejati untuk membebaskan rakyat dari imperialisme seperti yang beberapa orang di Kiri ingin berpikir.
Sampai sekarang, kita masih menunggu kehadiran dari kaum borjuasi nasional progresif di Indonesia. Beberapa orang di Kiri mencoba mencari kelas ini di dalam sosok-sosok Rizal Ramli, Prabowo, dan orang-orang seperti mereka yang menggunakan retorika-retorika nasionalis. Tidak lama yang lalu harapan yang serupa ditaruh di pundak Megawati, Amien Rais, dan Gus Dur, yang lalu mengkhianati harapan ini dan mendapati julukan “reformis gadungan”. Akan tetapi, tidak ada yang namanya reformis gadungan. Semua kaum reformis-borjuis ini melakukan apa yang menjadi tugas historis mereka: menyelamatkan kapitalisme di saat-saat yang paling genting.
Masalah Kebangsaan
Masalah kebangsaan masih merupakan sebuah isu utama. Secara historis, pembentukan sebuah negara-bangsa yang tersatukan adalah tugas dari kelas borjuasi. Di Indonesia, negara-bangsa diciptakan melalui perjuangan melawan Belanda. Akan tetapi, di bawah kerangka kapitalisme, negara-bangsa tertekan dengan sangat besar. Persatuan sukarela dari semua kelompok-kelompok nasional dan suku bangsa menjadi kebalikannya: persatuan yang dipaksakan untuk eksploitasi ekonomi di bawah slogan “Bhinneka Tunggal Ika”. Daerah-daerah di luar Jawa dirampas sumber dayanya dan trilyunan rupiah ditransfer ke Jakarta, pusat kekuasaan kapitalis. Kemiskinan adalah 10 kali lebih tinggi di luar Jakarta. Dari angka resmi tahun 1990, tingkat kemiskinan Jakarta adalah 1,3% sedangkan di NTT adalah 45,6%, NTB 27,6%, Papua Barat 12,6%, dst.[8] Setiap kekecewaan dengan cepat dihancurkan dengan kekuatan bayonet. Bukan hanya eksploitasi ekonomi, kita juga melihat represi kebudayaan dan bahasa, dimana ratusan suku bangsa dipaksa berasimilisasi ke nasionalisme Indonesia dan kebudayaan mereka hanya menjadi atraksi turis dan pajangan steril di TMII.
Indonesia telah menjadi sebuah rumah penjara bagi kelompok-kelompok nasional. Kesatuan Indonesia ada di bawah ancaman yang riil dengan prospek untuk berubah menjadi Balkan baru. Kaum borjuasi telah gagal untuk mempertahankan kesatuan Indonesia. Ia telah gagal memenuhi tugas utama dari revolusi borjuis demokratik.
Kesatuan yang datang dari perjuangan melawan Belanda telah dihabiskan oleh kapitalisme. Inilah titik tolak kita. Di beberapa propinsi, aspirasi pembebasan nasional di antara rakyat pekerja telah menjadi sebuah realitas, terutama di Aceh dan Papua. Kita menentang segala macam penindasan terhadap kelompok-kelompok nasional, budaya, bahasa, dan agama. Kita berdiri dengan solidaritas penuh untuk kelompok-kelompok nasional yang tertindas dalam perjuangan mereka untuk membebaskan diri dari rumah penjara Indonesia. Secara konkrit ini berarti kita mendukung tanpa syarat hak demokratis dari kelompok-kelompok nasional tertindas untuk menentukan nasib mereka sendiri, termasuk sampai hak memisahkan diri.
Akan tetapi kita berdiri dengan jelas untuk kebijakan kelas. Ini berarti bahwa adalah tugas kita untuk memberitahukan kepada saudara-saudari kita di Aceh dan Papua bahwa sekutu sejati mereka adalah kelas pekerja Indonesia. Kelas borjuasi di Aceh dan Papua tidak bisa dipercayai dan diandalkan untuk memimpin gerakan pembebasan nasional. Ketika para pemimpin borjuis Aceh dan Papua berbicara mengenai kemerdekaan dari Jakarta, mereka hanya berharap untuk dapat mengeksploitasi rakyat mereka sendiri tanpa campur tangan dari Jakarta, mereka hanya ingin kue eksploitasi yang lebih besar.
Satu-satunya cara untuk memenangkan kepercayaan kamerad-kamerad tertindas kita, untuk memotong masalah kebangsaan dengan garis kelas, adalah dengan mengatakan kepada mereka bahwa kita mendukung hak mereka untuk menentukan nasib sendiri, bahkan hak untuk berpisah, bahwa kita akan berjuang untuk membentuk sebuah pemerintahan buruh yang akan memberikan mereka hak penuh untuk menentukan nasib sendiri. Dengan posisi ini, kita mengatakan kepada kamerad-kamerad kita di Aceh dan Papua bahwa buruh Indonesia tidak punya kepentingan untuk menindas mereka.
Pengalaman Timur Leste adalah sebuah bukti bahwa pembebasan yang sejati tidak dapat dicapai di bawah kapitalisme, dan bahwa pembebasan sejati dari kelompok-kelompok nasional di Indonesia terikat dengan perjuangan untuk sosialisme di Indonesia. Sudah lebih dari 10 tahun setelah kemerdekaan, populasi Timor Leste masih di antara yang termiskin di dunia. Ia telah menjadi sumber intrik antara kekuatan-kekuatan imperialis (Australia, Portugal, Tiongkok, AS, dan lainnya) untuk akses ke cadangan gas dan minyaknya yang besar dan sedang menghadapi represi yang semakin besar dari “pemerintahan nasional”nya sendiri. Tanpa perubahan sistem politik di Indonesia, propinsi-propinsi yang terbebaskan masih akan ada di bawah dominasi ekonomi dan politik dari imperialisme Indonesia. Satu-satunya jalan ke depan adalah pembentukan sebuah persatuan sukarela dari Federasi Sosialis Indonesia, sebagai satu langkah menuju Federasi Sosialis Asia Tenggara dan Federasi Sosialis Dunia.
Sosialisme satu-satunya jalan
Kaum borjuis dan nasionalis Indonesia telah membuktikan diri mereka tidak mampu memajukan masyarakat. Mereka bahkan tidak bisa memenuhi tugas-tugas revolusi borjuis demokratik: reforma agraria, kemerdekaan nasional sejati, dan demokrasi. 65 tahun telah berlalu sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia, dan tidak satupun dari tugas ini yang telah terselesaikan.
Masalah tanah untuk kaum tani masih merupakan masalah yang mendesak. Kaum borjuasi sekarang, karena posisi ekonominya, tidak dapat diharapkan untuk melaksanakan reforma agraria. Sementara di masa lalu kaum borjuasi punya kepentingan untuk menghancurkan feodalisme dengan menyita tanah mereka dan membagikannya ke para petani, kaum borjuasi Indonesia sering adalah pemilik tanah juga.
Tugas pembebasan nasional dari imperialisme juga adalah sesuatu yang tidak dapat diselesaikan oleh kelas borjuasi Indonesia. Mereka terlalu tergantung pada kapital asing. Semenjak kelahiran mereka, mereka telah bahagia menjadi pesuruh imperialisme. Kadang-kadang kaum borjuasi ini menggeliat dan menggonggong karena mereka merasa mereka patut mendapatkan kue penjarahan yang lebih besar, mengendarai kekecewaan rakyat untuk menggunakannya sebagai sebuah pentungan melawan tuan asing mereka. Secara politik impoten, kaum borjuasi nasional hanya dapat bersandar pada kekuatan rakyat pekerja; akan tetapi rasa takut mereka terhadap kebangkitan buruh dan tani adalah lebih besar daripada aspirasi mereka untuk kemerdekaan. Setelah mereka mendapatkan konsesi dari tuan mereka, mereka segera meletakkan retorika-retorika nasionalis dan tujuan mereka.
Dalam masalah demokrasi, catatan sejarah kaum kapitalis Indonesia berbicara sendiri: 32 tahun kebungkaman – dan bahkan partisipasi aktif – ketika hak-hak demokrasi dasar diinjak-injak oleh Soeharto. Hak-hak demokrasi dasar seperti di negera-negara kapitalis maju masih jauh dari jangkauan bahkan setelah Reformasi 1998.
Dari sinilah kita mendefinisikan watak dari revolusi yang akan datang di Indonesia. Tugas-tugas borjuis demokratis yang belum selesai berarti bahwa revolusi selanjutnya di Indonesia adalah berkarakter borjuis demokratis, dalam arti bahwa ia harus menyelesaikan tugas-tugas historis dari revolusi borjuis: reforma agraria, demokrasi, dan pembebasan nasional dari imperialisme. Masalahnya kita tidak punya kelas borjuasi yang bisa melaksanakan tugas-tugas ini. Maka dari itu kelas buruh adalah satu-satunya kelas yang dapat menghantarkan revolusi borjuis demokratis ini. Akan tetapi, kelas buruh, setelah berkuasa guna menjalankan tugas-tugas ini, hanya dapat bergerak langsung ke tugas-tugas sosialis, dan maka dari itu menghubungkan revolusi borjuis demokratik dengan revolusi sosialis.
Ketika kita berbicara mengenai kelas buruh, maksud kita adalah kelas sosial pekerja-upahan. Ini berbeda dengan kaum miskin kota, sebuah kelompok sosial yang tidak stabil dan heterogen, yang rentan terhadap ledakan-ledakan sosial tetapi tidak mampu menjadi kendaraan untuk pembangunan masyarakat sosialis. Hanya kelas buruh yang memiliki kualitas ini karena posisinya di dalam produksi yang memberikannya kedisiplinan kolektif, kesadaran kolektif, dan organisasi yang tidak dimiliki oleh kelas-kelas lain. Kelas buruh tidak perlu menjadi mayoritas dalam jumlah untuk bisa memiliki bobot sosial. Bahkan sebagai sebuah minoritas di masyarakat Indonesia, ia dapat dan harus memainkan peran kepemimpinan dalam perjuangan ke depan dan menjadi pengungkit revolusi sosialis. Di Rusia tahun 1917, kelas buruh secara relatif lebih kecil daripada di Indonesia dan tetap mereka bisa memainkan peran itu.
Dalam prosesnya untuk menuju tampuk kekuasaan, kelas buruh akan menemukan perlawanan dari kapitalis – domestik dan asing. Dalam perjalanan perjuangan ini, masalah kekuasaan akan dikedepankan dengan jelas di pabrik-pabrik dan di pemerintahan. Negara borjuis adalah sebuah mesin yang didesain secara khusus untuk kekuasaan kelas borjuis di atas rakyat pekerja, dan oleh karena itu rakyat pekerja supaya bisa berkuasa sejatinya tidak dapat menggunakan mesin yang sama. Oleh karena itu penghapusan negara borjuis dan pembentukan sebuah negara yang baru – sebuah negara buruh – akan menjadi agenda perjuangan. Ini adalah tugas sosialis.
Kaum borjuasi juga akan menggunakan kekuatan ekonomi mereka untuk melawan buruh yang ingin berkuasa. Satu-satunya cara untuk melucuti kaum borjuasi adalah dengan menyita para kapitalis besar. Selain itu, implementasi luas dari kebijakan-kebijakan pro-buruh (kemandirian serikat buruh, 8-jam kerja, upah penghidupan, pensiun, dll.) oleh negara buruh yang baru akan dihadapi dengan sabotase ekonomi (misalnya pelarian kapital) oleh kapitalis. Di sini, slogan “pabrik ditutup pabrik diokupasi” akan menjadi konkrit. Okupasi pabrik-pabrik oleh buruh, pembentukan komite-komite pabrik, dan nasionalisasi pabrik-pabrik tersebut oleh pemerintahan buruh yang baru akan menjadi agenda perjuangan. Ini adalah tugas sosialis.
Yang penting juga adalah perlunya penciptaan pekerjaan layak untuk 20 juta rakyat Indonesia yang menganggur dan 60 juta lainnya yang dipaksa bekerja di sektor informal. Tugas mendasar untuk menyediakan pekerjaan untuk semua orang memerlukan mobilisasi ekonomi yang luar biasa dari seluruh bangsa, yang tidak dapat dilakukan tanpa sebuah ekonomi terencana di bawah kontrol demokratis rakyat pekerja. Di dalam era kapital finansial dan monopoli, ekonomi terencana hanya dapat dilakukan dengan nasionalisasi bank-bank dan bisnis-bisnis besar. Ini adalah tugas sosialis.
Proletariat Indonesia adalah minoritas di antara rakyat pekerja Indonesia. Oleh karena itu buruh harus bisa membawa sektor-sektor tertindas lainnya (tani miskin, nelayan, kaum miskin kota, penganggur) ke panji mereka. Satu cara untuk melakukan ini adalah dengan secara serius merangkul perjuangan mereka dan menunjukkan bahwa solusi dari masalah-masalah mereka adalah melalui program kelas buruh. Tugas menciptakan pekerjaan untuk para penganggur dan kaum miskin kota hanya bisa dilakukan dengan ekonomi ternasionalisasi yang terencana. Reforma agraria sejati hanya bisa dilakukan dengan nasionalisasi pemilik tanah raksasa. Kredit murah hanya dapat diberikan kepada petani dan nelayan miskin bila bank-bank dinasionalisasi. Industri-industri nasional milik negara akan mampu menyediakan traktor murah, pupuk murah, dsb. kepada petani. Dalam esensinya, ini adalah realisasi konkrit dari slogan “Buruh Berkuasa Rakyat Sejahtera”. Untuk memenangkan sektor tertindas lainnya, buruh harus memberikan kepemimpinan yang teguh.
Maka dari itu, kita sudah melihat secara konkrit bagaimana tugas-tugas borjuis terhubung secara langsung dengan tugas-tugas sosialis. Seperti yang Lenin katakan, tidak ada “tembok Cina artifisial” yang memisahkan mereka. Laju dan cakupan dari tumbuhnya revolusi borjuis ke revolusi sosialis didikte oleh dua hal utama: pertama, tingkat kesiapan kaum proletar, dan terlebih lagi tingkat kesiapan pelopornya, kepemimpinannya; kedua, prospek revolusi sosialis di Asia Tenggara dan dunia. Indonesia dengan sendirinya tidak memiliki tingkat produksi yang cukup untuk bisa membangun sosialisme. Ia membutuhkan revolusi di negera-negara lain yang lalu bisa saling memberikan bantuan ekonomi dan teknik guna memenuhi tugas-tugas sosialis. Kita tidak bisa membangun sosialisme dengan tingkat produksi yang rendah. Seperti yang Marx katakan, “dengan kemiskinan yang umum, maka semua sampah yang lama akan bangkit kembali.” Kaum proletar Indonesia bisa membuat gebrakan yang pertama dengan mengobarkan revolusi sosialis, yang lalu akan menyebar dan membakar merah seluruh Asia Tenggara, dan bahkan dunia. Sebuah kelas buruh yang sadar akan tugas historis ini dan siap dengan program yang jelas, inilah yang perlu kita bangun.
Tugas Sekarang
Kekuatan sosialis di seluruh dunia masihlah kecil dan lemah, dan di Indonesia ini masih sangat muda. Namun kita sekarang sedang memasuki sebuah periode bergejolak yang akan membuka satu kesempatan historis untuk kita. Walaupun ada rasa urgensi untuk maju ke depan, kita harus tahu kekuatan kita (sense of proportion). Tugas kita sekarang adalah untuk menjelaskan dengan sabar. Buruh dan kaum muda yang serius yang sedang mencari alternatif revolusioner tidak akan puas hanya dengan slogan-slogan agitasi sederhana. Mereka menginginkan penjelasan-penjelasan. Mereka menginginkan sebuah ideologi yang jelas dan kuat sehingga mereka dapat melihat melalui semua kebingungan.
Orientasi kita jelas: menuju kelas buruh. Gerakan 1998 telah membuka sebuah ruang untuk gerakan buruh. Tugas selanjutnya adalah untuk mengkonsolidasikan pencapaian ini. Kaum buruh membutuhkan serikat buruhnya sendiri yang mandiri, yang bebas dari pemerintah dan juga NGO. Penguatan organisasi buruh adalah langkah selanjutnya, secara ideologis dan organisasional. 32 tahun kediktaturan Soeharto telah merampok gerakan dari tradisinya, dan ini bukan hal yang sepele. Ini masih harus diatasi.
Serikat buruh bukanlah satu-satunya organisasi yang harus dibangun oleh buruh. Kaum buruh juga membutuhkan partai politik mereka sendiri, dengan program kelas pekerja dan perspektif mengambil kekuasaan. Tingkat abstensi 40% pada pemilu 2009, sebuah peningkatan dari 20% pada pemilu 2004 dan 10% pada pemilu 1999, adalah sebuah indikasi bahwa massa semakin menyadari bahwa tidak ada yang berbeda secara fundamental di antara partai-partai politik yang ada sekarang. Boikot pemilu borjuis harus ditransformasikan menjadi gerakan untuk membentuk sebuah partai politik yang berdasarkan buruh, tani, dan kaum miskin kota. Terlebih lagi, partai ini harus dibangun berdasarkan kemandirian kelas dengan program sosialis yang jelas: nasionalisasi industri-industri utama di bawah kontrol buruh, distribusi tanah untuk petani miskin, undang-undang kelautan dan perikanan yang berpihak pada nelayan-nelayan kecil, penghapusan utang luar negeri, pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis untuk semua rakyat, pekerjaan untuk semua rakyat dengan gaji layak, pensiun yang layak untuk semua rakyat, dan hak untuk mengorganisasi serikat dan mogok.
Serikat-serikat buruh harus mengambil inisiatif dan kepemimpinan dalam membangun partai ini dan mengedepankan slogan “Partai Buruh untuk kaum Buruh”. Partai buruh ini kemudian harus merangkul kaum tani dan kaum miskin kota, tetapi tidak boleh merangkul kaum borjuis “progresif”. Partai ini tidak boleh jatuh ke dalam prasangka-prasangka borjuis kecil, tetapi harus mempertahankan kepemimpinan kelas buruh yang jelas. Hanya dengan kepemimpinan buruh maka seluruh lapisan masyarakat yang tertindas dapat dibebaskan. Ini harus diagitasikan dengan luas di dalam gerakan buruh.
Dokumen perspektif ini adalah sebuah estimasi pertama. Ia memberikan sebuah perspektif umum darimana tugas sehari-hari kita akan mengalir. Dokumen ini tidak lengkap dalam artian bahwa ia hanya memberikan kita batu loncataan pertama, dan akan semakin lengkap bilamana kita mulai bergerak maju dan menaruhnya ke dalam praktek.
Partai kita ditakdirkan untuk memainkan peran yang penting, selama kita tetap memegang teguh ide-ide kita dan tahu batas kekuatan kita setiap saat, atau memiliki sense of proportion. Periode yang mendatang akan membuka banyak kesempatan bagi kita, tetapi kita harus tetap tenang dan selalu mempertimbangkan ukuran kekuatan kita. Kita sedang berjuang untuk membangun embrio pertama dari partai kita. Kita memiliki persenjataan yang terbaik, yakni ide Marxisme, dan kita juga punya sejarah di sisi kita. Sejarah adalah milik kelas buruh untuk direbut.
Catatan Kaki:
[1] Justus M. van der Kroef, The Communist Party of Indonesia: Its History, Program, and Tactics (Vancouver: University of British Columbia, 1965) 166-223.
[2] D.N. Aidit, Indonesian Society and the Indonesian Revolution (Jakarta: Yayasan Pembaruan, 1958).
[3] Aidit 49.
[4] Aidit 64.
[5] Aidit 57-58.
[6] Aidit 62.
[7] Aidit 58-59
[8] Hal Hill, The Indonesian Economy (Cambridge: Cambridge University Press, 2000) 226.