Skip to content
Sosialis Revolusioner
Menu
  • Berita
  • Analisa
    • Gerakan Buruh
    • Agraria & Tani
    • Gerakan Perempuan
    • Gerakan Mahasiswa
    • Ekonomi
    • Politik
    • Pemilu
    • Hukum & Demokrasi
    • Imperialisme & Kebangsaan
    • Krisis Iklim
    • Lain-lain
  • Teori
    • Sosialisme
    • Materialisme Historis
    • Materialisme Dialektika
    • Ekonomi
    • Pembebasan Perempuan
    • Organisasi Revolusioner
    • Iptek, Seni, dan Budaya
    • Lenin & Trotsky
    • Marxisme vs Anarkisme
    • Sejarah
      • Revolusi Oktober
      • Uni Soviet
      • Revolusi Indonesia
      • Lain-lain
  • Internasional
    • Asia
    • Afrika
    • Amerika Latin
    • Amerika Utara
    • Eropa
    • Timur Tengah
  • Perspektif Revolusi
  • Program
  • Pendidikan
  • Bergabung
Menu

Perspektif Politik 2025: Bersiap Untuk Revolusi

Dipublikasi 17 June 2025 | Oleh : Redaksi Sosialis Revolusioner

Kita tengah memasuki dunia yang penuh gejolak. Statemen ini sudah kita nyatakan berulang kali dalam perspektif kita selama dekade terakhir, tetapi sepertinya setiap tahun kita terus dikejutkan oleh peristiwa-peristiwa eksplosif yang tidak ada duanya. Sungguh era baru telah tiba dan semua yang lama terjungkir dari singgasananya yang ajek itu. 

Untuk mengarungi samudera yang bergejolak ini, dengan angin yang bertiup keras dari segala penjuru dan arus yang tak menentu, kita memerlukan perspektif jitu yang ilmiah. Di sinilah pentingnya perspektif, yang berperan layaknya kompas dan sextant bagi nakhoda kapal untuk memandu kita agar tidak kehilangan arah. Tanpa perspektif maka kita dapat menjadi kelimpungan, dan, bahkan lebih parah lagi, tersungkur pada opini publik borjuis yang membuat kita justru berdiri di sisi sejarah yang keliru.

Perspektif kita bukanlah kajian akademis semata untuk memuaskan keingintahuan. Ia ditujukan sebagai senjata untuk mencerahkan kelas proletar dan mengubahnya menjadi kekuatan revolusi yang nyata. “Teori menjadi kekuatan material begitu ia mencengkeram massa,” jelas Karl Marx. 

Perspektif kita juga bukanlah bola kristal ajaib yang memungkinkan kita memprediksi secara persis bagaimana peristiwa akan bergulir, apalagi kapan revolusi akan meletus. Di setiap langkah kita harus terus mengikuti peristiwa dengan dekat dan mengubah perspektif kita sesuai dengan perubahan yang ada. Perspektif adalah sebuah aproksimasi yang hidup. Seorang nakhoda baik akan terus memeriksa arah angin, arus, serta kompasnya setiap saat. Tetapi yang bisa kita lakukan dengan perspektif kita adalah memaparkan garis-garis umum perkembangan masyarakat hari ini di tengah krisis kapitalisme yang mendalam, memusatkan perhatian kita pada fitur-fitur fundamentalnya agar tidak teralihkan perhatian kita oleh hal-hal yang sekunder. 

Ada generasi pejuang baru yang tengah teradikalisasi oleh krisis kapitalisme. Mereka tengah bergerak ke kesimpulan revolusioner dan tugas kita adalah membantu mereka mencapai kesimpulan tersebut, bahwa tidak ada jalan keluar dari kebuntuan kapitalisme selain menumbangkannya secara revolusioner. Perspektif ini akan membantu kita dalam tugas tersebut.

Dunia terjungkir balik

Salah satu fitur fundamental yang kita saksikan di dunia hari ini adalah berakhirnya tatanan dunia liberal yang lama.  

Dalam politik, ini kita saksikan dengan runtuhnya politik tengah – yaitu partai-partai borjuis liberal, dan juga tidak ketinggalan partai-partai sosial-demokrat reformis yang senantiasa mengekor mereka – dan ayunan tajam ke kiri dan kanan. Terpilihnya Trump – dan bangkitnya sosok-sosok populis kanan lainnya seperti Marine Le Pen, Meloni, Nigel Farage – menandai polarisasi ini. Tidak hanya partai liberal yang ada dalam krisis, tetapi juga partai-partai borjuis tradisional lainnya. Semisal, Partai Republik di AS, yang secara efektif sudah tumbang dan digantikan dengan “Partai Trump”; Trump menyingkirkan politisi-politisi Republiken lama dan menggantikan mereka dengan orang-orang baru yang setia padanya. Atau CDU Jerman, yang dominasinya sebagai partai konservatif yang telah memerintah selama puluhan tahun telah tergerus. 

Dalam ekonomi, ini kita saksikan dengan berakhirnya globalisasi dan perdagangan bebas, dan dimulainya era proteksionisme agresif. Tarif Donald Trump menghancurkan semua norma-norma perdagangan dunia yang selama puluhan tahun diterima sebagai dogma yang sakral. Yang kini berlaku dalam perdagangan dunia adalah insting predatoris untuk menyelamatkan diri masing-masing.

Dalam diplomasi dan hubungan dunia, ini kita saksikan ketika Zelensky diomeli di hadapan publik seluruh dunia oleh Trump. Kemunafikan diplomasi internasional terekspos. Trump dengan terbuka menunjukkan relasi kekuatan yang sesungguhnya antara AS dan Ukraina, bukan hubungan antara partner yang setara, melainkan hubungan antara patron dan klien, antara majikan dan cecunguk. Sedari awal perang ini bukanlah perang antara Ukraina dengan Rusia, melainkan antara AS dengan Rusia. Eropa terhenyak ketika Ukraina, dan juga mereka sendiri, tidak dilibatkan oleh AS dalam perundingan gencatan senjata dengan Rusia karena mereka sendiri telah lama percaya pada kebohongan yang mereka muntahkan, bahwa perang ini adalah perang membela tanah air Ukraina. 

Seturut dengan doktrin America First, AS mencampakkan Eropa dan sekutu-sekutu lamanya. Tidak ada teman abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Ketika Trump mengajukan gagasan mencaplok Kanada, Greenland, dan Kanal Panama, banyak yang mengira ini hanya salah satu pernyataan bombastis Trump yang tidak perlu dianggap serius. Pada kenyataannya, ini adalah perubahan kebijakan luar negeri AS untuk memperkuat dominasinya di wilayahnya, dan menarik dirinya dari peran sebagai polisi dunia. Kaum liberal menolak melihat ini karena mereka menolak mengakui bahwa tatanan dunia liberal yang lama, tatanan pasca-perang-dunia-kedua, ini semua sudah berakhir. 

Namun berakhirnya tatanan lama ini bukanlah karya seorang Trump, melainkan karya tak-terelakkan dari kapitalisme yang memasuki krisis. Krisis kapitalisme berarti krisis liberalisme dan reformisme. 

Rakyat pekerja yang sudah muak dengan status quo, yang dengan tepat mereka lihat sebagai biang kerok dari semua kesulitan yang mereka hadapi, mencoba mencari jalan keluar. Berulang kali mereka mencoba alternatif kiri, seperti lewat Jeremy Corbyn, Bernie Sanders, Podemos, Syriza, Die Linke, dll. Ada ayunan tajam ke kiri, tetapi para pemimpin reformis kiri ini terbukti tidak memiliki keteguhan politik dan ideologi yang dibutuhkan untuk melawan kapitalisme. Kini rakyat mencoba menyalurkan aspirasi anti-status-quo mereka lewat para demagog kanan seperti Trump. Perubahan cepat dalam opini publik dan medan elektoral, yang berayun-ayun ke kanan, ke kiri, dst., dengan polarisasi tajam, demikianlah periode yang kita masuki hari ini. 

Tentunya proses politik yang berlangsung di AS dan Eropa tidak secara otomatis menemukan paralel yang identik di semua negara. Bila demikian sederhananya, buat apa perspektif dan analisa politik nasional? Kita cukup berhenti di sini. 

Namun yang pasti krisis kapitalisme, yang hari ini terekspresikan dengan paling akut di AS dan Eropa, memiliki dampak yang terasa sampai ke negara yang paling kecil sekali pun, persis karena kapitalisme AS dan Eropa mendominasi dunia. Inilah mengapa kita harus selalu menghubungkan perspektif nasional kita dengan perspektif dunia. Kita wajib mengikuti peristiwa-peristiwa dalam kerincian dan partikularitasnya, karena bila tidak maka kita akan hanya mengulang-ulang pernyataan umum. Tetapi kita hanya bisa memahami sepenuhnya partikularitas nasional bila kita meletakkannya sebagai bagian dari proses-proses umum yang bergulir secara internasional. Dari yang umum ke partikular, dan kembali lagi ke umum, dalam proses analisa perspektif yang dialektis.

Trump dan Fasisme

Terpilihnya Trump membuat panik kaum liberal. “Fasisme telah tiba,” begitu raung mereka. Bila memang fasisme telah tiba, ia tiba karena dibukakan pintunya oleh liberalisme yang membusuk. Tetapi tidak ada fasisme hari ini. Yang ada adalah polarisasi tajam akibat krisis kapitalisme yang paling dalam sepanjang sejarah.

Kaum empiris yang dangkal, dan kita tidak kekurangan orang-orang seperti ini di dalam gerakan kiri, melihat polarisasi tajam ini dan hanya bisa meratap dengan pilu. Mereka mengeluh mengenai kebangkitan kanan. Mereka tidak bisa melihat bahwa rakyat pekerja yang memberi suara mereka pada partai-partai populis kanan ini melakukannya bukan karena mereka fasis, bigot, rasis, bodoh, dst., tetapi sebagai bentuk penolakan terhadap semua institusi status-quo, dari politik, media, pendidikan, kebudayaan, dll.

Namun Trump, sebagai perwakilan kapitalis, tidak akan bisa menyelesaikan problem-problem yang dihadapi rakyat pekerja. Ayunan tajam ke kiri sedang dipersiapkan. 

Sesungguhnya, aktivis-aktivis kiri kita, walau gemar mengumandangkan “kekuatan rakyat”, tidak punya kepercayaan yang teguh pada rakyat pekerja. Mereka kerap mengeluh mengenai keterbelakangan rakyat pekerja dan menyalahkan mereka atas kekalahan gerakan. Pesimisme selalu menyertai mereka.

Tenggelam dalam pesimisme ini, kaum kiri semakin menambatkan harapan mereka pada kaum liberal, pada status quo. Mereka tergopoh-gopoh berusaha menyelamatkan tatanan liberal yang ada, dengan dalih menyelamatkan demokrasi dan membendung fasisme. Pertama, tidak ada yang demokratik sama sekali dengan tatanan liberal. Kemunafikan demokrasi liberal telah terekspos tidak lebih dari demokrasi untuk yang empunya kuasa. Survei demi survei di banyak apa yang disebut negara demokrasi menunjukkan anjloknya kepercayaan publik terhadap institusi-institusi demokrasi. Kedua, justru kebusukan liberalismelah yang menyebabkan bangkitnya demagog-demagog kanan ini. 

Politik lesser evil yang pragmatis merupakan penyakit kaum kiri kita, tidak hanya di Barat tetapi juga di Indonesia. Dengan mengekor pada kaum liberal, kaum kiri juga ikut tenggelam dengan mereka dan dengan demikian membuka jalan bagi bangkitnya sosok-sosok demagog kanan yang mencitrakan diri mereka sebagai anti status-quo.

Tarif dan Perdagangan Bebas

Dunia dikejutkan oleh tarif Trump, yang menghancurkan globalisasi dan membawa kita memasuki era proteksionisme. Untuk waktu yang lama, tampaknya perang dagang ini tidak akan melibatkan Indonesia secara langsung. Ini semua berubah dengan cepat. Tetapi kaum revolusioner tidak pernah terkejut dengan ini karena kita dipersenjatai dengan teori Marxis. Seperti kata Trotsky, Marxisme adalah keunggulan wawasan ke depan ketimbang keterkejutan. 

Salah satu fitur utama kapitalisme adalah perdagangan bebas. Untuk bisa terus meluaskan produksi dan pasarnya – dan dengan demikian mengembangkan kekuatan produktif – kapitalisme harus terus menerobos semua sekat-sekat yang menghalangi perdagangan. Inilah yang membuatnya lebih progresif dari feodalisme dengan provinsialismenya yang sempit itu.

Pasca perang dunia kedua, proses perluasan pasar dan produksi ini mengalami percepatan luar biasa, yang menjadi salah satu boom ekonomi tanpa-preseden pada periode tersebut. Perluasan ini mendapat dorongan besar sekali lagi pada periode 1990-2000an (yang dikenal dengan nama globalisasi), dengan terutama masuknya China dan bekas Uni Soviet serta Blok Timur ke dalam pasar dunia. Pembagian kerja menjadi semakin mendunia dan kekuatan produktif kapitalis berkembang pesat.

Namun, tidak seperti yang digembar-gemborkan kaum liberal, globalisasi tidak membawa kesejahteraan berarti bagi rakyat pekerja. Sebaliknya, globalisasi mengintensifkan penghisapan. Di Barat, ini menciptakan deindustrialisasi. Di Timur, perdagangan bebas menghancurkan industri dalam negeri dan merantai negara-negara ini di bawah mekanisme pasar dunia. Pabrik-pabrik besar dibangun dengan kondisi kerja tidak terlalu berbeda seperti kawasan industri Manchester pada awal abad ke-19 yang menginspirasi Engels menulis Kondisi Kelas Buruh Inggris. 

Namun, di sisi lain, globalisasi dengan pembagian kerjanya yang mendunia telah mengembangkan kekuatan produktif sampai ke tingkatan yang luar biasa, yang pada gilirannya telah menciptakan pasukan proletariat yang semakin besar di mana-mana. Hanya dalam pengertian ini kita dapat mengatakan perkembangan kekuatan produktif di bawah kapitalisme itu progresif, karena ia menciptakan kelas revolusioner yang akan menjadi penggali kuburnya.

Namun kapitalisme memiliki kontradiksi yang inheren di dalamnya, yang pada titik tertentu meledak menjadi krisis overproduksi. Kontradiksi ini hadir dari moda produksi kerja upahan itu sendiri, yang membayar buruh dengan upah seminim-minimnya sementara mendorong mereka untuk memproduksi sebanyak mungkin. Terlalu banyak komoditas dan industri yang akhirnya tidak bisa diserap oleh pasar, yang lalu membuat seluruh gir ekonomi mandek.

Seluruh dunia kini dihadapkan dengan krisis overproduksi, yang biasanya disebut oleh ekonom borjuis sebagai overkapasitas. Semakin besar kekuatan produktif yang telah diciptakan oleh kapitalisme semakin dalam pula krisis overproduksi ini. Seperti kata Marx, “Masyarakat borjuis modern, dengan relasi produksi, pertukaran dan propertinya, sebuah masyarakat yang telah menciptakan alat-alat produksi dan pertukaran yang maha besar, adalah seperti penyihir yang tak lagi mampu mengendalikan kekuatan alam gaib yang telah dipanggilnya.”

Sesungguhnya, sejak krisis finansial 2008, perekonomian dunia tidak pernah sepenuhnya pulih dari krisis. Dunia bergerak dari satu krisis ke krisis lain. Sarana utama yang digunakan oleh kapitalis untuk menanggulangi krisis, yaitu utang, telah menjelma menjadi hal yang justru memperparah krisis itu sendiri. Utang telah menjadi satu-satunya cara kapitalisme bisa terus hidup.

Ketika ekonomi tumbuh pesat, ketika ada cukup pasar, dan oleh karenanya cukup profit untuk dibagi-bagi ke semua kapitalis, perdagangan bebas pun jadi berhala sakral yang tidak boleh diganggu gugat. Tetapi di tengah krisis overproduksi hari ini, tiap-tiap negara berebutan pasar untuk menyelamatkan diri mereka sendiri, secara ekonomi dan politik. Tiap-tiap negara mulai menerapkan kebijakan proteksionis yang merupakan upaya untuk mengekspor krisis ke negara lain. Inilah esensi dari America First-nya Trump.

Dengan tarif, Trump berupaya membangkitkan perekonomian AS yang terseok-seok. Tetapi tidak hanya itu. Masalahnya AS tengah mengalami kemunduran dari posisi dominannya sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Bila pasca perang dunia kedua AS adalah pabrik dunia, kini basis manufakturnya telah hancur karena keserakahan kapitalis AS yang memindahkan pabrik-pabrik mereka ke Dunia Ketiga untuk meraup lebih banyak lagi profit. Cakupan kebijakan tarif Trump yang agresif ini hanya bisa dipahami dari sini, karena ini bukan hanya respons terhadap krisis hari ini tetapi juga kemunduran historis AS. 

Setelah PD II, AS sungguh merupakan raksasa. Ekonominya mencakup 50 persen GDP dunia dan 60 persen produksi industri dunia, sementara populasinya hanya 5 persen dari populasi dunia. Kekuatan ekonomi yang tanpa preseden ini berarti AS secara efektif menguasai dunia dalam semua aspek: ekonomi, politik, sosial hingga budaya. Dengan hanya menjentikkan jari tangan, seorang presiden AS bisa mendikte kebijakan negara lain. Tetapi situasinya hari ini tidak lagi demikian. Kekalahan AS di Irak dan Afghanistan menandai kemunduran relatif AS, yang merupakan konsekuensi dari posisi ekonominya yang mengalami kemunduran. Hari ini, ekonomi AS hanya mencakup 27 persen GPD dunia, separuh dari masa kejayaannya.

Dengan tarif, Trump berusaha memutar balik jam untuk kembali ke tahun 1950-60an. Dia berusaha memicu renaisans dalam manufaktur, dengan harapan tarif ini akan memindahkan pabrik dari negara-negara lain kembali ke Amerika. Ini juga diharapkan akan mengembalikan kestabilan politik dengan menyapu pengangguran yang telah menciptakan keresahan di antara rakyat pekerja. Ini bukan karena kelas penguasa peduli dengan kesejahteraan rakyat. Selama era globalisasi, mereka tidak segan-segan menutup pabrik dan memPHK buruh, untuk memindahkannya ke negara lain dengan upah yang lebih murah.

Masalahnya, ini berbenturan dengan kepentingan kapitalis negara lain yang juga dihadapkan dengan problem-problem yang sama, yang lalu membalas dengan tarif mereka sendiri untuk mempertahankan keberadaan pabrik-pabrik mereka. Seperti halnya perang militer, ini bukan masalah siapa yang menembak terlebih dahulu. Kelas penguasa di mana-mana menuduh Trump sebagai biang kerok, sebagai pihak yang menembak terlebih dahulu dan mereka membalas dengan tarif hanya sebagai pembelaan diri. Tetapi keseluruhan situasi dan kontradiksi inheren kapitalisme telah menciptakan situasi yang niscaya mengarah ke perang dagang. Trump sendiri telah menuduh negara-negara lain sebagai instigator. Semua argumen “siapa yang memulai terlebih dahulu” adalah pengalihan perhatian dari fakta bahwa kapitalisme-lah penyebab perang dagang ini, seperti halnya kapitalisme-lah yang menjadi biang kerok perang militer dari masa ke masa.

Perang dagang ini adalah perang untuk mempertahankan profit kapitalis, persaingan antar kapitalis untuk menjaga pundi-pundi emas mereka. Buruh diadu domba untuk melihat buruh negeri lain sebagai musuh mereka, sebagai sesama kompetitor yang berebut pekerjaan. Pada kenyataannya, musuhnya ada di dalam negeri sendiri, yaitu kapitalis kita sendiri.

Tarif akan menghancurkan kekuatan produktif yang telah dibangun oleh pembagian kerja dunia dan perdagangan bebas. Ini berarti ongkos produksi akan menjadi semakin mahal, dengan inflasi sebagai konsekuensinya. Yang menanggung harga mahal ini siapa lagi kalau bukan buruh yang taraf hidupnya akan digerus.

Namun perdagangan bebas juga bukan solusi, karena justru globalisasi selama puluhan tahun terakhir telah menciptakan pengangguran, kehancuran industri dalam negeri, upah murah, kerja kontrak, outsourcing, dll. 

Trump mengira kebijakan tarif akan menyelesaikan problem AS. Mungkin dalam jangka pendek tarif Trump dapat memberi kelegaan ekonomi, membuka keran investasi ke AS. Tetapi dalam jangka panjang ini hanya akan memperparah krisis kapitalisme secara keseluruhan. Tiap-tiap negara kini akan membalas dengan kebijakan proteksionis mereka sendiri, dan ini akan menghancurkan sistem rantai pasok global yang telah dibangun puluhan tahun. Produktivitas akan menurun. 

Bursa saham seluruh dunia telah rontok dihantam pengumuman tarif Trump secara bertubi-tubi, dengan bayang-bayang resesi dan inflasi yang mengancam tidak hanya AS tetapi juga seluruh dunia. Inilah mengapa Trump terus maju mundur dalam kebijakan tarifnya, bahkan terhadap musuh besarnya China. Setelah menaikkan tarif China hingga 145 persen, yang lalu dibalas oleh China dengan tarif 125 persen, Trump mengatakan bahwa dia akan bernegosiasi dengan China untuk menurunkan tarif. 

“Kegilaan” Trump ini hanya mencerminkan “kegilaan” kapitalisme dalam krisis. Kaum liberal mencemooh Trump yang katanya tidak tahu apa yang sedang dia lakukan. Tetapi pada kenyataannya, kaum liberal sendiri juga tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka telah meluncur dari krisis ke krisis, dari bencana ke bencana dengan mata terbuka tanpa mampu mengatasinya. Yang terbaik yang bisa mereka lakukan adalah menunda krisis ini dengan hutang, yang berarti mempersiapkan krisis yang lebih besar.

Kaum revolusioner oleh karenanya harus menjelaskan dengan sabar kepada buruh, bahwa pilihannya bukanlah globalisasi atau tarif. Selama kita masih hidup di bawah kapitalisme yang eksploitatif, kedua kebijakan ini sama-sama akan menindas buruh. Perang dagang ini adalah perang antar perampok, dan yang jadi korban adalah buruh dan tani, yang dipaksa membayar untuk krisis kapitalisme. 

Dihadapkan dengan perang dagang ini, tugas kaum revolusioner adalah memajukan program persatuan kelas buruh sedunia dan sosialisme internasional. Perang dagang ini menunjukkan dengan bahwa dua rintangan terbesar bagi kemajuan umat manusia – dan bahkan keselamatannya – adalah negara-bangsa dan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Revolusi sosialis akan menghancurkan dua rintangan tersebut, dan dengan demikian membuka jalan ke federasi sosialis sedunia yang memungkinkan untuk pertama kalinya pembangunan perekonomian dunia yang harmonis.

Indonesia dan Tarif

Krisis kapitalisme dunia, dan semua konsekuensi yang mengalir darinya, cepat atau lambat akan menghantam semua negara. Tidak ada negara yang bisa imun darinya. Perekonomian dunia yang telah terintegrasi oleh karenanya mengikat nasib satu bangsa dengan bangsa lainnya. Terutama kalau bisa bicara mengenai AS, pusat kapitalisme dunia.

Kelas penguasa Indonesia ketar-ketir ketika nama Indonesia ada di daftar negara yang dikenakan tarif. Tarifnya juga bukan main-main. Tetapi hanya orang naif yang terkejut. Amerika Pertama tentunya berarti Indonesia nomor sekian.

Ekspor Indonesia ke AS mencapai 10 persen dari total ekspor. Ini jauh lebih kecil daripada ekspor ke China yang mencapai 25 persen. Tetapi 10 persen pun cukup signifikan, terutama ketika industri tekstil dan sepatu sangat bergantung pada pasar AS, dan industri ini sudah ada dalam kondisi carut marut bahkan jauh sebelum pengumuman tarif Trump. PHK besar-besaran telah melanda industri ini, dan tarif Trump akan semakin menghancurkan industri ini.

Merespons tarif Trump, Prabowo mengatakan, “kita harus berani mencari pasar baru … Kenapa kita tidak ke Afrika?” Masalahnya, perang dagang ini dimulai persis karena tidak ada lagi pasar yang mencukupi untuk menampung begitu banyak komoditas yang diproduksi oleh kapitalisme. Trump memberlakukan tarif dengan tujuan untuk menjaga pasar domestiknya sendiri dan meningkatkan ekspornya ke pasar-pasar lain. Tiap-tiap negara juga sekarang berpikiran untuk “mencari pasar baru”, terutama China yang telah lama mempenetrasi pasar Afrika. Ketika China dengan mudah dapat menghancurkan industri garmen Indonesia dengan barangnya yang murah, maka menjadi terang bahwa Indonesia akan kesulitan bersaing untuk merebut pasar Afrika dari China. Satu-satunya cara untuk bisa bersaing adalah dengan terus menekan upah buruh, memperpanjang jam kerja, mengintensifkan eksploitasi tidak hanya terhadap buruh tetapi juga alam.

Satu lagi solusi yang diajukan oleh Prabowo adalah menjual barang kita ke pasar kita sendiri. “(Populasi) kita 300 juta jiwa … sebentar lagi kita sebesar Amerika. Jadi, nanti sepatunya kita jual saja di antara kita,” begitu tuturnya. Masalahnya, pasar kita sendiri saja sudah jenuh, dalam artian pekerja kita tidak bisa menyerap produk yang diproduksi oleh mereka sendiri karena upah mereka yang rendah, yang sendirinya merupakan hasil kebijakan pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang ramah bagi kapitalis. Selain itu, Amerika adalah pasar terbesar di dunia, dan tidak bisa dibandingkan dengan pasar domestik kita yang sempit itu. 

Dihadapkan dengan tarif ini, Prabowo lantas mengajukan gagasan bahwa “Indonesia harus berdiri di atas kaki sendiri”. Retorika berdikari ini hancur berkeping-keping di hadapan realitas bahwa kapitalisme hari ini telah menciptakan ekonomi dunia yang terintegrasi dan tidak ada satu pun negara yang bisa mandiri. Ini harus diakui sendiri ketika Prabowo segera mengirim delegasi ke Washington DC untuk memulai negosiasi.

Pemerintah telah menyatakan kesediaannya untuk mengimpor lebih banyak barang dari AS, dengan tujuan menghapus surplus perdagangan yang menjadi alasan Trump memberlakukan tarif tinggi. Rencananya Indonesia akan mengimpor 18 miliar dolar komoditas dari AS, terutama minyak dan gas senilai 10 miliar dolar. Tetapi ini berarti mengurangi impor migas dari negara-negara lain seperti Nigeria, Qatar, UAE dan Arab Saudi. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia Redma Gita Wiraswasta mengusulkan peningkatan impor kapas dari AS, yang juga berarti mengurangi impor kapas dari negara lain. Industri negara-negara lain ini jelas akan terpukul; PHK akan mengunjungi buruh negara-negara ini; pemerintahan mereka akan merespons dengan semacam kebijakan proteksionis guna melindungi industri dan pasar mereka; pada akhirnya, ini hanya akan semakin mempertajam perang dagang di dunia.

Dalam kata lain, AS melempar kesulitan ekonominya ke Indonesia, yang lalu melemparnya ke negara-negara lain, dst., dst., dalam lingkaran setan yang tidak ada akhirnya. Ini tidak menyelesaikan krisis overproduksi sama sekali.

Melawan Perang Dagang dengan Program Kemandirian Kelas

Di tengah perang dagang yang berkecamuk ini, kelas penguasa di mana-mana mengobarkan sentimen nasionalisme. Tidak terlalu berbeda dengan perang militer, kelas penguasa menyerukan kepada seluruh warga – buruh, tani, kapitalis, tuan tanah – untuk bersatu guna menghadapi gempuran ekonomi dari negara lain, untuk melihat rakyat negara lain sebagai musuh. Beli produk dalam negeri. Boikot Amerika. Kencangkan ikat pinggang kita.  

Tetapi persatuan nasional ini sesungguhnya semu dan berat-sebelah. Persatuan nasional ini adalah tabir untuk mengelabui buruh, untuk mengaburkan fakta bahwa kapitalisme-lah yang bertanggung jawab atas krisis ini. Pemerintah akan memastikan korporasi-korporasi besar menerima paket ekonomi raksasa (subsidi, keringanan pajak, dsb.) agar rekening bank mereka tetap gemuk, sementara buruh dan tani paling banter hanya diberi remah-remah kecil dalam bentuk bansos remeh-temeh yang hanya cukup mengganjal perut. Kita telah melihat ini selama pandemi di mana kapitalis menerima stimulus besar, yang membuat utang negara membengkak. Utang ini akhirnya harus dibayar dengan memangkas anggaran sosial yang berdampak negatif pada taraf hidup rakyat.

Kapitalis akan menggunakan dalih tarif untuk memecat buruh. Bahkan sebelum tarif pun, puluhan ribu buruh garmen telah kena PHK. Kapitalis akan memindahkan pabrik mereka ke negara-negara lain dengan iklim investasi yang lebih ramah (baca: upah yang lebih rendah) atau yang tidak dikenakan tarif tinggi oleh AS. Persetan dengan persatuan nasional. 

Apakah dalam perang dagang ini, ketika ratusan ribu buruh terancam PHK, kapitalis akan membuka rekening bank mereka yang telah digemukkan oleh keringat buruh guna membantu buruh agar tetap memiliki pekerjaan? Persatuan nasional tidak akan pernah menyentuh pundi-pundi emas kapitalis. 

Pemerintahan yang sama, yang selama ini telah melayani kapitalis dengan terus menekan upah buruh, memfasilitasi penyerobotan tanah, membiarkan perusakan lingkungan hidup demi memuaskan nafsu nikel para pemodal, tidak bisa dipercaya untuk membela kepentingan buruh. Dalam perang dagang ini, pemerintah akan membela kepentingan kelas kapitalis. Mereka siap sedia menggelontorkan triliunan rupiah untuk menyelamatkan kapitalis.

Perang tarif ini khususnya, dan krisis kapitalisme umumnya, akan membawa bencana besar bagi buruh. Untuk melawan ini kita membutuhkan program sosialis yang berdasarkan kemandirian kelas dan bukan program berkolaborasi dengan penindas kita sendiri. Buruh harus berdikari sebagai kelasnya sendiri. Berikut poin-poin program yang harus diajukan oleh kaum revolusioner kepada rakyat pekerja di tengah krisis hari ini:

1) Aksi massa untuk menyelamatkan pekerjaan! Bukan Satgas PHK!

Gelombang PHK telah dimulai dan tarif ini akan mengubahnya menjadi tsunami. Gerakan buruh harus merumuskan rencana aksi massa untuk melindungi pekerjaan. Gerakan buruh tidak boleh menaruh kepercayaan sedikitpun pada pemerintah dan kelas penguasa. 

Nasib buruh Sritex bisa jadi pelajaran. Mereka telah diberi janji oleh pemerintah yang katanya akan menyelamatkan pekerjaan mereka dan menjamin pabrik tidak akan ditutup. “Pak Presiden minta memang tidak akan PHK. Dan kita tidak akan biarkan itu akan terjadi PHK,” begitu janji Menaker tahun lalu pada mereka. 

Para pemimpin reformis serikat buruh Sritex terbuai oleh janji ini, atau lebih tepatnya mereka membantu pemerintah untuk membuat buruh akar-rumput terbuai oleh janji ini. Terus berharap sampai menit terakhir bahwa pemerintah akan menyelamatkan mereka, tidak ada perlawanan sama sekali pada akhirnya ketika 10 ribu buruh Sritex diPHK. Yang ada hanya ratapan, tangisan, dan doa. Ini tidak boleh menjadi nasib buruh di tengah krisis kapitalisme yang membabi-buta hari ini.

Menghadapi ancaman PHK dan pemindahan pabrik, gerakan buruh harus meluncurkan aksi mogok sampai okupasi bila diperlukan. Ini adalah satu-satunya cara untuk bisa mempertahankan pekerjaan, dan bukannya Satgas PHK seperti yang digagas Said Iqbal, Andi Gani, dkk. Para pemimpin reformis ini sudah menyerah bahkan sebelum berjuang. Mereka telah menerima PHK sebagai fakta. Pemimpin reformis ini mengatakan sendiri bahwa Satgas PHK bertujuan “mengeliminir pemogokan”, dalam kata lain meredam gerakan buruh yang pasti akan tersulut oleh gelombang PHK. Tidak heran Prabowo dan kapitalis menerima dengan hangat usulan ini.

2) Buka pembukuan kapitalis! Bongkar rahasia bisnis kapitalis!

Kapitalis akan menggunakan alasan tarif dan krisis kapitalis untuk menaikkan harga, menekan upah dan tunjangan, dan memecat buruh. Kita tidak bisa percaya begitu saja pada mereka. Gerakan buruh harus menuntut agar pembukuan bank, pabrik dan korporasi dibuka untuk publik supaya semua rakyat pekerja dapat memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Semua rahasia bisnis harus dibuka untuk membongkar kebohongan kapitalis yang selalu berusaha memancing di air keruh.

Ini adalah langkah pertama menuju kontrol buruh. Buruh dapat mengekspos semua kebohongan kapitalis, bahwa sesungguhnya masyarakat kita memiliki cukup kekayaan untuk memastikan pekerjaan dan upah layak bagi semua, bahwa buruh dapat mengorganisir perekonomian secara demokratik.

3) Tolak stimulus dan bail-out! Ekspropriasi!

Pekerjaan buruh harus diselamatkan dari krisis yang merongrongnya bukan dengan membailout kapitalis atau memberi mereka stimulus. Sebaliknya, setiap perusahaan yang memutuskan untuk menutup pabrik mereka dengan alasan perang dagang harus diekspropriasi tanpa ganti rugi, dan operasinya dilanjutkan oleh buruh di bawah kontrol demokratik.

Pemerintah setiap tahunnya telah menyediakan stimulus triliunan rupiah kepada kapitalis dalam bentuk keringanan pajak, kredit murah, subsidi korporasi, deregulasi, dll. Sebut saja Danantara, yang dibiayai oleh triliunan rupiah uang rakyat untuk investasi kapitalis. Semua ini cukup untuk mengekspropriasi kapitalis tanpa memberi mereka ganti rugi.

4) Persatuan Kelas Buruh dan Sosialisme Internasional

Kaum buruh sedunia bersatulah! Ini bukan slogan hampa yang disuarakan hanya saat peringatan Hari Buruh Internasional saja. Slogan ini memiliki signifikansi tertingginya justru hari ini ketika perang dagang berkecamuk di dunia. Di tengah gelombang nasionalisme yang mulai membesar, kaum revolusioner harus semakin tegas dan konsisten menjelaskan bahwa musuh buruh Indonesia bukanlah buruh AS, bukanlah buruh China, ataupun buruh negara lain. Kaum buruh seluruh dunia memiliki satu musuh bersama, yaitu kaum kapitalis, baik kapitalis kita sendiri maupun kapitalis seluruh dunia. Krisis kapitalisme hanya bisa diselesaikan bila buruh sedunia bersatu untuk menumbangkan kapitalisme di seluruh dunia.

Melawan imperialisme

Hari ini, krisis kapitalisme semakin mempertajam antagonisme antar negara-negara kapitalis yang saling menyerang untuk mencaplok pasar yang lebih besar. Demikianlah karakter kapitalisme hari ini, yang seperti kata Lenin telah mencapai tahap tertingginya, Imperialisme. Pasar dunia telah dibagi-bagi di antara kekuatan imperialis besar. Selama periode boom ekonomi, mereka bisa bersaing secara bersahabat. Tetapi tidak demikian hari ini selama periode krisis overproduksi. Mereka saling mencaplok pasar dan berebut pengaruh.

Untuk terus mempertahankan profitnya, negara-negara imperialis besar semakin menekan negara-negara kapitalis miskin seperti Indonesia. Kita harus melawan imperialisme AS, yang lewat dominasi ekonomi dan geo-politiknya berusaha menggenjet ekonomi Indonesia untuk bisa keluar dari krisis mereka sendiri. Tidak hanya AS saja sebenarnya. China pun dengan kebijakan dumpingnya berusaha keluar dari krisis overproduksi mereka sendiri, yang dengan tekstil murahnya telah membombardir industri tekstil Indonesia dan menyebabkan korban PHK puluhan ribu buruh.

Kapitalis-imperialis tidak peduli bila kebijakan ekonomi mereka menghancurkan kehidupan jutaan buruh dan tani Indonesia selama mereka mempertahankan posisi dominan mereka. Inilah esensi tarif Trump, usaha untuk mengekspor kesulitan ekonomi mereka dengan mengorbankan ekonomi Indonesia.

Perjuangan anti-imperialis yang sejati dan konsisten hanya bisa dikobarkan oleh kelas buruh dengan program mengekspropriasi tanpa kompensasi perusahaan-perusahaan multinasional AS dan meletakkannya di bawah kontrol buruh. Selama puluhan tahun, dengan kebijakan upah murah dan sistem kontrak, korporasi multinasional telah memeras buruh untuk meraup superprofit. Kini ketika perang dagang mengancam profit mereka, mereka siap sedia memindahkan pabrik mereka untuk menghindari tarif. 

Kita juga tidak bisa melawan imperialisme dengan mengandalkan persatuan nasional dengan borjuasi nasional kita sendiri serta pemerintahan mereka. Mereka selalu siap menjadi partner setia modal asing – atau lebih tepatnya kacung setia modal asing – selama ini memberi mereka porsi jarahan yang memadai. Menghadapi perang tarif ini, para politisi borjuis dengan berisik berbicara mengenai perjuangan mempertahankan kedaulatan dan melawan dominasi asing. Mereka bahkan bermain-main dengan retorika anti-imperialis. Demagogi ini hanya untuk menutupi antagonisme kelas dan menundukkan kelas buruh. Kelas buruh harus berjuang melawan imperialisme dengan kemandirian kelas mereka.

Kita juga tidak bisa melawan imperialisme AS dengan mengandalkan kekuatan imperialis lainnya, misalnya bersekutu dengan China atau Eropa dengan argumen bahwa mereka kini adalahnya rivalnya AS. Ingat bagaimana Jepang menjajah kita dengan mengatakan bahwa mereka sedang membebaskan kita dari Belanda. Kemudian Sekutu (AS, Inggris, dan Belanda) datang kembali untuk menjajah kita dengan mengatakan mereka sedang membebaskan kita dari Jepang. Negara-negara kecil selalu jadi rebutan negara-negara imperialis besar, jadi recehan dalam pertikaian intra-imperialis.

Kita harus melawan imperialisme dengan persatuan kelas buruh sedunia. Sekutu terbaik kita untuk melawan imperialisme AS adalah kelas buruh AS. Kita serukan kepada mereka: pertahankan kemandirian kelas kalian! Jangan ‘bersekutu’ dengan majikan kapitalis kalian! Tarif Trump tidak akan menyelesaikan problem kalian. Hanya metode perjuangan kelas – pembentukan serikat buruh, aksi massa, pemogokan – yang dapat menyelamatkan pekerjaan dan mempertahankan taraf hidup buruh. Inilah persatuan yang kita butuhkan, persatuan kelas dan bukan persatuan nasional.

Dari Jokowi ke Prabowo: Pentingnya Kemandirian Kelas

Kebanyakan anak-anak muda yang beberapa bulan terakhir turun dalam gerakan Indonesia Gelap dan Tolak UU TNI mungkin masih terlalu muda untuk mengingat euforia Jokowi ketika ia pertama kali muncul lebih dari 10 tahun yang lalu. Saat itu, hampir semua aktivis kiri, bahkan tidak sedikit yang mengaku Sosialis atau Marxis, begitu menggebu-gebu mendukung Jokowi. Tetapi kita, kaum sosialis revolusioner, sedari awal sudah mengatakan Jokowi tidaklah lebih dari perwakilan borjuis dengan kemasan baru. Kita tidak menanggalkan perspektif kelas kita untuk fenomena-fenomena sesaat yang fana. Kita tidak jatuh pada impresionisme. 

Pada periode itu, rakyat luas sudah letih dengan semua politisi dan parpol yang ada. 15 tahun setelah Reformasi, tidak ada perubahan fundamental dalam kehidupan mereka dan demokrasi yang mereka kira telah mereka menangkan pada 1998 hanya menjadi lahan basah bagi elite-elite politik. Tidak heran rakyat pekerja lalu mencari-cari sosok baru di luar koridor kekuasaan yang amis dan dalam pencariannya mereka menemukan Jokowi dengan wajahnya yang ndeso itu. Mesin politik kapitalis serta media massa dimobilisasi untuk menciptakan image pemimpin rakyat yang turba, yang blusukan. Rakyat pun semakin terseret oleh euforia Jokowi. 

Adalah satu hal bila rakyat pekerja jatuh ke dalam ilusi-ilusi borjuis, tetapi berbeda bila kaum kiri, para pemimpin gerakan, justru ikut-ikutan tersungkur. Dengan menciptakan banyak dalih yang berbelit-belit, termasuk dalih melawan fasisme Prabowo, para aktivis kiri melempar dukungan mereka pada Jokowi. Tidak satu kali, tetapi dua kali. Kegeraman rakyat atas politik borjuis yang busuk berhasil ditelikung ke saluran yang aman, dan di sini selapisan besar aktivis kiri memberi layanan mereka.

Ini kiri-kiri yang sama yang hari ini berteriak “adili Jokowi” dan mengutuk dinasti politik Jokowi. Dalam usaha mereka untuk membendung dinasti politik Jokowi, mereka melanjutkan politik minus malum mereka dengan mendukung politisi borjuis lainnya. 

Para aktivis ‘kiri’ ini kerap menyerah di bawah tekanan opini publik borjuis. Di sinilah letak kekuatan teori sosialisme ilmiah, yang memberi kita pegangan kuat untuk tidak terseret oleh opini publik borjuis, tidak jatuh pada impresionisme yang melihat hal-ihwal hanya dalam permukaannya. Senjata terkuat kelas penguasa bukanlah bayonet, tetapi opini publik. Seperti kata Marx, “ide yang berkuasa dalam masyarakat adalah ide kelas penguasa.” Tanpa teori kita tidak hanya akan terombang-ambing, tetapi bahkan bisa terdampar tanpa kita sadari ke sisi musuh. Inilah pelajaran yang harus diresapi oleh generasi muda hari ini, agar tidak mengulang kekeliruan fatal kiri-kiri lama yang telah mencampakkan kemandirian kelas buruh dan perspektif sosialisme. 

Kestabilan yang mulai retak

Selama dua periode Jokowi (2014-2024), rejim kapitalis berdiri dengan cukup stabil tanpa gejolak sosial dan politik yang signifikan. Tetapi situasinya tidak selalu demikian.

Beberapa tahun sebelumnya, Indonesia diguncang oleh gelombang aksi dan pemogokan buruh pada 2011-12, dengan metode aksi yang militan seperti sweeping, grebek pabrik, dan penutupan jalan tol. Kemenangan demi kemenangan diraih. Kaum buruh mengedepankan diri mereka sebagai kelas revolusioner di hadapan seluruh bangsa. 

Gelombang aksi buruh ini memuncak pada pemogokan nasional pada 3 Oktober 2012, atau Getok Monas. Ini adalah mogok nasional pertama sejak 1965, yang membuat kelas penguasa gemetar ketakutan. 

Tetapi para pemimpin reformis serikat buruh segera mengerem gerakan buruh yang sedang melaju kencang ini. Kekalahan demi kekalahan menyusul, bukan karena buruh dikalahkan di medan perang oleh musuh mereka tetapi karena disabotase oleh para pemimpin mereka sendiri lewat kebijakan kolaborasi kelas. Bagaimana gerakan buruh telah mencapai titik nadirnya dapat kita lihat dari nasib Partai Buruh yang memalukan itu, yang kini telah menjadi bagian dari koalisi pemerintahan yang berkuasa. 

Para pemimpin buruh yang reformis dan konservatif – termasuk juga aktivis-aktivis kiri yang memberi dukungan mereka pada Jokowi – dengan demikian membantu menciptakan kondisi yang memungkinkan rejim Jokowi melenggang dengan nyaman selama 10 tahun dan transisi kekuasaan ke Prabowo yang relatif mulus. Reformisme dan kebijakan kolaborasi kelas mereka telah membuat basah bubuk mesiu perjuangan kelas. Inilah yang Trotsky tekankan ketika dia mengatakan dalam kalimat pembukaan Program Transisional: “Situasi politik dunia secara keseluruhan terutama ditandai oleh krisis historis kepemimpinan proletariat.”

Kestabilan di Indonesia selama 10 tahun terakhir juga disokong oleh kondisi ekonomi yang kondusif. Pertama, era suku bunga super-rendah di dunia yang memungkinkan masuknya uang murah ke Indonesia. Kedua, boom komoditas, terutama nikel, yang juga mendorong investasi besar ke dalam sektor pertambangan dan pengolahan nikel khususnya. Namun kedua hal ini sudah berakhir. 

Krisis inflasi – yang merupakan hasil dari kebijakan uang-murah selama dekade terakhir – menghantam keras dan mendorong bank-bank sentral di banyak negara untuk menaikkan suku bunga pada 2022-23. Pada saat yang sama harga nikel anjlok 40 persen selama dua tahun terakhir karena permintaan untuk mobil listrik di dunia telah menurun.

Tidak hanya itu. Krisis overproduksi yang merundung industri China – sebagai bagian dari krisis overproduksi global – mendorongnya melakukan kebijakan dumping yang telah memporak-poranda industri dalam negeri, terutama tekstil. Ini kebijakan dumping yang sama yang juga telah meningkatkan ketegangan ekonomi antara China dengan negara-negara lain, yang melatarbelakangi perang tarif yang baru saja diluncurkan AS. 

Ditutupnya Sritex, salah satu pabrik tekstil terbesar di Indonesia, yang memPHK 10 ribu buruh merupakan indikasi hancurnya industri dalam negeri. Badai PHK menerpa, dengan sedikitnya 60 ribu buruh mengalami PHK dari 50 pabrik yang pailit dalam dua bulan pertama 2025 saja. Ini akan diperparah oleh tarif yang dikenakan oleh Trump. Trump memang sudah menunda tarifnya, tetapi tarif dasar 10 persen masih berlaku. 

Fondasi yang menopang kestabilan yang lama telah retak dan tanda-tandanya sudah kita lihat. 

Usaha kelas penguasa untuk menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif, yakni dengan semakin mengintensifkan eksploitasi terhadap buruh dan alam, untuk sementara masih dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi 5 persen per tahunnya. Tetapi pertumbuhan ekonomi ini jelas tidak menetes ke bawah. Ada limit berapa banyak keringat, darah, dan air mata yang bisa diperas dari kelas buruh sebelum mereka akhirnya melawan. 

Menghilangnya “kelas menengah”

Selama periode awal pemerintahan Jokowi, rejim dan para ekonom borjuis membangga-banggakan bangkitnya kelas menengah, yang dilansir sebagai tanda bahwa Indonesia akan menjadi negara maju dalam waktu dekat. Beberapa tahun sebelumnya, misalnya, ekonom Chatib Basri, mantan Menkeu di bawah SBY, mengatakan “Ada gejala middle class kita semakin naik pesat. Apalagi di tahun 2045 nanti saat Indonesia ditargetkan jadi negara maju.”

Mimpi ini segera buyar. Selama 6 tahun terakhir, jumlah penduduk yang dikategorikan sebagai “kelas menengah” oleh pemerintah telah menyusut 20 persen. 

Pemerintah mendefinisikan “kelas menengah” berdasarkan penghasilan mereka, yakni orang-orang yang berpenghasilan Rp 2 juta sampai 10 juta per bulan (atau berpenghasilan 3.5 – 17 kali garis kemiskinan). Tetapi, siapa “kelas menengah” ini sesungguhnya? 

Kelas penguasa dan kaum intelektual bayaran mereka gemar menggunakan ungkapan kelas menengah guna menghapus keberadaan kelas pekerja. Namun, sesungguhnya, sebagian besar dari apa yang disebut “kelas menengah” ini adalah pekerja dengan upah yang relatif lebih baik, yang setidaknya sesuai dengan upah minimum resmi. 

Sejak 2016, sepuluh juta dari pekerja berupah-baik ini telah terpuruk, dengan pendapatan mereka jatuh di bawah Rp 2 juta per bulan. Kini proporsinya hanya 17 persen dari total angkatan kerja, dari yang sebelumnya 23 persen. 

Ini berarti lebih dari 80 persen rakyat pekerja kini hanya berpenghasilan kurang dari Rp 2 juta per bulannya: 49 persen disebut “calon kelas menengah” dengan penghasilan sekitar Rp 1-2 juta per bulan, dan mereka terkutuk menjadi “calon kelas menengah” seumur hidup mereka; 24 persen “rentan miskin” dengan penghasilan bulanan Rp 600 ribu hingga 1 juta, naik dari 19 persen 6 tahun yang lalu; dan 9 persen miskin, dengan penghasilan kurang dari Rp 600 ribu, naik dari 8 persen.

Ada proses pemiskinan yang umum di seluruh lapisan masyarakat. Yang sebelumnya hidup relatif nyaman kini jadi miskin, yang miskin kini melarat. 

Pekerjaan yang berupah baik dan stabil telah digantikan dengan pekerjaan dengan upah murah yang rentan. Gig work dan pekerjaan informal telah menjadi semakin umum. Pada periode yang sama, pekerjaan informal naik dari 57 persen menjadi 59 persen. 

Selama periode yang sama (2018-2024), investasi asing meningkat 100 persen dari 29,3 miliar dolar menjadi 60 miliar dolar. Sementara investasi dalam negeri meningkat 150 persen, dari Rp 328 triliun mencapai Rp 814 triliun. Tetapi ini tidak menciptakan pekerjaan yang baik. Sebagian besar kenaikan investasi ini mengalir ke sektor pertambangan dan pengolahan mineral, terutama ke wilayah Malut dan Sulteng. Dibukanya kawasan industri raksasa seperti IMIP di Morowali, yang pemilik utamanya adalah investor asing dari China, Tsingshan, merupakan salah satu cerminannya. 90 ribu buruh bekerja di IMIP, dengan upah rendah, sistem kontrak dan kondisi kerja yang menyerupai neraka. Kecelakaan kerja adalah realitas sehari-hari yang telah menelan banyak korban jiwa. Kita saksikan praktik eksploitasi buruh yang ekstrem, belum lagi kerusakan ekologi ekstrem.

Kapitalis Indonesia, yang mendambakan profit besar secara instan, menjadi gila nikel dan mencampakkan industri manufaktur. Ada proses deindustrialisasi yang telah berlangsung selama dua dekade terakhir. Kontribusi manufaktur dalam GDP terus menurun dari tahun ke tahun, dari 32 persen pada 2002 menjadi 19 persen pada 2023 Kapitalis Indonesia yang hanya bisa berpikiran pendek itu melihat pengerukan sumber daya alam sebagai jalan mudah untuk memperkaya diri. Mereka tidak tertarik berinvestasi ke sektor-sektor industri manufaktur yang dapat meningkatkan produktivitas. Tidak heran kapitalis tekstil kita babak belur dihajar oleh kapitalis China, padahal upah buruh Indonesia jauh lebih murah dibandingkan upah buruh China.

Ini seperti yang telah kita jelaskan dalam dokumen perspektif kita tahun lalu:  

“… Borjuasi kita tidak pernah punya ambisi – apalagi kemampuan – untuk membangun industri modern mereka sendiri. Dengan tenaga kerja murah yang begitu berlimpah, borjuasi kita menjadi malas berinvestasi untuk memodernisasi teknik produksi. Selama mereka bisa mengupah buruh dengan sangat rendah dan mempekerjakan mereka dengan jam kerja yang panjang, selama ada pasukan cadangan buruh yang begitu besar yang selalu siap untuk dieksploitasi dengan harga apapun, kapitalis masih bisa menghasilkan profit yang memuaskan tanpa harus membangun industri modern. Ini pun menjadi siklus yang berkelanjutan. Ini mendikte karakter industri Indonesia.” (Perspektif Revolusi Indonesia: Tugas-tugas kita ke depan)

Mantra hilirisasi yang digadang-gadang akan menciptakan pekerjaan berlimpah, yang dikabarkan akan mengantarkan kita ke Indonesia Emas, terbukti hampa. Hilirisasi ini pun memiliki batasnya, yang hanya dimungkinkan karena kontrol Indonesia atas suplai nikel yang berlimpah, yang membuatnya dijuluki Opecnya Nikel. Ini memberinya posisi tawar yang kuat untuk memaksa China berinvestasi di sektor pengolahan nikel. Di luar nikel, tidak ada hilirisasi, melainkan deindustrialisasi yang meluas serta gelombang PHK yang menyertainya.

Istana Pasir Prabowo

Belum lama menjabat, Prabowo telah diguncang oleh sejumlah demonstrasi besar, Kelas penguasa sebelumnya merasa begitu percaya diri dengan peralihan kekuasaan yang mulus dari Jokowi ke Prabowo. Tetapi peralihan ini ternyata tidak semulus yang mereka kira, terutama ketika situasi ekonomi dunia diobrak-abrik oleh tarif Trump.

Setelah menang telak di pilpres dan berhasil membentuk koalisi super yang merangkul semua partai politik yang ada (kecuali PDI-P), Prabowo penuh dengan kepercayaan diri. Bahkan PDI-P yang tidak bergabung ke dalam KIM Plus enggan menyatakan dirinya sebagai oposisi. Tampaknya PDI-P mengambil pendekatan wait-and-see, memposisikan dirinya di sisi pemerintahan selama ini secara politik menguntungkan, tetapi siap menjauhkan dirinya bila situasi berubah. Pemerintahan Prabowo praktis berkuasa secara absolut, tanpa oposisi.  

KIM Plus tidak hanya menguasai parlemen nasional tetapi juga parlemen daerah. Survei 100 hari pemerintahan Prabowo juga memberinya tingkat kepuasan publik 81 persen, yakni tingkat kepuasan tertinggi yang pernah tercatat. Kapitalis Indonesia tampaknya memiliki pemerintahan yang kokoh dan tersatukan, sebuah kemewahan di tengah situasi dunia yang penuh krisis di mana kita lihat di mana-mana partai-partai borjuis terpecah-belah dan memasuki krisis. Tetapi di balik kestabilan ini, ada keresahan yang terus tumbuh di bawah permukaan, yang tidak tercerminkan dalam kotak suara atau jajak pendapat. 

Maka dari itu, sejak ia menjabat Prabowo sudah harus berhati-hati melangkah. Kegeraman rakyat pekerja bahkan meluap beberapa bulan sebelum dia menjabat, ketika gerakan Peringatan Darurat yang meledak-ledak itu berhasil membatalkan usaha pemerintah untuk merevisi UU Pilkada. Kelas penguasa jelas tidak menyangka oposisi besar seperti itu. Prabowo pun terpaksa menjauhkan dirinya dari ambisi Jokowi untuk memajukan karier politik anak bungsunya. Ini adalah kemenangan besar pertama massa mungkin sejak Getok Monas, yang telah membangun kepercayaan diri mereka.

Krisis hutang dan masalah investasi

Krisis utang telah menjadi fitur utama yang melatarbelakangi krisis kapitalisme di seluruh dunia. Di mana-mana pemerintah terjerat utang besar yang diambilnya untuk terus menopang kapitalisme. 

Pemerintahan Prabowo mewarisi utang besar dari Jokowi yang menghabiskan dana besar untuk proyek-proyek infrastruktur yang ditujukan untuk menarik investasi. Namun, untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah ini masih harus menggali lubang utang yang lebih dalam lagi, dengan rencana menaikkan rasio utang terhadap PDB dari 40 persen menjadi 50 persen. 

Masalahnya, era uang murah telah berakhir. Tidak ada kreditur yang akan memberi pinjaman lebih besar lagi ke Indonesia tanpa adanya ‘disiplin fiskal’ yang lebih ketat, guna memastikan pinjaman tersebut bisa dibayar. ‘Disiplin fiskal’ berarti penerimaan pajak yang lebih besar dan pemangkasan anggaran yang dianggap tidak perlu, terutama anggaran sosial. Berbagai kebijakan Prabowo baru-baru ini – dari kenaikan PPN yang gagal sampai ke pemangkasan anggaran – diarahkan persis untuk membangun disiplin seperti itu. 

Tetapi langkah ke sana ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Rencana kenaikan PPN segera mendapat oposisi luas dari rakyat pekerja, bahkan dari selapisan kapitalis yang khawatir bahwa kenaikan PPN akan menurunkan konsumsi dan dengan demikian membuat lesu ekonomi. Merasa tanah pijakannya goyah, sehari sebelum kenaikan ini berlaku pemerintah membatalkan niatnya. 

Setelah gagal meningkatkan pemasukan pajak, pemerintah menyasar anggaran negara dengan pemangkasan yang agresif. Rp 750 triliun akan dipangkas dari anggaran negara dalam tiga fase. Separuh darinya akan digunakan untuk membiayai Danantara. Danantara didirikan agar pemerintah dapat mengakses pembiayaan eksternal, dengan memanfaatkan aset negara untuk meminjam uang serta menggunakan dividen BUMN guna menggenjot investasi.

Apa yang dilakukan oleh pemerintah di sini adalah sama seperti yang terjadi di seluruh dunia sebagai akibat dari krisis overproduksi. Karena kelas kapitalis sudah tidak lagi punya motivasi untuk berinvestasi, negara terpaksa menyubsidi investasi swasta, secara langsung atau tidak langsung, dan bahkan dalam beberapa kasus mengambil alih peran investasi dari swasta. Ini adalah contoh tipikal bagaimana negara mengintervensi untuk menyelamatkan kapitalisme dari krisis, dengan membuat kelas buruh membayar untuk krisis itu. 

Triliunan dolar telah digelontorkan pemerintah di seluruh dunia untuk tujuan ini. Ini telah mendorong tingkat utang publik dunia sampai tingkat historis, yakni 98 triliun dolar atau 94 persen PDB dunia. Kendati demikian, kapitalis masih menolak untuk berinvestasi karena krisis overproduksi masih mencengkeram perekonomian dunia. Yang terjadi justru krisis hutang yang semakin memperdalam krisis kapitalisme. Sungguh kapitalisme ada di jalan buntu. 

Upaya kelas penguasa untuk menyeimbangkan ekonomi (misalnya, dengan pemangkasan anggaran sosial guna membiayai Danantara) merusak keseimbangan politik. Sebaliknya, upaya mereka untuk menjaga keseimbangan politik (misalnya, dengan subsidi seperti program makan siang gratis dan koperasi merah putih) merusak keseimbangan ekonomi dengan menciptakan defisit besar. Pemerintah ada dalam kondisi terjepit, tanpa bisa menyelesaikan satu problem pun. Kini mereka dihadapkan dengan konsekuensi langsung perang dagang yang berkecamuk. 

Bersiap untuk revolusi!

Memburuknya pelayanan publik dan kondisi kerja PNS akibat pemangkasan, ancaman PHK lebih lanjut sebagai imbas tarif Trump, dan krisis kapitalisme dunia secara umum tengah menyiapkan konflik kelas di masa depan. Bagaimana konflik kelas ini akan meledak jelas bukanlah sesuatu yang bisa kita ramalkan dengan persis. Pemicunya pun bisa datang dari mana saja, dan tidak harus dari penyebab ekonomi langsung, karena sudah terlalu banyak jerami kering yang terkumpul, yang setiap saat dapat tersulut: kekerasan polisi, tingkah laku pejabat yang semena-mena, pemberangusan hak-hak demokratik, korupsi, kekerasan seksual terhadap perempuan, dst. dst. 

Ledakan-ledakan revolusioner adalah implisit dalam situasi hari ini. Namun ledakan ini akan menguap sia-sia bila tidak disediakan kotak piston yang dapat memusatkan energi massa ke akar permasalahan, kapitalisme. Kotak piston ini adalah organisasi revolusioner, yang dibangun di atas fondasi teori perjuangan yang tepat, Sosialisme Ilmiah. Ke dalam organisasi revolusioner ini kita himpun lapisan muda dan buruh yang terbaik, untuk dilatih menjadi seorang revolusioner. Seorang revolusioner, kata Karl Marx, adalah seorang yang “secara teoretis … memahami secara jelas garis perkembangan, kondisi, dan cita-cita akhir gerakan proletar,” dan cita-cita ini adalah “menumbangkan supremasi borjuis dan penaklukan kekuasaan politik oleh proletariat.” Inilah yang sedang kita bangun untuk bersiap demi revolusi mendatang.

“Mana revolusinya?” begitu biasa cibir kaum kiri yang sudah mencampakkan perspektif revolusi sosialis. Dengan cibiran ini mereka membenarkan kebijakan reformis-oportunis dan kolaborasi kelas mereka, dan justru dengan demikian mereka mencegah perkembangan kesadaran kelas buruh ke arah revolusi. 

Tidak demikian dengan kaum revolusioner. Kepercayaan kita pada perspektif revolusi sosialis datang dari pembacaan situasi ekonomi dan politik yang ada, yang kita periksa secara materialis dialektis. Kita mengikuti garis perkembangan peristiwa dengan dekat, yang membawa kita ke kesimpulan bahwa kapitalisme telah mencapai limitnya, dan dengan demikian menyiapkan ledakan-ledakan revolusioner. Ada tikus tanah yang kini menggali diam-diam di dalam kesadaran kolektif kelas buruh, dimulai dari lapisan termajunya yang mulai mencapai kesimpulan revolusioner.

Maka dari itu, kita tidak serta merta duduk di pinggir dan menanti datangnya revolusi Indonesia. Dengan kerja keras yang sistematis, kita harus mengintervensi setiap peristiwa yang merupakan manifestasi krisis kapitalisme, dan lewat intervensi ini menghubungkan diri kita dengan lapisan buruh dan muda termaju, supaya kita bisa membangun kekuatan kita sekarang juga. Inilah tugas fundamental kita, yang akan menentukan nasib umat manusia.

Ingin menghancurkan kapitalisme ?
Teorganisirlah sekarang !


    Dokumen Perspektif

    srilanka
    Manifesto Sosialis Revolusioner
    myanmar protest
    Perspektif Revolusi Indonesia: Tugas-tugas kita ke depan

    ©2025 Sosialis Revolusioner | Design: Newspaperly WordPress Theme