Raungan amarah bertebaran di berbagai media sosial. Banyak warga Jakarta dan sekitarnya ramai-ramai menolak wacana pemangkasan subsidi Kereta Rel Listrik (KRL). Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Risal Wasal kabarnya akan menetapkan tarif KRL berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK). Tarif baru ini akan diterapkan secara bertahap untuk mengurangi beban subsidi yang ditanggung pemerintah. Nantinya, tarif baru KRL akan berbeda-beda sesuai standar kemampuan ekonomi warga Jakarta. Hal ini, menurut pemerintah, akan membuat subsidi “tepat sasaran”.
Perlu kita teliti lebih lanjut soal “tepat sasaran” yang dimaksud. Tercatat, pada 2023 Anggaran subsidi KRL Jabodetabek mencapai Rp1,6 triliun. Angka ini turun dari Rp1,8 triliun di tahun 2022. Dengan jumlah pengguna sebanyak 290 juta sepanjang tahun 2023, biaya subsidi per tiket (sekali naik) sekitar Rp8500
Angka ini jauh lebih rendah dari insentif yang diberikan kepada mobil dan motor listrik. Pada 2023, insentif motor listrik menyentuh angka Rp1,4 triliun untuk 200 ribu unit, sedangkan untuk mobil listrik sebesar Rp1,6 triliun untuk 35.862 unit. Jika ditotal, harga subsidi mencapai angka Rp3 triliun, hampir dua kali lipat dari subsidi KRL. Padahal, jumlah motor listrik yang dibeli pada 2023 sebanyak 11.532 unit. Angka ini hanya 5,76% dari total unit yang siap diberikan insentif motor listrik oleh pemerintah pada 2023.
Tentu tidak heran kita melihat fakta ini. Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan, adalah Ketua Persatuan Industri Kendaraan Listrik Indonesia. Moeldoko adalah pemilik PT Mobil Anak Bangsa, perusahaan motor listrik. Tentu kita lihat pula Luhut Binsar Panjaitan, pemilik tambang batu bara—bahan baku utama pembangkit listrik. Belum kita hitung Jusuf Kalla, Sandiaga Uno, serta borjuis-borjuis lain pemilik tambang dan pabrik yang punya kepentingan untuk menjual komoditas tersebut agar untung. Mereka terlibat langsung dalam urusan pemerintahan dan politik kenegaraan, dan mereka yang menentukan kebijakan mobil dan motor listrik itu. Akhirnya demi menaikkan permintaan secara paksa, mereka menggelontorkan uang subsidi ke sana. Tentunya ini dengan memangkas anggaran di sektor transportasi umum. Tujuannya dua, pertama untuk menjaga anggaran negara tetap stabil, kedua untuk memaksa pengguna transportasi umum berpindah ke transportasi pribadi macam motor atau mobil listrik.
Tidak ada dalam perhitungan mereka soal memajukan transportasi umum murah yang dapat diakses rakyat pekerja. Yang ada hanya perhitungan kepentingan profit.
Kebijakan ini akan menambah beban kelas pekerja yang sudah dilanda badai nestapa. Upah yang “segitu-segitu saja”, harga bahan pokok yang selalu naik, serta ancaman PHK dan pengangguran menyebabkan wacana pemangkasan ini terasa begitu pahit. Kelas penguasa dengan gagahnya bisa bilang: “Ini demi asas proporsionalitas”. Tetapi realitasnya tak banyak orang kaya yang naik KRL. Kebanyakan pengguna KRL adalah rakyat pekerja yang hidup dari upah. Mereka memilih transportasi umum karena murah dan relatif lebih pasti dan terjadwal, dan tak perlu pusing terjebak macet jalanan kota.
Kita harus menolak pencabutan subsidi KRL ini. Ini bukan hanya soal kebutuhan hidup buruh sehari-hari yang akan dibuat tambah berat oleh kebijakan ini, tetapi juga soal basis kebijakan itu sendiri. Pemangkasan anggaran KRL adalah hasil dari kepentingan kelas penguasa yaitu borjuasi. Mereka melakukan ini untuk mencari profit di perusahaan-perusahaan mereka. Ini konsekuensi dari kapitalisme yang kian hari makin membusuk.
Selain itu kita juga harus terus memajukan transportasi publik massal yang hari ini masih jauh dari memadai. Transportasi umum adalah sistem yang terencana dan dapat menampung puluhan ribu orang dalam satu waktu. KRL tidak makan ruas jalan layaknya mobil dan motor. Ia juga lebih “hijau” dibanding kendaraan bermotor bahkan yang listrik sekalipun, dengan KRL yang tak memerlukan baterai. KRL pun tak perlu baru—teknologi yang dipakai di KRL Jakarta sudah ada sejak 80-an, dan layak digunakan sampai sekarang. Bila transportasi publik massal ini mampu dimajukan, maka setengah masalah polusi bisa teratasi.
Tetapi masalahnya, kapitalisme tidak pernah bisa menangani ini. Kapitalisme pada hakikatnya bukan suatu sistem ekonomi yang rasional. Sistem kapitalisme berorientasi profit. Bila kendaraan listrik bisa menciptakan profit bagi segelintir, mengapa susah-susah menyediakan transportasi publik massal murah bagi semua orang. Kapitalisme akan selalu terus menggerus kepentingan rakyat banyak demi kepentingan segelintir orang. Untuk itu kapitalisme perlu digulingkan dan digantikan dengan sosialisme. Dengan ekonomi sosialis yang terencana di bawah demokrasi pekerja, kita bisa mewujudkan kota dengan transportasi umum yang murah, layak, ramah lingkungan dan efisien. Kebutuhan akan transportasi semua orang akan tercapai, dan akan ada lebih banyak waktu bagi kita untuk menikmati hidup—bukan menghabiskan waktu bermacet-macetan di jalanan.