Akhir tahun kemarin PT Pindad – BUMN di sektor pertahanan – menandatangani bisnis senjata bersama Rheinmetall Denel Munition (RDM), produsen senjata asal Afrika Selatan. RDM merupakan anak perusahaan Rheinmetall yang berbasiskan di Jerman, salah satu pendukung mesin perang Israel. Meningkatnya perang di Gaza, Ukraina, ketegangan di Timur Tengah, serta semakin banyaknya negara yang berlomba-lomba meningkatkan anggaran militer adalah ladang keuntungan bagi bisnis senjata.
Rheinmetall yang menjadi induk dari RDM membangun jaringan bisnis senjata di berbagai negara guna meningkatkan produksinya. Pemerintah kita menerima kerjasama ini dengan senang hati. Mereka tidak peduli bisnis senjata ini berlumuran darah rakyat Gaza. Bagi mereka profit tidak mengenal halal haram, meskipun dalam bisnis senjata profit ini haus darah. Seperti kata Lenin, “Perang sangat ‘mengerikan’. Tapi juga sangat menguntungkan”
Pindad bersama Rheinmetall akan membangun pabrik amunisi kaliber besar. Pembangunan pabrik skala besar ini akan digunakan untuk menyuplai amunisi tank-tank Leopard buatan Jerman. Kerjasama ini mengincar pasar senjata di Asia. “Pangsa pasar munisi tank Leopard di Asia masih terbatas, hanya ada Singapura dan Indonesia serta Australia,” Wayan, Kepala Divisi Munisi PT Pindad. Tentu saja Pindad bukanlah pemain baru di pasar persenjataan di Asia. Pindad telah menjual senjata ke militer Myanmar sejak 2014 hingga 2021. Dengan begitu Pindad secara aktif membantu kampanye genosida Rohingya dan kudeta militer pada 2021.
Sementara rudal-rudal beterbangan di atas langit Ukraina dan mesin perang Israel menghancurkan manusia di Gaza, saham perusahaan senjata meningkat pesat. Rheinmetall terus menggandakan keuntungan dari perang dan genosida ini. Laba mereka meningkat 2 kali lipat di kuartal kedua 2024, karena lonjakan belanja pertahanan akibat Perang Rusia-Ukraina. Perusahaan ini menargetkan penjualan 20 milyar euro untuk dapat menggandakan lagi pendapatannya di 2027.
Potensi permintaan yang besar karena ketegangan geopolitik dunia mendorong kapitalis senjata memperluas pasar mereka. Bagi mereka perang adalah kesempatan untuk berbisnis dan meningkatkan laba. Ketika Uni Eropa membahas dana persenjataan 500 milyar euro untuk investasi di bidang persenjataan, CEO Rheinmetall silau melihat uang ini. Dia mengatakan: “Saya mendukung dana tersebut, juga karena kita membutuhkan lebih banyak kesamaan di antara negara-negara Eropa. Saya berasumsi bahwa ini akan menghasilkan potensi yang lebih besar bagi Rheinmetall.”
Uni Eropa merupakan pemasok senjata terbesar kedua bagi Israel setelah AS. Antara 2018 dan 2022, negara-negara anggota Uni Eropa menjual senjata senilai 1,76 miliar euro ke Israel. Senjata-senjata ini terus mengalir ke Israel, bahkan setelah Mahkamah Internasional menyatakan Israel telah melakukan genosida.
Rheinmetall bersama dengan Perusahaan Inggris BAE Systems juga memproduksi howitzer gerak sendiri M109 yang telah digunakan untuk menembaki rakyat di Gaza. Senjata artileri ini menggunakan amunisi fosfor putih, yang dapat membakar kulit hingga ke tulang dan menyebabkan disfungsi organ.
Di antara negara-negara di Uni Eropa, sejauh ini Jerman merupakan pemasok terbesar ke Israel. Jerman memasok 30 persen persenjataan Israel antara tahun 2019 dan 2023. Ekspor mereka meningkat sepuluh kali lipat tahun lalu, dari 32,3 juta euro menjadi 326,5 juta euro. Selain memasok Israel secara langsung, senjata Uni Eropa sering kali diekspor secara tidak langsung ke Israel melalui AS dan berbagai negara lain. Meskipun ekspor senjata tunduk pada undang-undang pengendalian senjata atau War Weapon Control Act, ini tidak mencegah negara-negara imperialis ini untuk mengangkanginya.
Mereka mengakali regulasi ekspor militer Jerman dengan membuat pabrik-pabrik baru seperti di Afrika, India, Indonesia dan negara-negara lain. Ada 39 fasilitas produksi senjata Rheinmetall yang tersebar di seluruh dunia. Mesin pembuat amunisi dikirim ke Arab Saudi, Mesir, Emirat Arab dan negara-negara yang bukan anggota NATO. Fasilitas produksi tersebut dapat membuat proyektil dan mengekspor tanpa kontrol yang ketat perihal tujuan akhir pengiriman tersebut. Hal ini membuat mustahil untuk melacak sejauh mana senjata dan komponen militer Uni Eropa yang ke luar berakhir dikirim ke Israel. Inilah mengapa mustahil menuntut kelas kapitalis melucuti senjata mereka selama kapitalisme masih berjalan.
Ribuan orang terbunuh di Gaza akibat genosida Israel. Tidak ada satu pun usaha dari negara-negara yang ada mampu mencegahnya. Ini karena mereka terikat seribu benang dengan imperialisme. Meskipun pemerintah Indonesia menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina, tapi ini hanyalah basa-basi saja. Mereka terus mendukung mesin perang imperialis sembari meraih keuntungan darinya.
Setiap amunisi yang diproduksi PT Pindad berkontribusi pada mesin perang imperialis yang memusnahkan laki-laki, perempuan, dan anak-anak di Gaza. Lebih dari 45 ribu telah mati karena mesin perang imperialis ini dan akan terus bertambah seiring menajamnya ketegangan di Timur Tengah.
Korban perang pada akhirnya rakyat pekerja. Di seluruh belahan dunia biaya hidup semakin mencekik. Mereka bukanlah korban langsung, tetapi korban dari dampak ekonomi dan politik dari perang. Ada 1,9 juta orang berada dalam kelaparan – terutama di Gaza dan Sudan. Tetapi juga wilayah-wilayah lainnya seperti Sudan Selatan, Haiti, dan Mali. Di kamp Zamzam di Sudan utara, kelaparan sudah terjadi. Ini saja menggambarkan kengerian dari perang imperialis ini. Sementara kapitalis senjata meraih keuntungan dari perang dan kengerian ini, kelas pekerja lah yang dirugikan. Kapitalisme akan terus mereproduksi perang. Kapitalisme adalah horor tanpa akhir. Bila kita ingin mengakhiri perang, kita harus mengakhiri kapitalisme.