Pimpinan Pusat Muhammadiyah akhirnya menerima konsesi tambang dari pemerintah. Sebelumnya Nahdlatul Ulama (NU) bahkan sudah lebih dulu menerima tawaran izin usaha tambang. Ini bukan suatu hal yang aneh karena para pemuka agama dalam ormas-ormas ini sedari awal merupakan bagian dari partai-partai borjuasi. Semua orang, dari kaum liberal sampai aktivis lingkungan, menyayangkan dan menangisi ormas-ormas keagamaan menerima konsesi tambang, seakan-akan mereka lupa bahwa ormas-ormas keagamaan ini adalah juga pilar dari kekuasaan yang ada.
Pemberian konsensi tambang ini bukan sesuatu yang kebetulan. Selain partai-partai politik yang ada, ormas-ormas keagamaan ini memiliki massa di belakangnya yang bisa dijadikan kapital politik. Partai-partai politik saja tidak cukup untuk menjaga kestabilan dan keberlangsungan rezim; diperlukan juga ormas-ormas keagamaan di bawahnya yang bisa memanfaatkan agama untuk melindungi kepentingan yang berkuasa.
Sejak tiga tahun lalu rezim sudah berusaha ‘menyuap’ ormas-ormas ini. Jokowi mengiming-imingi gede-nya cuan dari tambang ini. Dia mengatakan konsesi ini bukan konsesi murahan dan lahan yang diberikan tidak kecil. “Sudah saya siapkan (konsesi). Saya pastikan yang gede, enggak mungkin saya memberikan ke NU yang kecil-kecil,” ujar Jokowi saat menghadiri pengukuhan pengurus PBNU di Balikpapan pada 2022.
PBNU bakal mengelola tambang batu bara yang memiliki cadangan 1,01 miliar ton menurut laporan tahunan PT Bumi Resource Tbk pada 2021. Bila dikurskan dengan harga batu bara sekarang USD 125,85 per ton, mereka bakal mengelola cuan senilai USD 125 miliar, atau sekitar 2000 triliun rupiah. Terlepas tambang batu bara merusak lingkungan dan menghambat upaya menyelesaikan krisis iklim, cuan inilah yang membuat pemuka-pemuka agama “menghalalkan” tambang.
Pemerintah akan menyerahkan tambang bekas PT Kaltim Prima Coal, anak usaha Grup Bakrie, kepada NU. Selama lebih dari tiga dekade beroperasi di Kalimantan Timur, perusahaan ini telah merusak sumber air, menghancurkan bentang alam, merampas tanah, menggusur lahan dan mengkriminalisasi masyarakat adat yang menentangnya. Perusahaan ini juga telah meninggalkan 71 lubang tambang yang menganga. Mereka menyembunyikan informasi ini dari publik dan menyebabkan bencana.
Tetapi mereka masih berdalih menggunakan konsesi tambang ini demi kebaikan umat. Tetapi ada umat miskin dan ada umat kaya. Ketika mereka memegang hak konsesi untuk menggusur pemukiman, menghancurkan kawasan hutan, merampas tanah, melakukan kekerasan dan kriminalisasi kepada rakyat kecil, kita patut bertanya, demi kebaikan umat yang mana?
Sudah tidak asing lagi perusahaan tambang berbenturan dengan warga sekitar. Kriminalisasi serta penangkapan terhadap mereka yang menolak tambang sudah menjadi umum. Dengan konsensi tambang ini, sudah bisa dipastikan ormas-ormas keagamaan akan dijadikan tameng untuk melindungi kepentingan kapitalis tambang. Lebih tepatnya, agama akan dijadikan tameng untuk profit segelintir.
Kita sudah kenyang menyaksikan kemunafikan pemuka-pemuka agama ini, dari korupsi dana haji sampai pengadaan Al-Quran. Konsesi tambang ini bahkan jauh lebih ugal-ugalan dari sebelumnya. Dari partai-partai politik sampai ormas-ormas keagamaan, mereka semua tidak bisa dipercaya. Bila itu menyangkut cuan, nada bisa berubah, ayat suci pun bisa berubah.
Sekarang, di bawah rezim Jokowi semua tampaknya berada di bawah kendali yang mantap. Hilirisasi dan pertumbuhan ekonomi menjadi berhala di atas segalanya. Konsesi tambang hanya memperkaya segelintir umat berprivilese, sementara umat kecil di bawahnya selamanya miskin. Tanah-tanah rakyat akan dirampas, sementara mereka hanya suruh berdoa atas kemiskinan mereka. Prabowo akan melanjutkan agenda-agenda Jokowi berikutnya. Kesinambungan kebijakan adalah salah satu hal yang dicari investor. Pada akhirnya, konsesi tambang kepada ormas adalah cara membuat segalanya dapat dikendalikan.
Tetapi ayat suci dan Tuhan mereka – yang pada dasarnya adalah uang – tidak akan bisa melindungi mereka selamanya. Tidak jauh dari sini, rejim Hasina di Bangladesh baru saja ditumbangkan. Padahal sebelumnya Hasina pun telah menjamin pertumbuhan 5% setiap tahunnya, dan tampaknya segala sesuatu berada di bawah kendali mantapnya. Semua yang tampak kokoh ini akan tersapu cepat atau lambat oleh massa rakyat yang bergerak, karena gemuruh tengah berkumpul di bawah permukaan.