Kapitalisme tidak hanya berkutat seputar pencurian nilai lebih terhadap kelas buruh. Ia juga menancapkan cakarnya ke segala aspek kehidupan masyarakat dan membuatnya tunduk di bawah pengaruhnya yang buruk. Kapitalisme tidak hanya membuat ketimpangan antara yang kaya dan miskin, tapi juga menyebabkan bobroknya nilai-nilai di dalam masyarakat, menciptakan perang, dan juga menumbuh suburkan praktek korupsi-kolusi-nepotisme. Yang belakangan ini selalu menjadi isu yang tidak ada habisnya. Budaya korupsi begitu mengakar dalam masyarakat kita, terutama dalam sendi-sendi pemerintahan. Maka dari itu, bukan hal yang mengejutkan bila setiap hari kita mendengar ditangkapnya pejabat pemerintahan karena korupsi atau menerima suap.
Salah satu pejabat yang “malang” ini adalah Bupati Jombang Nyono Suherli, yang baru-baru ini ditangkap atas dugaan menerima suap. KPK bergerak cepat dengan melakukan operasi tangkap tangan terhadap Bupati dari kota santri ini. Nyono ditangkap di stasiun Balapan-Solo bersama ajudannya, dengan dugaan menerima suap dari Inna Silestyanti, Plt Kadin Kesehatan. Suap ini untuk memuluskan jalan agar Inna dapat menjadi Kepala Dinas Kesehatan Jombang secara definitif. Sumber uang suap ini tidak lain didapat dari hasil pungutan liar perizinan pelayanan kesehatan terhadap 34 puskesmas, yang dimulai sejak Juni 2017 dan terkumpul sekitar lebih dari 400 juta. Lebih dari 200 juta di antaranya diberikan pada sang Bupati.
Setiap Puskesmas di Jombang memang memiliki dana kapitasi per tahun sejumlah 400 juta. Hasil penyidikan KPK menyebut bahwa 7 persen atau setara dengan 28 juta dikutip untuk selanjutnya dibagi ke Kepala Dinas 1%, Kepala Paguyuban Puskesmas 1%, dan Bupati 5%. Bayangkan, jika satu puskesmas saja Bupati mendapat setoran sejumlah 5% atau 20 juta, berarti dari 34 Puskesmas yang ada total berjumlah 680 juta.
Pada kasus yang lain, Agustus 2017 kemarin, Bupati Klaten disidangkan dengan dakwaan menerima suap sejumlah hampir 3 miliar. Uang tersebut bersumber dari berbagai sumber, antara lain jual beli jabatan di lingkungan pemerintah kabupaten, fee atas potongan dana bantuan desa di Klaten-Jawa Tengah, titipan penerimaan calon pegawai di BUMD, dan juga proyek Dinas Pendidikan. Lebih dari 30 kepala sekolah juga menyetorkan dana ke Bupati Klaten. Uang ini adalah setoran agar tiap kepala sekolah tetap menduduki jabatannya. Dengan kata lain, mereka sedang membeli jabatan.
Oktober 2017, Bupati Nganjuk juga ditangkap dengan kasus yang sama, yakni jual beli jabatan. Ia menerima suap sekitar Rp. 300 juta untuk pengisian jabatan kepala sekolah SD, SMP dan SMA di Nganjuk. Ini adalah kali kedua bagi Bupati Nganjuk menjadi tersangka. Di tahun sebelumnya, Desember 2016, ia sempat lolos setelah diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam lima proyek pembangunan. Proyek-proyek itu di antaranya adalah perbaikan jembatan Kedungingas, proyek rehabilitasi saluran Melilit Nganjuk, dan juga proyek perbaikan jalan. Semua proyek yang berhubungan langsung dengan kepentingan fasilitas rakyat ini dikorupsi untuk kepentingan pribadi segelintir orang. Pada saat yang bersamaan istri Bupati Nganjuk, yang merupakan Sekretaris Daerah Kabupaten Jombang, juga ditangkap karena kasus korupsi.
Suap untuk membeli jabatan ini sudah menjadi rahasia umum. Dimana-mana praktek ini dianggap wajar. Suap adalah jembatan agar jabatan langgeng. Siapapun yang bisa memberikan suap terbesar, ialah pemenangnya. Alih-alih bekerja mengabdi pada rakyat, para pejabat ini lebih memikirkan mengembalikan “modal awal” tadi, yakni dengan sedikit atau banyak melakukan berbagai praktek KKN. Tugas melayani masyarakat bukanlah prioritas utama dari logika mereka. Meskipun ada hukum untuk mencegah dan menindak korupsi, ada ceramah dan pendidikan agama sebagai benteng moral, nyatanya semua ini tidak cukup untuk mengurangi atau menghentikan praktek KKN. Gaji dan tunjangan yang tinggi juga bukan solusi, karena jumlah yang bisa mereka raup dari praktek KKN jauh lebih menggiurkan.
Praktek KKN tumbuh subur dikembangbiakkan oleh sistem pemerintahan yang lahir dari kapitalisme itu sendiri. Dalam kapitalisme, pemerintahan yang ada adalah pemerintahan yang melayani kepentingan segelintir pemilik modal, bukan kepentingan seluruh lapisan masyarakat seperti yang biasa didengungkan oleh para politisi. Dalam kasus persengketaan tanah, negara berpihak pada korporasi. Dalam kasus pengupahan, negara berpihak pada pengusaha. Intinya, negara yang ada hari ini adalah komite eksekutif yang mengurusi kepentingan kapitalis, dan yang kita sebut sebagai negara kapitalis. Maka dari itu, tidak heran kalau negara kapitalis ini terpisah dari rakyat, dan diisi oleh pejabat-pejabat – dari tingkat RT sampai ke Istana Presiden – yang juga terpisah dari rakyat. Tidak lagi terikat pada rakyat, dan oleh karenanya tidak memiliki rasa tanggung jawab kepada rakyat, para pejabat ini – yang terpilih maupun yang tidak terpilih – lalu memperkaya diri mereka dengan menyalahgunakan posisi mereka.
Kepentingan kapitalis untuk menginjak-injak hukum demi profit mereka – misalnya melanggar ketentuan pengupahan, keamanan kerja, lingkungan hidup, dsb. – juga mendorong mereka untuk menyogok para pejabat pemerintah. Inilah mengapa kapitalisme menjadi lahan yang subur untuk praktek KKN. Budaya dan kultur ini mewabah dari atas hingga bawah, dan bahkan menyebar sampai ke lapisan rakyat pekerja.
Satu-satunya cara untuk menghancurkan budaya KKN adalah dengan mengganti sistem ekonomi dan politik kapitalis yang mempromosikan budaya ini. Negara kapitalis yang ada harus dipreteli dari atas hingga bawah. Ini niscaya berarti menjungkirbalikkan basis kapitalisme, dimana tuas-tuas ekonomi tidak lagi dimiliki oleh segelintir orang demi profit, tetapi diserahkan ke seluruh rakyat pekerja untuk dijalankan secara demokratik demi kebutuhan semua orang. Negara kapitalis lantas digantikan dengan negara buruh sosialis, yang adalah komite eksekutif untuk melayani kepentingan rakyat pekerja dan bukan kapitalis.
Empat hal dasar yang menurut penulis penting untuk diterapkan dalam negara buruh yang baru ini untuk memerangi KKN:
1) Semua pejabat (bukan hanya anggota MPR atau DPR, tetapi di semua cabang administrasi pemerintah) dipilih dalam pemilu yang bebas dan demokratik dan dapat ditarik kembali setiap saat, dengan demikian ada pertanggungjawaban langsung tanpa harus menunggu pemilu setiap 5 tahun.
2) Tidak boleh ada pejabat yang digaji lebih tinggi dari buruh terampil. Dengan demikian negara buruh ini bukan lagi jadi lahan basah.
3) Tugas menjalankan negara dilaksanakan oleh buruh secara bergantian. Bila semua orang adalah “birokrat” maka tidak seorangpun yang menjadi birokrat. Dengan demikian semua rakyat pekerja terlibat dalam menjalankan pemerintah, dan fungsi pemerintah tidak dimonopoli oleh segelintir orang.
4) Angkatan bersenjata reguler – termasuk polisi – digantikan dengan tentara rakyat. Ini terutama benar di Indonesia ketika polisi dan tentara adalah sarang KKN karena kekuasaan negara sungguh bersandar pada kedua aparatus kekerasan ini. Dengan tentara rakyat, maka fungsi tentara dan polisi tidak lagi menjadi monopoli dari badan khusus ini, tetapi dijalankan dan dikelola secara demokratik oleh rakyat sendiri. Keamanan lingkungan jadi tanggung jawab rakyat secara demokratik, dan dengan berakhirnya kapitalisme berakhir pula kebutuhan perang, dan tentara secara keseluruhan akan menjadi peninggalan masa lalu.
Wabah KKN yang sudah mengakar ini hanya bisa dibasmi dengan kebijakan yang tegas dan berani, dan tidak setengah-setengah. Selama kapitalisme – dan oleh karenanya negara kapitalis – masih berkuasa, maka KKN akan selalu ada. Hanya sosialisme yang dapat menjamin masa depan yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, dan yang teramat penting, bebas dari penindasan dan penghisapan manusia atas manusia.