Pada 8 Juli kemarin, guru-guru honorer yang baru saja dipecat oleh pemerintah melakukan aksi demonstrasi di depan kementerian pendidikan. Pemerintah dengan segera merepresi aksi ini dan menangkap 25 demonstran guru tersebut. Insiden ini menggarisbawahi problem serius dalam pendidikan di Timor Leste.
“Pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara dan tugas pemerintah adalah untuk membiayainya guna memenuhi hak dasar bagi setiap warga negara tersebut.” Slogan ini sering kita dengar dari kelas penguasa ketika mereka berdebat atau meributkan soal pentingnya pendidikan bagi anak bangsa. Namun kita juga patut bertanya: apa yang sudah mereka perbuat dan sejauh mana keseriusan mereka dalam memberantas buta huruf dan memenuhi hak dasar pendidikan bagi setiap warganya? Pemerintah tampak lebih serius menangkapi guru-guru yang berjuang demi pendidikan.
Sejak memisahkan diri dari Indonesia, selain masalah kemiskinan, malnutrisi, dan pengangguran, salah satu masalah utama di negara tersebut adalah ketidakseriusan pemerintah dalam menangani pendidikan. Ini tercermin dalam APBN 2024 yang hanya menganggarkan 10% untuk sektor pendidikan, yang bahkan tidak mendekati standar internasional. Terdapat lebih dari 36 ribu anak muda 15-20 tahun yang teridentifikasi buta huruf dan tidak bisa menulis sama sekali. Ini artinya pemerintahan Xanana saat ini tidak benar-benar serius dalam mengatasi masalah buta huruf dan mengembangkan kualitas pendidikan di Timor-Leste. Sebaliknya, semua pejabat korup dan berkelimpahan harta di tengah-tengah masalah yang seserius ini.
Ada begitu banyak masalah di sektor pendidikan di Timor-Leste: problem infrastruktur, minimnya akses terhadap teknologi, ketiadaan perpustakaan, kekurangan guru, dan nasib guru honorer yang tidak kunjung diperhatikan. Setiap pemerintahan yang bergantian memimpin negara ini tidak pernah bisa menyelesaikan problem-problem mendasar ini. Sudah banyak menteri pendidikan yang bergantian memimpin dari satu periode ke periode lainnya, namun tidak pernah ada kemajuan yang signifikan. Begitu banyak murid, guru dan orang tua yang mengeluh tentang masalah-masalah yang telah disebutkan di atas.
Hingga saat ini, banyak sekolah menghadapi problem infrastruktur, seperti kekurangan kursi dan ruangan belajar. Misalnya seorang guru dari Pulau Atauro yang mengajar di EBF Beloi Bernama, lewat koran Timor-Post menyampaikan bahwa EBF Beloi kekurangan kursi dan meja dan ruangan kelas, sehingga para murid harus terbagi dua. Ada yang masuk pagi dan ada yang masuk siang, dan ini sangat mempengaruhi proses pembelajaran. Di tempat lain, di Dili, seorang koordinator pusat pembelajaran dan pelatihan sekolah (KAFE) Timor-Leste mengatakan bahwa sekolah CAFE memiliki lebih dari 1.300 murid tetapi hanya memiliki 12 ruangan kelas sehingga tidak cukup untuk menampung para murid. Mereka terpaksa meminjam ruangan dari sekolah lain.
Masalah buruknya infrastruktur dan tidak meratanya infrastruktur ini bukan hanya menimpa beberapa tempat yang telah disebutkan di atas, tetapi secara umum hampir di semua Timor-Leste. Semisal, lewat media Tatoli, seorang guru mengeluh: “Sebagai seorang pengajar, saya akui di seluruh teritori Timor terdapat berbagai masalah. Tetapi pentingnya fasilitas dari pemerintah dan harus seimbang dan setara di seluruh wilayah, mulai dari infrastruktur, pelatihan guru di sekolah negeri maupun swasta, laboratorium, perpustakaan serta kelengkapan buku pedoman bagi guru maupun siswa.”
Pemerintahan Timor-Leste yang saat ini dipimpin oleh Xanana, lewat menteri pendidikannya Dulce de Jejus, telah memecat ribuan guru honorer yang selama ini berdedikasi untuk menopang kekurangan guru. Jasa mereka tidak dihargai dan malah dihina dengan pemecatan masal. Ini sangat berpengaruh buruk. Hampir seluruh sekolah dasar sampai sekolah menengah umum mengalami stagnasi dalam proses pembelajaran siswa.
Meski dedikasi dan tanggung jawab mereka tidak beda jauh dengan guru permanen, upah yang diterima oleh guru honorer tidak seberapa, alias hanya sebatas uang transportasi atau dibayar per jam tanpa tunjangan apapun. Di setiap sekolah yang mereka ajar, kasta para guru honorer bisa dibilang lebih rendah dibandingkan para guru permanen. Namun itu tidak menjadi halangan bagi mereka untuk berdedikasi di tempat mereka mengajar.
Pada dasarnya guru honorer dipekerjakan untuk mengatasi krisis kekurangan guru. Namun bukannya mencari cara untuk mengatasi kekurangan guru, menteri pendidikan malah memerintahkan pemecatan masal. Seorang kepala sekolah EBC farol Dili menyampaikan: “Sejak para guru honorer ini diberhentikan, kami di sekolah EBC farol masih kekurangan guru sampai sekarang.” Sekolah EBC 30 de Agostu Dili juga mengeluhkan hal senada: “Kami membutuhkan guru mengajar 7 orang, karena para guru honorer 7 orang yang mengajar di sini telah diberhentikan dan tidak mengajar lagi dan akhirnya pelajaran yang sebelumnya dibawakan oleh mereka akhirnya vakum.” Pada akhirnya para pelajar yang akan jadi korban. Seorang kepala sekolah dari ESJ 04 de setembru UNAMET Balidi Dili menyampaikan, “Kami meminta kepada menteri pendidikan supaya segera kirim 16 guru supaya proses pembelajaran kami segera berjalan lancar.” Dan masih banyak lagi para guru yang menyampaikan keresahan mereka akibat kekurangan guru di sekolah mereka.
Pendidikan yang seharusnya mencerdaskan, membuat manusia berpikir secara rasional, kritis dan membangun seutuhnya, malah ditempatkan di nomor sekian dan tidak diprioritaskan. Ini bukan suatu kebetulan. Kelas penguasa bisa menyekolahkan anak cucu mereka di sekolah-sekolah pribadi yang mahal, sementara rakyat jelata disekolahkan di sekolah publik yang kualitasnya rendah. Kelas penguasa mempertahankan kekuasaan politik dan ekonomi mereka dengan memonopoli pengetahuan, sementara rakyat pekerja dibodohkan. Oleh karena itu, selama kita masih hidup di bawah sistem kapitalisme yang hanya mementingkan profit ketimbang pembangunan sumber daya manusia, akan sulit untuk kita bicara tentang peradaban manusia yang lebih jauh lagi. Oleh karenanya sistim kapitalisme ini harus digulingkan dan digantikan dengan sosialisme, sehingga semua sumber daya alam yang ada digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk digunakan untuk kepentingan segelintir orang. Kekayaan yang ada dapat digunakan untuk melahirkan Einstein-Einstein yang baru, dan ini hanya bisa dicapai lewat sosialisme.