facebooklogocolour

malthusian 1000xPendeta Thomas Malthus menjadi tenar pada abad ke-19 sebagai pembela kemiskinan dan ketidaksetaraan. Dia menegaskan bahwa orang miskin tidak menjadi miskin karena eksploitasi kapitalis atau ketidakadilan, tetapi karena jumlah mereka terlalu banyak, bersaing untuk sumber daya yang terbatas. Hari ini, ide Malthus masih beredar dalam berbagai bentuk, dan bahkan cukup berpengaruh di gerakan kiri. Dalam artikel ini, kita beberkan implikasi palsu dan reaksioner dari ide-ide ini.

Peradaban Barat runtuh karena segerombolan imigran mencuri pekerjaan dan rumah kita. Anggaran pemerintah dihisap kering oleh pasukan lansia yang selalu menuntut tunjangan pensiun dan pelayanan kesehatan. Planet ini kebakaran karena dihuni oleh terlalu banyak orang; karena kita hidup di luar kemampuan kita.

Semua ini, dan lebih banyak lagi, secara reguler dinyatakan sebagai fakta di halaman depan pers borjuis.

Pernyataan-pernyataan ini, dalam satu bentuk atau lainnya, merupakan cerminan modern dari gagasan reaksioner Pendeta Thomas Malthus – seorang klerus dan ekonom akhir abad ke-18/awal abad ke-19, yang namanya sekarang identik dengan bidang demografi; terutama teorinya bahwa overpopulasi adalah penyebab dari semua problem masyarakat.

Ideologi Malthus pada dasarnya menjadi landasan serangan xenofobia sayap kanan terhadap kaum migran dan pengungsi. Argumen serupa disebarkan oleh kaum liberal, di mana mereka mengkambinghitamkan kaum lansia atas krisis yang dihadapi oleh sistem pelayanan kesehatan publik dan sistem pensiun. Kita diberitahu, kaum “boomer”-lah yang membuat kaum milenial dan Gen-Z kesulitan membeli rumah atau memperoleh pekerjaan layak, bukannya kapitalisme dan anarki pasar.

Malthusianisme tidak hanya diulang-ulang ad nauseam oleh perwakilan kelas penguasa. Sayangnya, banyak kaum kiri yang juga telah menyerap ide ini, secara sadar atau tidak, dalam bentuk teori “degrowth” dan teori lainnya yang lazim ditemui dalam gerakan lingkungan hidup.

Dengan klaim dan konsep yang tersebar luas di seluruh spektrum politik, sangat penting bagi kita, sebagai kaum Marxis, untuk mempersenjatai diri dengan pemahaman yang tepat tentang Malthusianisme, dan dengan tanggapan sosialis yang jelas terhadap omong kosong ini.

Teori Reaksioner

Malthus paling terkenal karena teorinya tentang hukum populasi dan produksi, yang awalnya dia uraikan dalam sebuah esai berjudul An Essay on the Principle of Population. Edisi pertama terbit pada 1798, tidak lama setelah pecahnya Revolusi Prancis.

Ini bukanlah kebetulan. Revolusi di Prancis telah mengilhami para penulis Romantis dan Utopis di seluruh Eropa, dan juga gerakan buruh yang baru lahir. Di Inggris, kelas penguasa takut akan dampak radikalisasi revolusi Prancis. Pada tahun yang sama ketika esai Malthus diterbitkan, misalnya, Pemberontakan Irlandia melawan Inggris pecah – dipimpin oleh Society of United Irishmen, sebuah kelompok republiken yang dipengaruhi oleh cita-cita revolusioner saudara-saudari Prancis mereka.

Tergerak oleh peristiwa-peristiwa ini, para pemikir seperti William Godwin di Inggris mulai berspekulasi tentang potensi tak terbatas dari masyarakat masa depan yang didasarkan pada sains dan nalar. Mereka meyakini bahwa kemajuan manusia tidak terbatas.

Propaganda semacam itu dianggap sangat berbahaya oleh kelas penguasa. Dan dalam diri Malthus, mereka menemukan seorang intelektual yang bersedia membela kepentingan mereka; seorang yang menawarkan sanggahan teoretis kepada kaum utopis, dan memberikan pembelaan terhadap status quo kapitalisme yang bangkrut.

Edisi pertama esai Malthus secara eksplisit ditulis sebagai sanggahan terhadap Godwin dkk. Dengan kata-katanya sendiri, bersama kaum intelektual konservatif lainnya, seperti Edmund Burke, dia ingin memaparkan "argumen [yang] konklusif melawan kesempurnaan massa umat manusia”.[1]

Singkatnya, Malthus menyatakan, dibiarkan sendiri, tanpa hambatan atau batasan material apa pun, manusia akan berkembang biak dengan laju geometris: 1, 2, 4, 8, 16, dan seterusnya. Kemampuan kita untuk memproduksi makanan – untuk bercocok tanam dan beternak –bagaimanapun hanya dapat meningkat secara aritmetika: 1, 2, 3, 4, 5, dst.

Sebagai akibatnya, menurut pendeta kita yang termasyhur ini, jumlah populasi akan terus terhambat oleh “cek positif”, seperti perang dan kelaparan, yang membatasi pertumbuhan populasi. Kematian, kehancuran, dan penyakit, dengan kata lain, dianggap sebagai konsekuensi dari keinginan manusia untuk berkembang biak secara tidak berkelanjutan.

Malthus menulis:

“Kuman-kuman kehidupan yang ada di bagian bumi ini, dengan makanan yang berlimpah, dan ruang yang luas untuk berkembang, akan mengisi jutaan dunia selama beberapa ribu tahun. Keniscayaan, yakni hukum alam yang menguasai segalanya, menahan mereka dalam batas-batas yang ditentukan. Ras tumbuhan, dan ras hewan menyusut di bawah hukum besar yang membatasi ini. Dan ras manusia tidak dapat, dengan upaya nalar apa pun, melarikan diri dari hukum ini. Di antara tumbuhan dan hewan, dampaknya adalah pemborosan benih, penyakit, dan kematian dini. Di antara umat manusia, kesengsaraan dan kejahatan.”[2]

Menyalahkan orang miskin

Pendeta Malthus melangkah lebih jauh dari sekadar menyarankan bahwa pertumbuhan populasi tidak mungkin berlangsung tanpa batas. Lagi pula, anggapan bahwa ada batasan material terhadap jumlah populasi manusia adalah sebuah truisme. Jelas tidak ada spesies yang dapat terus berkembang biak tanpa pasokan nutrisi, air, dan sebagainya yang memadai.

Risalah awal Malthus terutama merupakan polemik melawan kaum Romantik dan Utopis. Namun, dalam tulisan-tulisan selanjutnya, dia menerapkan teorinya pada problem-problem politik yang mendesak saat itu. Dan di setiap kesempatan, dia menarik kesimpulan reaksioner yang keji, terutama sehubungan dengan problem kemiskinan.

Mendampingi Revolusi Industri di Inggris adalah kemelaratan yang meluas, ketika “pekerja bebas” berduyun-duyun bermigrasi dari desa ke kota, dan ketika kapitalisme mengunyah habis buruh dan memuntahkan mereka ke jalanan.

Ketika Malthus menulis esainya, sistem “Poor Laws” (Undang-undang Fakir Miskin) berbasis paroki sudah ada. Amal dari gereja ini memberikan kelegaan bagi pengemis dan gelandangan. Namun setelah Perang Napoleon, depresi ekonomi dan pengangguran massal mengintai negeri ini, dan UU Fakir Miskin yang lama semakin dianggap tidak berkelanjutan.

Pada 1832, Komisi Kerajaan dibentuk untuk merancang UU Fakir Miskin yang baru. Dan argumen Malthus – yang disampaikan secara terbuka dan bersemangat oleh Malthus sendiri – digunakan untuk mengubah sistem amal yang dikelola oleh tiap-tiap distrik menjadi sistem barak kerja yang tersentralisir. Barak kerja (workhouses) ini adalah lembaga negara yang kejam, yang menyediakan kasur seadanya dan bubur encer bagi mereka yang bersedia melakukan kerja rodi.

Menurut Malthus dan para pengikutnya, UU Fakir Miskin sebelumnya hanya memperburuk situasi yang sudah buruk. Masalah sebenarnya, menurut mereka, adalah terbatasnya pasokan pangan dan sarana penghidupan lainnya. Mendistribusikan kembali kekayaan melalui amal tidak akan menyelesaikan masalah ini. Sebaliknya, itu hanya akan mendorong kelas bawah untuk berkembang biak, dan dengan demikian memperburuk masalah.

Orang miskin, dengan kata lain, disalahkan karena miskin. Mereka harus dengan tabah menerima nasib mereka dalam hidup – jika tidak, akan ada kekacauan dan kesengsaraan. Dengan keji Malthus menyatakan:

“Seseorang yang lahir ke dunia yang sudah dimiliki orang lain, jika ia tidak dapat memperoleh penghidupan dari orang tuanya, dan jika masyarakat tidak menginginkan tenaga kerjanya, maka dia tidak berhak menerima porsi makanan sekecil apapun, dan, pada kenyataannya, dia tidak boleh eksis. Tidak ada tempat kosong baginya dalam perjamuan besar alam. Alam memerintahnya untuk pergi, dan akan segera melaksanakan perintah ini, jika dia tidak menerima belas kasihan dari tamu lainnya. Jika tamu-tamu ini berdiri dan memberi ruang baginya, penyusup lain segera muncul menuntut bantuan yang sama ...

“Ketertiban dan keharmonisan perjamuan alam akan terganggu, keberlimpahan yang ada berubah menjadi kelangkaan; dan kebahagiaan para tamu dihancurkan oleh kesengsaraan dan ketergantungan di setiap sudut ruangan.”[3]

Alih-alih memberikan bantuan kepada orang miskin, Malthus dan pengikutnya ingin orang miskin dihukum dan dipenjara, untuk mencegah mereka berkembang biak seperti tikus.

Engels menanggapi ini dalam karyanya Kondisi Kelas Buruh Inggris: “[Bagi kaum Malthusian], seluruh problemnya bukanlah bagaimana menyokong surplus populasi, tetapi bagaimana menekannya sebisa mungkin.”[4]

Marx merespons Malthus: “Dengan teori yang manusiawi ini, Parlemen Inggris memadukan pandangan bahwa kemelaratan adalah kemiskinan yang disebabkan oleh pekerja itu sendiri, dan bahwa maka dari itu kemelaratan tidak boleh dianggap sebagai kemalangan yang harus dicegah melainkan kejahatan yang harus ditekan dan dihukum.”[5]

Manusia vs binatang

Menulis setelah Malthus dan UU Fakir Miskin Baru 1834, Karl Marx dan Friedrich Engels memereteli argumen reaksioner ini.

Pertama, para pendiri sosialisme ilmiah ini mempersoalkan aksioma dasar yang mendasari hipotesis Malthus.

Engels menulis: “Malthus menetapkan sebuah formula yang mendasari seluruh sistemnya. Populasi dikatakan meningkat secara geometris, [...] kekuatan produktif tanah secara aritmetika. [...] Perbedaannya jelas, dan mengerikan; tapi apakah itu benar?”[6]

Malthus mengklaim telah membuktikan formulanya tersebut dengan bukti empiris. Khususnya, ia menemukan pertumbuhan geometris populasi dari mempelajari ekspansi koloni-koloni baru di Amerika Utara dan koloni Inggris lainnya.

Namun, rasio numerik yang dijabarkan Malthus mengalihkan perhatian kita dari kelemahan utama dalam teorinya. Di atas segalanya, kita harus membantah pernyataan sang pendeta mengenai limit produksi.

“Di mana telah dibuktikan bahwa produktivitas tanah meningkat secara aritmetika?” Engels melanjutkan:

“Luas tanah terbatas – itu benar sekali. Tetapi daya-kerja yang dikerahkan ke tanah ini meningkat seiring dengan populasi.”

“Dan bahkan jika kita berasumsi bahwa peningkatan output yang terkait dengan peningkatan tenaga kerja ini tidak selalu sebanding, masih ada unsur ketiga – yang, bagaimanapun, tidak pernah dianggap penting oleh para ekonom – yaitu, sains, kemajuan sains yang tidak terbatas dan setidaknya secepat populasi.”[7]

Malthus menampilkan manusia tidak lebih baik dari binatang. Umat manusia, dalam pandangannya, seperti bakteri dalam cawan Petri: ditakdirkan untuk berkembang biak secara eksponensial hingga menghabiskan semua sumber daya yang tersedia dalam habitatnya.

Sebaliknya Marx dan Engels menjelaskan, tidak seperti kerajaan binatang lainnya, kita manusia mampu berpikir secara aktif dan sadar; memahami dunia di sekitar kita melalui interaksi dengan lingkungan kita, dan memanfaatkan pengetahuan ini untuk mengubah lingkungan kita; mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk menguasai kekuatan alam.

Dengan teorinya tentang populasi (atau overpopulasi), Malthus percaya bahwa dia telah menemukan sebuah hukum alam yang abadi. Tetapi ini adalah cara pandang yang kasar, suatu bentuk reduksionisme, yang secara efektif berusaha menampilkan dinamika masyarakat manusia tidak lebih dari ‘perjuangan untuk eksistensi’ Darwinian (berpuluh-puluh tahun sebelum Darwin sendiri mengusulkannya).

Akan tetapi, melalui kerja, umat manusia mampu mengembangkan kekuatan produktif yang dimilikinya. Dengan melakukan itu, kita dapat mengubah lingkungan hidup kita, dan menghancurkan rintangan apapun yang menghalangi perluasan spesies kita. Inilah yang membedakan manusia dari semua makhluk lainnya.

“Yang paling bisa dicapai hewan adalah mengumpulkan,” tutur Engels dalam mahakaryanya yang belum selesai, Dialectics of Nature, sedangkan “manusia memproduksi, dia mempersiapkan sarana kehidupan, dalam arti kata yang seluas-luasnya, yang berarti tanpa dia alam tidak akan menghasilkan. Dengan demikian, hukum yang mengatur kehidupan masyarakat binatang tidak mungkin bisa ditransfer begitu saja ke dalam masyarakat manusia.”[8]

Dengan kata lain, hukum masyarakat dan populasi manusia secara kualitatif berbeda dengan hukum biologi dan evolusi. Masyarakat manusia memiliki hukumnya sendiri, di atas dan di luar yang berlaku untuk spesies lain. Ilmu demografi tidak dapat direduksi menjadi suatu bentuk Darwinisme sosial.

Pandangan materialis tentang sejarah

Dengan hukum populasinya yang abstrak, Malthus tidak berbeda sama sekali dari kaum utopis yang dikritiknya. Mereka sama-sama idealis. Kaum utopis memimpikan cetak biru untuk masyarakat yang sempurna, yang terpisah dari kondisi material yang nyata. Malthus berusaha mempertahankan tatanan yang ada dengan bersandar pada hukum sosial yang konon abadi; hukum demografi yang dianggapnya dapat diterapkan secara universal sepanjang sejarah sebagaimana hukum gerak Newton dalam fisika.

Kontras dengan kedua kubu idealis ini, Marx dan Engels menyajikan pandangan materialis tentang sejarah. Mereka menjelaskan, tidak ada hukum masyarakat yang abadi, yang berlaku untuk semua bentuk peradaban. Sebaliknya, setiap tahap dalam perkembangan manusia memunculkan dinamika, kontradiksi, dan hubungan sosialnya sendiri. Setiap moda produksi, pada gilirannya, memiliki hukum populasinya yang unik, yang harus dipelajari secara konkret.

Marx menulis dalam korespondensinya, yang mengecam kaum intelektual borjuis tertentu karena idealisme historis mereka:

“[Menurut kaum Malthusian,] seluruh sejarah dapat ditundukkan di bawah satu hukum alam yang agung. Hukum alam ini adalah frase [...] ‘perjuangan untuk eksistensi’, dan isi dari frase ini adalah hukum populasi Malthus atau, lebih tepatnya, overpopulasi.”

“Jadi, alih-alih menganalisis perjuangan untuk eksistensi seperti yang diwakili secara historis dalam berbagai bentuk masyarakat yang definit, yang perlu dilakukan adalah menerjemahkan setiap perjuangan konkret ke dalam frasa ‘perjuangan untuk eksistensi’, dan menerjemahkan frasa ini sendiri ke dalam fantasi populasi Malthus.”[9]

“Dengan cara ini,” Marx menjelaskan lebih lanjut dalam Grundrisse, “[Malthus] mentransformasi relasi [populasi] yang unik secara historis menjadi relasi numerik yang abstrak, yang dia ciptakan murni dari udara kosong, dan yang tidak bersandar pada hukum alam maupun pada hukum sejarah.”[10]

Maka dari itu, sesungguhnya hukum dan batasan populasi manusia tidak ditentukan dan dikondisikan oleh alam, tetapi oleh produksi. Moda produksi yang berbeda, pada gilirannya, memiliki hukum populasi yang berbeda pula. Marx mengatakan:

“Dan pada kenyataannya setiap moda produksi historis yang unik memiliki hukum populasinya sendiri yang unik, yang secara historis berlaku dalam batas-batasnya saja. Hukum populasi yang abstrak hanya ada untuk tumbuhan dan binatang, dan hanya sejauh manusia tidak mengganggu mereka.”[11]

Surplus populasi relatif

Setelah membantah hukum populasi Malthus yang abstrak dan abadi, Marx memulai tugas positif untuk menganalisis dan merumuskan hukum populasi yang khas bagi kapitalisme.

Akan tetapi, Marx tidak menyibukkan diri dengan upaya untuk memeriksa dinamika demografis yang memengaruhi ukuran masyarakat tertentu. Beragam faktor – termasuk perubahan sikap moral dan agama – dapat menentukan apakah populasi tertentu tumbuh atau menyusut; apakah orang tua memilih untuk memiliki keluarga yang lebih besar atau lebih kecil; apakah angka kelahiran dan angka kematian rendah atau tinggi.

Dalam hal ini, Marx memahami bahwa jumlah total umat manusia tidak semata-mata didasarkan pada determinan-determinan ekonomi; bahwa tidak ada hubungan mekanis antara populasi dan produksi.

Sebaliknya, dalam Capital, Marx menggarisbawahi bagaimana dinamika akumulasi kapitalis menghasilkan kecenderungan ke arah surplus populasi relatif .

Malthus mengaitkan kemiskinan dengan jumlah absolut penduduk; hasil yang tak terelakkan dari terlalu banyak orang yang mengejar terlalu sedikit barang. Sebaliknya, Marx menunjukkan bahwa kemiskinan adalah hasil dari kontradiksi kapitalisme.

Didorong oleh rasa haus yang tak terpadamkan akan keuntungan yang semakin besar, persaingan antar kapitalis memaksa mereka untuk terus-menerus menginvestasikan kembali nilai surplus – yang diciptakan oleh kelas buruh –ke alat-alat produksi baru, yang mengarah pada ekspansi dan pertumbuhan.

Dalam proses ini, permintaan total akan daya-kerja meningkat. Namun, pada saat yang sama, kaum kapitalis berinvestasi dalam permesinan dan otomatisasi produksi, untuk meningkatkan produktivitas buruh, membuat komoditas mereka murah, dan bersaing dengan produsen lain.

Oleh karena itu, ada dua kecenderungan kontradiktif yang berkembang. Di satu sisi, buruh dibuat tak berguna oleh teknologi, dan dibuang ke tumpukan sampah. Di sisi lain, seiring pertumbuhan ekonomi, buruh yang menganggur diserap kembali ke dalam produksi.

Industri tertentu mengalami transformasi dan membuat buruh menjadi mubazir; yang lainnya berkembang dan menuntut lebih banyak buruh. Dan melatarbelakangi perubahan-perubahan ini di antara dan di dalam berbagai sektor ekonomi, ada siklus boom-dan-bust kapitalisme.

Hasilnya adalah pasang surut populasi yang dianggap surplus bagi kebutuhan modal; fluktuasi yang chaotic dalam apa yang disebut Marx sebagai “pasukan pekerja cadangan”. Marx menjelaskan dalam magnum opusnya:

“Akumulasi kapitalistik itu sendiri, terus-menerus menghasilkan, dan menghasilkan dalam rasio langsung energinya dan keluasannya sendiri, populasi pekerja yang relatif berlebihan, yaitu populasi yang lebih besar dari apa yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan rata-rata ekspansi kapital, dan oleh karena itu akumulasi kapitalistik menghasilkan surplus populasi.”[12]

Selain itu, Marx menekankan, pasukan pekerja cadangan tidak hanya merupakan produk akumulasi kapitalis, tetapi juga merupakan kondisi yang diperlukan bagi keberlangsungannya.

Untuk terus memperluas bisnis mereka, kapitalis harus selalu memiliki persediaan daya-kerja yang menganggur, yang siap sedia dan mampu dipekerjakan kapan pun diperlukan. Keberadaan pekerja cadangan ini juga menekan upah, sehingga meningkatkan keuntungan para bos. Marx melanjutkan:

“Kapital bekerja di kedua sisi pada saat yang bersamaan. Jika akumulasinya, di satu sisi, meningkatkan permintaan akan kerja, di sisi lain ia meningkatkan suplai pekerja dengan membebaskan mereka, sementara pada saat yang sama tekanan dari para penganggur memaksa mereka yang bekerja untuk menyediakan lebih banyak kerja, dan sebagai konsekuensinya membuat suplai kerja, sampai batas tertentu, independen dari suplai pekerja.”[13]

Bukan jumlah absolut penduduk yang menurunkan upah dan menciptakan kemiskinan, seperti yang ditengarai Malthus, tetapi pasukan pekerja cadangan yang dihasilkan dari dinamika kapital; masalahnya bukanlah overpopulasi dan produksi yang terbatas, tetapi surplus populasi relatif terhadap kebutuhan sistem profit; masalahnya bukanlah “tekanan populasi […] atas sarana penghidupan tetapi atas sarana pekerjaan,” seperti yang ditekankan oleh Engels.[14]

Marx menulis:

“Oleh karena itu populasi pekerja menghasilkan, bersama dengan akumulasi kapital yang dihasilkan olehnya, sarana-sarana yang membuat dirinya sendiri relatif berlebihan, yang membuat dirinya sendiri diubah menjadi surplus populasi relatif; dan proses ini berlangsung terus dengan semakin intens. Inilah hukum populasi yang khas dari moda produksi kapitalis.”[15]

Overpopulasi vs overproduksi

Alih-alih berbicara mengenai pertumbuhan aritmetika suplai pangan, Marx dan Engels menganalisis kontradiksi aktual kapitalisme yang membuat masyarakat tidak mampu memberi makan populasi yang bertumbuh besar.

Di atas segalanya, mereka menjelaskan, problemnya bukanlah overpopulasi tetapi overproduksi. Umat manusia tidak sedang menghadapi kelangkaan permanen, tetapi kemiskinan di tengah kelimpahan. Seperti yang ditulis Engels:

“Terlalu sedikit yang diproduksi, itulah penyebab semuanya. Tapi mengapa terlalu sedikit yang diproduksi? Bukan karena limit produksi [...] telah tercapai [...] tetapi karena limit produksi ditentukan bukan oleh jumlah perut yang lapar, tetapi oleh jumlah dompet yang mampu membeli dan membayar. Masyarakat borjuis tidak ingin dan tidak dapat berharap untuk memproduksi lebih banyak. Perut-perut tanpa uang, yang kerjanya tidak bisa digunakan untuk menghasilkan profit dan oleh karenanya tidak punya uang untuk membeli, akhirnya jadi statistik angka kematian.”[16]

Kelaparan di bawah kapitalisme, singkatnya, bukan disebabkan oleh ketidakmampuan teknis masyarakat untuk menghidupi dirinya sendiri, tetapi karena kegilaan sistem profit.

“Jika Malthus tidak mempertimbangkan masalah ini secara begitu sepihak,” kata Engels, “dia tidak akan gagal melihat bahwa surplus populasi atau surplus daya-kerja selalu terkait dengan surplus kekayaan, surplus kapital, dan surplus pemilikan tanah.”[17]

Teori Malthus, dalam hal ini, telah berkali-kali dibantah dalam praktik sejak kematiannya. Ramalan Malthus tentang malapetaka telah secara konsisten terbantah oleh berbagai peristiwa; oleh perkembangan teknologi pertanian, industri, dan sains yang memungkinkan masyarakat meningkatkan kesuburan tanah, meningkatkan produktivitas melalui penerapan teknologi dan teknik, dan menghasilkan lebih banyak dengan lebih sedikit.

Bahkan saat ini, menurut LSM Action Against Hunger, produksi pangan diperkirakan cukup untuk memberi makan seluruh dunia. Namun begitu, sekitar 10 persen populasi dunia menderita kekurangan gizi dan kelaparan.

Masalahnya bukan overpopulasi Malthusian, tetapi kepemilikan pribadi dan negara bangsa: dua rintangan fundamental yang menghalangi perkembangan kekuatan produktif, yang mencegah kita hari ini untuk secara rasional mendayagunakan sumber daya masyarakat yang sangat besar, yang malah dijarah demi keuntungan kaum kapitalis.

Apologis untuk parasitisme

Dengan menyalahkan rakyat jelata atas kelaparan dan kemiskinan yang mereka derita, Malthus secara aktif mengalihkan perhatian kita dari pelaku sebenarnya: sistem kapitalis. Marx mengutuk Malthus sebagai “penjilat kelas penguasa yang tidak tahu malu,”[18] dan teorinya merupakan “apologi baru untuk para pengeksploitasi kerja.”[19]

Di atas segalanya, Malthus membela kepentingan tuan tanah. Dalam perdebatan tentang Hukum Jagung (tarif impor biji-bijian ke Inggris), misalnya, Malthus berpihak pada proteksionisme dan kepentingan tuan tanah, berlawanan dengan pendukung perdagangan bebas, seperti ekonom klasik Inggris, David Ricardo.

Selain itu, sesuai dengan keyakinannya, sang pendeta juga menggunakan teori ekonominya untuk membenarkan keberadaan kelas parasitnya sendiri dan membela konsumsi tak-produktif Gereja, aristokrasi, dan “kacung-kacung tak berguna” mereka.

Menurut Malthus, pemborosan sumber daya masyarakat seperti itu bukanlah hal yang sia-sia, tetapi sebenarnya diperlukan untuk mencegah krisis dan memastikan keberlangsungan kapitalisme.

Marx mengatakan: “[Menurut Malthus], apa yang dibutuhkan adalah pembeli yang bukanlah penjual, sehingga kapitalis dapat merealisasikan profitnya dan menjual komoditasnya ‘sesuai nilainya’. Inilah mengapa [menurut Malthus] kita membutuhkan  tuan tanah, penerima pensiun [yang dimaksud bukanlah rakyat jelata yang menerima tunjangan hari tua, tetapi anggota monarki dan pendeta yang menerima uang pensiun dari anggaran pemerintah], sinecurist [pemangku jabatan dalam gereja atau pemerintah yang sesungguhnya tidak berguna dan tidak melakukan apapun selain menerima upah besar], pendeta, dll., jangan lupa juga para pelayan mereka.”[20]

Pada saat yang sama, menurut Malthus, kita mengalami overpopulasi dan konsumsi rendah (underconsumption); terlalu banyak mulut untuk diberi makan, di samping terlalu banyak barang untuk dijual; terlalu sedikit yang diproduksi untuk menghidupi massa yang tidak punya uang, di samping surplus yang hanya bisa dihabiskan oleh kerakusan dan keserakahan kaum kaya yang pemalas.

“Dan ternyata,” simpul Marx, dengan menyingkap ironi dan kemunafikan teori Malthus, “penulis pamflet tentang populasi ini mengkhotbahkan overkonsumsi berlebih yang terus-menerus dan apropriasi produk tahunan semaksimal mungkin oleh para pemalas, sebagai syarat produksi.”[21]

Paradoks mencolok dalam ide-ide Malthus ini sebenarnya mengungkapkan kontradiksi nyata di jantung kapitalisme: overproduksi.

Menjawab para ekonom klasik laissez-faire (pasar bebas) seperti Adam Smith dan Jean-Baptiste Say, yang percaya pada rasionalitas dan efisiensi pasar bebas, Marx menunjukkan bahwa kapitalisme secara inheren rentan terhadap krisis – krisis yang diakibatkan oleh watak sistem profit itu sendiri.

Profit kapitalis bersumber dari kerja kelas buruh yang tidak dibayar, jelas Marx. Buruh menerima nilai yang lebih rendah (dalam bentuk upah) daripada yang mereka hasilkan (dalam bentuk komoditas). Konsekuensinya, kemampuan kapitalisme untuk berproduksi akan selalu melebihi kemampuan pasar untuk menyerap semua yang diproduksi.

Hasilnya, seperti yang dijelaskan oleh Marx dan Engels dalam Manifesto Komunis, adalah krisis di mana “merebaklah epidemi yang pada masa-masa sebelumnya akan tampak begitu absurd – epidemi overproduksi. Masyarakat tiba-tiba menemukan dirinya kembali ke barbarisme; seakan-akan paceklik dan perang telah menghentikan pasokan semua bahan kebutuhan pokok; industri dan perdagangan seperti hancur lebur; dan mengapa? Karena terlalu banyak peradaban, terlalu banyak industri, terlalu banyak perdagangan.”[22]

Marx mengakui bahwa, walaupun dia menganggap sang pendeta sebagai penjiplak serial, gagasan ekonomi Malthus memiliki beberapa kelebihan. Alih-alih “doktrin harmoni yang menyedihkan dalam ekonomi politik borjuis,” sang pendeta memberikan “penekanan tajam pada ketidakharmonisan”.

Malthus dengan senang hati menyatakan keberadaan kontradiksi kapitalisme, sejauh ini menjadi apologi bagi para bangsawan dan berbagai lintah lain dalam masyarakat, yang kepentingannya dia layani. Marx mengatakan:

“Malthus tidak tertarik menyembunyikan kontradiksi produksi borjuis, tetapi sebaliknya, menekankannya. Di satu sisi, untuk membuktikan bahwa kemiskinan kelas pekerja itu perlu (sebagaimana memang di bawah moda produksi ini) dan, di sisi lain, untuk menunjukkan kepada kaum kapitalis bahwa diperlukan hierarki Gereja dan Negara yang gemuk guna menciptakan permintaan yang memadai untuk komoditas yang mereka hasilkan.”[23]

Populasi yang menua atau sistem yang sekarat?

Malthus mengutuk orang miskin karena mereka miskin. Tapi dia jelas tidak mempersalahkan orang kaya yang menjadi kaya.

Demikian juga dengan para pengikut Malthus jaman sekarang. Komentator liberal menyalahkan lapisan rakyat yang paling rentan karena menjadi beban masyarakat. Tetapi orang-orang munafik yang sama ini dengan mudah mengabaikan – atau lebih buruk lagi, secara aktif membela – orang-orang yang jelas menjadi beban mati yang mencekik masyarakat kita, yaitu para miliarder dan bankir, yang sistemnya mengutuk jutaan orang ke lembah penderitaan dan kerja rodi seumur hidup.

Kaum neo-Malthusian dari semua spektrum politik, dalam hal ini, memainkan peran berbahaya dengan menyalahkan rakyat jelata atas kejahatan dan bencana kapitalisme. Imigran dan pengungsi dibiarkan saja tenggelam di Laut Mediterania atau Selat Inggris, misalnya. Negeri ini sudah “penuh” katanya. Jika gerombolan imigran ini diizinkan berlabuh ke pantai kita, maka sistem pelayanan sosial yang sudah sekarat ini akan runtuh. Sementara itu, kapitalis tenggelam dalam keberlimpahan profit.

Atau misalnya kaum lansia. Ironisnya, setelah cemas akan “bom populasi”, banyak penulis yang terinspirasi Malthus hari ini mengkhawatirkan hal sebaliknya: bahwa orang tidak memiliki cukup bayi, yang mengarah ke masyarakat yang menyusut jumlahnya dan semakin tua.

Menurut perkiraan PBB, perempuan di seluruh dunia – karena berbagai faktor –semakin hari memiliki semakin sedikit anak. Akibatnya, total populasi planet ini diperkirakan akan tumbuh dari 8 miliar hari ini sampai ke puncaknya 10,4 miliar pada 2083.

Pada saat yang sama, berkat peningkatan layanan kesehatan dan sebagainya, angka harapan hidup meningkat. Hasil keseluruhannya adalah masyarakat menua dengan cepat.

Ini memiliki konsekuensi ekonomi yang penting. Terutama dengan semakin meningkatnya ‘rasio beban tanggungan’ (yang mengukur jumlah lansia relatif terhadap populasi usia kerja). Dalam kata lain, tenaga kerja yang semakin berkurang harus menghidupi orang lanjut usia atau pensiunan yang jumlahnya semakin besar.

Ini berarti jumlah pekerja yang relatif lebih sedikit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi; lebih sedikit daya-kerja secara proporsional untuk dieksploitasi oleh kapitalis; dan lebih sedikit pembayar pajak dibandingkan total populasi, dan pengeluaran pemerintah yang lebih besar untuk tunjangan hari tua dan layanan kesehatan publik.

“Perubahan signifikan dan berkepanjangan yang akan datang dalam ukuran dan karakteristik populasi serta angkatan kerja dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi,” kata George Magnus, mantan kepala ekonom bank investasi UBS, dalam bukunya, The Age of Aging. “Masyarakat yang menua harus mencari solusi bagaimana menganggarkan pengeluaran untuk lapisan populasi lansia dan bagaimana membayarnya.”[24]

Bagi Malthus, masalahnya adalah terlalu banyak orang miskin yang menghabiskan sumber daya masyarakat. Sekarang, kita diberi tahu, terlalu banyak lansia.

Demikian pula, dalam laporan khusus baru-baru ini, jurnal liberal The Economist  memprediksi ‘Japanifikasi’ Barat – yaitu proses penuaan dan menyusutnya populasi yang menyebabkan stagnasi ekonomi dan membengkaknya utang nasional.[25]

Artikel tersebut bahkan melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa kaum lansia dapat bertanggung jawab atas depresi yang menjerat ekonomi dunia: bukan hanya karena bertambahnya jumlah orang tua berarti meningkatnya rasio beban tanggungan dan anggaran publik yang lebih tinggi (untuk tunjangan sosial dan kesehatan), tetapi juga karena pensiunan tampaknya berkontribusi terhadap global savings glut (kelimpahan simpanan di dunia).

Tidak mengherankan, para komentator borjuis ini tidak berpikir untuk memeriksa penyebab sebenarnya di balik perlambatan ekonomi global: bukan ‘kelimpahan tabungan’ di tangan para lansia, tetapi di rekening bank para miliarder.

Adalah kapitalisme – sebuah sistem yang terjerat dalam overproduksi dan anarki pasar – yang bertanggung jawab atas stagnasi sekuler dan kemerosotan permanen yang dicemaskan oleh para ekonom borjuis (seperti Larry Summers dan Paul Krugman) sebelum pandemi, dan bertanggung jawab atas ketidakstabilan dan inflasi yang kini menghantui kelas penguasa dan kelas pekerja.

Pada kenyataannya, jika ekonomi bergerak maju, dengan produktivitas meningkat, maka tidak akan ada masalah dengan jumlah pekerja yang relatif lebih kecil yang harus menyokong lebih banyak orang di usia senja mereka. Kekayaan untuk menyediakan layanan kesehatan yang berkualitas lebih tinggi, dsb., akan ada. Nyatanya, kekayaan untuk ini sudah ada, tapi tersimpan di brankas kaum super kaya.

Alih-alih menyalahkan generasi boomer karena membebani anggaran pemerintah, kita seharusnya menyalahkan para bos dan sistem mereka yang menghambat kemajuan masyarakat. Masalahnya bukanlah perpecahan antar generasi, tetapi perpecahan antar kelas.

Pertanyaan sebenarnya yang harus diajukan, dalam hal ini, bukanlah ‘apa yang kita lakukan terhadap semua orang tua ini?’ tetapi ‘mengapa produktivitas mengalami stagnasi?’

Mengapa kita tidak dapat menghasilkan lebih banyak dengan lebih sedikit – tidak hanya di sektor industri dan pertanian, tetapi juga di sektor jasa penting? Mengapa teknologi seperti kecerdasan buatan dan otomatisasi tidak menghasilkan pengurangan masif dalam jam kerja dan usia pensiun? Mengapa, terlepas dari semua kemajuan terbaru dalam ilmu pengetahuan, angkatan kerja yang relatif lebih kecil tidak mampu menyokong tanggungan yang proporsinya semakin besar, sementara pada saat yang sama meningkatkan tunjangan hari tua, program sosial, pengasuhan anak, pendidikan, dan sebagainya?

Seperti halnya kemajuan iptek telah memungkinkan lebih banyak orang untuk hidup lebih lama, dan memberi keluarga lebih banyak kontrol atas berapa banyak anak yang mereka miliki, demikian pula perkembangan lebih lanjut dalam kekuatan produktif memungkinkan masyarakat untuk mempertahankan populasi yang lebih tua dan lebih besar, dengan standar hidup yang lebih tinggi untuk semua.

Semua ini – dan banyak lagi – sepenuhnya mungkin. Tapi bukan atas dasar kapitalisme yang sudah menemui jalan buntu.

Justru kaum akademisi mainstream memperingatkan adanya ‘stagnasi ilmiah’. Mereka melaporkan bagaimana penelitian menjadi kurang ‘disruptif’ dalam dekade-dekade terakhir, dan inovasi sudah memasuki fase plateau.

Tentu saja, kaum empiris yang pesimis ini – seperti Malthus – gagal melihat bahwa stagnasi ini bukanlah sesuatu yang absolut, tetapi relatif. Bukan sains dan teknologi yang menemui jalan buntu, tetapi moda produksi hari ini.

Singkatnya, bukan populasi menua yang harus disalahkan atas krisis masyarakat hari ini, tetapi sistem yang sudah jompo dan sekarat ini, yang telah lama melampaui peran historisnya, dan maka dari itu mesti dikubur oleh kelas buruh.

Keruntuhan dan bencana

Angka-angka dan proyeksi-proyeksi pertumbuhan penduduk yang disebutkan di atas menghantarkan pukulan lebih lanjut terhadap argumen Malthus dan pengikutnya. Pendeta reaksioner ini tidak hanya salah tentang kemampuan manusia untuk mentransformasi produksi, dan dengan demikian memberi makan populasi yang semakin besar; dia juga salah tentang kecenderungan umat manusia untuk berkembang biak.

Malthus menegaskan dalam esainya yang terkenal itu bahwa tidak ada yang bisa menghentikan orang untuk berkembang biak secara tak terkendali seperti halnya kelinci. Namun kita melihat bahwa, seiring berkembangnya masyarakat, perubahan material mengubah keluarga, yang mengarah ke kecenderungan umum untuk mengurangi angka kelahiran.

Faktor yang melatarbelakangi proses ini banyak sekali: pergeseran dari pertanian ke industri, dan dari desa ke kota; semakin banyak perempuan memasuki angkatan kerja; terbentuknya negara kesejahteraan, termasuk pendidikan umum dan pelayanan kesehatan publik; akses yang lebih luas ke kontrasepsi dan pengetahuan tentang keluarga berencana; perubahan sikap sosial, terutama mengecilnya peran agama; dan semakin banyak pasangan yang tidak mampu membesarkan lebih banyak anak, karena upah rendah dan tingginya biaya pengasuhan anak, sewa rumah, dll.

Terlepas dari penyebab persisnya, hasil keseluruhan di bawah kapitalisme modern jelas: perkembangan kekuatan produktif menyediakan impetus material dan basis bagi keluarga untuk memiliki lebih sedikit anak, dan pada saat yang sama memungkinkan masyarakat untuk menyokong populasi yang lebih besar. Namun kaum Malthusian, yang melihat segala sesuatu dengan murni sepihak, tidak menyadari kenyataan ini.

Demikian juga dengan kaum neo-Malthusian terkemuka seperti Club of Rome – kumpulan akademisi, intelektual, dan organisasi borjuis yang, pada 1972, menerbitkan laporan mengejutkan mereka tentang Limits to Growth.

Para ilmuwan Club of Rome memperbarui gagasan Malthus di era komputer, dengan membuat model perubahan sumber daya dan populasi planet ini. Model mereka memprediksi bencana keruntuhan total ekologi, ekonomi, dan sosial dalam 100-120 tahun.

Tetapi Christofer Freeman dari Universitas Sussex – yang menulis Model Doom – mengkritiknya: “Masuk Malthus; keluar Malthus.”[26] Dengan kata lain, model apa pun akan tergantung input dan asumsinya. Dan penulis Limits to Growth benar-benar terjangkiti prasangka Malthusian, yang sepenuhnya membiaskan prediksi demografis dan lingkungan mereka.

Populasi dan konsumsi diperkirakan akan terus tumbuh secara eksponensial, sementara produksi – khususnya makanan – akan kesulitan untuk mengimbanginya. Sumber daya yang terbatas akan semakin tergerus dengan cepat. Dan jika kelaparan tidak membunuh kita semua, maka polusi pasti akan membunuh kita.

Di atas segalanya, seperti Malthus, para peneliti Club of Rome tidak memiliki perspektif progres. Persamaan mereka tidak memberi ruang untuk lompatan teknologi secara kualitatif; untuk transformasi dalam masyarakat dan ekonomi; untuk perjuangan kelas.

Oleh karena itu, satu-satunya hal yang dapat mereka rekomendasikan hanyalah kebijakan yang ditujukan untuk mencapai pertumbuhan nol. Berbagai ide degrowth hari ini adalah turunan dari gagasan Malthus. Dalam konteks kapitalisme, degrowth sama dengan rezim penghematan permanen.

Namun Club of Rome tidak sepenuhnya keliru. Bila kita terus melakukan hal yang sama, umat manusia akan meluncur menuju krisis ekologi, ekonomi, dan sosial yang mengerikan, yang bahkan dapat mengancam keberlangsungan peradaban itu sendiri.

Kita tidak akan menemukan solusinya dari gagasan Malthus (‘cek positif’, kontrol populasi, atau pembatasan konsumsi). Solusinya adalah kelas pekerja mengambil kekuasaan dan merencanakan produksi secara rasional, demi kepentingan manusia dan planet ini.

Sosialisme atau barbarisme

Kaum Marxis tidak memiliki pandangan moral yang abstrak tentang mana yang lebih baik: populasi yang lebih besar atau lebih kecil; apakah orang harus atau tidak harus memiliki anak.

Yang kami kecam dari kaum Malthusian – baik varietas kanan maupun kiri – adalah pandangan mereka yang menyatakan bahwa rakyat jelata harus mati, menderita, atau standar hidup mereka diserang karena masyarakat tampaknya tidak memiliki sumber daya atau potensi produktif untuk menyediakan kehidupan yang layak bagi seluruh populasi dunia.

Segala macam penghalang mencegah mayoritas rakyat dari memiliki kendali sejati atas hidup mereka. Di satu sisi, Mahkamah Agung AS, dan banyak negeri lainnya, telah merampas hak jutaan perempuan untuk memilih tidak memiliki anak. Di sisi lain, kapitalisme melucuti jutaan perempuan dan laki-laki dari kemampuan untuk memilih memiliki anak karena ketiadaan daycare (layanan pengasuhan anak) dan perumahan yang terjangkau.

Kaum Marxis ingin menghancurkan semua rintangan ini, menjamin hak reproduksi dan kebebasan demokrasi dasar lainnya kepada perempuan, dan secara demokratis merencanakan ekonomi untuk menyediakan perumahan yang layak, layanan publik dan pensiun yang didanai penuh, dan fasilitas perawatan anak dan perawatan lansia gratis yang disosialisasikan untuk semua.

Untuk mencapai hal ini, kita memerlukan revolusi: untuk menggantikan hukum produksi kapitalis dan kepemilikan pribadi yang anarkis dengan hukum ekonomi baru yang didasarkan pada perencanaan sosialis yang rasional, kepemilikan bersama, dan kontrol buruh. Seperti yang dijelaskan Engels:

“Apa yang disebut 'perjuangan untuk eksistensi' mengambil bentuk: melindungi produk dan kekuatan produktif yang diproduksi oleh masyarakat kapitalis borjuis dari dampak destruktif tatanan sosial kapitalis, dengan mengambil kendali atas produksi dan distribusi sosial dari tangan kelas penguasa kapitalis, yang sudah tidak lagi mampu memenuhi fungsi ini, dan memindahkannya ke rakyat yang bekerja – dan inilah revolusi sosialis.”[27]

Hanya dengan demikian kita dapat menghindari krisis eksistensial yang dihadapi umat manusia. Satu-satunya pilihan yang kita hadapi adalah sosialisme atau barbarisme.

 

[1] Malthus, Thomas. An Essay on the Principle of Population. Penguin Books, 1985. hal. 72.

[2] Malthus 72.

[3] Malthus 249.

[4] Engels, Frederick. The condition of the working class in England. Oxford University Press, 1993. hal. 289.

[5] Marx and Engels on Malthus. Lawrence and Wishart, 1953. hal. 67.

[6] Engels, Frederick. “Outlines of a Critique of Political Economy.” Marx and Engels Collected Works, Vol. 3, Lawrence and Wishart, 1975, hal. 440.

[7] ibid.

[8] Engels, Frederick. “Dialectics of Nature”. Marx and Engels Collected Works, Vol. 25, Lawrence and Wishart, 1987, hal 584.

[9] Marx and Engels on Malthus, p. 174.

[10] Marx, Karl. Grundrisse. Penguin Books, 1973. hal. 606.

[11] Marx, Karl. Capital, Vol 1, Bahribook, 2017. hal. 876.

[12] Marx, Capital, hal. 876.

[13] Marx, Capital, hal. 876.

[14] Marx and Engels on Malthus, hal. 81.

[15] Marx, Capital, hal. 876

[16] Marx and Engels on Malthus, hal. 82.

[17] Engels “Outlines of a Critique of Political Economy.” MECW, Vol. 3, hal. 438.

[18] Marx and Engels on Malthus, hal. 123.

[19] Marx and Engels on Malthus, hal. 118.

[20] Marx, Karl. Theories of Surplus Value, Vol. 3. Laurence and Wishart, 1972. hal. 22.

[21] Marx, Theories of Surplus Value, Vol. 3, hal. 22.

[22] Marx and Engels. Manifesto Komunis.

[23] Marx, Theories of Surplus Value, Vol. 3, hal. 57.

[24] Magnus, George. The Age of Aging. John Wiley and Sons, 2009. hal. xix-xx

[25] “Elderly populations mean more government spending.” The Economist. 5 October 2022.

[26] Neurath, Paul. From Malthus to the Club of Rome and Back. M.E. Sharpe, 1994. hal. 96.

[27] Engels. “Dialectics of Nature”. MECW, Vol. 25, hal. 584.