Idul Fitri 17 Juli 2015 di Tolikara, Papua, ternoda. Toleransi dicemari, hak asasi manusia dilangkahi. Tetapi yang paling mengkhawatirkan di atas semuanya, rakyat pekerja, yang semestinya bersatu untuk melawan penindas mereka, yakni kapitalis serta aparat pemerintahan mereka, terpecah belah dalam garis agama dan ras. Umat Islam yang sedang melaksanakan Salat Id didatangi oleh anggota-anggota muda jemaat GIDI (Gereja Injili Di Indonesia), untuk menyampaikan keberatan mereka mengenai digunakannya pengeras suara selama ibadah. Kejadian berikutnya, yang simpang siur tetapi setidaknya bisa kita katakan dengan cukup pasti di sini: terjadi bentrokan dan aparat melepaskan tembakan ke kerumunan, sekian banyak kios dan rumah terbakar, dan bahkan masjid pun terbakar sebagai akibatnya. Dalam bentrok dengan aparat 12 orang tertembak, salah seorang di antaranya yang berumur 15 tahun meninggal dunia.
Sekali di-blow up di media sosial, reaksinya sudah bisa dibayangkan. Ada kemarahan, dari caci-maki hingga seruan untuk melakukan pembalasan. Ada ungkapan penyesalan, permohonan maaf, dan seruan agar insiden tersebut diusut tuntas. Kedengaran juga suara-suara yang saling menyalahkan. Upaya-upaya untuk meredam konflik segera dilakukan.
Soal agama terbilang sangat sensitif. Tidak terkecuali di sebuah negeri yang berbingkai negara-bangsa yang bernama NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meski dikenal sebagai negeri yang berhasil mengembangkan toleransi antarumat beragama, “sedikit” gesekan bisa menyulut konflik yang berakibat fatal. Kerusuhan Ambon, Halmahera, dan Poso misalnya.
Persoalannya kompleks. Bagi banyak orang di negeri ini, agama adalah acuan final pemaknaan hidup. Selain itu, agama juga penanda jati diri. Coraknya tidak semata individual, tetapi komunal. Saya Kristen, saya bagian dari umat Kristen. Saya Muslim, saya bagian dari umat Islam.
Keterasingan (alineasi), yaitu suatu keadaan di mana manusia tidak bisa beraktualisasi optimal guna menjadi dirinya sendiri, diyakini bisa dijawab dengan agama, yang tak lain dari suatu institusionalisasi sosio-kultural dari keterarahan transendental manusia. Persoalannya, agama itu sendiri problematis. Ia ambivalen, di mana unsur-unsur yang mengukuhkan alienasi berdampingan, bila tidak dikatakan bercampuraduk, dengan unsur-unsur yang membebaskan.
Ambivalensi ini terkait secara langsung dengan wujud agama sebagai institusionalisasi sosio-kultural dari keterarahan transendetal itu sendiri. Keterarahan transendental (yang tidak mesti dipandang bercorak teistik) menyangkut aspirasi manusia untuk beralih dari being-in-itself menjadi being-for-itself, dari keberadaan yang terkungkung oleh berbagai keterbatasan (bahkan penindasan, penghisapan, dan marjinalisasi) kepada keberadaan di mana ia bisa mengaktualisasikan dirinya secara optimal, menjadi “manusia seutuhnya.” Dengan kata lain, keterarahan transendetal menuntut manusia untuk membebaskan diri dari alienasi.
Namun, karena dilakoni dalam konteks sosio-kultural, yang kendati berbeda-beda namun berasaskan modus produksi yang membelah manusia ke dalam kelas-kelas serta menstrukturkan hubungan antarmanusia berdasarkan hal itu, dalam kata lain sistem yang kita kenal hari ini sebagai kapitalisme, keterarahan transendetal itu mengalami kooptasi, domestifikasi (penjinakan), dan distorsi. Tak heran bila dalam sejarah kita melihat agama-agama berfungsi sebagai pemberi legitimasi dan justifikasi bahkan menjadi alat penindasan. Pemilik budas vis-a-vis budak, kaum feodal vis-a-vis tani sahaya, kapitalis vis-a-vis kaum buruh, dan di dalam itu semua, perempuan ditundukkan di bawah laki-laki.
Dalam perkembangannya, selalu ada perjuangan internal agama-agama. Kaum konservatif kontra kaum progresif. Kaum konservatif bersiteguh menjadikan agama sebagai acuan final pemaknaan hidup sekaligus penanda jati diri personal-komunal. Klaim-klaim kebenaran yang bercorak eksklusivistik tak terhindarkan. Kebenaran hanya ada di sini, tidak ada di sana. Kritis kepada yang di sana, tetapi percaya buta kepada yang di sini. Kasihan yang di sana, tidak selamat seperti yang di sini. Atau, ketika konservatisme beralih menjadi fundamentalisme, yang di sana itu musuh tuhan, dan oleh karena itu musuh kita juga. Setelah mati mereka layak dibuang ke neraka, dan semasa di bumi wajib kita perangi. Demikianlah, alienasi justru dikukuhkan.
Di lain pihak, kaum progresif, yang kemudian sering dilabel sebagai kaum liberal, berusaha “membuang abu sekaligus mewarisi dan meneruskan api” agama. Bagi mereka, keterarahan transental manusia adalah yang utama. Mendukung, menginspirasi, dan memfasilitasi keterarahan transendental adalah nilai hakiki agama. Bentukan-bentukan sosio-kultural yang mengkooptasi, mendomestikasi, dan mendistorsi keterarahan transendental harus dibongkar, disisihkan, atau didemitologisasikan. Mereka berani mengkritisi agama mereka sendiri (sebagai institusionalisasi sosio-kultural), sekaligus berani mengapresiasi agama lain (karena keterarahan transendentalnya). Karena itu mereka terbuka untuk berdialog dan bekerja dengan penganut agama lain (yang biasanya juga sama-sama liberal) demi proyek kemanusiaan yang membebaskan.
Konservatisme, dengan kelekatannya pada ide tentang agama sebagai acuan final pemaknaan hidup dan penanda jati diri, semakin bercorak menindas (dan dengan demikian makin mengukuhkan alienasi) bila berkedudukan sebagai mayoritas dalam masyarakat. Entah dalam masyarakat homogen secara religius-formal (masyarakat dengan satu agama), atau dalam masyarakat yang heterogen (masyarakat dengan lebih dari satu agama). Klaim kebenaran yang mutlak dan eksklusif diberi “asupan kekuasaan” dari keunggulan jumlah. Yang lain dianggap salah, dan seharusnya ditiadakan (entah via upaya mempertobatkan [gaya konservatif], atau dibinasakan/diperangi [gaya fundamentalis]). Lebih-lebih yang dianggap sebagai rival! Jadilah tirani mayoritas. Ya, mayoritas yang teralienasi. Dalam insiden Tolikara kita melihat salah satu ekspresi dari tirani mayoritas ini, yakni tirani mayoritas Kristen konservatif atas minoritas Muslim. Tirani mayoritas Kristen konservatif ini juga dialami oleh aliran-aliran Kristen lain yang tidak diizinkan berkembang di sana.
Lebih berbahaya lagi bila konservatisme yang sudah mendapatkan “asupan kekuasaan” via mayoritas itu tumbuh dalam masyarakat yang secara ekonomi-politik tertindas: kemiskinan yang parah, kelas penguasa yang korup, sistem ekonomi yang memperkaya segelintir orang dan memelaratkan sebagian terbesar warga masyarakat, serta tidak berdayanya hukum untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Aspirasi pembebasan dikooptasi, dijinakkan, dan distorsi oleh konservatisme. Dalam konteks masyarakat Tolikara, GIDI yang berhaluan konservatif itu bergandeng tangan dengan penguasa lokal dan berperan sebagai pemandu spiritual bagi mayoritas Kristen di sana. Lengkaplah sudah: Konstantinianisme mini atau Corpus Christianum kecil.
Di sisi lain, kaum progresif (“ekumenis”) di kalangan umat Kristen di Indonesia (yang lazimnya terwakili oleh PGI, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), tidak cukup berani untuk berterus terang apa-adanya kepada pemerintah dan masyarakat tentang persoalan bangsa Papua pada umumnya, dan masyarakat Tolikara pada khususnya. Mereka tahu apa yang sudah berlangsung sekian lama hingga kini di Papua, yakni suatu bangsa yang mendapati diri beralih dari kekuasaan negara yang satu (Negeri Belanda) ke negara yang lain (NKRI) tanpa pernah merasa membuat keputusan untuk peralihan itu. Mereka juga tahu eksploitasi dan penindasan yang dialami bangsa dan alam Papua sejak mereka hidup di bawah naungan NKRI. Mereka tentu juga tidak bisa dikatakan sama sekali tidak mengerti tentang apa yang terjadi di balik Insiden Tolikara itu.
Tapi, bisakah kita berharap lebih banyak dari kaum progresif Kristen ini? Tidak. Kebanyakan dari mereka adalah elit-borjuis kecil yang di satu sisi berbasis gereja-gereja yang ditopang oleh para kapitalis Kristen dan di sisi lain selalu berusaha memposisikan diri dalam hubungan yang selaras dengan negara. Elit borjuis kecil tidak sama dengan intelektual organik. Lapisan kelasnya sama, tapi perspektif kelasnya lain. Sementara para intelektual organik kebanyakan terdiri dari borjuis kecil yang melakukan “bunuh diri kelas” (istilah Marxis Almircar Cabral), para elit borjuis kecil senang bicara kritis sejauh tidak mengancam privilese-privilese yang mereka peroleh sebagai produsen ideologis untuk melestarikan kapitalisme. Akibatnya, elan progresif agama, yakni keterarahan trasendental ibarat burung yang patah sebelah sayapnya.
Lantas bagaimana?
Rakyat Papua, termasuk masyarakat Kristen Tolikara, membutuhkan perspektif baru. Demikian juga umat Islam. Tapi lebih-lebih: rakyat pekerja Tolikara, Papua, dan Indonesia. Persoalannya, pertama, adalah agama yang terkooptasi, terdomestikasi, dan terdistorsi; kedua, kelas penguasa yang korup dan berseberangan dengan aspirasi sejati mereka: pembebasan.
Seturut dengan itu, perjuangan yang layak dikobarkan bukanlah perjuangan berdasarkan garis agama (Islam versus Kristen), bukan pula berdasarkan garis rasial (pribumi Papua versus pendatang). Perjuangan-perjuangan berdasarkan garis rasial dan garis agama hanya akan merugikan rakyat pekerja dan menguntungkan kelas penguasa. Berjuanglah menurut garis perjuangan yang tepat, yakni perjuangan kelas. Itulah perjuangan rakyat pekerja yang bersatu dalam kepemimpinan kelas buruh, vis-a-vis kelas penguasa, yang terdiri dari kelas kapitalis, kapitalis-birokrat, dan alat-alat kekerasan yang ada pada mereka. Untuk itu, Papua dan Tolikara membutuhkan kehadiran sebuah organ perjuangan yang memiliki teori, tradisi, dan program yang tepat, yakni “teori dan praksis revolusioner proletariat” berasaskan “pembebasan rakyat pekerja oleh rakyat pekerja itu sendiri.” Tak lain, Marxisme Revolusioner.
Solusi yang dibutuhkan untuk masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, dan pembebasan nasional yang dihadapi oleh rakyat pekerja Papua adalah solusi yang bersifat revolusioner. Yang dibutuhkan bukanlah penyangkalan bahwa ada ketegangan antar agama di Papua, dengan merujuk pada sikap toleransi yang katanya adalah inheren dalam masyarakat Papua dan Indonesia; yang dibutuhkan bukanlah “dialog antar umat” yang munafik dan impoten, yang hanya menutup-nutupi realitas dan pangkal dari ketegangan-ketegangan yang ada, yakni sistem penindasan kapitalisme di Papua yang bersandingan dengan penindasan nasional; yang dibutuhkan bukanlah lagi dan lagi “penyelidikan”, cukup sudah dengan segala penyelidikan dan inquiry guna “mencari aktor intelektual” di balik ledakan ini. Yang dibutuhkan adalah persatuan revolusioner antar kelas pekerja Indonesia dan Papua, persatuan yang berdasarkan pemahaman bersama bahwa pangkal dari semua permasalahan yang ada adalah kapitalisme, sistem ekonomi yang memberikan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi (bank, pabrik, tambang, perkebunan, dsb.) kepada segelintir pemilik modal, dan kebutuhan untuk merenggut seluruh kekuatan ekonomi ini dari tangan mereka dan diserahkan kepada rakyat pekerja untuk dijalankan secara demokratis.
Untuk mencapai persatuan revolusioner ini, tugas terutama dari rakyat pekerja Indonesia adalah memenangkan kepercayaan dari rakyat pekerja Papua yang telah lama tertindas dan tercekik di dalam bingkai kapitalis NKRI. Ini menuntut agar gerakan buruh Indonesia mencantumkan di dalam program perjuangan mereka: pendirian sebuah pemerintahan buruh sosialis yang akan mengakui tanpa syarat hak penentuan nasib sendiri dari rakyat Papua dan semua nasionalitas yang tertindas. Di atas program ini maka kaum buruh Indonesia akan bisa memulai membangun sebuah barisan kelas yang rapat dengan rakyat pekerja Papua, dan menghancurkan semua sekat-sekat agama, ras, dan etnik yang mengkotak-kotakkan mereka.
Postcriptum
Di Militan, kami berasal dari berbagai latar belakang. Kebanyakan di antara kami beragama Islam. Ada juga yang Kristen. Ada yang religius, ada yang non-religius. Tapi perdebatan soal agama bagi kami sudah selesai. Kami dipersatukan oleh komitmen yang sama, yakni komitmen kepada kelas revolusioner, kelas yang mengemban tugas sejarah dan peradaban, kelas yang akan memimpin kelas dan lapisan-lapisan tertindas lainnya dalam perjuangan mengakhiri sistem supereksploitatif kapitalisme dan menggantikannya dengan sistem yang lebih adil, manusiawi, dan demokratis, Sosialisme. Kelas itu adalah kelas buruh, proletariat. Mari, bergabunglah dengan kami untuk membangun Sosialisme sedunia. ***