Jokowi masuk daftar pemimpin terkorup 2024 versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP). Raja korup kita masuk tiga besar setelah Presiden Suriah Bashar al-Assad dan Presiden Kenya William Ruto. Empat dari enam lainnya adalah: Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu, Mantan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina dan Pengusaha India Gautam Adani. Dinobatkannya Jokowi di urutan ketiga sebagai pemimpin dunia terkorup mengungkapkan betapa busuknya pemerintahan kita. Sementara Bashar al-Assad dan Sheikh Hasina berhasil digulingkan, Jokowi luput dari revolusi dan masih memiliki kendali di pemerintahan yang ada saat ini.
Bashar al-Assad menempati urutan pertama pemimpin terkorup di dunia. Rezim ini hanya dapat bertahan karena dukungan eksternal dari Rusia dan Iran. Selama bertahun-tahun dia memecah belah rakyat atas dasar sentimen etnis untuk mempertahankan kekuasaannya. Hampir 90 persen penduduknya hidup dalam kemiskinan dan hanya bertahan hidup dengan kurang dari $2 sehari. Inflasi dan kehancuran selama perang saudara telah membuat rakyat frustrasi. Sebagian besar rakyat tidak lagi mendukung rezim ini. Pemberontakan kecil saja dari kelompok islamis berhasil meruntuhkan rezim ini. “Kerusakan politik, ekonomi, dan sosial yang disebabkan oleh Assad, baik di Suriah maupun di kawasan, akan memakan waktu puluhan tahun untuk diatasi,” kata Alia Ibrahim, salah satu juri OCCRP. Pemerintahannya begitu korup dan busuk sampai ke akar-akarnya. Inilah alasan mengapa rezim ini runtuh seperti rumah kartu.
Begitu pula Presiden Kenya William Ruto. Pemerintahannya begitu serakah dan korup. Pengangguran kaum muda semakin menjamur. Dia mendorong undang-undang pajak yang kontroversial sehingga kehidupan rakyat semakin sulit. Dalam dua tahun sejak Ruto menjadi presiden, pajak atas gaji naik, pajak penjualan bahan bakar berlipat ganda dan orang-orang juga diharuskan membayar retribusi perumahan dan pajak asuransi kesehatan baru yang tidak menguntungkan banyak warga Kenya. Undang-undang ini memicu protes besar-besaran yang hampir meruntuhkan rezim tersebut.
Hal sama juga dilakukan Presiden Jokowi. Selama sepuluh tahun menjadi presiden dia berhasil mengamputasi KPK untuk menjadi senjata menundukkan musuh-musuh politiknya dan mengebiri Mahkamah Konstitusi untuk menjadikan anaknya Gibran sebagai wakil presiden. Dia menjadikan menantunya Bobby Nasution sebagai Wali Kota Medan; Anwar Usman, adik iparnya, menduduki lembaga pemerintahan Mahkamah Konstitusi (MK)
Dia juga menjadikan Sigit Widyawan, suami dari sepupunya, menduduki jabatan Komisaris Independen Bank Negara Indonesia; Joko Priyambodo, keponakan Jokowi, menduduki jabatan Direktur Pemasaran dan Operasi Patra Logistik—anak perusahaan Pertamina; Bagaskara Ikhlasulla Arif, putra dari adik bungsu Jokowi, memegang jabatan Manager Non-Government Relations di Pertamina.
Tidak heran rilis OCCRP ini membuat para pendukung Jokowi gusar. PSI yang menjadi motor pembela Jokowi menuduh OCCRP tidak kredibel dan menyebarkan berita bohong. Jokowi juga mengatakan tidak ada bukti kalau dia korupsi. Tetapi penolakan ini tidak melemahkan tuduhan terhadapnya, tapi justru sebaliknya.
Di masa kepresidenan Jokowi indeks persepsi korupsi terus turun. Korupsi tidak hanya dinilai dari praktek langsung menjarah kekayaan negara, tetapi juga, dan terutama selama rejim Jokowi, peran pemerintahannya dalam memfasilitasi penyalahgunaan kekuasaan. Indeks ini turun dari 40 pada 2019 menjadi 34 pada 2022. Salah satu penyebabnya adalah revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang disahkan pada 2019. Revisi UU KPK membuat lembaga anti-korupsi tersebut berada di bawah kewenangan eksekutif. Juga, revisi UU KPK mengatur ulang penyadapan, penggeledahan, atau penyitaan, yang harus dilakukan atas izin Dewan Pengawas. Ini semua telah membuat KPK seperti macan ompong.
Bila fakta-fakta sudah jelas, maka pembuktian bisa dilakukan di pengadilan. Tetapi semua fakta-fakta yang ada tidak dapat mengadilinya. Dia seharusnya digulingkan seperti halnya Perdana Menteri Bangladesh Syeikh Hasina. Tetapi ini tidak terjadi. Korupsi dan nepotisme terus berjalan. Jokowi masih memiliki tangan di pemerintahan melalui anaknya. Dinasti Jokowi sama sekali belum digulingkan. Presiden yang ada saat ini hanya melanjutkan agendanya saja. Skandal-skandal korupsi akan jauh merebak dan lebih buruk. Mereka yang berkuasa, kendati dengan semua korupsi dan nepotismenya, tidak dapat diadili. Bila pun ada banyak bukti, tetapi siapa yang bisa membuktikan, mengadili dan menghukumnya? Tidak ada. Kecuali rakyat yang mengadilinya melalui revolusi. Inilah yang luput saat itu.