Pada 18 September 2024, Istora Senayan Jakarta disibukkan oleh sekumpulan orang berbaju oranye. Mereka, yang menamakan diri sebagai anggota dan simpatisan Partai Buruh, bersorak-sorai dalam acara “3 Tahun Kebangkitan Kelas Buruh”.
Acara tersebut, yang membawa-bawa nama terhormat kelas buruh, mengundang presiden terpilih Prabowo Subianto, yakni perwakilan utama kelas borjuis. Prabowo diundang sebagai orator untuk mengucapkan selamat ulang tahun pada Partai Buruh. Prabowo sendiri tidak hadir dalam acara itu, tetapi dia mengirimkan rekaman pesan secara virtual. Ia berkata bahwa ia “memperjuangkan keadilan ekonomi, bukan kapitalisme-neoliberal” yang baginya, “tidak cocok dengan Pancasila dan UUD 1945”.
Ucapan basi khas demagog populis layaknya Prabowo tak perlu kita pikirkan terlalu dalam. “Keadilan ekonomi” yang ia maksud sudah jelas bukan keadilan ekonomi bagi rakyat, tetapi keadilan bagi-bagi hasil jarahan di antara kelas penguasa. “Kapitalisme-neoliberal” yang ingin ia lawan tentunya bukan berarti ia mau menggantinya dengan sosialisme, tetapi yang ia inginkan tak lain dan tak bukan adalah “kapitalisme dengan gayanya sendiri”, kapitalisme yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia, yaitu kapitalisme berbasis tenaga-kerja murah untuk menarik hati pemodal internasional.
Jauh lebih menjijikkan dari Prabowo Subianto adalah Partai Buruh yang dipimpin Said Iqbal dan komplotannya. Pada hari yang sama, Said Iqbal menyatakan dukungan kepada kepresidenan Prabowo-Gibran, dengan berkata pada media: “Partai Buruh mendukung pemerintahan Pak Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih.”
Tak perlu banyak kata – ini suatu pengkhianatan bagi kelas buruh.
Kami telah menganalisis sejak awal bahwa Partai Buruh akan membawa kelas buruh ke dalam jurang kolaborasi kelas (Kolaborasi Kelas Partai Buruh, Jalan Menuju Jurang). Dengan prinsip “negara kesejahteraan”-nya, Partai Buruh meninabobokan buruh dan menutup-nutupi kenyataan sebenarnya tentang pertentangan kelas di dalam kapitalisme. Menurut Partai Buruh, dengan “bekerja sama” dengan para politikus borjuis di dalam sistem yang mereka bangun, mereka bisa mencapai apa yang buruh impi-impikan. Tak perlu menyuarakan kekuasaan buruh. Tak perlu menuntut revolusi.
Tendensi reformis dan oportunis PB akhirnya menampakkan dirinya dalam bentuk yang paling menjijikkan, yaitu mendukung rejim yang terang-terangan mencederai buruh. Ibarat domba yang berhamba pada singa agar tidak dimakan, apapun yang PB lakukan akan sia-sia. Tak lama lagi rejim Prabowo akan menaruh beban keuangan negara yang semakin membengkak di pundak kaum buruh, dengan pajak-pajak baru dan pengurangan subsidi di sektor-sektor penopang kebutuhan hidup seperti kesehatan, pendidikan dan transportasi umum.
Kepemimpinan Partai Buruh, walau ia membawa-bawa nama “Kelas Buruh”, sejatinya adalah kekuatan reaksioner terbesar yang ada dalam gerakan buruh saat ini. Para pemilih PB yang awalnya percaya bahwa PB adalah harapan dan kekuatan baru di luar politik arus utama akan jatuh ke jurang apatisme dan pesimisme. Itu harga yang harus dibayar mahal oleh pengkhianatan PB.
Komite Politik Nasional (Kompolnas) – yang menyebut diri mereka sayap-kiri Partai Buruh – menerbitkan statemen mengecam kepemimpinan PB karena mengundang Prabowo. Namun, reaksi setengah-setengah dari mereka tak akan berbuah banyak. Pertama-tama, mereka masih terjebak dalam prinsip “negara kesejahteraan” yang usang, dan kerap menolak memperjuangkan sosialisme dengan alasan kondisi objektif tidak matang dan tidak ingin menyinggung sayap kanan. Tidak ada upaya klarifikasi ideologi yang mereka lakukan. Kedua, dan ini yang lebih penting: ke mana saja mereka? Mengapa mereka baru mengecam kepemimpinan Said Iqbal sekarang, dan bukan sejak awal ketika dia dengan jelas terus menggiring PB ke jalan kolaborasi kelas. Alih-alih membesarkan suara yang melawan oportunisme dalam PB, kaum ”kiri” ini malah melindungi sayap-kanan dari serangan (Baca Melawan Reformisme dan Oportunisme Partai Buruh bukanlah “Ketidakacuhan Politik”). Mereka jauh terlambat, selalu dengan malu-malu, dalam melawan birokrasi sayap kanan PB. Alasan mereka selalu sama: “Yang penting Partai Buruh jadi dulu, nanti setelah itu baru kita suarakan sosialisme”. Hari ini PB telah jadi sejadi-jadinya, yakni jadi pendukung pemerintahan Prabowo. Inilah buah hasilnya.
Kepengecutan Kompolnas dalam menghadapi sayap-kanan partai adalah konsekuensi inheren dari teori, metode dan program mereka yang keliru, yang telah mencampakkan prinsip sosialisme. Terjebak dalam superaktivisme, mereka memilih ”jalan pintas” parlementarisme sembari membuntuti kesadaran terbelakang massa, alih-alih memajukannya. Dengan demikian mereka berakhir membuntuti Said Iqbal dkk.
Namun sekadar mencemooh Partai Buruh bukanlah jalan keluar dari dominasi reformisme dalam gerakan buruh. Perjuangan melawan reformisme di dalam gerakan buruh membutuhkan kerja agitasi dan propaganda yang sistematis dan konsisten, dalam kata lain ini mensyaratkan adanya organisasi revolusioner yang tertempa dalam ide, program, metode dan tradisi sosialisme revolusioner, yang profesional dan kokoh, dan oleh karenanya bisa bekerja di situasi yang paling sulit sekalipun – dalam hal ini, di bawah tekanan birokrasi sayap-kanan gerakan buruh. Maka dari itu, tugas hari ini adalah membangun organisasi revolusioner ini, menghimpun lapisan buruh dan kaum muda yang kecewa dengan kepemimpinan Partai Buruh, yang geram dengan kapitalisme, merekrut mereka dan melatih mereka menjadi kaum revolusioner yang paling gigih.