Upaya seorang penembak berusia 20 tahun untuk membunuh Donald Trump di rally di Pennsylvania pada hari Sabtu (13/7) telah menjerumuskan demokrasi borjuis Amerika ke dalam krisis yang lebih dalam lagi.
Ini bukanlah upaya pembunuhan pertama terhadap presiden AS – dalam hal ini, seorang mantan presiden yang kemungkinan besar akan terpilih kembali pada bulan November mendatang – tetapi ini adalah yang pertama kali terekam secara live di televisi dan media sosial. Upaya terakhir terhadap nyawa seorang presiden adalah penembakan Ronald Reagan pada tahun 1981. Dalam empat dekade sejak saat itu, semua lembaga politik kelas penguasa telah mulai kehilangan legitimasinya.
Bahkan pada minggu-minggu sebelum acara ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa politik AS sudah berada dalam “zona krisis”. Penampilan Joe Biden dalam debat presiden yang sangat buruk telah membuat Partai Demokrat panik, dan memicu gelombang seruan agar sang petahana mundur dari pilpres, atau berisiko memberikan kemenangan mudah bagi Trump. Para ahli strategi politik liberal menyebut kegagalan Biden sebagai skenario “DEFCON 1”, sebuah istilah yang menunjukkan tingkat kekhawatiran yang paling urgen, yang biasanya mengindikasikan serangan yang akan segera terjadi atau keadaan perang.
Sepertinya semua pembicaraan mereka tentang “DEFCON 1” terlalu prematur. Pada Sabtu malam, internet penuh dengan rekaman mengejutkan dari peluru yang menembus telinga Trump di tengah-tengah pidatonya. Setelah Agen Rahasia menembak dan membunuh pria bersenjata tersebut, yang menembak dari atap sebuah pabrik sekitar 90 meter dari Trump, mereka bergegas membawa Trump menjauh dari lokasi kejadian. Memahami nilai politis dari momen tersebut untuk kampanyenya, Trump dengan penuh semangat mengacungkan tinjunya ke arah kerumunan massa, dengan darah yang mengalir di sisi wajahnya, meneriakkan “Fight!” beberapa kali sebelum tim keamanan mengawalnya turun dari panggung.
Hingga saat ini, sangat sedikit informasi yang dipublikasikan tentang penembak tersebut, Thomas Matthew Crooks, atau motifnya. Terlepas dari profil penembak tersebut, dia dan tindakannya itu merupakan ekspresi dari sebuah keniscayaan, yaitu krisis kapitalisme yang semakin mendalam. Kita diingatkan dengan pembunuhan presiden John F. Kennedy, yang terjadi pada periode 1960an ketika AS diguncang oleh gelombang revolusioner yang paling besar dalam sejarahnya. Ini bukanlah kebetulan.
Terorisme Individual bukan jalan keluar
Apapun motif penembaknya, kita harus jelas bahwa kaum revolusioner menentang terorisme individual. Kita menentangnya bukan atas dasar moral, atau karena alasan cinta damai, tetapi karena itu kontraproduktif dari perspektif perjuangan kelas, dan mencederai perkembangan kesadaran kelas proletar.
Basis pendukung Trump sudah yakin bahwa pemilu 2020 telah dicuri dari kandidat mereka, dan bahwa semua lembaga yang berkuasa, termasuk media massa dan sistem peradilan, bersekongkol untuk melawan Trump. Dalam sekejap, mentalitas pengepungan (siege mentality) tersebut kini telah berlipat ganda sepuluh kali lipat, membuat jutaan pemilih Trump panik dan murka.
Dengan cepat, aparatus Trump menuduh “kaum kiri radikal” bertanggung jawab atas serangan ini. Ini murni provokasi, yang hanya akan meningkatkan kemungkinan kekerasan dari sayap kanan. Seorang pendukung Trump yang berteriak: “Mereka menembak lebih dulu! Ini berarti perang!” sungguh memberikan gambaran sentimen yang ada sekarang di antara pendukung Trump.
Tidak sulit untuk membayangkan bagaimana reaksi pendukung Trump jika peluru itu mengenai sasarannya. Kemungkinan besar akan memicu ledakan sosial, dengan kerusuhan dan kekerasan yang menyerang siapa pun yang dianggap sebagai “musuh”.
Kaum Revolusioner menentang Donald Trump. Tetapi jelas, hasil apa pun dari upaya untuk membunuhnya akan menghasilkan perkembangan yang sepenuhnya reaksioner – yang tidak melakukan apa pun untuk memperjelas pembagian kelas yang ada di masyarakat, termasuk di dalam kubu Trumpisme itu sendiri.
Mayoritas basis dukungan Trump terdiri dari kaum buruh yang telah tertipu oleh demagoginya. Tugas kita adalah untuk mempertajam garis kelas dalam masyarakat dan membawa kepentingan seluruh kelas buruh ke permukaan, menunjukkan kepada seluruh buruh bahwa musuh bersama mereka adalah kelas kapitalis, bukan lapisan kelas buruh lainnya. Atas dasar ini, basis pendukung Trump dapat dipecah berdasarkan garis kelas.
Bulan November ini, buruh akan diminta untuk memilih, sekali lagi, antara Partai Demokrat dan Partai Republik. Tetapi jutaan rakyat merasa jijik dengan Trump, Biden, dan para politisi dan lembaga kelas penguasa lainnya. Kebencian kelas tersebut mengekspresikan naluri yang sehat bahwa seluruh sistem ini berada di tangan kelas lain, yang kepentingannya benar-benar bertentangan dengan kepentingan kita. Solusi untuk kebuntuan politik ini terletak pada aksi massa kelas buruh, yang bergerak secara sadar dan kolektif sebagai sebuah kelas, demi kepentingannya sendiri. Ini membutuhkan kesadaran kelas untuk mencapai tingkat yang sangat tinggi – dan tugas kita sebagai kaum revolusioner adalah untuk membantu mewujudkannya.
Tindakan teror individual menghalangi proses perkembangan kesadaran kelas. Ini membuat massa buruh menjadi pengamat yang tidak berdaya, alih-alih membuat mereka merasakan kekuatan mereka sendiri dan kepercayaan diri dalam kekuatan kolektif mereka sendiri untuk mengubah dunia, seperti aksi mogok atau demo massa. Teror individual juga menciptakan atmosfer penuh rasa takut dan panik, alih-alih atmosfer yang kondusif untuk perjuangan massa. Insiden-insiden seperti percobaan pembunuhan akan lebih memotivasi kelompok-kelompok milisi kecil dan kaum vigilante kelas menengah yang fanatik daripada memotivasi kaum buruh untuk bersatu dalam perjuangan melawan kelas penguasa.
Efek politik reaksioner lainnya dari teror individual adalah bahwa tindakan ini melihat politisi individu sebagai masalah utama, dengan menganggap bahwa segala sesuatu dapat diselesaikan dengan menyingkirkan Trump – atau Biden, Harris, Rubio, Vance, dll. Ini keliru, dan mengalihkan perhatian rakyat dari sistem kapitalis secara keseluruhan, yang sebenarnya merupakan sumber dari semua problem yang ada.
Hanya jika kelas buruh melihat dirinya sebagai kelas yang memiliki kepentingan bersama untuk melawan seluruh jajaran politisi kapitalis, maka perang kelas dapat berkembang di sepanjang jalan menuju pembentukan pemerintahan buruh, yang merupakan satu-satunya solusi untuk masalah yang dihadapi jutaan rakyat.
Cara untuk melemahkan Trumpisme adalah dengan meyakinkan segmen kelas buruh dalam basisnya bahwa naluri kelas mereka yang sehat dimanipulasi secara sinis oleh kelas penguasa untuk kepentingan diri mereka sendiri. Selama empat tahun pemerintahan Trump yang pertama, 1% orang terkaya baik-baik saja. Jika dia kembali menjadi presiden, dia tidak akan menawarkan bantuan bagi jutaan buruh yang tengah meluncur ke kemelaratan. Musuh kaum buruh AS adalah kelas kapitalis AS, bukan kaum imigran atau buruh negara lain.
Pembunuhan tidak membantu kaum buruh untuk menarik kesimpulan yang mendesak ini, dan pada kenyataannya malah membuat kesadaran menjadi mundur. Hasil dari upaya pembunuhan ini adalah menciptakan lebih banyak simpati untuk Trump, dan hanya akan meningkatkan dukungannya. Upaya ini akan memperkuat berbagai teori konspirasi bahwa Trump benar-benar “anti-kemapanan”, dan bahwa ada kekuatan gelap (yang disebut juga “deep state”) yang ingin menghentikannya menjadi presiden.
Memang benar bahwa mayoritas kelas penguasa sangat menentang Trump, tetapi ini karena dia adalah seorang individualis yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan tidak memperhatikan kebaikan sistem kapitalis secara keseluruhan. Mereka melihat bahwa Trump telah memperparah ketidakstabilan politik di dalam sistem mereka yang sedang sekarat, dan telah membantu mendiskreditkan institusi-institusi borjuis yang penting untuk keberlangsungan sistem tersebut.
Marx menyebut negara sebagai “komite untuk mengelola urusan bersama seluruh borjuasi.” Biden mungkin tidak koheren dan tidak kompeten, tetapi Trump tidak dapat diprediksi, tidak menentu, dan mementingkan diri sendiri – ini bukan kualitas yang diinginkan oleh kelas penguasa dalam diri seorang kepala negara. Selain Elon Musk, tidak ada satu pun CEO perusahaan Fortune 100 yang sejauh ini mendukung kampanye Trump. Ini sangat kontras dengan semua kandidat Partai Republik sebelumnya. Singkatnya, “komite untuk mengelola urusan bersama” kapitalisme AS sedang dalam krisis, dan tahun-tahun mendatang tidak menawarkan tanda-tanda stabilitas.
Masyarakat kapitalis melahirkan masyarakat penuh kekerasan
Pendukung Trump kini menuding media dan kelompok “kiri” sebagai pihak yang bertanggung jawab atas upaya pembunuhan ini, dengan semua retorika mereka yang alarmis. Biden dan Partai Demokrat, serta media yang berpihak pada mereka, telah menyebut Trump sebagai seorang fasis dan menyatakan bahwa terpilihnya Trump akan melahirkan kediktatoran – seolah-olah pembentukan negara polisi militer hanyalah masalah niat seorang presiden. Argumen “lesser evilism” kaum liberal menggambarkan Trump sebagai ancaman terhadap demokrasi, dan selalu mencecar para pendukungnya sebagai blok reaksioner yang “menjijikkan”.
Sebaliknya, kaum revolusioner telah menunjukkan bahwa sebagian besar pemilih Trump adalah buruh, dan kebencian mereka terhadap kelas penguasa telah didistorsi dan dimanipulasi oleh sayap kanan karena tidak adanya alternatif perang-kelas yang agresif di sayap kiri. Dengan mengabaikan kenyataan ini dan dengan tanpa pandang bulu mencap semua pemilih Trump sebagai simpatisan fasis, kaum liberal dan kaum kiri “lesser-evil” telah mendorong lapisan buruh ini semakin dekat ke pelukan Trump, sehingga mempersulit upaya untuk memenangkan mereka ke posisi kelas yang sejati. Sekarang, banyak dari mereka yang mungkin saja sebelumnya terbuka untuk berdiskusi tentang topik-topik seperti militansi serikat buruh untuk memperjuangkan upah yang lebih tinggi, telah ditipu untuk berpikir bahwa mereka berada di ambang konflik bersenjata dengan “kaum kiri”.
Tentu saja, bukan hanya kaum liberal yang harus disalahkan. Trump sendiri secara terbuka telah mendorong kekerasan politik, misalnya dengan menyerukan kepada para pendukungnya untuk “menghajar” para pengunjuk rasa yang menentangnya.
Kini, seluruh spektrum politik di Washington bergandengan tangan dalam paduan suara untuk mengutuk kekerasan politik. Setelah upaya pembunuhan ini, Biden mengatakan, “Tidak ada tempat di Amerika untuk kekerasan semacam ini. Ini gila… Gagasan bahwa ada kekerasan politik seperti ini di Amerika tidak pernah terdengar. Itu tidak pantas. Semua orang harus mengutuknya.”
Banyak orang yang merasa perutnya mulas karena kemunafikan ini. AS mendorong kekerasan dalam perang di Ukraina. Puluhan ribu pekerja Ukraina telah terbunuh dalam perang proksi imperialisme AS melawan Rusia. Biden memeluk Netanyahu dan memberinya senjata dan amunisi untuk membunuh rakyat Palestina yang tidak bersalah.
Lihatlah kekerasan yang menimpa kaum imigran yang kelaparan dan putus asa yang berkerumun di perbatasan. Atau kekerasan polisi pembunuh yang meneror dan membunuh orang kulit hitam, dan memukuli para pengunjuk rasa. Haruskah kita terkejut ketika semua kekerasan meluber keluar dari batas-batas yang ditetapkan oleh kelas penguasa? Kelas penguasa yang munafik tidak menentang kekerasan. Mereka hanya ingin menghindari kekerasan itu digunakan untuk melawan diri mereka sendiri.
Sistem kapitalisme Amerika lahir berlumuran darah. Negara imperialis terkaya dan terkuat di dunia ini berdiri di atas fondasi kekerasan perbudakan selama berabad-abad, perang pemusnahan terhadap penduduk pribumi, dan serangkaian serangan brutal terhadap kelas buruh setiap kali mereka berusaha memperjuangkan kepentingannya. Imperialisme AS telah menundukkan jutaan rakyat di Asia dan Amerika Latin, merampas sumber daya alam mereka, menjerumuskan mereka ke dalam keputusasaan, dan memaksa mereka untuk bekerja untuk sepeser rupiah. Dan setelah kondisi tersebut memaksa semakin banyak orang untuk berimigrasi ke AS guna mencari kehidupan yang lebih baik, kelas penguasa menjadikan mereka kambing hitam.
Gagasan dan kebudayaan yang mendominasi masyarakat adalah produk dari kelas kapitalis yang berkuasa. Merekalah yang menentukan moral masyarakat dan menentukan perilaku apa yang dapat diterima, seturut dengan cara mereka memerintah masyarakat. Kelas kapitalis mengagungkan individualisme dan mentalitas “menang dengan cara apa pun”. Mereka telah membentuk sebuah masyarakat di mana kekerasan adalah bagian dari cara mereka beroperasi.
Setidaknya 12 presiden dan calon presiden telah menjadi target pembunuhan. Dari 30 presiden yang pernah menjabat sejak Abraham Lincoln, empat di antaranya telah dibunuh. Ini bukanlah anomali. Ini mencerminkan sistem dan budaya politik yang dibangun di atas kekerasan. Inilah yang dihasilkan oleh masyarakat kapitalis.
Sebuah laporan investigasi yang diterbitkan oleh Reuters tahun lalu dengan judul “Political violence in polarized US at its worst since 1970s” mencatat ratusan kasus kekerasan politik, banyak di antaranya berakibat fatal. Tren ini telah meningkat sejalan dengan polarisasi politik di AS, terutama sejak tahun 2016. Ini juga yang melatarbelakangi tumbuhnya perasaan di antara rakyat luas bahwa AS sedang menuju perang saudara. Di era kemunduran kapitalisme ini, stabilitas politik semakin terurai.
Kelas penguasa memberi kita masyarakat yang dipenuhi dengan kekerasan. Pada tahun 2023, sekitar 118 orang terbunuh setiap harinya dalam penembakan di AS. Penembakan massal telah meningkat tajam dalam satu dekade terakhir. Ada 647 pembunuhan massal pada tahun 2022 dan 656 penembakan massal pada tahun 2023. Inilah normalitas di bawah kapitalisme AS.
Perlunya perspektif perang kelas
Menjadi seorang revolusioner berarti mampu membongkar kemunafikan ideologi yang dominan dalam masyarakat. Buku-buku teks ilmu politik penuh dengan celoteh tentang “kebebasan kita”, “demokrasi kita”, dsb. Kita tidak melihat politik dengan cara seperti itu. Adalah wajar bagi seorang liberal untuk berbicara tentang ‘demokrasi’ secara umum; tetapi seorang Revolusioner tidak akan pernah lupa untuk bertanya: demokrasi untuk kelas mana?
Kaum revolusioner melihat dunia melalui perspektif kelas revolusioner. Kita mengenali garis pemisah fundamental yang membentang di dalam masyarakat kita, yakni garis kelas. Seorang Revolusioner yang terlatih akan dengan cermat menangkap adanya pandangan kelas tertentu dan kepentingan kelas yang halus yang menyamar sebagai komentar “obyektif” dan “akal sehat.”
Ketika kita membaca berita yang dengan panik mengatakan “demokrasi kita terancam,” kita mendengar suara sekelompok orang yang, setelah memerintah dengan nyaman selama beberapa generasi, sekarang menemukan diri mereka berada di atas kapal yang tenggelam, yang sama sekali tidak berdaya untuk menghentikannya. Kredibilitas lembaga-lembaga mereka yang dulunya stabil telah runtuh. Cengkeraman mereka yang dulu begitu kuat terhadap partai-partai mereka, pengadilan mereka, dan opini publik, telah terlepas dari tangan mereka. Mereka saat ini dicengkeram oleh kekhawatiran dan pesimisme.
Di depan mata kita, jutaan orang tengah menanggalkan ilusi mereka pada demokrasi borjuis. Mereka memandang dengan penuh rasa muak partai-partai yang berkuasa serta para kandidatnya. Momentum Trumpisme disebabkan oleh kevakuman politik, karena tidak adanya partai kelas pekerja yang berjuang untuk mengarahkan kemarahan ini terhadap sistem kapitalisme dan lembaga-lembaga yang berkuasa.
Kenyataannya, sebagian besar kaum “kiri” telah menempuh kebijakan yang keliru. Tampilan menyedihkan dari “Squad” (kelompok parlemen Demokrat “sayap-kiri” seperti Alexandria Ocasio-Cortez) yang didukung DSA (Democratic Socialist of America) yang sekali lagi berbaris di belakang Biden menjelaskan semuanya. Hanya dua hari yang lalu, Bernie Sanders menyebut Biden sebagai “presiden paling efektif dalam sejarah modern negara kita” dan “kandidat terkuat untuk mengalahkan Trump.” Ilhan Omar menyatakan dukungannya pada Biden karena “dia adalah presiden terbaik dalam hidupnya.” Tugas mereka adalah mengalihkan kemarahan rakyat ke saluran Partai Demokrat yang aman.
Tetapi jajak pendapat menunjukkan bahwa ada potensi besar untuk sebuah alternatif kelas yang mandiri. Tercatat 63% warga Amerika mendukung pembentukan partai massa baru. 55% pemilih terdaftar percaya bahwa sistem politik dan ekonomi membutuhkan perubahan besar – dan 14% ingin menumbangkannya. Kita hidup di masa di mana ide-ide revolusioner dapat tumbuh subur.
Kapitalisme AS terus merosot semakin cepat, dan gejolak sosial akan terus menajam dalam beberapa bulan dan tahun ke depan. Upaya pembunuhan Trump kemarin adalah satu langkah lagi ke arah ketidakstabilan, krisis politik, dan meningkatnya kekerasan politik, dan ini merupakan langkah yang signifikan. Pada akhirnya ini mencerminkan kebuntuan historis dari sistem kapitalis. Baik Partai Demokrat maupun Partai Republik tidak memiliki solusi atau cara untuk menghentikan pembusukan kapitalisme.
Pilpres mendatang mungkin akan menjadi pilpres yang paling bergejolak dalam beberapa generasi. Kita perlu menyuntikkan perspektif perang kelas dengan jelas dan berani. Sekarang, lebih dari sebelumnya, sebuah partai massa revolusioner sangat dibutuhkan untuk menggalang kekuatan yang dapat menunjukkan bagaimana melawan Biden dan Trump, untuk menyatukan mayoritas kelas buruh di bawah program revolusionernya sendiri, dan untuk mengarahkan keresahan yang luas dalam masyarakat ke biang keroknya yang sebenarnya – sistem kapitalis itu sendiri.