Rabu pagi (4/20), kami menyambangi kawan Abdul Hakam dan Agus Budiono, dua aktivis buruh dari FSPBI-KASBI Gresik yang saat ini berada di sel tahanan Banjarsari, Gresik. Kami bersama dengan buruh-buruh anggota FSPBI yang ada di beberapa pabrik di Gresik, seperti pabrik mie, dan pabrik peralatan pertanian ikut datang menjenguk.
Hampir tiap hari para buruh-buruh ini, dengan kerah baju yang masih kotor, datang silih berganti untuk menjenguk kedua pimpinan mereka yang ada di penjara. Situasi dalam penjara berubah seketika saat para buruh-buruh ini datang, dimana aktivitas menjenguk dihabiskan dengan berdiskusi mengenai kondisi yang ada di pabrik tempat mereka bekerja dan juga kondisi serikat buruh mereka.
Selain menjenguk kedua kamerad kita, Abdul Hakam dan Agus Budiono, kami juga memberikan donasi yang sudah terkumpul untuk membantu meringankan beban keluarga mereka.
Pada kesempatan kali ini, kami melakukan wawancara dengan kawan Hakam.
Bagaimana sikap Anda mengenai penahanan yang dilakukan oleh pengusaha terhadap Anda dan upaya kriminalisasi aktivis-aktivis serikat buruh lainnya?
Penahanan-penahanan terhadap kami, dan juga proses kriminalisasi yang dilakukan kelas penguasa terhadap aktivis-aktivis serikat buruh lainnya, merupakan langkah kelas penguasa menunjukkan ordenya. Ketika mereka tidak sanggup menundukkan kelas buruh dengan cara-cara damai, mereka akan menggunakan cara-cara kekerasan, termasuk kriminalisasi para pimpinan serikat-serikat buruh. Disahkannya PP Pengupahan 78/2015 merupakan kekalahan dari gerakan buruh, ia tidak hanya membatasi kenaikan upah dan meminimalisir peran serikat buruh dalam penetapan upah tapi juga sebagai cara kelas kapitalis untuk menggerogoti capaian-capaian yang selama ini dimenangkan oleh kaum buruh.
Bagaimana Anda menjelaskan mengenai kekalahan ini?
Pernah suatu kali Trotsky mengatakan mengenai ini, izinkan saya mengutipnya:
“Situasi politik dunia dalam keseluruhannya digambarkan oleh sebuah krisis historis kepemimpinan proletariat.”
Fakta ini tidak terbantahkan!
Krisis kapitalisme telah memaksa kelas penguasa di seluruh dunia untuk menyerang kembali hak-hak kelas pekerja yang telah diperoleh dari periode sebelumnya. Bahkan demonstrasi-demonstrasi besar yang terjadi akhir-akhir ini seperti di Yunani dan Brasil telah membawa persoalan baru. Meskipun di Yunani membawa partai Kiri Syriza, serta di Brasil membawa partai Buruh ke tampuk ke kekuasaan, namun semua ini berakhir dengan dimulainya lagi perjuangan baru. Demonstrasi, euforia, demonstrasi seperti sebuah lingkaran setan yang tak berujung. Ini bukan karena kelas buruh tidak militan, dan tidak mempunyai keinginan untuk berjuang. Tapi ini sepenuhnya kesalahan dari kepemimpinan mereka yang tidak memiliki perspektif untuk menggulingkan kapitalisme.
Gerakan buruh di Indonesia bukanlah pengecualian. Kita telah menyaksikan lebih dari sekali kepemimpinan reformis ini mencoba mengalihkan radikalisasi buruh ke jalur-jalur aman. Mereka sama sekali tidak buta mengenai gerakan yang ada di bawah ini. Mereka mengetahui dengan baik, bahwa ketika katup pengaman ini dibuka, ia akan memberi jalan bagi lapisan-lapisan yang paling militan dan energik, yang lahir dari badai peristiwa, untuk menggantikan mereka. Kenyataan inilah yang tidak mereka inginkan.
Seringkali kita menyaksikan fitur-fitur spontanitas di dalam gerakan buruh. Fitur ini sangatlah wajar ketika kelas buruh pertama kali memasuki arena perjuangan. Fenomena meledak-ledak, dan tidak jarang sangat militan, seringkali membuat kelas kapitalis ketakutan. Cara-cara seperti ini seringkali berhasil mencapai kesepakatan-kesepakatan penting yang berbuah dengan dipenuhinya tuntutan-tuntutan dari kelas buruh. Seperti halnya setiap tahapan, fitur spontanitas adalah tahapan pertama dari insting kelas buruh untuk mengubah keadaan. Ia juga merupakan impuls tidak sadar dari kehendak sadar kelas buruh pada tahapan kekanak-kanakannya. Bila kepeloporan atau kepemimpinan mereka sadar akan hal ini, mereka akan menggunakannya sebagai dasar untuk memajukan kesadaran kelasnya. Namun, bila kepemimpinan ini tidak sadar akan tugas-tugas yang seharusnya mereka emban, ia berisiko menjadi alat tidak langsung dari kelas-kelas lain, dengan kata lain menjadi rem bagi perkembangan kesadaran kelas proletariat. Kepemimpinan reformis serikat buruh memiliki pemahaman mereka sendiri. Mereka bukan hanya tidak sadar, tapi juga ingin menjaga kesadaran kelas buruh untuk berada pada tahapan anak-anak.
Kekalahan yang dialami basis FSPBI di Pabrik PT. Petrokimia (Petro) telah membuktikan bahwa spontanitas saja tidak cukup. Ketika kami berhasil meraih kemenangan yang cukup menentukan, dengan sekejap mudah dikalahkan dan mengubah seluruh situasi. Kepemimpinan yang lahir dari gelombang pemogokan dengan mudah berkhianat dengan mengadakan klik dengan majikan mereka. Kami paham bahwa kepemimpinan ini belum mendapatkan pendidikan politik yang cukup di dalam organisasi. Meskipun mereka para pemimpin dan organiser yang lahir dari bara api perjuangan, namun tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk melakukan pengkhianatan. Kita tidak mempunyai ilusi bahwa ini adalah masalah moralitas belaka. Di dalam masyarakat yang terbagi menjadi kelas-kelas ini, yang ada hanya dua moralitas yakni moralitas borjuasi dan moralitas proletariat. Mengharap moralitas berdiri di atas masyarakat adalah absurd.
Kesadaran yang ada sekarang adalah kesadaran borjuasi ─ moralitasnya borjuasi ─ yang lewat satu lain cara mempenetrasi masuk ke dalam kesadaran kelas buruh. Hanya dengan pemahaman mengenai melawan saja tidak cukup. Untuk itu penting bagi kelas buruh untuk memahami tugas mereka, moralitas mereka dan bagaimana mengubahnya, yakni kelas buruh harus melibatkan diri ke dalam teori yang merangkum seluruh pengalaman perjuangan kelas mereka yakni Marxisme.
Kita dihadapkan dengan maraknya kriminalisasi terhadap para pimpinan-pimpinan serikat buruh, ada yang menganggap ini adalah serangan terhadap demokrasi, bagaimana menurut Anda?
Demokrasi tidaklah diserang, karena bahkan kita tidak ingin mempertahankan demokrasi ini. Demokrasi yang ada sekarang adalah demokrasi borjuis. Seperti halnya dengan negaranya, demokrasi yang menyertainya juga merupakan mesin dari kelas kapitalis untuk mempertahankan kekuasaannya. Ketika ia berhasil memenjarakan para aktivis buruh, ini bukan karena demokrasi diserang, tapi demokrasi ini telah berjalan dengan baik. Demokrasi borjuis seperti halnya sel penjara, ia berperan menjaga agar kepentingan borjuasi tidak terusik.
Kita sama sekali tidak menginginkan demokrasi ini, kita menginginkan sebuah kebebasan, di mana tidak ada lagi kelas yang harus ditindas. Namun, semua ini mensyaratkan penghancuran demokrasi itu sendiri, yakni penghancuran negara dan aparatusnya. Kondisi ini dapat dicapai bila kelas buruh sadar untuk menggulingkan kelas penindas mereka─berikut dengan sistem mereka.
Berkali-kali ketika kelas buruh mulai mengambil jalan untuk mengubah keadaan sering kali terbentur oleh kepemimpinan mereka. Ini seperti menjadi sebuah hukum. Ketika buruh mulai bergerak, pertama-tama ia menggunakan organisasi tradisional mereka. Lewat trial and error, mereka menguji kepemimpinan mereka. Terkadang dengan cara yang tidak terlalu sopan melemparkan kepemimpinan mereka sendiri ketika kepemimpinan ini tidak mewakili mood mereka. Sebuah nukleus revolusioner bisa meraih keuntungan besar pada periode ini. Meskipun demikian, sebuah nukleus revolusioner tidak bisa diimprovisasi ketika ia diinginkan. Nukleus revolusioner atau sebuah embrio partai revolusioner harus dipersiapkan jauh-jauh hari bila ia ingin menang. Lewat lapisan termajunya membentuk organisasi ini dan dibekali dengan teori Marxisme adalah awal dari pembangunan partai demikian. Inilah yang sedang kami lakukan.