Banjir dan tanah longsor menghantam desa-desa di Halmahera Tengah. Bencana ini telah menyebabkan ribuan orang mengungsi. Sejumlah desa yang berada di kawasan pertambangan nikel, terutama di kecamatan Weda Tengah paling terdampak banjir besar ini. Media dan pemerintah menyalahkan curah hujan yang tinggi sebagai penyebab utama banjir ini. Mereka dengan munafik menghimbau masyarakat agar lebih ikhtiar dan waspada oleh bencana yang tidak direncanakan ini, tetapi mereka dengan asoy kongkalikong menikmati cuan dari kapitalis tambang yang merusak alam dan pegunungan perawan di Halmahera.
Orang-orang patut bertanya: apakah benar bencana ini murni bencana alam? Penguasa mengungkap bahwa bencana yang menghantam rakyat Halmahera Tengah adalah murni karena guyuran hujan semata dan menutupi fakta sebenarnya, bahwa penyebab bencana ini adalah kelas kapitalis dan pemerintah mereka, bahwa bencana ini tidak hanya berdimensi alam tapi juga ekonomi dan politik.
Sejak 2020, sudah ada lebih dari 16 kali banjir dan 12 kali banjir besar yang merendam desa-desa di sekitar Kawasan Industri Nikel di Weda Bay. Banjir ini tergolong sangat parah karena ketinggian banjir mencapai 1 meter. Sebelum maraknya tambang, banjir tidak separah ini. Beberapa warga yang tinggal 50 meter dari Sungai Kobe, mengakui bahwa daerahnya rawan banjir, tapi tidak pernah sampai berhari-hari seperti sekarang.
Ini semua karena eksploitasi nikel di Halmahera. Pertambangan nikel semakin ugal-ugalan seiring lampu hijau hilirisasi nikel yang diberlakukan pemerintah. Deforestasi hutan berlangsung gila-gilaan demi perburuan nikel. Dari hutan primer seluas 188 ribu hektar, telah terjadi deforestasi seluas 26.100 hektar. Dengan kondisi seperti ini, hutan tidak dapat lagi menyangga debit air hujan. Ekosistem penyangga keseimbangan dirusak setiap harinya. Ditambah dengan krisis iklim yang mempengaruhi intensitas hujan semakin tinggi, ini membuat rakyat terancam bahaya banjir dan longsor. Fakta yang mencolok mata ini tidak dapat ditutupi dengan khotbah moral dari para pejabat dan media.
Kapitalisme menciptakan kerusakan alam yang luar biasa parah. Keseimbangan antara kemajuan teknologi dengan alam terganggu. Hasil dari perburuan nikel oleh pemerintah dengan kapitalis tambang telah membawa bencana yang mengerikan. Polusi udara, limbah beracun, banjir, krisis air bersih telah mengancam kehidupan manusia. Ini bisa membawa bencana yang jauh lebih buruk lagi di hari depan bila eksploitasi dan perusakan hutan terus terjadi. Bukan kapitalis tambang yang paling merasakan bencana ini, tapi ribuan rakyat yang meninggali kawasan tersebut.
Sekalipun pertumbuhan ekonomi Maluku Utara sepanjang tahun 2023 tercatat sangat signifikan, mencapai 20% secara tahunan, ini sebenarnya jauh dari realitas yang dihadapi oleh rakyat pekerja. Semua keuntungan yang dihasilkan oleh buruh tambang masuk dengan mulus ke kantong para kapitalis tambang dan para elite lokal berperut buncit ini. Pertumbuhan ini tidak diperuntukkan bagi buruh dan masyarakat miskin. Sebaliknya, yang dihasilkan adalah bencana lingkungan ini. Selama pertambangan memberikan keuntungan bagi mereka, mereka bisa mengelak dan menyalahkan semua pada alam.
Setelah hingar-bingar berita banjir mereda, produksi nikel akan dilancarkan lagi dan hutan dihancurkan kembali. Bisa dipastikan bencana ini akan terus berulang kembali bila kita masih mempertahankan pemerintahan kapitalis yang hari ini berkuasa.
Kita semua memiliki perhatian yang besar akan masa depan alam dan planet ini, namun kita tidak memiliki kontrol atas industri-industri yang saat ini menyumbang pada kerusakan lingkungan. Sesuatu yang bukan milik kita secara kolektif tidak mungkin bisa kita kendalikan dan hentikan.
Meskipun elite-elite politik dan pejabat lokal beberapa kali bertemu, tidak ada upaya serius menyelesaikannya. Bila uang yang berbicara, maka hukum dan aturan lingkungan bisa dibeli. Para elite politik saat ini tidak lebih dari representasi para pemilik perusahaan-perusahaan tambang kapitalis ini.
Bencana yang menimpa kelas pekerja tambang dan rakyat miskin Halmahera Tengah adalah murni bencana yang dikreasi pemerintah dan kapitalis tambang. Selama di bawah sistem kapitalisme yang berkuasa sekarang, kita tidak mungkin membuat pilihan rasional untuk kepentingan alam dan manusia. Menghentikan efek yang merusak dari perusahaan-perusahaan tambang ini berarti perlu mengakhiri kapitalisme. Bila tidak rakyat yang menjadi korbannya.