Demonstrasi besar telah mengguncang Thailand untuk pertama kalinya sejak kudeta militer 2014. Selama berhari-hari pada pertengahan Agustus kemarin, ribuan massa turun ke jalan dan memobilisasi di seputar tuntutan reformasi monarki. Gerakan ini terus berlanjut sampai sekarang, meskipun sempat surut dalam beberapa minggu terakhir karena pembatasan yang diterapkan pemerintahan Thailand.
Kali ini demonstrasi jauh lebih besar. Pada hari Sabtu (19/09) kemarin, sekitar 20 ribu orang turun ke jalan-jalan utama kota Bangkok. Teriakan “Akhiri kediktatoran! Hancurkan feodalisme! Hidup demokrasi” diteriakkan begitu mudah oleh para demonstran. Ini adalah sesuatu yang baru dalam beberapa tahun terakhir semenjak junta royalis merebut kekuasaan.
Demonstrasi ini menggugat peran monarki secara terbuka, suatu hal yang tabu dalam perpolitikan Thailand. Bukan untuk pertama kalinya demonstrasi demi demonstrasi diluncurkan oleh rakyat Thailand, tapi kali ini gerakan dimulai oleh pelajar sekolah menengah dan mahasiswa. Sambil mengacungkan tiga jari — sebuah simbol yang diambil dari film Hunger Games — demonstrasi ini membawa pesan anti kediktatoran.
Anak-anak muda ini, yang tidak memiliki rasa takut, menantang monarki yang dilindungi hukum Lese Majeste, yang bisa memenjarakan seseorang sampai 15 tahun bila mengkritik monarki. Penggunaan hukum ini semakin meningkat sejak junta royalis Prayut Chan-o-cha merebut kursi perdana menteri pada 2014. Setidaknya ada 100 orang didakwa dengan hukum ini. Semua ini menjadi ancaman bagi rakyat Thailand yang ingin menyuarakan ketidakpuasan mereka.
Monarki yang membusuk
Mereka yang beroposisi terancam. Satu per satu mereka dipenjarakan, dihilangkan dan dibunuh. Pada 2017, seorang pemuda dihukum 35 tahun penjara karena memposting di Facebook kata-kata yang dianggap menghina keluarga kerajaan. Pemuda ini dijatuhi 7 dakwaan, dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara untuk setiap dakwaan. Tapi karena tekanan publik, akhirnya pemuda tersebut dijatuhi hukuman separuh dari yang seharusnya dijalani. Kebanyakan tersangka dakwaan hukum Lese Majeste jarang dibebaskan atau mendapat remisi. Ini menjadi hukum mematikan bagi oposisi di Thailand.
Tidak hanya itu, pada akhir 2018, tiga tokoh oposisi yaitu: Surachai, Puchana, dan Kasalong yang dalam pengasingan di Laos, hilang. Sementara Puchana dan Kasalong ditemukan dalam keadaan tewas mengenaskan di tepi sungai Mekong, dengan isi perut dicor beton, Surachai sendiri hilang tidak ditemukan bekasnya. Surachai merupakan mantan anggota Partai Komunis Thailand yang terlibat aktif dalam gerakan menentang monarki. Meskipun pihak militer Thailand menyangkal keterlibatan mereka, tapi sulit mempercayai ini.
Tokoh oposisi ini sangat vokal dalam mengkritik monarki. Meskipun tinggal di pengasingan mereka masih terus mengkritik monarki. Takut suara di pengasingan ini bisa memprovokasi pemberontakan di dalam negeri, maka rezim Thailand bekerja sama dengan pemerintahan Laos membantu melakukan pekerjaan kotor ini.
Meskipun kasus ini berusaha ditutup-tutupi, pemerintah tidak bisa menyembunyikan tangan berlumuran darahnya dari mata semua orang. Monarki Thailand merasa takut setiap saat ada gelombang ketidakpuasan dan oposisi. Kerasnya represi dan teror sebenarnya mencerminkan kelemahan monarki daripada kekuatannya. Ini menunjukkan monarki telah kehilangan kendali mereka atas rakyat Thailand. Inilah yang tidak bisa ditutupi oleh monarki.
Satu hal lain yang tidak kalah menjijikkan adalah kehidupan sang Raja Vajiralongkron yang dipenuhi banyak skandal. Seperti monarki di manapun, kehidupannya selalu diwarnai oleh banyak perempuan di sekelilingnya. Istri pertamanya adalah sepupunya sendiri. Dia memiliki banyak selir selain keempat istri sebenarnya. Dia tidak lebih seperti seorang playboy yang naik takhta. Meskipun di Thailand poligami jelas dilarang selama 100 tahun terakhir, tampaknya bagi raja ini adalah pengecualian. Dia memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Memperistri perempuan yang berasal dari luar keluarga kerajaan telah memicu banyak intrik istana karena dianggap memalukan. Tapi skandal terakhir ini menegaskan bahwa kekuasaan Vajiralongkron melampaui intrik istana.
Semua sifat buruk yang ada pada Raja Vajiralongkron tampak asing bagi rakyat Thailand. Tidak seperti ayahnya yang pergi ke desa-desa bertemu dengan rakyat kecil dan memberikan citra kebaikan bagi monarki, Vajiralongkron tidak melakukan itu. Sebaliknya, semenjak naik takhta pada akhir 2016, Raja Vajiralongkron dengan cepat memusatkan kekuasaan. Tiga saudaranya dikirim ke penjara karena dituduh melakukan kejahatan terhadap monarki. Pamannya, seorang polisi berpangkat tinggi, dihukum penjara karena dituduh menjalankan bisnis curang.
Perubahan konstitusi memberi dia kekuatan darurat dan mengizinkannya untuk memerintah bahkan dari luar negeri. Dia mengendalikan sekitar 43 milyar dolar aset keluarga kerajaan yang selama beberapa dekade telah dipercayakan kepada Biro Properti Kerajaan. Dia juga mengatur agar unit tentara melapor langsung kepadanya. Kekuasaan tidak terkendali di bawah raja baru ini membuat dukungan rakyat terhadap monarki semakin tergerus.
Dalam masyarakat Thailand, sosok raja merupakan penjaga moralitas, agama dan kebajikan yang sangat penting. Tetapi skandal baru-baru ini, dimana Sang Maha Raja Vajiralongkron melarikan diri bersama 20 gundik istana ke sebuah hotel bintang empat di Pegunungan Alpen selama wabah korona, membuat jurang antara monarki dan kehidupan rakyat semakin tajam. Sementara rakyat Thailand menderita karena korona, sang raja menghabiskan jutaan dolar di pegunungan bersama selir-selirnya. Semua ini dengan cepat mengungkapkan semua kebusukan rezim. Ini menjadi jerami terakhir yang membakar seluruh kemarahan rakyat Thailand.
Skandal demi skandal selalu menyertai hidup Raja Vajiralongkron. Setiap tindakan dari sang raja yang terkenal dengan gundik dan tato palsu merupakan gambaran dari monarki yang sedang membusuk. Bersama itu semua, otoritarianisme serta semua sifat buruknya yang terungkap akhir-akhir ini merupakan cerminan dari kebangkrutan total monarki Thailand.
Tumbuhnya kekecewaan
Setiap tahun masyarakat Thailand memperingati monarki sebagai sesuatu yang suci. Orang tua, laki-laki, perempuan serta anak-anak muda diajarkan tunduk. Tapi semua kondisi telah berubah. Dalam bahasa dialektika, kuantitas telah berubah menjadi kualitas. Semua kemarahan yang selama ini terpendam meluap ke permukaan. Ini pergeseran seismik yang mengguncang perpolitikan Thailand.
Semua sudah tidak tertahankan sekarang. Bertahun-tahun rakyat Thailand hidup dalam kondisi yang buruk. Antara 2015 dan 2018, angka kemiskinan di Thailand meningkat dari 7,2 persen menjadi 9,8 persen. Kaum muda menderita jauh lebih buruk dari ini. Pada tahun 2018, jumlah sarjana menganggur sebesar 17 persen dan 4,7 persen dari kaum muda lainnya tidak mengenyam pendidikan universitas. Wakil Menteri Pendidikan Thailand, Udom Kachinthorn, memprediksi bahwa pada tahun 2030 mendatang 72 persen kaum muda lulusan universitas berisiko menganggur atau bekerja di luar bidang pendidikan yang mereka tempuh. Mengomentari ini, Thaksin, bekas perdana menteri Thailand mengatakan “Anak-anak [muda] ini tidak melihat sebuah masa depan, karena Thailand sekarang sudah ketinggalan zaman”.
Selain monarki yang sedang membusuk, kita menyaksikan pertunjukan ketimpangan kekayaan yang ugal-ugalan. Thailand merupakan negara dengan tingkat kesenjangan yang buruk. 1 persen populasi terkaya memiliki 67 persen kekayaan Thailand. Mereka bisa menghabiskan jutaan dolar dalam sehari: membeli tas mahal, baju serta pakaian yang tidak kalah mewah. Tontonan vulgar ini menjadi konsumsi pengganti rakyat pekerja Thailand yang hanya hidup 2 dolar per hari. Selain itu, generasi muda yang lahir tahun 1990an memiliki memori 2 krisis dan 2 kudeta militer serta berbagai perubahan konstitusi yang begitu banyak jumlahnya. Bersama kemiskinan, pandemi dan keimpotenan monarki, semua kondisi ini menciptakan badai yang sempurna.
Jalan ke depan
Gerakan kaum muda ini telah melampaui generasi sebelumnya, baik secara psikologi maupun politik. Kendati dengan segala kelemahan dan spontanitasnya yang menjadi ciri awal gerakan yang baru tumbuh, gerakan ini telah menarik lapisan sosial lain. Gerakan ini mengklaim tidak memiliki pemimpin. Tapi ini sepenuhnya tidak benar. Mereka memiliki pemimpin mereka sendiri, meskipun sebenarnya pemimpin ini tidak dipersiapkan sebelumnya. Pemimpin gerakan ini akan terus diuji oleh bara api perjuangan. Semakin gerakan ini menarik lapisan terluas rakyat tertindas Thailand, maka gerakan ini dituntut mencapai kesimpulan revolusioner.
Bila kita melihat potensi yang ada, Thailand memiliki semua yang dibutuhkan untuk menggulingkan monarki secara keseluruhan. Semua lapisan tertindas telah muak dengan monarki. Twit satu juta kali “Mengapa kita membutuhkan raja?” telah menunjukkan elan revolusioner ini. Gerakan yang awalnya menentang monarki akan mengajukan pertanyaan kekuasaan: apakah mungkin membatasi peran monarki tanpa menggulingkannya? Jelas, tidak! Pencapaian demokrasi sejati tidak mungkin tanpa menggulingkan monarki. Monarki Thailand bukan simbol masa lalu yang tidak penting, melainkan sumber reaksi, kekuasaan, kekayaan, dan privilese, sebuah titik persatuan bagi semua kekuatan konter revolusi. Orang-orang terkaya di Thailand ada di belakang kekuasan saat ini. Ia harus disapu bila gerakan ini ingin maju. Seiring gerakan ini terus berlanjut, maka ia harus mencapai kesimpulan akhir yakni penggulingan monarki dengan segala yang menopangnya saat ini: kapitalisme.
Perjuangan menggulingkan monarki hanya bisa diraih dengan tuntutan demokrasi yang paling maju. Sejarah suksesi dari satu kudeta ke kudeta lain di Thailand membuktikan hal ini. Thailand memiliki tradisi panjang perjuangan buruh dan tani yang luar biasa. Pemogokan umum bisa dengan mudah menggulingkan pemerintahan saat ini. Satu-satunya jaminan kemenangan gerakan ini adalah bersandar pada kelas buruh yang bersekutu dengan tani dan kaum miskin kota. Revolusi Thailand selanjutnya akan membutuhkan partai dan program Marxis revolusioner. Benih-benih masa depan revolusi telah hadir di Thailand, yang dibutuhkan sekarang adalah mempersiapkannya. Inilah satu-satunya jalan yang bisa menarik tali simpul kematian yang terikat di leher monarki dan kapitalisme di Thailand.