Selama seminggu terakhir, diperkirakan lebih dari 120 juta orang mudik, dibandingkan 80 juta tahun lalu. Ini berarti hampir separuh dari penduduk Indonesia pulang kampung selama Lebaran ini. Walau pun para pengamat dan komentator di berbagai media merayakan tradisi mudik ini sebagai contoh kuatnya nilai kekeluargaan dan keagamaan dalam masyarakat, tetapi bersembunyi di baliknya adalah satu kenyataan pahit bagi banyak rakyat pekerja: berkorban meninggalkan keluarga, anak, dan kampung halaman demi mengais rezeki di kota asing yang nan jauh.
Tradisi mudik tidak unik Indonesia. Di China dan India, pada liburan Imlek dan Diwali, ratusan juta rakyat pekerja melakukan perjalanan panjang untuk merayakan hari besar itu dengan keluarga yang selama setahun lamanya mereka tinggalkan. Fakta yang sama mewarnai kedua negeri ini. Di China, diperkirakan ada 290 juta buruh migran dari desa yang merantau ke kota-kota besar dan pusat-pusat industri, yakni sepertiga dari total angkatan kerja. Di India, ada sekitar 400 juta buruh migran internal. Ketiadaan pekerjaan di daerah pedesaan memaksa mereka meninggalkan keluarga mereka, mengais rezeki dengan cara apapun di kota-kota; bila beruntung jadi buruh tetap, tetapi sebagian besar berakhir sebagai buruh harian, buruh serabutan, atau pedagang kaki lima.
Sebut saja Tamsari (47), seorang kuli angkut di Pasar Kramatjati, Jakarta Timur, yang kisahnya diangkat oleh harian Kompas edisi 19 April (Tradisi Mudik ala Wong Cilik). Dia meninggalkan anak dan istrinya di kampung di Batang, Jawa Tengah, untuk memperoleh Rp 50.000 setiap harinya sebagai kuli angkut. Untuk bisa mudik, seperti tahun-tahun sebelumnya, Tamsari menyisihkan sedikit dari upah kecil yang dia terima setiap harinya. Setiap tahunnya bersama dengan 50 kuli angkut lainnya yang juga dari Batang dia menyewa bus untuk mudik. Juga Nur (36), seorang pedagang buah di Pasar Tanah Abang, yang telah meninggalkan kampungnya di Demak, Jawa Tengah sejak awal 2000an. Tahun ini dia juga akan mudik untuk bisa kembali bertemu anak dan istrinya yang ditinggalnya di kampung. Dia sudah menyewa bus bersama 28 pedagang lainnya dari kampung yang sama. “Saya tidak pernah beli oleh-oleh untuk keluarga, paling barang dagangan kalau gak habis saya bawa pulang, saya masukkan ke kardus,” tutur Nur.
Alasan jutaan Tamsari dan Nur lainnya merantau ke Jakarta sama: kemiskinan ekstrem di kampung halamannya. UMP Jateng adalah salah satu terendah di Indonesia, dan di Kabupaten Batang sendiri saja ada 25 desa yang masuk kategori kemiskinan ekstrem. Tidak heran Jateng adalah daerah tujuan mudik terbesar, dengan sekitar 23 juta pemudik setiap tahunnya pulang ke Jateng. Tetapi tidak hanya di Jateng saja, kemiskinan di hampir seluruh pelosok pedesaan Indonesia mendorong puluhan juta lainnya untuk menempuh kehidupan merantau ke kota-kota.
Kisah pahit perantau ini dikemasi dengan semacam romantisme mudik Lebaran oleh media massa kelas penguasa. Mudik adalah “dorongan yang bersifat lahiriah”, tulis wakil rektor UIN Sunan Ampel Abdul Muhid di Kompas (20/4). Dia melanjutkan, “tradisi silaturahmi ke kampung halaman … memperkaya pengetahuan tentang budaya, sejarah, adat istiadat, dan berbagai praktik keagamaan yang berbasis kearifan lokal.” Di koran edisi yang sama, kita temui juga Dekan UIN Walisongo Syamsul Maarif yang mengekspresikan sentimen serupa. Dia mengatakan, ritual mudik ini “keramat, mendarah daging, dan turun temurun”, adalah “kearifan lokal bernilai luhur”, yang dilakukan demi “menjaga spirit kebersamaan, persaudaraan, dan solidaritas sosial.” Setiap tahunnya, di koran-koran dan TV, kita dijejali dengan kira-kira ceramah moral yang sama.
Jelas, bagi rakyat pekerja, entah di Indonesia, China, India, atau manapun, yang setiap tahunnya pulang kampung, aktivitas mudik memiliki makna penting. Setelah teralienisasi dalam kerjanya, terhisap dalam dunia kapitalisme yang kejam, terpaksa meninggalkan keluarga dan kampung halaman, pulang kampung menemui keluarga adalah hal yang paling dinanti-nanti oleh rakyat pekerja. Tetapi tidak ada di antara para pengamat dan komentator ini yang pernah bertanya pada para pekerja perantau ini: “Bila saudara punya pilihan untuk memperoleh penghidupan layak di kampung halaman sendiri, bisa tetap bersama keluarga, apakah saudara masih akan memilih meninggalkan anak istri?” Sungguh, apalah artinya “[mudik] menjaga spirit kebersamaan” bila justru mudik itu sendiri disebabkan oleh keterpaksaan merantau yang menghancurkan kebersamaan itu sedari awal?
Ritual mudik sesungguhnya menyingkap realitas kemiskinan di daerah-daerah pedesaan umumnya. Kehidupan sebagai petani semakin tidak tertanggungkan. Petani tidak hanya ditekan oleh pasar, tetapi tanahnya juga terus diserobot. Bagi anak-anak muda, tidak ada pekerjaan bagi mereka; masa depan sungguh muram sehingga wajar saja mereka terpikat oleh gemerlap kota layaknya laron ke nyala lampu. Tidak sedikit gadis desa yang bahkan terjerumus ke gemerlap bar-bar malam, dijual ke dalam prostitusi. Di balik romantisme mudik adalah realitas kejam.
Mendasari ini adalah pertumbuhan yang timpang antara kota dan desa. Pemisahan antara kota dan desa merupakan karakter yang ada semenjak lahirnya masyarakat kelas. Kelas penguasa urban dari masa ke masa menghisap nilai dari desa-desa. Jurang pemisah antara kota dan desa ini menjadi semakin lebar di bawah kapitalisme. Kota mendominasi desa, atau lebih tepatnya, kapitalis kota mendominasi dan menghisap kaum tani desa, secara langsung atau tidak langsung lewat perantara mereka, tuan-tuan tanah besar. Kapitalisme membuat semakin sulit bagi petani kecil untuk meraih penghidupan dari sebidang tanahnya yang kecil, karena kalah berkompetisi di pasar dengan agribisnis besar yang lebih efisien. Perkembangan kapitalis membuat harga tanah dan sewa tanah semakin tak terjangkau, mengkonsentrasikan tanah di tangan kapitalis-tuan-tanah besar, dan juga mengkonsentrasikan sarana penting pertanian, dari mesin, pupuk, bibit, pestisida, hingga kredit, ke tangan kapitalis besar. Dengan demikian, kondisi kaum tani setiap harinya memburuk, sampai titik di mana banyak desa praktis mati, ditinggalkan oleh penduduknya, terutama generasi muda, yang merantau.
Tetapi kehancuran ekonomi daerah pedesaan terjadi lebih cepat dari kemampuan kota untuk menyerap populasi desa yang terdorong ke kota-kota. Ini menciptakan kondisi yang menguntungkan kapitalis, dengan terciptanya pasukan buruh cadangan yang besar di kota-kota. Dengan pasukan buruh cadangan yang besar, yang menjadi kaum miskin kota permanen (pekerja serabutan, pedagang kaki lima, pemulung, dsb.), maka perimbangan pasar tenaga kerja menguntungkan pengusaha karena ketersediaan buruh yang berlimpah. Upah buruh bisa ditekan sampai seminim mungkin sesuai dengan kebutuhan modal. Inilah realitas kapitalisme yang tersembunyi di balik tradisi mudik. Semua rencana besar para ekonom borjuis mengenai pemerataan pembangunan berbenturan dengan logika besi kapitalisme.
Dominasi kota atas desa adalah kondisi mutlak kapitalisme, karena mendasarinya adalah penghisapan kapitalis atas kaum tani. Maka dari itu, untuk sungguh-sungguh memeratakan pembangunan, untuk membangun relasi ekonomi yang setara dan harmonis antara kota dan desa, penghisapan kapitalis harus diakhiri. Sosialisme, dengan sistem ekonomi yang terencana, yang tidak lagi berdasarkan pengejaran profit yang mensyaratkan penghisapan, tetapi berdasarkan pemenuhan kebutuhan, akan menjadi landasan untuk mengakhiri pemisahan antara kota dan desa. Dengan dunia yang baru ini, makna mudik Lebaran bagi rakyat pekerja pun akan berubah, karena untuk pertama kalinya seorang merantau karena pilihan bebasnya dan bukan karena tekanan ekonomi yang tak terelakkan.