Usai euforia perayaan pesta demokrasi, awal tahun ini masyarakat kelas bawah di Timor-Leste, khususnya di Kota Dili, langsung terkena dampak penggusuran massal yang dilakukan oleh pemerintahan Xanana.
Dari sudut ke sudut kota Dili, terutama di kawasan Bidau Santa Ana, Ai-tarak Laran, Bidau Senggol, Sentru Aimutin, Bairo-Pite, dan Becora kita melihat betapa banyaknya perumahan dan gubuk masyarakat rentan, serta pedagang kaki lima yang mengais rejeki. Ini semua disasar oleh penggusuran oleh pemerintah.
Setelah kebuntuan politik 2017-2019, krisis Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina yang mempengaruhi stabilitas perekonomian nasional, dari ibu kota Dili hingga pedesaan, masyarakat kecil dan miskin mengeluh soal harga kebutuhan dasar. Seharusnya pemerintahan baru yang dipimpin oleh Xanana mengatasi masalah krisis biaya hidup ini. Sebaliknya mereka justru mengambil keputusan yang semakin mempersulit rakyat, dengan menggusur mereka atas nama pembangunan.
Penggusuran nyatanya merupakan beban besar yang harus dipikul oleh masyarakat kelas bawah yang selama ini tidak diperhatikan kondisi kehidupannya oleh pemerintah yang telah berkuasa secara bergantian. Pemerintah memberikan berbagai alasan untuk membenarkan tindakan mereka: “Penggusuran merupakan bagian dari pemerintah untuk pembangunan perkotaan (urbanisasi), membuat perencanaan wilayah untuk membangun Dili menjadi kota yang bersih, terorganisir, sehat dan aman.” Tetapi bersih dan terorganisir untuk siapa? Jelasnya untuk orang-orang kaya baru.
Penggusuran ini dilakukan sejak awal tahun 2024. Mulai dari Bidau Santa Ana, Ai-tarak Laran, Bidau, dan Aimutin Center, total 70 KK terdampak dan lebih dari 300 pedagang pinggir jalan kehilangan mata pencaharian mereka. Namun penggusuran tidak berhenti di sini karena pemerintah juga telah berencana melakukan lebih banyak penggusuran di wilayah lain, seperti di Tasi-Tolu yang akan berdampak pada 424 rumah, termasuk di dekat jembatan Komoro, Taibesi, Bebonuk dan lainnya. Selain di ibu kota Dili, di pinggir kota dan sebagian Hera dan Metinaru dan juga Baucau, Viqueque dan lain-lain, penggusuran sudah dimulai.
Korban penggusuran ini sebagian besar adalah masyarakat kelas bawah yang bermigrasi dari pedesaan ke Dili untuk mencari nafkah, karena kondisi kehidupan mereka di pedesaan yang tidak menentu.
Hingga tulisan ini dibuat, sejumlah korban masih mengungsi di pinggir pantai dan beberapa lainnya menginap di bawah tenda yang dibuat dari terpal akibat kebiadaban pemerintah Xanana. Misalnya di Bidau, ada tiga ibu hamil dan juga seorang ibu yang baru melahirkan 4 hari namun karena rumahnya dihancurkan oleh pemerintah. Mereka harus rela menderita hidup di bawah terpal. Xanana ketika ditanya media soal penggusuran ini, dia menjawab dengan ketus: “Kalian ingin kota Dili ini bersih atau kotor”. Tetapi yang kotor di Dili itu adalah pemerintahan Xanana dan politisi, dengan KKN mereka yang merajalela.
Jadi Xanana lebih mengutamakan kota yang mewah di tengah-tengah kemiskinan yang merajalela. Atau dengan kata lain, dia ingin bilang bahwa penderitaan kalian itu bukan urusan saya, yang penting kotanya bersih dan terorganisir. Bayangkan betapa rusaknya moral Xanana dan pemerintahannya yang dulu dianggap sebagai mesiasnya kaum miskin, yang didewa-dewakan sebelum naik ke tampuk kekuasaan. Perlahan-lahan mereka membuka topengnya dan perlihatkan wajah aslinya.
Untuk itu kita perlu bertanya: untuk kepentingan siapa penggusuran yang dilakukan dengan represi oleh pemerintahan Xanana? Apakah kerusakan yang telah ditimbulkannya dengan mengorbankan rakyat kecil ini demi kepentingan untuk semua orang atau hanya untuk kepentingan segelintir kelas penguasa yang memegang kendali ekonomi dan politik? Kita patut bertanya hingga sampai pada persoalan besar lainnya, yaitu apakah benar kemerdekaan Timor Leste saat ini untuk semua rakyat secara keseluruhan atau hanya untuk kelas penguasa? Kita semua patut bertanya.
Jumlah penduduk di Dili menurut sensus tahun 2004 berjumlah 88.373 jiwa. Namun pada tahun 2015 ini meningkat menjadi 277.279, dan pada tahun 2022 meningkat lagi menjadi 324.269 jiwa. Angka ini mencerminkan fenomena urbanisasi massal yang terjadi dalam dua dekade terakhir.
Di Timor Leste, proses urbanisasi mencerminkan kesenjangan pembangunan antara pedesaan dan perkotaan. Di pedesaan, kita saksikan kondisi jalan yang buruk, tidak ada pasar, kondisi sekolah dan rumah sakit yang buruk, kemiskinan, pengangguran yang luas dan minimnya mata pencaharian. Buruknya pembangunan di pedesaan pada akhirnya memaksa masyarakat pedesaan mengambil pilihan untuk bermigrasi tidak hanya ke kota Dili tetapi juga ke luar negeri, seperti Inggris, Kanada, Portugal, Australia dan lain-lain, untuk mencari nafkah.
Namun sesampainya di kota, lapangan kerja yang ada sangatlah sedikit, akhirnya banyak para pendatang harus menjadi pedagang kaki lima di pinggir jalan, atau berjualan pasir di sungai, agar tetap bisa bertahan hidup. Tidak memiliki rumah dan tanah, kaum miskin kota dan pedagang kaki lima harus menempati ruang-ruang publik di Dili, seperti bantaran sungai, bukit dan pinggir jalan, yang akhirnya menjadi sasaran penggusuran yang dilakukan oleh negara. Kapitalisme yang gagal memajukan ekonomi rakyat pekerja di desa maupun kota – tetapi berhasil membuat kaya segelintir borjuis dan politisinya – menjadi akar dari seluruh permasalahan ini.
Ketika negara menyatakan bahwa penggusuran adalah bagian dari pembangunan negara, kita harus bertanya: negara siapa dan pembangunannya untuk kepentingan siapa? Sebagai kaum Marxis penting bagi kita untuk melihat karakter negara dari sudut pandang kelas. Jelas keberadaan negara saat ini tidak mampu menjamin kesejahteraan hidup yang berkeadilan bagi semua, dan hanya sekedar jembatan bagi kelompok minoritas untuk mengakumulasi kekayaan.
Marx dan Engels mengatakan bahwa “lembaga eksekutif negara modern adalah sebuah komite untuk mengatur kepentingan kolektif kelas borjuis.” Konsepsi negara ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Lenin dalam karyanya Negara dan Revolusi. Bagi Lenin, negara selalu memiliki karakter kelas; negara adalah organisasi kekuasaan kelas penguasa; negara hanya berfungsi untuk menjamin kepentingan dan hak istimewa kelas penguasa.
Oleh karena itu, negara bukanlah sebuah entitas netral seperti yang dikatakan oleh kaum reformis dan demokrat, melainkan sebuah instrumen untuk melayani kepentingan kaum borjuis. Apa yang disebarkan oleh ideologi dominan selama ini tentang demokrasi “kerakyatan” dan pembangunan nasional hanyalah ilusi untuk menumpulkan perlawanan massa.
Dalam demokrasi hari ini, nasib mayoritas rakyat ditentukan oleh minoritas yang duduk di parlemen. Mulai dari pembuatan undang-undang, kebijakan dan pengesahan anggaran ditentukan oleh mereka. Apakah keputusan tersebut memihak mayoritas atau tidak, tidak ada ruang bagi masyarakat kelas bawah untuk bertanya. Oleh karena itu, bukan hal baru jika pembuatan undang-undang dan kebijakan sejak masa restorasi kemerdekaan hingga saat ini selalu memberikan keistimewaan kepada kaum kaya dan bertentangan dengan kepentingan masyarakat kelas bawah. Alih-alih pembangunan rumah publik untuk kaum miskin kota yang tidak memiliki rumah, mereka justru digusur.
Oleh karena itu, agenda pembangunan nasional yang dilakukan oleh negara bukanlah untuk memenuhi kebutuhan bersama atau bukan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, melainkan hanya untuk menjawab tuntutan kapitalisme. Penggusuran yang dilakukan negara bukan untuk menyelesaikan kemiskinan dan permasalahan struktural lainnya yang dihadapi rakyat pekerja di Timor, namun ini untuk menciptakan kondisi awal bagi investor untuk datang membuka pasar, menyedot kekayaan di Timor dan mengeksploitasi buruh demi akumulasi profit.
Oleh karena itu, bagi kami solusi idealnya bukan hanya sekedar kompensasi bagi yang tergusur sesuai undang-undang, ataupun kota yang terorganisir dan redistribusi kekuasaan lokal, namun lebih dari itu kita perlu berjuang untuk secara revolusioner menyingkirkan kapitalisme yang menjadi biang kerok semuanya dan menegakkan sosialisme di bumi Timor Leste.
Sosialisme atau barbarisme!!
Hanya satu kata, REVOLUSI!!!