Ini adalah bagian ketiga dari tiga artikel yang membahas perspektif dunia di bawah kepresidenan Trump yang kedua. Bagian pertama membahas bagaimana kepresidenan Trump memicu gejolak dalam hubungan internasional. Bagian kedua memaparkan hubungan imperialisme AS di Timur Tengah dan Ukraina, dan bagian ketiga mengenai krisis imperialisme Eropa.
Cara Trump berbicara blak-blakan tentang kepentingan imperialisme AS, tanpa basa-basi atau pura-pura, berdampak besar pada kesadaran banyak orang. Sekarang, semakin banyak orang yang melihat bagaimana dunia sebenarnya berjalan dan bagaimana imperialisme bekerja. Perang di Gaza semakin mempercepat perubahan kesadaran ini.
Kita sudah membahas bagaimana imperialisme AS mulai melemah secara relatif, sementara China dan Rusia sebagai kekuatan imperialis menjadi semakin kuat di kancah dunia. Tapi bukan hanya AS yang mengalami kemunduran—negara-negara imperialis Eropa juga mengalami keterpurukan jangka-panjang, dan sekarang proses ini berjalan semakin cepat. Kami telah menjelaskan ini dalam beberapa artikel, termasuk soal laporan Mario Draghi tentang daya saing Eropa dan krisis di industri mobil Eropa.
Eropa sedang mengalami krisis mendalam dan tidak bisa keluar dari situasi ini. Mereka tidak punya cara untuk menyelesaikannya. Jerman sudah mengalami resesi selama dua tahun, dan beberapa ekonom borjuis memperkirakan krisis ini akan berlanjut hingga 2025. Ini belum pernah terjadi sejak Perang Dunia Kedua.
Krisis ini semakin parah akibat perang di Ukraina dan sanksi Eropa terhadap Rusia. Sanksi itu tidak berhasil melemahkan Rusia, tapi justru merugikan Eropa, terutama Jerman.
Sebagai contoh: produksi industri Jerman turun 7 persen sejak 2021, tetapi di industri yang butuh banyak energi, penurunannya mencapai 20 persen! Jerman paling menderita di Eropa karena mereka sangat bergantung pada energi murah dari Rusia.
Negara-negara lain juga mengalami hal yang sama. Di Inggris, produksi industri sudah lama menurun. Tapi sejak perang di Ukraina, penurunannya semakin parah: produksi manufaktur turun 9 persen sejak 2021, logam turun 35 persen, bahan kimia turun 38 persen, semen turun 39 persen, dan peralatan listrik anjlok 49 persen! Ini benar-benar kehancuran besar.
Selain karena dampak sanksi energi terhadap Rusia, ini merefleksikan proses yang lebih dalam yang dengan jelas dipaparkan oleh Laporan Draghi. Laporan Draghi menjelaskan bahwa Eropa makin tertinggal dari AS dan China dalam persaingan ekonomi. Dalam sistem kapitalisme, laba seharusnya diinvestasikan kembali untuk memajukan teknologi produksi sehingga dapat memproduksi barang dengan lebih efisien.
Meskipun di AS produktivitas tenaga kerja meningkat dalam beberapa tahun terakhir, tapi Eropa malah semakin tertinggal. Laporan Draghi juga menjelaskan bahwa tingkat integrasi ekonomi Eropa tidak cukup kuat untuk bersaing dengan AS dan China, yang punya skala ekonomi dan pasar modal yang masif.
Gagasan awal integrasi Eropa adalah usaha kelas penguasa Eropa untuk bersatu agar tidak jatuh satu per satu. Kendati demikian, perbedaan rejim regulasi, pasar modal yang berbeda-beda di tiap-tiap negara, membuat kapitalis Eropa sulit bekerja sama dalam kebijakan ekonomi bersama. Hanya sedikit yang berhasil, seperti Airbus.
Sekarang, di tengah krisis dan persaingan global yang semakin ketat, Eropa justru semakin terpecah. Dan ke depannya, ini akan semakin buruk.
Contohnya Austria, yang kelas kapitalisnya punya banyak kepentingan bisnis di Rusia, sehingga lebih berpihak ke sana. Sementara negara lain lebih mendukung AS. Akibatnya, kebijakan bersama untuk menghadapi krisis ini sulit terwujud.
Bahkan untuk masalah tarif kendaraan listrik China, mereka tidak bisa sepakat, karena tiap-tiap negara Eropa punya kepentingan berbeda. Mobil listrik China dianggap mengancam industri otomotif Eropa yang mempekerjakan jutaan buruh. Tapi beberapa negara justru ingin menarik investasi China agar pabrik mobil listrik atau baterainya dibangun di negara mereka, bukan di negara lain.
Kebangkitan para Demagog
Krisis multifaset ini merupakan akar kemunculan pelbagai demagog sayap kanan di Eropa. Ini bukan hanya terjadi di Amerika, meskipun kemenangan Trump membuat kelompok sayap kanan di Eropa makin kuat. Tapi sebenarnya, ini sudah ada sejak lama.
Walaupun tiap negara punya ciri khas sendiri — dan tiap-tiap formasi demagog sayap-kanan ini ditentukan oleh karakteristik nasional, sejarah, keunikan nasional yang berbeda-beda — prosesnya secara umum sama, dan penyebabnya juga sama.
Di Jerman, misalnya, partai AfD semakin besar. Mereka bukan hanya menyalahkan imigran, tapi juga memanfaatkan kemarahan rakyat terhadap pemerintah. Banyak orang kesal karena perang di Ukraina dan dampak buruk sanksi terhadap Rusia yang membuat ekonomi Jerman semakin sulit.
Saat pemilu Inggris pada Juli 2024, partai Reform yang dipimpin Farage mulai mendapat dukungan. Sekarang, survei menunjukkan partainya sudah seimbang dengan Partai Buruh, bahkan ada yang menyebut Farage unggul dua poin.
Elon Musk ikut mempercepat proses ini. Seperti gaya Trump, dia menyerang pemimpin Eropa seperti Starmer, Macron, dan Scholz, serta terang-terangan mendukung partai sayap kanan Jerman, AfD, dengan hadir lewat video di kongres nasional mereka.
Musk juga membuat pernyataan yang menggegerkan. Dia minta Raja Charles membubarkan pemerintah Inggris dan menyuruh rakyat melawan Starmer. Katanya, Starmer melindungi pelaku pelecehan anak dan “menutupi kejahatan terbesar dalam sejarah Inggris.”
Jelas, omongannya ngawur. Tapi dia bukan hanya orang kaya pemilik media sosial tetapi dia juga punya posisi resmi di pemerintahan Trump, walaupun di luar struktur negara.
Musk seenaknya menyerang pemimpin Eropa tanpa peduli aturan, sambil menggunakan uang dan media sosialnya buat menyebarkan propaganda.
Kaum liberal dan kiri panik. Mereka ribut soal hoaks di media sosial dan dampak buruk algoritma dalam mempolarisasi masyarakat, serta menuntut aturan lebih ketat.
Jelas, ada banyak berita hoaks di media sosial. Tapi, apakah media tradisional selalu jujur? Tidak! Kita masih ingat kebohongan soal “senjata pemusnah massal” yang dijadikan alasan untuk menyerang Irak.
Kenapa banyak orang sekarang lebih percaya disinformasi media sosial? Karena mereka sudah muak dengan media tradisional yang selama ini membela kepentingan orang kaya dan penguasa. Media-media tradisional ini telah lama berbohong dan membela status quo, dan orang-orang mulai sadar bahwa mereka sudah dibohongi bertahun-tahun.
Sekarang, kaum liberal berteriak bahwa pemilu di Rumania curang karena ada kampanye TikTok yang didanai Rusia, sehingga Georgescu menang. Ini omong kosong! Tidak ada bukti, tapi Mahkamah Agung sudah membatalkan hasil pemilu hanya karena tuduhan ini.
Kalau memang TikTok bisa memengaruhi pemilu, kenapa kaum liberal tidak menjalankan kampanye sendiri di sana? Masalahnya bukan soal media sosial yang digunakan, tapi isi kampanyenya. Georgescu menentang perang di Ukraina, menolak NATO, dan bertanya: kenapa uang kita dihamburkan untuk perang, sementara rakyat Rumania harus merantau ke negara lain karena tidak ada pekerjaan? Pertanyaan ini jelas mewakili suara jutaan rakyat.
Kasus ini membuka mata kita soal siapa kaum liberal sebenarnya. Kalau hasil pemilu tidak sesuai dengan keinginan NATO dan Uni Eropa, mereka akan membatalkannya begitu saja. Padahal mereka selalu bicara soal “demokrasi” dan “hak memilih”, yang katanya terancam oleh kaum demagog sayap-kanan.
Di seluruh Eropa, kita melihat hal yang sama terjadi. Le Pen semakin kuat di Prancis dan bisa saja menjadi presiden. Di Inggris, Farage sekarang lebih populer dari Partai Buruh dan mungkin akan menjadi perdana menteri dengan semacam koalisi dengan Partai Konservatif. Di Austria, FPÖ bisa memimpin partner senior dalam pemerintahan koalisi sayap kanan. Di Jerman, AfD makin besar, entah dengan menarik pemilih partai konservatif atau memecah mereka. Sementara di Italia, Meloni sudah berkuasa.
Selama ini, kita telah mendiskusikan krisis legitimasi demokrasi borjuis, semua lembaganya dan semua partai-partai lamanya. Ini disebabkan oleh krisis kapitalisme, yang terus memburuk sejak 2008. Akibatnya, semakin banyak sentimen anti status-quo, yang sekarang terefleksikan dalam kebangkitan demagog sayap kanan.
Pergeseran dalam Kesadaran
Kebangkitan demagog sayap kanan disebabkan oleh dua hal: mood anti status-quo dan keruntuhan, kegagalan, dan kebangkrutan total apa yang disebut ‘kaum kiri’
Biasanya, kaum ‘kiri’ ini menanggapi situasi yang ada hari ini dengan mengatakan: “Kita semua harus bersatu untuk membela Republik, kita semua harus bersatu untuk membela demokrasi liberal dan kebebasan berbicara.” Namun, respons seperti ini justru respons yang paling parah dan menguntungkan para demagog sayap-kanan. Mereka bisa membalas, “Lihat, mereka semua sama saja. Mereka membela tatanan yang ada.” Dan pada kenyataannya memang demikian. Mereka membela sistem yang menyebabkan hilangnya pekerjaan dan tingginya biaya hidup. Tentu saja para demagog sayap-kanan menambahkan propaganda mereka dengan menyalahkan migran atas masalah-masalah ini.
Pertanyaannya sekarang: apa yang akan terjadi ketika mereka berkuasa? Di Amerika Serikat, Trump sudah berkuasa. Dia membuat banyak janji dan didukung oleh jutaan orang yang percaya bahwa dia sungguh-sungguh akan Membuat Amerika Hebat Lagi.
Apa arti semua ini bagi selapisan besar kaum buruh? Bagi mereka, membuat Amerika hebat lagi berarti memiliki pekerjaan yang layak dengan gaji yang baik. Itu berarti mereka bisa memenuhi kebutuhan tanpa harus memiliki dua atau tiga pekerjaan, atau menjual darah demi bertahan hidup.
Tapi kenyataannya, hal itu tidak akan terjadi. Jutaan orang di Amerika berilusi Trump bisa mengembalikan masa kejayaan ekonomi seperti setelah Perang Dunia II. Namun, hal ini mustahil.
Mereka berharap kebijakan Trump akan membawa perbaikan.
Mungkin dalam jangka pendek, beberapa kebijakan seperti tarif perdagangan bisa mendorong pertumbuhan industri di Amerika dengan merugikan negara lain. Dampaknya bisa terasa sesaat, dan banyak orang mungkin masih memberi Trump kesempatan. Dia juga bisa menyalahkan status quo, atau “deep state”, jika kebijakannya tidak berjalan.
Namun, ketika harapan-harapan ini runtuh dan kenyataan mulai terlihat, akan ada pergeseran besar ke arah kiri. Rasa frustrasi terhadap sistem yang membawa Trump ke kekuasaan akan berubah menjadi gelombang penolakan dari kutub politik yang berlawanan.
Trotsky pernah menulis dalam If America Should Go Communist bahwa karakter orang Amerika adalah “energetik dan meledak-ledak”. Dia menulis, “Dalam tradisi Amerika, perubahan besar selalu dilakukan dengan keberpihakan yang jelas dan kekerasan.”
Kaum buruh Amerika adalah orang-orang yang berpikir praktis dan menginginkan hasil konkret. Mereka tidak ragu untuk bertindak demi mencapai tujuan.
Farrell Dobbs, pemimpin pemogokan besar Teamsters di Minneapolis tahun 1934, awalnya adalah seorang Republikan sebelum akhirnya bergabung dengan gerakan Trotskis. Dalam kisahnya, ia menjelaskan mengapa. Baginya, kaum Trotskis menawarkan solusi paling nyata dan efektif bagi kaum buruh.
Tugas Kaum Sosialis
Kita telah lama membahas bagaimana kesadaran masyarakat, terutama di kalangan pemuda, mengalami perubahan. Bahkan sebelum kita memulai kampanye “Apakah Anda Sosialis?”, sudah ada sekelompok anak muda yang mulai mengambil sikap radikal, dan beberapa di antaranya mengidentifikasi diri sebagai Sosialis.
Namun, kita tidak boleh melebih-lebihkan fenomena ini. Ini masih sebatas kelompok tertentu. Tetapi, jika melihat jumlahnya, cukup banyak anak muda yang mulai menganggap diri mereka sosialis, terutama untuk organisasi kecil seperti kita.
Sebuah survei terbaru di Inggris menunjukkan bahwa 47 persen anak muda setuju dengan pernyataan: “Sistem sosial kita harus diubah secara radikal melalui revolusi.” Ini adalah pernyataan yang cukup tegas, tetapi tetap saja hampir separuh anak muda mendukung gagasan tersebut.
Survei ini juga mengungkap beberapa temuan menarik lainnya. Mayoritas anak muda merasa bahwa yang dibutuhkan adalah pemimpin kuat yang tidak terikat oleh parlemen. Tentu saja ada banyak kebingungan, serta ketidakpercayaan terhadap politisi yang korup. Namun, fakta bahwa hampir separuh anak muda berpikir revolusi diperlukan untuk mengubah sistem politik yang ada menunjukkan perubahan besar dalam kesadaran mereka.
Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, kita hidup di masa yang penuh gejolak. Tampaknya semua kaum kiri terjebak dalam keputusasaan dan pesimisme. Namun, kita tetap optimis. Kita optimis karena kita memahami proses mendasar yang sedang terjadi di masyarakat.
Proses ini akan mengarah ke bentrokan-bentrokan besar dalam perjuangan kelas. Pemerintah sekarang kesulitan menjalankan kebijakan yang diinginkan para pemilik modal untuk mengatasi krisis. Mereka tidak bisa lagi mendapatkan mayoritas di parlemen untuk memotong anggaran sosial lebih jauh lagi, karena setiap partai yang mendukungnya pasti akan kalah dalam pemilu.
Baru-baru ini, Sekjen NATO, Mark Rutte, mengatakan di Parlemen Eropa bahwa anggaran pertahanan harus ditingkatkan. Awalnya, targetnya hanya 2 persen dari PDB, tapi sekarang mereka ingin menaikkannya menjadi 4 sampai 5 persen. Padahal, banyak negara NATO saat ini bahkan belum mencapai angka 2 persen!
Untuk menutupi peningkatan anggaran militer ini, Rutte dengan terang-terangan menyebut bahwa mereka harus memangkas anggaran untuk kebutuhan rakyat, seperti jaminan sosial, pensiun, pendidikan, dan kesehatan. Ia bahkan berkata bahwa jika para politisi tidak mendukung kebijakan ini, mereka harus mulai belajar bahasa Rusia atau pindah ke Selandia Baru.
Jelas, ini hanya alasan untuk menakut-nakuti rakyat agar mereka menerima pemotongan anggaran sosial demi kepentingan militer. Faktanya, Rusia tidak sedang ingin menyerang Eropa. Tetapi kebijakannya jelas: tingkatan anggaran militer dan pangkas anggaran sosial, ini akan semakin memperparah situasi sulit yang sudah dihadapi rakyat kelas pekerja.
Inilah situasi yang sedang kita hadapi, situasi yang sudah memicu radikalisasi politik secara masif, yang sebagian kini mengekspresikan dirinya secara terdistorsi.
Saat ini, kekuatan kita memang masih kecil dan belum bisa mengubah keadaan secara langsung. Tapi justru karena itu, ada urgensi untuk memperkuat organisasi kita. Jika kita bisa membangun gerakan dengan organisasi dengan 5000 atau 10000 anggota di negeri kapitalis maju, sebuah organisasi kader, dengan akar di kalangan buruh dan anak muda, sebelum peristiwa-peristiwa besar meletus, maka kita akan ada dalam posisi yang sangat baik.
Ini sepenuhnya mungkin, asalkan kita bekerja dengan sabar dan sistematis, tetap fokus, dan bisa menarik selapisan kecil anak-anak muda yang sangat radikal ini, yang tengah mencari alternatif serius untuk melawan sistem kapitalis yang sudah busuk dan uzur ini.