Pencemaran plastik telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Permasalahan sampah plastik kini menjadi horor baru bagi umat manusia. Upaya mengatasinya lewat mekanisme pasar telah gagal total.
Kantong plastik yang terbuang ke lingkungan pemukiman sebanyak 10 miliar lembar per tahun atau sebanyak 85.000 ton. Setiap harinya sekitar 8 juta keping polusi plastik masuk ke lautan kita. Ini telah mengakibatkan 100.000 mamalia laut dan penyu serta Sekitar 1 juta burung laut mati setiap tahunnya. Sedangkan di daratan sudah lumrah menemui pemberitaan media tentang berbagai macam hewan yang mati disebabkan oleh plastik yang ditelannya. Demikian juga kini udara terisi polusi mikroplastik yang dibawa angin ke seluruh wilayah di planet ini. London adalah kota yang udaranya paling tertinggi jumlah polusi mikroplastik. Begitupun udara di wilayah-wilayah yang terpencil.
Lebih dari itu, tubuh manusia juga telah terpapar oleh pencemaran plastik. Dalam sebuah jurnal yang diterbitkan peneliti dari University of Hull di UK, mikroplastik dapat ditemui dalam paru-paru manusia. Selain itu, darah manusia juga tidak luput dari paparan tersebut. Peneliti dari Universitas Vrije Amsterdam dan Amsterdam University pada tahun 2021 menemukan partikel plastik dengan konsentrasi 1,6 microgram/ml dalam darah manusia.
Kebuntuan Industri Daur Ulang
Eropa dan Amerika mengatasi sampah plastik mereka dengan menjadikannya komoditas, yakni mengekspornya ke berbagai negara berkembang untuk didaur ulang dalam jumlah puluhan hingga ratusan ribu ton per tahun. Amerika Serikat dinobatkan sebagai pengekspor sampah plastik terbesar di dunia. Di tahun 2018 tercatat jumlahnya setara 157.000 kontainer yang diekspor ke berbagai negara. Demikian juga Inggris mengirim sekitar 7.133 metrik ton sampah ke berbagai negara non-OECD, termasuk Malaysia, Pakistan, Vietnam, dan juga Indonesia di tahun yang sama.
Sampah ini diekspor karena biaya mendaur ulang lebih murah di negeri-negeri berkembang. Tentunya ini seturut dengan mekanisme pasar kapitalis yang melihat segala sesuatu sebagai komoditas untuk dijual beli, termasuk sampah. Serahkan kepada pasar untuk menanganinya, begitu bayangan mereka. Dengan kompetisi, maka perusahaan yang paling bisa mengolah sampah plastik ini dengan biaya paling murah, dialah yang paling kompetitif dan “inovatif”. Namun pada kenyataannya, perusahaan-perusahaan yang mengimpor sampah tersebut tidak mendaur ulangnya. Dari laporan yang ada, rata-rata 70% dari sampah yang diimpor tidak terkelola dengan baik. Sampah tersebut dibakar, dibuang ke sungai dan laut, ditimbun sembarangan, atau dibiarkan menumpuk begitu saja, karena pada akhirnya ini adalah pilihan yang paling murah, yang paling menghasilkan profit. Motivasi profit kapitalis jelas bertentangan dengan kelestarian lingkungan hidup. Mekanisme pasar yang sama telah diterapkan untuk perdagangan karbon, dan sampai hari ini hasilnya mengecewakan.
Secara global, menurut World Environment Day Outlook, di tahun 2018 sampah plastik yang didaur ulang hanya 9%. Demikian juga di tahun 2019, OECD melaporkan hal serupa: hanya 9% sampah plastik di dunia yang didaur ulang. Sedangkan sisanya 49% berakhir di TPA (Tempat Pembuangan Akhir), 19% dibakar, dan 22% lainnya tidak terkelola yang berarti berserakan menjadi polusi di laut dan darat.
Upaya daur ulang sama sekali tidak memberikan dampak yang signifikan bagi keberadaan sampah plastik, karena tidak ada profit besar di sana. Selain itu, produsen plastik siap pakai tidak tertarik dengan proses daur ulang karena biaya pembuatan plastik baru dari minyak bumi lebih murah dan berkualitas tinggi dibanding daur ulang plastik lama. Hasil daur ulang kualitasnya cenderung menurun. Model ini sering disebut juga “downcycling” yang jelas sama sekali tidak menguntungkan bagi bisnis para kapitalis. Kita saksikan bagaimana profit kapitalis menjadi penghalang.
Tanggung jawab siapa?
Sering kali kita mendengar himbauan mengenai pentingnya pertanggung jawaban setiap individu atau konsumen dalam menggunakan produk plastik. Himbauan semacam ini meletakkan tanggung jawab pencemaran pada individu, pada kelas pekerja. Namun himbauan-himbauan tersebut sengaja mengabaikan pertanyaan penting ini: dari mana datangnya plastik-plastik tersebut yang membanjiri planet ini? Siapa yang memproduksinya? Siapa yang meraup untung besar darinya?
Plastik-plastik yang tersebar saat ini diproduksi menggunakan bahan baku senyawa polimer (polimer sintetik). Senyawa tersebut secara eksklusif bersumber dari minyak bumi. Perusahaan-perusahaan migas yang memasok bahan baku plastik meraup keuntungan US$400 miliar per tahunnya. Sebuah lahan basah bagi kelas kapitalis.
Inilah latar belakang mengapa wacana untuk menerapkan model sirkular/berkelanjutan dalam produksi plastik dipastikan mustahil untuk direalisasi. Penyebabnya adalah wacana tersebut berlawanan dengan kepentingan perusahaan-perusahaan migas yang menjadikan segmen ini sebagai sumber untuk mendulang profit dengan angka yang fantastis. Inilah faktor utama penyebab limbah plastik setiap tahun bertambah signifikan secara terus menerus.
Salah satu perusahaan yang bertanggung jawab atas sampah plastik adalah ExxonMobil. Perusahaan ini menduduki posisi tertinggi sebagai kontributor pencemaran sampah plastik sekali pakai. Ada 20 perusahaan yang bertanggung jawab atas 55% limbah kemasan plastik dunia. 100 perusahaan menyumbang 90% atas limbah plastik dunia.
Fakta ini menunjukkan pertanggung jawaban atas sampah plastik bukan sepenuhnya ada pada individu sebagai konsumen. Rakyat pekerja tidak memiliki kontrol atas bagaimana kemasan-kemasan plastik diproduksi dan didistribusikan. Secara sistemik, masalah utamanya bukan di ranah hilir melainkan hulu dari sirkulasi plastik itu sendiri. Kepentingan kelas kapitalis melalui korporasi-korporasi inilah yang mencekoki planet ini secara terus menerus dengan sampah plastik atas nama profit. Bagi kapitalis profit di atas segalanya, sehingga model produksi plastik yang sangat mencemari lingkungan hidup ini akan terus dipertahankan.
Bank mengawini para produsen plastik dengan utang, lantas menuntut pembayaran bersama bunganya. Produsen menginginkan adanya permintaan berkelanjutan, dengan jaminannya adalah memastikan populasi penduduk tidak alergi plastik. Dan yang paling ideal bagi kapitalis adalah peredaran plastik sekali pakai di pasar sehingga sirkulasi produksi terus berjalan melalui rantai permintaan yang tidak akan terputus.
Environmentalisme Tanpa Perjuangan Kelas Adalah Jalan Buntu.
Sampai hari ini, dunia tidak kekurangan para pegiat lingkungan, peneliti dan perusahaan pengolah sampah yang terus mengkampanyekan betapa pentingnya kesadaran seluruh elemen masyarakat agar bijak dalam penggunaan plastik. Sembari menyerukan 3R, yaitu reduce, reuse, dan recycle, para pegiat ini juga melakukan aksi-aksi sosial, seperti pemungutan sampah plastik di ruang-ruang publik, tempat destinasi wisata dan lain-lain. Tetapi pencemaran plastik hari ini jelas tidak bisa lagi diselesaikan dengan aksi pungut sampah plastik atau kesadaran individu. Industri daur ulang juga telah terbukti tidak mampu menyelesaikan masalah sampah lewat mekanisme pasar.
Kenyataan dari permasalahan ini akhirnya mengantarkan kita ke kondisi ekonomi politik. Produksi plastik yang tidak terkendalikan ini adalah akibat kepentingan kelas kapitalis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya di bawah mekanisme pasar. Kebijakan-kebijakan untuk mengubah keadaan ini tidak bisa terus menerus diserahkan kepada rezim kapitalis yang sedang berkuasa saat ini. Mereka akan terus mengamankan kepentingannya atas nama profit dengan segala cara, bahkan bila ini dapat menghancurkan bumi yang mereka huni.
Solusinya adalah mengakhiri sistem ekonomi yang berdasarkan profit. Produksi harus direncanakan secara rasional seturut kepentingan kelas pekerja, dan bukan seturut profit. Dalam waktu ke depan, kita masih harus menggunakan plastik. Tetapi bagaimana kita memproduksi, mendistribusi, menggunakan, membuang, dan mendaur ulang plastik tidak boleh diserahkan ke tangan pasar kapitalis yang anarkis. Dengan sistem perencanaan ekonomi yang demokratik, kita akan dapat mengurangi sampah plastik secara drastis. Kelas buruh memiliki kepentingan untuk mengurangi penggunaan plastik yang tak terkendali ini, dan mengelola sampah plastik, karena imbas kerusakan lingkungan hidup langsung mempengaruhi taraf hidup dan kesehatannya. Tidak demikian dengan kaum kapitalis, yang dengan harta berlimpah bisa tinggal di tempat-tempat yang bersih dari sampah yang mereka hasilkan.
Dengan kepemilikan kolektif atas seluruh industri, kelas buruh bisa merencanakan produksi secara demokratik, termasuk mengorganisir ulang bagaimana kita menggunakan plastik. Di bawah kapitalisme, profit adalah orientasi utama. Oleh karenanya rezim kapitalis selalu mengabaikan segala aspek mengenai keberlanjutan kehidupan makhluk hidup di bumi ini selama tidak memberi keuntungan bagi mereka. Untuk mengakhiri sampah plastik, kita harus mengakhiri kapitalisme. Tidak ada jalan lain!