Sungguh sudah suatu kegagalan besar bagi sistem ekonomi kapitalis hari ini dimana hampir 6 juta rakyat pekerja Indonesia harus meninggalkan tanah airnya untuk mencari sesuap nasi. Di bumi yang begitu kaya ini ternyata kelas penguasa tidak mampu menyediakan pekerjaan layak untuk 6 juta penduduknya. Mereka terpaksa terbang jauh meninggalkan keluarga dan kampung halamannya untuk bekerja di negeri asing. Keputusasaan mendorong mereka untuk mengambil pekerjaan yang – dalam standar negeri tujuan – gajinya sangatlah rendah dan kondisi kerjanya menggenaskan. Tetapi pengemis memang tidak bisa memilih. Yah, begitulah mereka, dijadikan “pengemis” di negeri asing oleh pemerintahan mereka sendiri.
Kita belum lagi berbicara mengenai ketidakmampuan pemerintah untuk melindungi hak-hak dasar buruh migran. Tidak perlu lagi kita paparkan puluhan ribu kasus penindasan buruh migran, dari pemerasan oleh agen sampai ke pembunuhan oleh majikan. Cerita mereka sudah terekam, tercatat, dan terlaporkan. Hanya segelintir saja yang mendapatkan keadilan. Sisanya tertimbun di atas ratusan kasus-kasus lain yang tiap hari datang tak henti-hentinya.
Inilah realitas perburuhan di Indonesia hari ini. Tidak tersedianya lapangan pekerjaan menjadi salah satu dorongan utama akan terus meningkatnya jumlah buruh migran. Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa TKI, Nurfaizi, pada satu kesempatan mengatakan bahwa Indonesia bisa menargetkan penempatan TKI sampai 10 juta orang, atau 5 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Bagi para kapitalis PJTKI, buruh migran adalah lahan basah untuk diperas. Bagi para birokrat negara, buruh migran adalah sumber devisa dan jalan keluar cepat dari ketidakmampuan mereka untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Mereka semua berkepentingan untuk mengirim sebanyak mungkin buruh migran tanpa secuilpun niat untuk melindungi mereka.
Namun, pada dasarnya sistem kapitalisme itu sendiri yang menciptakan kebutuhan akan buruh migran, bukan karena kepentingan segelintir kapitalis PJTKI dan birokrat-birokrat negara. Kapitalisme, dalam pengejaran profit mereka, membutuhkan buruh dengan gaji rendah. Untuk bisa bersaing dan meraup laba besar, para kapitalis saling berkompetisi untuk menekan biaya produksi mereka. Apa biaya produksi yang paling dasar? Biaya tenaga kerja, karena buruhlah yang melakukan kerja dan produksi. Oleh karenanya, biaya tenaga kerja – gaji serta kondisi kerja – adalah hal utama yang harus terus ditekan oleh kapitalis. Buruh migran dari negeri-negeri yang lebih miskin menjadi sumber tenaga kerja murah bagi para kapitalis. Contohnya di Malaysia, 1 dari 3 pekerja di Malaysia adalah buruh migran (legal dan ilegal). Selain mereka murah, hak-hak mereka juga dapat diabaikan karena mereka bukan penduduk lokal. Ancaman deportasi membuat buruh migran lebih penurut dan tidak bawel. Pada saat yang sama, kehadiran para buruh migran sebagai tenaga kerja murah juga menekan gaji para buruh lokal. Para kapitalis bisa mengatakan: “Bila kalian tidak ingin melakukan kerja ini, ada buruh-buruh migran yang siap melakukan kerja ini dengan gaji yang lebih rendah.”
Sungguh keliru kalau kita pikir bahwa mayoritas buruh migran bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau care-taker. Ini gambaran yang biasa kita dapati dari koran dan TV. Sesungguhnya mayoritas buruh migran bekerja di sektor manufaktur (garmen, elektronik, plastik), perkebunan, dan konstruksi. Di Malaysia, hanya sekitar 15% buruh migran bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Selebihnya di konstruksi (18%), manufaktur (35%), perkebunan (10%), pertanian (17%), dan jasa (10%).
Inilah logika kapitalisme yang menjadi akar dari penindasan buruh migran. Pemahaman ini sangatlah penting. Bila kita hanya memahami penindasan buruh migran sebagai akibat dari kenakalan PJTKI dan tidak-kompetennya negara dalam melindungi buruh migran, maka solusi yang kita capai juga terbatas pada regulasi PJTKI dan penguatan hukum-hukum perlindungan buruh migran. Reforma-reforma kecil macam ini memang harus diperjuangkan, tetapi mereka tidak bisa dijadikan solusi akhir bagi permasalahan buruh migran. Reforma-reforma kecil ini adalah solusi tambal sulam. Dibutuhkan solusi yang langsung menyerang ke jantung permasalahan, yakni kapitalisme itu sendiri.
Selama puluhan tahun kaum kapitalis telah diberikan kesempatan untuk menjalankan perekonomian. Segala macam kemudahan dan fasilitas telah diberikan kepada mereka dan mereka pun telah meraup begitu banyak kekayaan. Tetapi sampai hari ini mereka masih tidak mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang begitu berlimpah ini, sehingga memaksa jutaan setiap tahunnya berkelana ke negeri orang lain. Sementara birokrat-birokrat negara terlalu korup dan tidak-kompeten dalam menjalankan BUMN-BUMN. Nasionalisasi perekonomian di bawah kontrol rakyat pekerja menjadi satu-satunya jalan untuk bisa menjalankan program nasional penciptaan lapangan pekerjaan. Sektor-sektor industri terpenting dan perbankan harus dinasionalisasi dan dijalankan di bawah kontrol demokratik rakyat pekerja. Dengan program ini industrialisasi nasional bisa dilaksanakan dengan sepenuh-penuhnya. Bekerja pun bisa menjadi hak asasi manusia, bahwa adalah sebuah kejahatan kalau seseorang tidak disediakan pekerjaan yang layak.
Program nasionalisasi ini mensyaratkan buruh berkuasa secara politik. Mustahil kita bisa mendorong dan menekan para “wakil rakyat” hari ini – yang notabene adalah perwakilan kapitalis – untuk melakukan nasionalisasi di bawah kontrol rakyat pekerja. Ini sama saja seperti menyuruh seekor harimau untuk makan sayur kol. Buruh sendiri yang harus menjalankan program nasionalisasi ini. Buruh sendiri yang harus duduk berkuasa. Untuk ini diperlukan partai politik yang sesungguhnya dibentuk oleh buruh sendiri, bukan dengan menitipkan suara ke partai-partai borjuasi. Perebutan kekuasaan oleh buruh – dan oleh karenanya pembentukan partai kelas buruh – menjadi agenda yang paling mendesak bagi buruh. Ini harus jadi program dasar bagi perjuangan buruh migran juga. Solusi-solusi “NGOisme” yang samasekali tidak menyentuh masalah kekuasaan ekonomi dan politik adalah solusi yang bukan hanya tidak efektif tetapi juga mengaburkan apa yang sebenarnya harus diperjuangkan oleh buruh migran.
Disini kita bisa segera melihat bahwa perjuangan buruh migran adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan buruh Indonesia. Walaupun buruh migran tidak bekerja di Indonesia, nasib mereka terikat oleh perjuangan buruh secara keseluruhan. Buruh migran tidak lebih adalah buruh Indonesia yang terlempar ke jurang pengangguran dan terpaksa merantau ke negeri asing. Dalam tingkatan reforma, kemenangan-kemenangan buruh Indonesia dalam perjuangannya – gaji yang lebih layak, kondisi kerja lebih baik, jaminan sosial, dll. – mempunyai pengaruh pada situasi buruh migran. Pertama, dengan semakin meningkatnya kesejahteraan buruh dalam negeri maka dorongan untuk menjadi buruh migran semakin kecil karena pekerjaan dengan gaji yang layak bisa didapatkan di Indonesia. Kedua, kondisi kerja yang lebih baik di Indonesia akan membuat posisi tawar buruh migran di negeri-negeri tujuan relatif lebih tinggi. Melihat saudara-saudara buruh di negeri mereka sendiri sudah memenangkan kondisi kerja yang manusiawi, buruh migran menjadi lebih percaya diri untuk menuntut hak-hak mereka.
Lebih dari itu, kepentingan buruh migran juga terikat erat dengan kepentingan kaum buruh lokal di negeri-negeri tujuan. Seperti yang telah kita paparkan, buruh migran diimpor untuk menekan gaji buruh lokal, dan seringkali dijadikan alat untuk memecah belah gerakan buruh. Di level pabrik, musuh langsung buruh migran dan buruh lokal adalah sama, yakni sang pemilik pabrik. Ini mensyaratkan persatuan dalam perjuangan mereka melalui medium serikat buruh. Kebebasan berserikat bagi buruh migran menjadi tuntutan utama yang harus diperjuangkan oleh kaum buruh migran dan juga kaum buruh lokal. Dengan memiliki organisasi sendiri – membentuk serikat buruh mereka sendiri atau, bahkan lebih baik, bergabung dengan serikat buruh lokal – buruh migran akan punya senjata yang paling ampuh dalam membela kepentingan mereka.
Buruh-buruh Asia, secara lintas-negara maupun secara langsung lewat penempatan buruh migran, dibenturkan satu sama lain oleh kapitalis yang berlomba-lomba menurunkan gaji buruh demi profit. Bila gaji buruh Indonesia terlalu tinggi, pemodal – asing dan bahkan nasional – akan mengancam memindahkan pabrik mereka ke negeri yang gaji buruhnya lebih rendah. Bila gaji buruh lokal terlalu tinggi, kapitalis lalu mengimpor langsung buruh migran yang gajinya lebih rendah. Kenyataan ini mengharuskan perspektif internasional bagi perjuangan buruh. Dimulai dengan pembentukan kerja sama dan aliansi antara buruh-buruh Asia, ini harus bermuara pada pembentukan perspektif bersama bahwa kapitalisme harus ditumbangkan dengan perebutan kekuasaan secara revolusioner. Hanya dengan perspektif sosialis inilah buruh migran dapat terbebaskan dari penindasan.