Satu abad yang lalu, tepat pada tanggal 15 Januari 1919, gerakan buruh kehilangan salah satu pemimpinnya yang paling luar biasa, Rosa Luxemburg. Bersama dengan Karl Liebknecht, dia dibunuh dengan keji oleh paramiliter yang bertindak di bawah perintah rejim sosial demokrat Ebert-Scheidemann untuk menumpas Revolusi Jerman.
Sejak itu, tidaklah berlebihan kalau kita katakan bahwa tidak pernah ada lagi pemimpin proletariat Jerman yang bisa menandingi Rosa, terutama dalam kapasitas intelektualnya sebagai Marxis. Sumbangsih Rosa pada persenjataan teoretis Marxisme sangatlah signifikan, terutama dalam memerangi gagasan reformisme.
Memperingati 100 tahun kematian Rosa, kita harus selalu berjuang keras untuk mempertahankan warisan sejati Rosa karena tidak sedikit yang ingin membuat Rosa menjadi ikon yang steril, atau bahkan lebih parah memelintir gagasan Rosa agar berseberangan dengan apa yang dia perjuangkan sampai mengorbankan nyawanya. Satu hal yang biasa kita dengar dari banyak komentator pintar ini adalah bagaimana Rosa adalah seorang Marxis yang lebih demokratis, humanis, dan anti-otoriter dibandingkan dengan Lenin dan kaum Bolshevik. Rosa dipertentangkan dengan Lenin, yang dilansir sentralis dan diktatorial.
Yang sudah mati tidak bisa membela diri mereka. Tetapi kita yang hidup menghirup Marxisme setiap harinya punya tugas untuk membela Rosa. Terutama ketika Rosa sudah secara keji dibunuh kita tidak bisa membiarkan gagasannya dibunuh pula. Gagasan-gagasan Rosa adalah satu-satunya yang terus hidup.
Satu karya Rosa yang biasa digunakan untuk membenturnya dengan Lenin adalah “Masalah-masalah Organisasional Sosial Demokrasi Rusia” yang ditulisnya pada 1904. Setelah sang penulis telah lama meninggal karya ini diganti judulnya menjadi “Leninisme atau Marxisme”, dan tentunya kita tahu apa tujuan dari mereka-mereka yang mengganti judul tulisan ini. Karya ini adalah kontribusi Rosa pada polemik di Rusia pada 1903-04 antara kubu Bolshevik (Lenin) dan kubu Menshevik (Martov).
Dalam tulisan ini Rosa mengkritik Lenin atas apa yang dilihatnya sebagai kecenderungan sentralismenya. Menurut Rosa sentralisme semacam ini akan meredam inisiasi anggota akar-rumput partai dan kaum buruh, sehingga pada saat “menjelang perjuangan menentukan melawan Tsarisme … [partai] tidak akan mampu memenuhi tugas besar yang diembannya.” Intinya, menurut Rosa, sentralismenya Lenin akan mengarah pada “konservatisme” yang akan menghambat partai dalam memenuhi tugas-tugas revolusi.
Tetapi kita lihat justru Bolshevisme-lah pada 1905 dan lagi pada 1917 yang berhasil memenuhi tugas-tugas revolusi pada momen perjuangan menentukan melawan Tsar. Sementara kubu Menshevik terjebak dalam dogmatisme dan konservatisme mereka, kaum Bolshevik dengan metode dan program yang fleksibel – yang juga dipadukan dengan kedisiplinan politik sosialis yang konsekuen – dapat menangkap energi massa untuk diarahkan ke jantung penguasa.
Kita juga akan keliru kalau mengatakan bahwa Rosa menentang secara prinsipil sentralisme dalam partai proletariat. Dalam artikel yang sama Rosa mengatakan bahwa “prinsip sentralisasi dan disiplin yang lebih keras, yang terutama diformulasikan dalam AD/RT partai, dapat menjadi benteng yang efektif dalam melawan bahaya oportunisme.” Inilah yang sedang dilakukan oleh Lenin ketika dia menuntut dibentuknya partai revolusioner yang rapat dan sentralis, guna melawan elemen-elemen oportunis dan reformis (Menshevik) yang mulai merasuki partai, walaupun pada saat itu bahaya ini pun masih belum tampak jelas bagi Lenin sendiri.
Elemen oportunis dan reformis umumnya menginginkan bentuk partai yang lepas dan longgar, guna melarutkan lapisan proletariat sadar-kelas ke dalam massa “elektoral” yang cair. Dengan cara ini visi sosialisme dikaburkan dan ditumpulkan oleh mereka.
Fakta bahwa Rosa berdiri dari luar mengamati polemik antara Bolshevik dan Menshevik ini juga tidak menolong. Rosa tidak bisa melihat secara jelas apa yang sedang diperjuangkan oleh Lenin. Kaum Menshevik juga mendominasi publikasi di Jerman dengan berbagai tuduhan bahwa Lenin ingin menjadi seorang diktatur. Oleh karenanya Rosa lebih banyak mendapat gambaran dari sisi Menshevik, dan ini mewarnai kritiknya terhadap Lenin.
Namun yang terutama dalam karya tersebut Rosa sebenarnya mengekspos tendensi reformisme, oportunisme, dan parlementerisme yang telah menggerogoti gerakan proletariat, dan bahkan partainya sendiri (Partai Sosial Demokrasi Jerman). Rosa sejak 1900 sudah memulai perlawanan sengit melawan kaum reformis dalam partainya sendiri, yang pada 1914 [Perang Dunia Pertama] dan lagi pada 1919 [Revolusi Jerman] mengkhianati sosialisme.
Selang beberapa tahun kemudian, Rosa sudah tidak lagi mengkritik Lenin. Pada Revolusi 1905 di Rusia dia berdiri di sisi Lenin dan mengecam keras kaum Menshevik yang impoten dalam menghadapi tugas-tugas revolusi. Rosa tidak lagi mengungkit kritiknya terhadap Lenin pada 1904, yang menurutnya adalah “masa lalu yang amat jauh, karena hari ini kehidupan bergerak dengan begitu cepatnya”. Dia telah mengarahkan tembakannya ke kaum Menshevik yang menurutnya kini ingin “bersandar pada massa di luar proletariat [baca kaum borjuis dan borjuis kecil]” dan “mendukung tuan-tuan Partai Kadet [partai borjuis liberal di Rusia]”.
Sungguh kehidupan adalah guru terbaik. Pada momen Revolusi, semua teori dan tendensi teruji, dan Rosa, sebagai seorang revolusioner yang konsisten, dapat melihat dengan jelas siapa yang ada di sisi revolusi dan siapa yang ada di seberangnya.
Revolusi Oktober 1917 di Rusia sekali lagi mengedepankan pertanyaan ini: Rosa dan Lenin, Kawan atau Lawan? Kalau kita membaca sekilas tulisan Rosa yang berjudul “Revolusi Rusia” kita akan mendapat kesan bahwa Rosa mengecam Lenin atas tindakan-tindakannya yang diktatorial, yang memasung kebebasan dan demokrasi. Dan musuh-musuh Lenin kerap mencomot kutipan-kutipan dari tulisan Rosa ini untuk membenturkan Rosa dengan Marxismenya Lenin yang otoriter.
Tetapi Rosa sendiri tidak pernah menerbitkan tulisan tersebut. Tulisan tersebut adalah manuskrip yang ditulisnya saat berada dalam penjara, dengan berita-berita yang terbatas – dan tentunya bias dan penuh fitnah – mengenai apa yang tengah berlangsung di Rusia. Inilah mengapa Rosa sendiri tidak pernah menerbitkan manuskrip tersebut, karena jelas dia menganggapnya tidak lengkap dan tidak akurat. Manuskrip ini hanya diterbitkan pada 1922 setelah sang penulis sudah meninggal dan tidak bisa lagi diminta pertanggungjawabannya. Yang menerbitkan adalah Paul Levi, mantan pemimpin Partai Komunis Jerman yang setelah dipecat dari Komunis Internasional lalu menggunakan manuskrip Rosa ini untuk keperluan polemik semata.
Tetapi bahkan dalam manuskrip ini, Rosa memuji Lenin dan Bolshevik sebagai pelopor revolusi:
“Lenin dan Trotsky, dan kamerad-kamerad mereka adalah yang pertama; merekalah yang melangkah ke depan sebagai teladan bagi kaum proletariat dunia; mereka masihlah satu-satunya yang sampai sekarang dapat meneriakkan pekik ‘Saya telah berani!’
“Inilah kebijakan Bolshevik yang esensial dan abadi. Dalam hal ini yang telah mereka capai adalah sebuah pengabdian historis yang abadi, dengan melangkah di depan barisan proletariat internasional dengan perebutan kekuasaan politik dan mengedepankan masalah realisasi sosialisme secara praktis, dan mendorong maju dengan langkah yang besar perjuangan penentuan antara kapital dan buruh di seluruh dunia.”
Mungkin satu hal yang patut dicatat juga dalam manuskrip ini, Rosa berbicara mengenai “Lenin dan Trotsky” sebagai pemimpin Revolusi Oktober, dan bukan “Lenin dan Stalin”. Yang belakangan hanya rekaan birokrasi Stalinis Uni Soviet setelah mereka telah menenggelamkan warisan sejati Revolusi Oktober dalam lautan darah.
Ada satu artikel yang diterbitkan secara publik oleh Rosa mengenai pemerintahan Soviet, dengan judul “Tragedi Rusia” pada September 1918. Namun jangan dikira kalau artikel ini mengkritik rejim “kediktatoran kejam”nya Lenin. Dalam artikel ini Rosa sebenarnya mengkritik kebijakan Lenin dan Trotsky dalam perjanjian perdamaian Brest-Litovsk dengan Jerman. Rosa bukan satu-satunya yang mengkritik masalah Brest-Litovsk, karena banyak kolega-kolega Lenin dalam Partai Bolshevik yang juga tidak setuju dengan Lenin mengenai ini. Pada Maret 1918, pemerintahan Soviet yang muda terpaksa menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan Jerman yang sangatlah merugikan pemerintahan Soviet karena mereka harus merelakan banyak wilayah kepada Jerman. Rosa menentang keputusan Lenin dan Trotsky ini, yang menurutnya justru akan menguatkan imperialisme Jerman. Di lain pihak, Lenin dan Trotsky berpendapat bahwa ini adalah perjanjian yang sungguh terpaksa mereka tanda tangani karena rejim Soviet tidak punya angkatan bersenjata untuk dapat melawan gempuran Jerman. Gencatan senjata ini akan memberi Soviet waktu dan kesempatan untuk menarik napas sembari menunggu meledaknya revolusi di Eropa Barat, terutama di Jerman, sebagai satu-satunya hal yang akan bisa menyelamatkan Soviet. Ini terbukti benar ketika pada November 1918 Revolusi Jerman meledak, dan perjanjian Brest-Litovsk pun dianulir karena revolusi ini. Perang Dunia Pertama, karnaval penuh darah yang melumatkan puluhan juta buruh dalam parit-parit perang, akhirnya berakhir karena pemberontakan revolusioner para tentara dan buruh Jerman.
Sayangnya Revolusi Jerman ini dikhianati oleh kaum reformis dalam Partai Sosial Demokrasi Jerman (SPD). Rosa menghabiskan bulan-bulan terakhirnya untuk mengorganisir Partai Komunis Jerman guna menuntaskan Revolusi Jerman, tetapi dia tidak hanya gagal tetapi juga harus jadi korban dari kontra-revolusi.
Rosa Luxemburg sejak awal juga telah menekankan bahwa Revolusi Rusia akan menemui kegagalan kalau tidak dibantu oleh revolusi proletariat internasional, terutama revolusi proletariat di Jerman. Ini yang ditulisnya dalam “Tragedi Revolusi”:
“Pada analisa terakhir, tanggung jawab atas kegagalan kaum Bolshevik harus diemban oleh kaum proletariat internasional dan terutama oleh kebangkrutan tanpa-preseden dan terus-menerus dari Sosial Demokrasi Jerman. Partai ini [SPD] yang pada masa-masa damai berpura-pura berdiri di depan barisan proletariat dunia, yang menganggap dirinya sebagai penasihat dan pemimpin proletariat seluruh dunia, yang di negerinya sendiri memiliki setidaknya 10 juta pendukung – ini adalah partai yang telah menyalib sosialisme 24-jam sehari selama 4 tahun [selama Perang Dunia Pertama dari 1914-1918] atas perintah kelas penguasa, layaknya prajurit sewaan Abad Pertengahan yang rentan disuap.”
“Berita-berita yang kini tiba dari Rusia mengenai situasi yang dihadapi kaum Bolshevik adalah pengingat akan betapa sedikitnya nama baik yang tersisa dari massa buruh dan tentara Jerman. Dengan berdarah dingin mereka telah mencampakkan Revolusi Rusia, membiarkannya dicabik-cabik, dikepung dan dipaksa menderita kelaparan. Biarlah mereka sekarang mengintervensi, bahkan pada menit-menit terakhir ini, untuk menyelamatkan Revolusi Rusia dari nasib yang paling buruk …
“Hanya ada satu solusi untuk tragedi yang tengah dialami oleh Rusia: pemberontakan di tengah imperialisme Jerman, bangkitnya massa rakyat Jerman, yang dapat memercikkan revolusi internasional untuk mengakhiri genosida ini. …”
Lenin juga memegang gagasan yang sama, bahwa Revolusi Rusia tidak akan bisa bertahan tanpa revolusi di Eropa Barat. Nasib Revolusi Rusia ada di tangan proletariat negeri-negeri kapitalis Barat yang lebih maju. Adalah satu hal untuk memenangkan revolusi dan merebut kekuasaan, tetapi adalah satu hal yang sangat berbeda untuk membangun sosialisme dalam keterisolasian. Rusia terlalu terbelakang secara ekonomi dan kultural untuk bisa menuntaskan transformasi sosialis dengan sendirinya secara terisolasi. Syarat-syarat materinya tidak mencukupi. Yang tidak disangka oleh Lenin dan juga Rosa adalah bagaimana keterisolasian Revolusi Oktober mengambil bentuk rejim birokratik Stalinisme yang keji, sebuah fenomena tanpa preseden dalam sejarah. Di sini Rosa melangkah lebih jauh dalam prognosisnya, bahwa bila Revolusi Oktober gagal maka yang patut disalahkan bukan kaum Bolshevik tetapi para pemimpin reformis Sosial Demokrasi Jerman.
Dalam masalah-masalah fundamental revolusi, kita temui Rosa dan Lenin seiya dan sekata. Mereka-mereka yang ingin membenturkan Rosa dan Lenin hanya bisa melakukan ini dengan memelintir sejarah. Namun kebenaran pada akhirnya yang akan menang. Ada sejumlah isu tentunya dimana mereka bersilang pendapat secara tajam, tetapi ini tidak membuat Lenin kehilangan rasa hormatnya pada Rosa. Ia menyebut Rosa sebagai “Elang” dan sungguh Elang ini terbang begitu tinggi.