Pada awal Juni kemarin, berbarengan dengan Hari Lahir Pancasila, Presiden Jokowi mengumumkan pembentukan Unit Kerja Presiden – Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) sebagai respons terhadap apa yang ia lihat sebagai maraknya gerakan terorisme dan radikalisme. “Dewasa ini, perlu diakui, kehidupan berbangsa dan bernegara kita sedang mengalami tantangan. Sejumlah pandangan dan tindakan yang mengancam kebinekaan dan keikaan kita mulai bermunculan,” tandas Jokowi (1/6). Tak ayal, Jokowi melantik putri dari Founding Father, Megawati Soekarno Putri, sebagai Dewan Pengarah UKP-PIP ini, yang sekaligus icon politik dari partai klas penguasa. Pembentukan UKP-PIP ini diharapkan oleh rejim Jokowi mampu meredam, bahkan sebisa mungkin menghapuskan paham-paham yang anti terhadap Pancasila. Upaya ini bisa dikatakan sebagai rehabilitasi atau rejuvinasi (peremajaan kembali) dari rejim terhadap nilai-nilai Pancasila yang selama ini dianggap tergerus oleh perkembangan globalisasi. Pada kenyataannya, nilai-nilai Pancasila tergerus justru oleh tingkah laku semua politisi dan birokrat yang korup, munafik, dan tak menggubris masalah rakyat jelata.
Program seperti ini telah diluncurkan sebelumya oleh Orde Baru dengan nama Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dan Penataran P4. Seperti kita tahu, Orde Baru menggunakan program ini untuk kepentingan politiknya, yakni sebagai program untuk menyensor seluruh kehidupan masyarakat. Dengan dalih membela Pancasila dan nilai-nilainya, Orde Baru menggunakan Pancasila sebagai sarana untuk membersihkan musuh-musuh politiknya, termasuk melengserkan Soekarno, sang perumus Pancasila itu sendiri. Namun, di balik setiap upaya klas penguasa untuk membangkitkan “nilai-nilai perjuangan lama” selalu ada maksud politik di balik itu semua. Sama seperti Stalin memperlakukan Lenin: memuja sekaligus mempreteli Leninisme.
Jokowi telah lama menjadi bahan incaran bagi lawan-lawan politiknya. Semenjak berkuasa rezim ini sangatlah rapuh dan tidak stabil, kendati di atas permukaan tampak kokoh. Pertumbuhan ekonomi yang lambat serta bayang-bayang krisis ekonomi dunia memaksa Jokowi untuk mengimplementasi serangkaian kebijakan ekonomi yang berbenturan dengan kepentingan dari selapisan kelas penguasa dan birokratnya. Ini memicu pertikaian di tubuh pemerintah. Di tengah kericuhan seperti ini, lawan-lawan politiknya tidak segan-segan menuduh Jokowi sebagai komunis dan mendesak untuk melakukan test DNA. Tentu, hal ini lucu sekaligus menyedihkan. Bagaimana bisa komunisme sebagai sebuah ide mengenai penghapusan masyarakat klas dipahami sebagai sebuah penyimpangan gen? Ini mengungkapkan bagaimana rezim ini bertikai satu sama lain, serta tidak segan-segan menggunakan racun sentimen anti-komunisme bahkan di antara mereka sendiri.
Marx dan Engels pernah mengatakan mengenai fenomena ini dalam Manifesto Komunis-nya: “Di manakah ada partai oposisi yang tidak dicaci sebagai Komunis oleh lawan-lawannya yang sedang berkuasa? Di manakah ada partai oposisi yang tidak melontarkan kembali cap tuduhan Komunisme, baik kepada partai-partai oposisi yang lebih maju maupun kepada lawan-lawannya yang reaksioner?”
Jokowi berusaha menepis tuduhan ini dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang tegas, yang anti-komunis, yang siap menggebuk siapa saja, ormas maupun partai, yang anti terhadap Pancasila. Di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (17/5/2017), Jokowi mengatakan: “Saya dilantik jadi Presiden, yang saya pegang konstitusi, kehendak rakyat. Bukan yang lain-lain. Misalnya PKI nongol, gebuk saja. TAP MPR jelas soal larangan itu,”
Inilah salah satu alasan mengapa UKP-PIP dibentuk, yakni untuk membuktikan bahwa Jokowi bukan komunis. Alasan lainnya, yang sama pentingnya, adalah untuk menjaga kestabilan rejim di tengah krisis dan ketegangan politik yang membayangi.
Pancasila selalu diusung-usung sebagai ideologi negara yang tidak bisa ditawar-tawar. Tetapi pada kenyataannya Pancasila adalah botol kosong yang terbuka bagi segala macam interpretasi. Orde Baru menggunakan Pancasila dengan penuh darah untuk membunuhi kaum komunis dan lawan-lawan politiknya. Kaum reaksioner – seperti Pemuda Pancasila – menggunakan Pancasila untuk membubarkan demo-demo dan pemogokan kaum buruh. Bahkan lebih jauh lagi, partai-partai borjuasi mengkorupsi Pancasila sedemikian rupa untuk meraup kapital politik di pemilihan-pemilihan umum.
Kaum buruh harus bisa membedakan ini, dan tidak boleh tergerus oleh hingar-bingar, ataupun ilusi masa lalu mengenai Pancasila. Pancasila harus dilihat dalam hubungannya dengan perjuangan kelas. Kepentingan kaum buruh sejatinya adalah menggulingkan sistem pemerintahan yang menindas. Ketika Pancasila diselewengkan oleh kaum reaksioner untuk membubarkan demo-demo dan pemogokan buruh, kita harus melawan Pancasila seperti itu. Tapi kita tidak mempunyai ilusi bahwa Pancasila harus dibela mati-matian. Meski Pancasila mempunyai kesejarahan pada masa-masa perjuangan kemerdekaan, Pancasila hari ini sudah tidak memadai untuk melayani tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan kaum buruh dan tani tertindas. Tujuan politik pembebasan kaum buruh dan tani hanya bisa berhasil di atas basis penyitaan hak milik kaum kapitalis dan pembangunan ekonomi demokratik terencana. Hanya program inilah yang bisa membebaskan seluruh rakyat tertindas dari rantai belenggu kapitalisme.