Peristiwa tragis kembali terjadi menimpa kaum buruh di Langkat, Sumatra Utara. Pada hari Jumat (21/6) kebakaran pabrik macis (korek api gas) menyebabkan 30 orang meninggal dunia, 3 di antaranya anak-anak. Bila dihitung, hampir semua buruh yang bekerja di pabrik ini meninggal dalam satu kejadian.
Menurut keterangan saksi, “apinya menyambar ke tangan kiri saksi sehingga saksi melempar mancis yang terbakar ke atas meja, yang di atasnya terdapat sisa korek gas yang tidak terisi penuh minyak atau gasnya. Sisa korek di atas meja tersebut pun terbakar dan api menyambar ke ruangan yang lain. Saksi Nur Asiyah berusaha memadamkan api dengan tabung pemadam api yang ada di dinding ruangan tersebut, namun api tidak berhasil dipadamkan” kata Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo.
Apa yang membuat banyak korban yang meninggal adalah kondisi pintu ditutup dan jendela pabrik dibeton sehingga korban tidak bisa menyelamatkan diri. Ini dilakukan pemilik pabrik untuk menghindari pemeriksaan karena pabrik beroperasi secara ilegal. Pabrik ini merupakan rumah kontrakan yang dijadikan industri rumahan (home industry) perakitan pemasangan kepala mancis gas. Semua terkuak setelah peristiwa ini dimana sebagian besar pekerja tidak dilengkapi dengan Alat Pelindung Diri.
Bekerja dengan gas yang mudah terbakar memerlukan ventilasi dan pintu darurat yang cukup. Kebocoran gas yang terakumulasi bisa menyebabkan ledakan. Pemilik pabrik tentu sudah mengetahui risiko pekerjaan ini, apalagi di tempat kejadian sering terjadi ledakan-ledakan kecil. Namun semua ini diabaikan karena jelas akan memangkas profit majikan.
Sejak lama fenomena industri rumahan menjamur di wilayah-wilayah pedesaan. Kebanyakan dari mereka yang bekerja adalah ibu-ibu rumah tangga yang tidak memiliki skill. Mereka terpaksa menerima upah yang kecil demi menghidupi keluarga mereka. Bila di kota para majikan ini tidak mampu membayar upah buruh sesuai standar, maka para majikan ini sering lari ke desa untuk mendapatkan buruh-buruh murah.
Kondisi buruh yang bekerja di pabrik macis ini tidak lebih baik. Selain bekerja di tempat berbahaya, pekerja menerima upah yang tidak sebanding dengan risiko kerja mereka. Bekerja dengan sistem borongan mereka maksimal bisa menerima 36 ribu per hari. Bila diakumulasikan tiap bulan, gaji mereka kurang lebih 1 juta per bulan. Upah ini jauh dari UMK yang ditetapkan oleh kabupaten setempat sebesar Rp.2.498.377. Bekerja dengan kondisi lingkungan berbahaya jelas memberikan nyawa gratis pada kecelakaan kerja.
Atas nama laba kaum buruh harus meregang nyawa demi majikan. Baik pemerintah, Disnaker, dan birokrat-birokrat ‘gemuk’ serikat buruh tidak ada bedanya. Kerja keras penuh risiko tidak ada artinya bagi mereka. Mereka tidak peduli anak-anak menjadi yatim piatu, istri menjadi janda atau orang tua kehilangan tulang punggung keluarga. Mereka hanya bisa duduk di ruang-ruang AC seminar, membicarakan ini itu mengenai keselamatan kerja tapi tidak ada aplikasi praktis di dunia nyata.
Nyawa-nyawa buruh terus berjatuhan sembari mulut-mulut kelas penguasa penuh makanan. Mereka lupa bahwa lampu-lampu, semua rumah, pabrik, kantor, pasar dan istana-istana negara itu berasal dari keringat, darah dan air mata buruh. Inilah wajah kapitalisme dimana atas nama keuntungan, kegelapan kematian ditutupi. Seperti apa yang Marx katakan: “Jika uang datang ke dunia dengan noda darah bawaan pada satu pipi, maka kapitalisme mengalir dari kepala ke ujung, dari setiap pori, dengan darah dan kotoran.” Yah, Kapitalisme adalah akar dari setiap kecelakaan yang mengorbankan nyawa kaum buruh!