Gerakan Peringatan Darurat pada Agustus kemarin mendemonstrasikan signifikansi perjuangan demokrasi bagi kaum sosialis. Bahkan untuk tuntutan yang paling parsial sekalipun, yakni persoalan aturan Pilkada di mana tidak ada satupun kandidat kelas buruh yang berlaga, ini dengan cepat menjadi titik referensi yang mengekspos kebusukan rejim Jokowi. Demonstrasi dengan cepat menyebar luas dan melampaui tuntutan awal mereka, dan menjadi perjuangan untuk mengakhiri politik dinasti.
Demikian juga di AS, yang semestinya sudah merupakan negara yang paling demokratik di seluruh dunia. Selama gerakan menentang perang di Gaza, perampasan hak-hak demokratik para aktivis pro-Palestina menjadi isu yang semakin meradikalisasi kaum muda. Semakin kelas penguasa menginjak-injak hak kebebasan berpendapat dan hak berkumpul rakyat yang berjuang demi Palestina, semakin ini mendidik mereka akan watak sesungguhnya demokrasi yang berlaku hari ini. Di Bangladesh, perjuangan demokratik demi kesetaraan dalam kuota PNS dengan cepat berubah menjadi revolusi yang menumbangkan pemerintahan Hasina.
Inilah mengapa kaum sosialis revolusioner harus memperhatikan masalah perjuangan demokrasi dengan cermat. Kita tidak boleh menjadi sosialis karikatur yang hanya memperhatikan masalah ekonomi saja. Namun pada saat yang sama, kita tidak lantas berperilaku seperti kaum liberal demokrat, yang memperjuangkan demokrasi sebagai hak-hak yang abstrak. Kaum revolusioner melihat demokrasi sebagai bagian dari perjuangan kelas, sebagai sarana untuk pemenuhan tugas historis kelas proletariat, dan bukan akhir dari segalanya.
Demokrasi bukanlah nilai absolut yang berdiri di awang-awang. Kita menilai demokrasi dari sudut pandang kepentingan kelas proletariat. Ketika kelas penguasa berbicara mengenai kebebasan berpendapat, tetapi kita menjawab: kebebasan berpendapat untuk siapa? untuk kelas mana? untuk kepentingan kelas mana? Tidak ada itu demokrasi “non-kelas”. Demokrasi dari masa ke masa selalu merupakan demokrasi untuk kelas tertentu.
Revolusi Borjuis dan Kelahiran Demokrasi
Mari kita periksa watak sesungguhnya demokrasi yang berlaku hari ini, yaitu demokrasi borjuis. Untuk bisa memahaminya, kita harus memeriksa perkembangan historis demokrasi borjuis.
Bagi kaum liberal dan kaum intelektual kebanyakan, hak-hak demokratik dilihat sebagai abstraksi yang berdiri di atas masyarakat, sebagai nilai-nilai yang inheren dalam manusia. Sepertinya demikian bukan? Hak untuk berpendapat, hak untuk berorganisasi, hak untuk perlindungan hukum dari kesewenang-wenangan, yang dalam keseluruhannya sering kali disebut Hak Asasi Manusia, dipahami oleh kaum liberal sebagai sesuatu yang asasi, yang hakikat dalam umat manusia.
Nilai-nilai demokrasi ini, pemahamannya, seakan-akan merupakan satu ide atau gagasan yang bersemayam dalam diri manusia, yang hanya perlu ditemukan dalam pencarian manusia atas pengetahuan. Seturut pemahaman ini, nilai-nilai demokrasi ini bisa saja ditemukan 1000 tahun yang lalu, atau 2000 tahun yang lalu. Bisa saja ditemukan di China, bisa saja di Afrika, bisa saja di Eropa.
Tetapi sesungguhnya tidak demikian. Sepanjang mayoritas keberadaan manusia, demokrasi seperti yang kita ketahui tidaklah eksis. Selama 300 ribu tahun keberadaan spesies Homo Sapiens, demokrasi modern hanya eksis selama 300 tahun terakhir. Demokrasi ini muncul pada periode tertentu dalam sejarah, dan di tempat tertentu, yaitu di Eropa pada abad ke-18. Maka dari itu, yang harus kita periksa adalah: apa kondisi-kondisi material yang memungkinkan orang Eropa abad ke-18 untuk “menemukan” demokrasi?
Dalam masyarakat, hak-hak demokratik mendasarkan dirinya pada hukum dan terekspresikan dalam hukum, yang pada analisa terakhir merupakan ekspresi legal dari kondisi sosial, politik, dan ekonomi dari sebuah masyarakat tertentu. Dalam artikelnya Communal Reform pada 1842, Marx menulis: “the law can only be the ideal, self-conscious image of reality, the theoretical expression, made independent, of the practical vital forces.” (Hukum hanya bisa menjadi imaji realitas yang ideal dan sadar-diri, ekspresi teoritis, yang dibuat independen, dari kekuatan-kekuatan hidup yang praktikal”.) Yang dimaksud dengan “kekuatan-kekuatan hidup yang praktikal” adalah kekuatan-kekuatan kelas yang hidup, perjuangan kelas.
Demokrasi muncul sebagai produk perjuangan kelas antara kelas borjuis dan kelas feodal, produk dari revolusi borjuis. Perjuangan kaum borjuis untuk menegakkan demokrasi – yakni kebebasannya untuk berpendapat, berkumpul, dsb. – tidak lain merupakan perjuangannya untuk memenangkan kekuatan politik dari tangan kaum tuan tanah dan monarki.
Kaum borjuis muda yang tengah bangkit ini telah mengakumulasi kekuatan ekonomi besar di periode sebelumnya, namun tidak memiliki kekuatan politik. Negara ada di tangan kaum monarkis. Kelas yang baru ini perlu menumbangkan negara monarki yang lama dan mendirikan negaranya sendiri, dan demokrasi adalah senjatanya untuk membela kepentingan kelasnya.
Tetapi demokrasi yang diperjuangkan oleh kaum borjuis ini hanyalah demokrasi untuk kelas itu sendiri. Ini tidak ada hubungannya dengan hak-hak demokrasi yang setara, adil, dan universal bagi seluruh warga negara. Perlu kita ingatkan, bahwa kaum borjuis hanya memperjuangkan hak-hak demokratik yang terbatas untuk laki-laki pemilik properti, yaitu pedagang dan kapitalis, dan dengan demikian mengecualikan mayoritas rakyat, yaitu buruh, tani, kaum miskin kota, dan perempuan.
Ketika kaum borjuis berbicara mengenai hak atau kebebasan individual, dia merujuk pada kebebasan tiap-tiap pedagang untuk berdagang, untuk menjual dan membeli, untuk meraup profit, tanpa menjadi korban dari kesewenang-wenangan otoritas Raja atau Gereja.
Ketika mereka berbicara mengenai hak individualnya, maksudnya adalah hak kepemilikan pribadinya, guna melindungi kepemilikan pribadinya (atas alat-alat produksi) dari kesewenang-wenangan feodal atau sang raja yang diktatorial. Praktis sebagai kelas yang terutama memiliki properti – dan pada saat itu kualifikasi properti menjadi syarat penting untuk hak demokratik – maka ini adalah hak borjuis.
Ini saja telah menunjukkan karakter kelas dari demokrasi.
Bagi kelas borjuis, demokrasi juga menjadi medium formal untuk menyelesaikan konflik antar berbagai faksi atau lapisan penguasa yang tidak selalu memiliki kepentingan yang sama.
Tentunya, ketika kaum borjuis berjuang melawan monarki, ia tidak bisa tidak harus menggalang dukungan massa tani dan proto-proletar, dan dengan demikian terpaksa, dalam batasan tertentu, berbicara mengenai hak demokratik yang universal, mengenai nilai-nilai “Liberte, Egalite, Fraternite” yang berlaku untuk seluruh warga negara. Mereka harus berbicara atas nama seluruh rakyat, atas seluruh nasion. Tetapi pada kenyataannya, ini hanya akan menjadi kebebasan bagi kaum borjuis saja.
Dalam revolusi-revolusi borjuis, massa rakyat memberi dukungannya pada kelas borjuis, dan pada tingkatan tertentu pun mencoba memperjuangkan tuntutan kelas mereka sendiri dengan cara mereka sendiri. Kita saksikan ini dalam Perang Tani di Jerman 1524-25, di mana kaum tani yang dipimpin oleh Pendeta Thomas Munzer meluncurkan perang revolusioner; dalam Revolusi Inggris pada 1642 dengan kaum Levellers dan Diggers; dalam Revolusi Prancis 1789 dengan kaum sans cullotes; dan Revolusi 1848 dengan keterlibatan aktif kaum proletariat. Dalam setiap revolusi borjuis ini, rakyat pekerja berusaha memperluas hak-hak demokratik melampaui limit borjuisnya, dan membawanya sampai ke kesimpulan akhir.
Walaupun di atas kertas hak-hak demokratik secara formal diakui untuk semua orang, tetapi dalam praktiknya, hanya mereka yang memiliki kekuatan ekonomi yang dapat menerapkannya untuk diri mereka – yaitu kelas borjuasi. Demokrasi yang ada sangat dikebiri dan terbatas.
Pada kenyataannya tidak ada yang demokratik dengan revolusi borjuis dan konsolidasi kapitalisme. Kita saksikan saja saja proses akumulasi primitif kapitalis yang berdarah-darah itu, yang merampas tanah dari kaum petani, menculik kaum kulit hitam dari Afrika untuk dijadikan budak, dan menjajah seluruh dunia untuk dijarahnya. Kebebasan yang ada tidak lain adalah kebebasan borjuis untuk menjadi kaya dan berkuasa.
Perjuangan kelas buruh untuk demokrasi
Hanya lewat perjuangan panjang kelas buruh berhasil memaksa kelas penguasa untuk memperluas hak-hak demokratik ini, membuat hukum-hukum borjuis tidak hanya secara internal konsisten tetapi juga secara eksternal konsisten.
Seiring dengan terkonsolidasinya kapitalisme, kelas proletar pun mulai terkristalisasi. Mereka mulai berubah dari kelas dalam dirinya sendiri menjadi kelas untuk dirinya sendiri.
Perjuangan massa kelas buruh yang pertama untuk hak-hak demokrasi mereka diluncurkan oleh kelas buruh Inggris, pada 1838-43, dalam Gerakan Chartism, yang juga merupakan gerakan revolusioner kelas buruh yang pertama.
Tidak heran perjuangan ini dimulai di Inggris, karena di Inggris-lah kapitalisme pertama kali berkembang. Hanya pada paruh pertama 1800, setelah Revolusi Industri – yang dimulai dari sekitar 1760an, dan mencapai puncaknya pada 1820an – kelas proletar modern lahir dan terkristalisasi.
Tuntutan utama gerakan Chartis bersifat demokratik. Kaum proletariat Inggris menuntut hak pilih untuk semua laki-laki berusia 21 ke atas, pemilu rahasia, pembatalan syarat kepemilikan properti bagi anggota parlemen, gaji untuk anggota parlemen, sehingga buruh dan rakyat jelata bisa menjabat sebagai anggota parlemen, ukuran dapil yang setara, serta pemilu yang digelar setiap tahunnya.
Seperti yang kita katakan, perjuangan demokratik adalah perjuangan untuk kepentingan kelas. Demikian dengan revolusi borjuis, demikian pula dengan gerakan buruh dalam memperjuangkan demokrasi.
Kita berjuang untuk hak-hak demokrasi bukan dalam dirinya sendiri, bukan sebagai pencapaian abstrak, tetapi demokrasi sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan yang riil. Seperti yang dikatakan oleh Engels, slogan perjuangan gerakan Chartist adalah “kekuatan politik sarana kami, kebahagiaan sosial cita-cita kami.”
Salah satu pemimpin gerakan Chartist, Pendeta Stephens, menjelaskan hubungan antara tuntutan demokratik dan tuntutan ekonomi. Di hadapan 200 ribu demonstran di Lancashire, dia mengatakan: “Masalah hak pilih universal ini adalah masalah sendok dan garpu, masalah roti dan keju.”
Seorang buruh Chartist menjelaskan ini dengan lebih gamblang lagi, bahwa tujuan tuntutan demokratik gerakan Chartis adalah “sapi panggang, pudding plum dan bir kuat yang berlimpah dengan bekerja 3 jam sehari.”
Kaum proletar menyadari bahwa mereka membutuhkan ruang-ruang demokrasi – hak berpendapat, berkumpul, dan berorganisasi – untuk bisa memperjuangkan kepentingan kelas mereka. Mereka menuntut terwujudnya apa yang telah dijanjikan oleh borjuasi itu sendiri ketika borjuasi menyatakan kesakralan demokrasi bagi semua orang.
Hak pilih universal bagi semua warga negara, terlepas jenis kelamin, warna kulit, dll. hanya terpenuhi di mayoritas negara-negara kapitalis paling maju pada 1930an. Sebagian karena perjuangan sengit buruh, sebagian karena dorongan besar dari Revolusi Oktober, sebagai negara pertama yang menjamin hak pilih universal bagi semua warga tanpa terkecuali. Negara-negara kapitalis maju yang takut pada teladan yang diberikan oleh Soviet Rusia terpaksa mulai memberikan konsesi-konsesi demokratik pada kelas buruh.
Tidak hanya itu saja, Revolusi Oktober segera membebaskan kaum perempuan (yaitu separuh dari seluruh kelas buruh) dari penindasan yang telah mengungkung mereka selama ribuan tahun. Kaum perempuan yang sebelumnya tanpa hak, yang tidak lebih dari properti laki-laki, kini menjadi warga negara dengan hak penuh dan setara dengan laki-laki. Revolusi Oktober juga menjadi inspirasi dan dorongan kuat bagi perjuangan kaum perempuan di negara-negara lain untuk memenangkan hak-hak demokratik mereka.
Parlementarisme borjuis
Pada saat yang sama, kelas penguasa juga menyadari, pertama, bahwa mereka tidak bisa lagi membendung tuntutan demokratik kelas buruh – yang tidak hanya jumlahnya semakin besar, tetapi juga semakin sadar kelas dan terorganisir. Mereka terpaksa memperluas demokrasi ini kepada kelas buruh, bila tidak mereka bisa-bisa dihadapkan dengan revolusi.
Kedua, mereka menyadari bahwa bentuk pemerintahan republik demokratik adalah bentuk yang lebih efektif untuk menindas buruh. Demokrasi terbukti menjadi “katup pengaman” yang sangat efektif untuk melepaskan tekanan kelas dalam masyarakat kapitalis.
Dalam prosesnya, kelas penguasa telah begitu menyempurnakan negara mereka, parlemen mereka, semua perangkat hukum mereka, semua perangkat ideologis mereka yang menanamkan ilusi demokrasi, sehingga hak-hak demokrasi bagi buruh ini secara umum tidak terlalu membahayakan sistem mereka.
Pemilu yang bebas memungkinkan politisi borjuis yang mengecewakan untuk diganti, tetapi hanya menggantikan mereka dengan politisi borjuis lain. Semua ini dapat berlangsung tanpa mengganggu bekerjanya ekonomi kapitalis. Rakyat diberi pilihan berbagai partai dan politis setiap 5 tahun, tetapi pada dasarnya mereka semua mewakili kepentingan yang sama.
Parlemen hanya jadi warung kopi tempat berdebat kusir, menjadi jebakan bagi para perwakilan buruh. Duduk di kursi parlemen, tampaknya para perwakilan buruh memiliki suara. Namun sesungguhnya keputusan sudah diambil oleh kapitalis dan bankir.
Hukum dan undang-undang telah dirancang sedemikian rupa sehingga bisa dipelintir dengan mudah oleh pengacara-pengacara borjuis, hakim, jaksa agung yang pintar bersilat lidah. Perjuangan buruh kerap kali terjebak dalam prosedur hukum yang berbelit-belit, yang tujuannya melumpuhkan militansi buruh dan meredam aksi massa.
Kaum buruh dicekoki dengan ilusi tiga cabang pemerintah yang katanya independen (legislatif, eksekutif, yudikatif), yang katanya saling menyeimbangkan dengan check and balance. Namun, sesungguhnya semua lembaga ini jadi kedok yang menyembunyikan kediktatoran kapital.
Republik demokratik terbukti mekanisme untuk berkuasa yang paling efektif, yang memberikan ilusi kebebasan pada perbudakan upahan, ilusi kebebasan pada kediktatoran kapital. Seperti yang dikatakan oleh Lenin dalam mahakaryanya Negara dan Revolusi:
“Dalam republik demokratik ‘kekayaan’ dapat berkuasa secara mutlak dengan lebih pasti adalah karena ia tidak bergantung pada cacat dalam mesin politik kapitalisme atau pada cangkang politik kapitalisme yang cacat. Republik demokratik adalah cangkang politik terbaik bagi kapitalisme; oleh karenanya, setelah kapital telah memperoleh cangkang terbaik ini (melalui orang-orang seperti Palchinsky, Chernov, Tsereteli, dkk.), ia menegakkan kekuasaannya dengan begitu aman, begitu kokoh, sehingga tidak ada perubahan personel, lembaga atau partai dalam republik borjuis-demokratis yang dapat menggoyahkan kekuasaannya.”
Tuntutan demokrasi dalam kerangka sistem tuntutan transisional
Demikianlah watak sesungguhnya demokrasi borjuis. Kita harus memulai pemahaman kita dari kebenaran ini. Namun, kendati kemunafikan demokrasi borjuis, ini bukan berarti kita mengabaikannya.
Berjuang demi setiap pencapaian demokrasi, bahkan di bawah demokrasi borjuis yang sempit itu, dapat menjadi ajang untuk mengekspos kemunafikan demokrasi borjuis itu sendiri. Inilah yang kita lakukan.
Di sini metode program transisional yang dijabarkan Trotsky menjadi sangat berguna. Ini bukanlah metode yang baru, yang selalu menjadi metode Marxis. Tetapi Trotsky memperjelasnya kembali dalam karyanya Program Transisional.
Kita adalah kaum Sosialis. Kita mendefinisikan perspektif, strategi dan taktik kita secara umum dari tugas historis kaum proletariat yang tengah kita perjuangkan, yaitu penghapusan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi, pendirian ekonomi yang berdasarkan kepemilikan kolektif dengan ekonomi terencana di bawah kontrol demokratik buruh, yang pada akhirnya melangkah menuju masyarakat tanpa kelas, masyarakat tanpa negara.
Revolusi Sosialis adalah tujuan perjuangan kita yang riil, bukan tujuan yang berada di awang-awang, yang abstrak dan di masa depan yang nun jauh, tetapi sebagai perspektif yang nyata, yang kita hubungkan secara konkret dengan tiap-tiap perjuangan yang kita kobarkan dalam kondisi hari ini. Perspektif sosialisme ini nyata karena syarat-syarat objektifnya dalam skala dunia sudah matang.
Seperti yang dikatakan oleh Trotsky dalam Program Transisional: “Prasyarat ekonomi untuk revolusi proletar sudah secara umum mencapai titik tertinggi yang mampu dicapai di bawah kapitalisme … Semua argumen bahwa kondisi historis belumlah “matang” untuk sosialisme adalah produk dari ketidaktahuan atau penipuan yang dilakukan secara sadar. Prasyarat objektif untuk revolusi proletar bukan hanya sudah “matang”, tetapi sudah mulai membusuk. Tanpa revolusi sosialis di periode sejarah berikutnya, malapetaka akan mengancam seluruh peradaban umat manusia.” Ini ditulisnya pada 1938, dan 80 tahun kemudian apa yang ditulisnya kini lebih benar 100 kali lipat.
Maka dari itu, semua argumen misalnya bahwa Indonesia adalah masyarakat setengah jajahan dan setengah feodal – biasanya argumen yang berusaha menyiratkan bahwa Indonesia belumlah siap untuk revolusi sosialis, yang di belakangnya bersembunyi teori dua-tahap Stalinis – adalah “produk dari ketidaktahuan atau penipuan yang dilakukan secara sadar”. Ini tidak lain adalah usaha untuk tidak hanya menunda pemenuhan tugas historis proletariat, menunda sosialisme, tetapi juga menyangkalnya dalam praktik.
Problemnya adalah bagaimana menghubungkan tugas historis proletariat dengan kondisi yang ada hari ini – tingkat kesadaran proletariat serta kesiapannya partai revolusionernya. Trotsky menjelaskan lebih lanjut:
“Tugas strategis untuk periode mendatang – periode pra-revolusioner agitasi, propaganda, dan organisasi – adalah mengatasi kontradiksi antara kondisi revolusioner objektif yang telah matang dan ketidakmatangan proletariat serta pelopornya (kebingungan dan kekecewaan generasi tua, dan generasi muda yang kurang berpengalaman). Dalam proses perjuangan sehari-hari, kita harus membantu massa untuk menemukan jembatan penghubung antara tuntutan-tuntutan hari ini dan program revolusi sosialis. Jembatan penghubung ini harus melibatkan sistem tuntutan transisional, yang mengambil titik tolak dari kondisi hari ini dan dari kesadaran lapisan luas kelas buruh hari ini dan secara tak-terelakkan menuju ke satu kesimpulan akhir: penaklukan kekuasaan oleh proletariat.”
Bagian penting – bila bukan terpenting – dalam sistem tuntutan transisional ini adalah tuntutan demokrasi. Ini terutama benar untuk negara-negara eks-kolonial, di mana kecurangan pemilu, negara-polisi dan represi fisik adalah kenyataan sehari-hari yang dihadapi oleh rakyat pekerja.
Tetapi kaum revolusioner berjuang untuk demokrasi bukanlah untuk “mereforma kapitalisme, tetapi menumbangkannya”, seperti yang dikatakan Trotsky. Kaum revolusioner “membela hak-hak demokratik dan pencapaian-pencapaian sosial kaum buruh”, tetapi kita “menjalankan kerja sehari-hari ini di dalam kerangka perspektif revolusioner yang tepat”.
Kaum liberal memperjuang demokrasi dengan tujuan mempertahankan legitimasi sistem yang ada, dalam hal ini mereka berjuang dengan perspektif yang konservatif. Dalam tuntutan yang segera, mereka bisa saja berjuang untuk hal yang sama seperti kaum revolusioner, dan dalam batasan itu kita bisa memasuki sebuah blok dengan mereka. Tetapi kita tidak boleh lantas mencampur aduk panji kita. Kita tidak boleh lantas mengekor. Sembari memperjuangkan tuntutan demokrasi, agitasi dan propaganda kita harus diarahkan untuk mengekspos watak sesungguhnya demokrasi borjuis, kebusukan dan kemunafikannya, dan pada akhirnya membuat rakyat paham bahwa mereka harus melampaui demokrasi borjuis.
Dalam setiap perjuangan yang konkret, kita harus dengan jeli memformulasikan program tuntutan demokrasi kita secara konkret pula. Di satu sisi agar kita tidak jatuh dalam kesalahan ultra-kiri yang menolak semua pencapaian demokrasi, di sisi lain agar kita tidak mengekor kaum liberal demokrat.
Demokrasi di negara kolonial
Perjuangan demokrasi bahkan menjadi lebih krusial di negeri-negeri eks-kolonial atau semi-kolonial. Sejarah menunjukkan bagaimana dengan cepat perjuangan demokrasi dapat melompat menjadi revolusi yang menumbangkan keseluruhan sistem.
Di dunia kolonial, satu fitur utama yang kita saksikan adalah ketidakmampuan kelas penguasa untuk menegakkan republik demokratik seperti di negeri-negeri kapitalis maju. Hak-hak demokratik dasar dibelenggu. Partai-partai politik mengangkangi hukum dan menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk praktik KKN yang tidak tahu malu.
Ini bukan karena kapitalis kita bodoh dan tidak tercerahkan mengenai nilai-nilai demokrasi. Ini bukan karena mereka kurang membaca, dan andai saja mereka mau mendengar kaum liberal dan akademisi dengan lebih baik.
Pada kenyataannya, kaum borjuis kita tampil di panggung sejarah terlalu telat, sehingga mereka terikat oleh kapital asing dan pertuantanahan. Dalam pasar dunia, ekonomi negara-negara dunia ketiga berperan sebagai sumber tenaga kerja murah dan sumber bahan mentah murah demi keberlangsungan super profit modal asing. Eksploitasi yang begitu kejam ini menghasilkan antagonisme kelas yang sama tajamnya. Letupan-letupan sosial menjadi hal yang biasa, dan ini hanya bisa diredam dengan kekerasan oleh kelas penguasa. Dengan eksploitasi yang begitu tajam dan bengis terhadap buruh dan tani, kelas-kelas tertindas akan menggunakan setiap ruang demokrasi untuk memperbaiki kondisi mereka, dan ini tidak bisa ditolerir oleh kelas penguasa lokal yang menghamba pada modal asing dan pencarian profit mereka.
Demikian juga dengan KKN, yang merupakan minyak pelumas untuk super eksploitasi. Secara formal ada hukum yang melindungi pekerja dan alam, namun demi profit hukum ini harus dilanggar sepenuhnya, dan KKN menjadi sarana pelanggarannya. Maka dari itu, KKN bukanlah masalah moral, walau di permukaan tampaknya demikian. KKN adalah masalah profit kapitalis. Demikianlah wajah dari tiap rejim di dunia kolonial, yang korup dari atas hingga bawah.
Kondisi penindasan yang tak tertanggungkan selalu menghasilkan situasi revolusioner di negara-negara dunia ketiga. Revolusi demi revolusi bergulir, dan demikian juga kudeta demi kudeta militer sebagai respons dari kelas penguasa. Kelas penguasa tidak selalu bisa menggunakan mekanisme demokrasi untuk meredam amarah rakyat, dan dari waktu ke waktu mereka harus menggunakan moncong senjata. Junta militer dan kediktatoran menjadi episode yang lumrah memenuhi buku-buku sejarah mereka. Sebut saja periode kediktatoran militer Orba 1965-1998, Pinochet 1973-1990, junta militer Argentina 1976-83, kekuasaan militer Korea Selatan 1948-88, kediktatoran militer hari ini di Myanmar dan Thailand, dst. dst.
Setiap pencapaian demokratik yang dimenangkan di negeri-negeri ini merupakan hasil dari perjuangan revolusioner rakyat pekerja yang memaksa kelas penguasa memberikan konsesi. Namun, konsesi ini pun bersifat sementara, karena dengan cepat direnggut kembali setelah api revolusi meredup, seperti yang kita lihat dengan pengalaman Revolusi 1998. 26 tahun setelah Revolusi 1998, bukannya alam demokrasi menjadi semakin bebas tetapi sebaliknya.
Demokrasi buruh sebagai tujuan akhir
Bila kita memahami ini, maka kita memahami pula bahwa tujuan akhir perjuangan demokratik kita bukanlah untuk menuntaskan revolusi demokratik. Setiap tuntutan demokratik yang kita perjuangkan bertujuan untuk mengekspos batas-batas demokrasi borjuis yang sempit, dan menunjukkan kepada rakyat bahwa hanya dengan buruh berkuasa maka demokrasi yang sesungguhnya – yaitu demokrasi buruh – dapat terwujud.
Pendekatan ini dengan sangat mahir digunakan oleh kaum Bolshevik pada saat Revolusi 1917. Selama Revolusi 1917, dan bahkan untuk beberapa waktu sesudahnya, Partai Bolshevik masih mengusung tuntutan untuk menyelenggarakan Majelis Konstituante bahkan ketika Soviet sudah terbentuk dan mengambil kekuasaan. Ini bukan karena kaum Bolshevik punya ilusi pada parlementarisme borjuis, tetapi karena mereka memahami bahwa mereka masih harus menunjukkan dalam praktik kepada massa buruh dan tani luas bahwa demokrasi Soviet itu lebih superior dibandingkan demokrasi borjuis (Majelis Konstituante). Walaupun Soviet-soviet sudah mengambil kekuasaan, masih banyak buruh dan tani yang punya ilusi pada parlemen borjuis. Ketika akhirnya Majelis Konstituante terbentuk dan menggelar rapat mereka pada 18 Januari 1918, rakyat pekerja segera melihat dengan mata mereka sendiri bahwa parlemen ini tidaklah kompatibel dengan kepentingan mereka. Parlemen borjuis ini mengambil keputusan yang berseberangan dengan Soviet, dan dengan itu mengekspos dirinya sebagai perwakilan borjuis. Rakyat pekerja Rusia akhirnya mengenyahkan demokrasi borjuis yang munafik itu dan berdiri sepenuhnya di sisi demokrasi buruh (Soviet).
Penuntasan revolusi demokratik hanya bisa dipenuhi dengan melangkah ke revolusi sosialis, dengan mengekspropriasi secara politik dan ekonomi kaum kapitalis dan mengorganisir proletariat sebagai kelas yang berkuasa. Tidak ada itu penuntasan revolusi demokratik dalam dirinya sendiri, apalagi oleh kaum borjuis. Mempercayakan demokrasi di tangan kaum borjuis-demokrat – seperti pada 1998, yang diwakili oleh PDI-P, PAN, dan PKB – sama seperti mempercayakan ikan asin di tangan kucing. Tidak boleh ada kepercayaan sedikit pun pada kelas borjuis dan politisi mereka.
Kelas borjuis nasional sudah terlalu bangkrut untuk bisa memenuhi tugas historisnya, yaitu pembentukan republik demokratik yang berdaulat. Hanya kelas proletar, yang memimpin rakyat pekerja lainnya, yang bisa memimpin bangsa ini untuk menegakkan demokrasi yang sejati. Setelah kelas proletar mengambil alih kekuasaan, mereka akan segera menyadari bahwa mereka tidak bisa menggunakan mesin-mesin negara yang sudah ada, yaitu mesin negara borjuis. Mesin negara borjuis sudah dirancang sedemikian rupa untuk melanggengkan kekuasaan borjuis, dan tidak kompatibel dengan kepentingan kelas buruh, tani, dan rakyat pekerja tertindas lainnya. Parlemen borjuis sudah dibangun sedemikian rupa untuk menegakkan demokrasi borjuis – yaitu demokrasi yang hanya diperuntukkan bagi kaum borjuis. Oleh karena itu, proletariat yang berkuasa harus segera menghapus negara borjuis dan menggantikannya dengan negara buruh, yaitu demokrasi buruh yang berdasarkan dewan-dewan rakyat yang didirikan secara organik oleh rakyat pekerja sebagai organ perjuangan.
Di setiap perjuangan demokrasi kaum revolusioner harus senantiasa mengedepankan masalah kelas. Kaum revolusioner harus menjadi kaum demokrat yang paling konsisten, dalam artian bahwa kita ingin membawa perjuangan demokrasi ini ke kesimpulan logisnya, dengan program tuntutan yang selalu mendorong kesadaran kelas proletariat untuk memahami tugas historis mereka: Revolusi Sosialis demi terbentuknya Demokrasi Buruh.