Ada dua peristiwa besar yang sering dianggap para kapitalis sebagai bukti kegagalan sosialisme: pertama, runtuhnya Uni Soviet dimana Gorbachev membuka pintu negaranya untuk pasar bebas dan kedua, runtuhnya Tembok Berlin yang sempat memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur. Dari kedua peristiwa itu tesis “Akhir Sejarah” dikemukakan oleh Francis Fukuyama, salah satu dari banyak nabi kapital. Dalam bukunya yang berjudul The End of History and the Last Man, ia menyatakan kemenangan definitif pasar bebas dan demokrasi borjuis adalah sebuah keniscayaan. Oleh karenanya kapitalisme adalah peradaban final dari umat manusia yang tidak dapat digantikan dengan sistem apapun. Sejak saat itu, kita saksikan serangan luar biasa besar terhadap ide-ide Marxisme dalam skala dunia pada 25 tahun terakhir ini dan masih terus berlangsung sampai sekarang.
Ide tentang kapitalisme sebagai bentuk akhir sistem ekonomi dan demokrasi borjuis sebagai bentuk akhir pemerintahan manusia nampaknya dikonfirmasi oleh 20 tahun lebih pertumbuhan ekonomi dan melonjaknya pasar dunia yang berlangsung hampir tanpa gangguan. Para politisi, gubernur bank sentral dan para manajer Wall Street yakin bahwa mereka telah berhasil menjinakkan siklus boom-and-slump ekonomi yang sebelumnya menjadi karakter utama dari kapitalisme. Para pembela kapitalisme begitu gembira. Sejak runtuhnya Uni Soviet, mereka terus saja berbicara tentang kematian sosialisme dan komunisme dan bahkan Marxisme. Mereka menjanjikan masa depan yang damai penuh kemakmuran berkat kemenangan pasar bebas dan demokrasi (borjuis) yang menopangnya. “Liberalisme telah menang!”, begitu pekik mereka, dan oleh karenanya sejarah telah mencapai ekspresi akhir dari kapitalisme. Inilah arti penting dari ungkapan yang begitu terkenal dari Francis Fukuyama.
Selama dua puluh tahun terakhir, para ekonom borjuis terus saja membual tidak akan ada lagi kejatuhan dan kemerosotan ekonomi, bahwa siklus semacam ini telah dihapuskan sepenuhnya dari kapitalisme. Tapi sekarang roda sejarah telah berubah. Hari ini tidak sedikitpun ada yang tersisa dari semua prediksi mereka yang begitu percaya diri dalam strategi kapital. Sejarah telah berbalik dengan sepenuh hati dan siap menyambut kelahiran peradaban baru.
Berkaitan dengan peristiwa runtuhnya Uni Soviet, apa yang gagal di Rusia bukanlah sosialisme yang sesungguhnya, melainkan karikatur birokratik dari sosialisme. Naiknya Stalin ke tampuk kekuasaan adalah kontra-revolusi, yang dicapainya di atas tulang belulang kaum Bolshevik. Cita-cita membangun masyarakat sosialis diselewengkan sama sekali. Rezim birokratik yang dibangunnya adalah antitesis dari rezim demokratis yang dilahirkan oleh Revolusi Oktober, oleh para Bolshevik dan oleh massa kelas buruh Rusia pada 1917. Lenin menjelaskan bahwa dibutuhkan kontrol demokratis terhadap industri, masyarakat dan negara oleh kaum proletar untuk menuju sosialisme. Dengan kondisi dimana para elit birokrasinya mempunyai kekuasaan penuh atas hak-hak istimewa, sudah sepatutnya hal-hal seperti korupsi, kolusi dan nepotisme berlangsung tanpa adanya interupsi dan pada gilirannya membuka jalan ke kembalinya kapitalisme.
Krisis Ideologi Borjuis
Pada dekade pertama abad 21 nilai-nilai moralitas, politik, dan filsafat kapitalis berada di jalan buntu seiring dengan ketidakmampuan kapitalisme untuk mengembangkan tenaga produktif. Pada periode ini, pesimisme yang tertanam dalam diri kaum borjuasi dan ideologinya terwujud dalam kemiskinan pemikiran, kesia-siaan seni dan nilai-nilai spiritual yang kosong dan hampa. Semua ini terekspresikan dalam filsafat postmodernisme, yang membayangkan dirinya berdiri lebih unggul dari filsafat sebelumnya, ketika pada kenyataannya justru jauh lebih rendah.
Pada jaman keemasannya kelas borjuasi mampu melahirkan para pemikir besar, di antaranya: John Locke, Thomas Hobbes, Immanuel Kant, Hegel, Adam Smith, Ricardo dan lain-lain. Namun pada masa penurunannya, mereka hanya mampu menghasilkan apa yang digambarkan Marx sebagai kutu di atas tumpukan kerupuk. Mereka berbicara tentang akhir sejarah dan akhir ideologi dalam nafas yang sama. Mereka tidak percaya pada progres karena kelas borjuasi telah lama berhenti menjadi progresif. Ketika mereka berbicara tentang akhir sejarah, itu karena mereka telah berakhir pada sejarah yang buntu dan tidak menemukan jalan keluar. Ketika mereka berbicara tentang akhir ideologi, itu karena mereka tidak lagi dapat menghasilkan satupun pemikiran baru!
Kapitalisme bukanlah sesuatu yang abadi. Sejarah telah memberikan bukti bahwa kapitalisme dipenuhi dengan gejolak dan ketidakstabilan, dan tidak ada masa depan baginya sama sekali. Ilusi yang menghibur dari masa lalu bahwa ekonomi pasar bebas memegang kunci yang bisa membuka pintu pembatas jalan untuk kemajuan dan kebahagiaan universal, semuanya telah hancur. Dalam cara yang samar-samar, mereka mulai merasa bahwa ideologi borjuis yang mereka pegang teguh sedang menuju penghabisannya. Tentu saja mereka tidak bisa menerima ini. Seorang manusia yang berada di tepi jurang tidak dapat berpikir logis dan rasional. Penyebarluasan kecenderungan irasional, mistisisme dan fanatisme agama mencerminkan ini.
Tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk membuat semua ini muncul ke permukaan. Pada skala dunia, berulang kali krisis dan resesi ekonomi terjadi. Turbulensi yang ekstrem mengguncang sendi-sendi kapitalisme. Sejak krisis ekonomi 2008, kapitalisme belum dapat menemukan jalan keluar dan justru semakin dibebani dengan krisis politik yang menjalar ke berbagai negeri, seperti Arab Spring, krisis pengungsi di Eropa, bangkrutnya Yunani dan keluarnya dari Uni Eropa, kemenangan Jeremy Corbyn dalam Partai Buruh Inggris, referendum Brexit, kemenangan Trump dan peristiwa-peristiwa lainnya yang akan mengejutkan kita di tahun-tahun mendatang.
Sejarah Belum Berakhir
Sejak dekade pertama abad 21, sejarah menunjukkan semakin jelas bahwa kapitalisme telah habis potensi progresifnya. Alih-alih membangun dan mengembangkan industri, ilmu pengetahuan dan teknologi, kapitalisme justru menjadi penghalang terbesar bagi kemajuan. Kekuatan produktif stagnan, pabrik-pabrik ditutup seolah-olah mereka adalah kotak korek api, dan jutaan pekerja terlempar dari pekerjaan mereka. Semua ini adalah gejala yang menunjukkan bahwa perkembangan kekuatan produktif dalam skala dunia telah melampaui batas-batas sempit kepemilikan pribadi dan negara bangsa. Inilah alasan paling mendasar dari semua krisis, yang telah terkena kebangkrutan kapitalisme dalam arti yang paling harfiah. Nasib Irlandia, Yunani, hasil referendum Brexit, kemenangan Donald Trump memberikan konfirmasi grafis dari keadaan sakit kapitalisme. Hari demi hari, krisis terus menyebar ke negara-negara maju lainnya. Bahkan sekarang ini Italia sedang menunggu gilirannya. Tak jauh di belakangnya Prancis, Jerman, Austria secara tak terelakkan akan menyusul. Dan bukan hal yang tidak mungkin krisis serupa juga tengah menjalar ke negeri-negeri Asia.
Para ekonom borjuis dan para politisi, dan semua para reformis, sedang putus asa untuk menemukan jalan keluar agar bangkit dari krisis yang dalam ini. Mereka percaya bahwa krisis ini bersifat sementara dan mereka membayangkan hal ini dapat diatasi dengan membuat beberapa penyesuaian pada sistem yang ada. Semua yang dibutuhkan adalah lebih banyak kontrol dan regulasi, dan bahwa kita dapat kembali ke kondisi sebelumnya. Namun krisis ini bukan krisis yang normal, apalagi sementara. Ini menandai titik balik mendasar dalam proses, titik di mana kapitalisme telah mencapai kebuntuan sejarah. Hal terbaik yang mereka harapkan adalah pemulihan, namun pemulihan ini bersifat lemah, disertai dengan pengangguran yang tinggi dan periode panjang penghematan dan standar hidup yang jatuh.
Marxisme menjelaskan bahwa dalam analisa terakhir, kunci kemajuan masyarakat adalah perkembangan kekuatan produktif. Selama masyarakat mengalami kemajuan, dengan kata lain asalkan mampu mengembangkan industri, pertanian, ilmu pengetahuan dan teknologi, maka mayoritas masyarakat bisa mentolerir kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi dalam batas-batas tertentu. Selama ada kemungkinan riil kalau taraf hidup mereka akan terus membaik, rakyat pekerja tidak akan mempertanyakan tatanan masyarakat yang berlaku. Mereka akan menerimanya sebagai sesuatu yang tak terelakkan, seperti proses terbit dan terbenamnya matahari.
Dibutuhkan peristiwa-peristiwa besar untuk memungkinkan massa membuang beban berat tradisi, kebiasaan dan rutinitas lama dan untuk merangkul ide-ide baru. Kondisi semacam ini telah dijelaskan oleh konsepsi materialis tentang sejarah, dimana secara brilian terekspresikan oleh frase terkenal dari Marx dan Engels, bahwa “kondisi sosial menentukan kesadaran”. Dibutuhkan peristiwa besar untuk mengekspos kebobrokan dari orde lama (kapitalisme) dan melakukan penggulingan secara menyeluruh: kekuasaan, ekonomi dan politik. Proses ini tidak otomatis dan tentu saja membutuhkan waktu, tetapi bisa melompat dengan kecepatan yang luar biasa. Massa luas belajar dari pengalaman kehidupan mereka yang riil.
Oleh karena itu kita dapat menjawab Tuan Fukuyama sebagai berikut: bahwa sejarah belumlah berakhir. Bahkan sejarah baru saja dimulai, dan siap untuk menyambut sebuah kelahiran peradaban baru. Ketika generasi masa depan melihat kembali “peradaban” kita sekarang ini, mereka akan melihat kita seperti orang barbar. Kita memerlukan sebuah dunia baru untuk menggantikan itu semua. Dunia baru yang sekarang ini sedang berjuang untuk dilahirkan adalah sosialisme. Ini adalah tugas kita untuk memastikan bahwa kelahiran ini berlangsung sesegera mungkin, dengan rasa sakit dan penderitaan yang paling minimal. Cara untuk mencapai tujuan ini adalah dengan membangun tendensi Marxis yang kuat secara internasional, di seluruh dunia, dengan kader yang terlatih dan pilih tanding yang berhubungan secara kuat dengan kelas pekerja. Masa depan yang harus kita sambut adalah sosialisme!
Surabaya, 27 Maret 2017.