Skip to content
Sosialis Revolusioner
Menu
  • Berita
  • Analisa
    • Gerakan Buruh
    • Agraria & Tani
    • Gerakan Perempuan
    • Gerakan Mahasiswa
    • Ekonomi
    • Politik
    • Pemilu
    • Hukum & Demokrasi
    • Imperialisme & Kebangsaan
    • Krisis Iklim
    • Lain-lain
  • Teori
    • Sosialisme
    • Materialisme Historis
    • Materialisme Dialektika
    • Ekonomi
    • Pembebasan Perempuan
    • Organisasi Revolusioner
    • Iptek, Seni, dan Budaya
    • Lenin & Trotsky
    • Marxisme vs Anarkisme
    • Sejarah
      • Revolusi Oktober
      • Uni Soviet
      • Revolusi Indonesia
      • Lain-lain
  • Internasional
    • Asia
    • Afrika
    • Amerika Latin
    • Amerika Utara
    • Eropa
    • Timur Tengah
  • Perspektif Revolusi
  • Program
  • Pendidikan
  • Bergabung
Menu

Raja Ampat Korban Nikel Kapitalis

Dipublikasi 27 July 2025 | Oleh : M Husein

Foto-foto kerusakan alam pulau-pulau di Raja Ampat, Papua yang tersebar luas telah membuat geger rakyat. Pulau-pulau yang sekarang gundul merusak imaji pantai putih, hutan rindang dan laut biru yang terkenal dari “surga terakhir di bumi” itu. Lautnya yang dulu dipenuhi hiu paus dan biota laut kini penuh dengan kapal-kapal tongkang. Keindahan alam Raja Ampat diperkosa oleh aktivitas eksploitatif pertambangan nikel.

Keberadaan tambang nikel di Raja Ampat langsung menjadi perhatian nasional. Terungkap, izin tambang di sana telah berlangsung sejak lama. Misalnya, PT Kawei Sejahtera Mining milik konglomerat Sugianto Kusuma alias Aguan, telah mendapat izin dari pemerintah dan tokoh adat setempat untuk menambang bijih nikel di Pulau Kawe sejak 2015. Selain perusahaan milik Aguan, ada juga BUMN PT Gag Nikel di Pulau Gag serta sejumlah perusahaan swasta lainnya.

Aktivitas tambang di Raja Ampat mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Pada 2021, pemerintah melalui Menteri Investasi Bahlil Lahadahlia mendorong didirikannya smelter di Sorong untuk mengolah bijih nikel dari Raja Ampat, sebagai bagian dari program “hilirisasi” Jokowi. Beberapa figur politik seperti mantan Gubernur Sulawesi Utara dan Bendahara Umum PDIP Olly Dondokambey pun terlibat. Mertuanya adalah pengusaha tambang pemilik PT Manado Karya Anugrah, salah satu kontraktor di lahan konsesi tambang PT Gag Nikel. Tak heran, semua jajaran pejabat negara dan politikus borjuis, serta para empunya yaitu kapitalis-kapitalis besar terlibat dalam aktivitas beracun di tanah Raja Ampat.

Awalnya pemerintah meluncurkan propaganda dan kontra-narasi bertubi-tubi untuk menyangkal adanya tambang di sana. Setelah mendapat kecaman rakyat, pemerintah berusaha mencuci tangan dari perusakan lingkungan di Raja Ampat dan pada 10 Juni 2025 Presiden Prabowo mencabut izin empat perusahaan yang ada di sana. Namun dari empat perusahaan tersebut, ketinggalan nama PT Gag Nikel yang tetap boleh beroperasi. LSM Greenpeace Indonesia melalui Instagram sempat menyebut pencabutan izin ini sebagai “kemenangan”. Namun rakyat pekerja yang kritis paham bahwa pencabutan ini adalah upaya pemerintah untuk menyelamatkan muka mereka. “Kemenangan” ini, jika pun benar, bukan akhir dari perjuangan.

Kelas kapitalis nasional kita memang tak pernah punya akal dan pikiran untuk menyelamatkan alam dan mengelolanya sebaik mungkin agar tidak terjadi kerusakan. Mentalitas sempit mereka adalah untung, untung dan untung dalam jangka pendek. Nikel, yang kini dicari untuk baterai mobil listrik, adalah cuan banyak di mata mereka. Mereka melihat tanah Raja Ampat bukan dalam keindahannya, tetapi bagaimana kandungan nikel yang ada di dalamnya bisa diambil dan dijual ke pembeli kaya. Dalam hal ini, mereka juga tentunya menggandeng kekuatan imperialis Tiongkok sebagai konsumen utama nikel. Upaya “hilirisasi”, sebagaimana yang sudah-sudah, adalah rekaan kelas kapitalis nasional dalam mendirikan pabrik-pabrik dengan modal dari Tiongkok dan negeri kapitalis-imperialis lain, untuk membuat untung kapitalis-imperialis global dan dirinya sendiri.

Apalagi, tanah Papua sudah lama menjadi incaran kapitalis rakus. Salah satu pulau terbesar di dunia dengan luas 786.000 kilometer persegi itu sudah lama tanahnya dijarah untuk diambil hasil buminya oleh kapitalis dunia. Contohnya oleh Freeport yang sejak 1967 telah menjarah emas di Papua dan memperkaya kapitalis Amerika Serikat, dengan keuntungannya menciprat ke kelas penguasa nasional.

Eksploitasi alam Raja Ampat dan Papua tidak membawa kekayaan bagi warganya sendiri. Papua tetap menjadi daerah termiskin di Indonesia. Sebagian besar penduduk di Papua masih kesulitan mengakses air bersih, makanan sehat, serta tempat tinggal layak, apalagi sekolah dan rumah sakit. Mereka tak mendapat penghidupan yang layak, dengan minimnya pekerjaan dan industri yang tersedia di tanah Papua. Ditambah lagi dengan moncong senapan wereng ijo yang selalu mengancam.

Hidup susah disertai ancaman bedil dan perang, kelas pekerja dan rakyat miskin Papua terpaksa menderita di atas tanahnya sendiri. Mereka bahkan tak bisa menikmati keindahan alam di tanahnya sendiri. Sementara kapitalis meraup untung dari kegiatan tambang emas dan nikel di sana.

Selain kapitalisme dan imperialisme, kelas pekerja dan rakyat miskin Papua juga ditindas oleh penguasa berdarah sama. Setelah izin tambang dicabut oleh pemerintah, timbul reaksi dari keluarga adat setempat. Keluarga Daat, contohnya, menolak pencabutan izin di Pulau Kawe. Merekalah “representasi” masyarakat adat yang menguasai tanah ulayat di pulau tersebut. Mereka jugalah yang memberi Aguan kuasa untuk menggali bijih nikel di sana. Bupati Raja Ampat Orideko Iriano pun, sebagai reaksi dari penutupan sebagian tambang di Raja Ampat, memblokade akses kunjungan wisata ke berbagai pulau, dengan alasan “mencegah konflik sosial antara pendukung tambang dan pelaku wisata.” Ini tentu ancaman bagi industri pariwisata setempat, yang menjadi basis ekonomi masyarakat di Raja Ampat. Yang jadi korban pekerja pariwisata di sana.

Hal tersebut merupakan contoh nyata bagaimana kapitalisme mampu beradaptasi dengan struktur “adat” yang ada. Keluarga adat, diiming-imingi kekayaan berlimpah, menjadi kapitalis lokal yang mampu menipu warga Papua untuk menyerahkan hasil alamnya demi kepentingan si kapitalis. Dalam upaya memperluas cengkeramannya atas dunia, kapitalisme menghancurkan bentuk-bentuk masyarakat sebelumnya dan menciptakan dunia sesuai citranya. Rakyat Papua dieksploitasi dan ditindas oleh “wakil adat”-nya. Mereka miskin di saat keluarga adat macam Daat kaya-raya. Dengan berkembangnya kapitalisme di Papua, konflik kelas pun tercipta di sana. Kini musuh utama kelas pekerja dan rakyat miskin Papua adalah penguasa dengan darahnya sendiri, sebagai perpanjangan tangan kapitalis Jakarta dan dunia.

Akar permasalahan eksploitasi alam dan lingkungan di Raja Ampat, bukan karena ketidaktaatan pengusaha dan pemerintah terhadap hukum, bukan karena korupsi, bukan karena ketamakan, bukan pula pada kebodohan individu dari pemimpin seperti Jokowi, Prabowo, Bahlil, serta kroni-kroninya. Semuanya berakar dari mekanisme dan logika yang inheren dalam kapitalisme.

Semua produk dan barang hasil mesin produksi kapitalis adalah untuk diperjualbelikan dalam pasar, alias mereka menjadi barang-dagangan atau komoditas. Nikel, sebagai produk industri tambang di Raja Ampat, tidak lalu digunakan untuk kepentingan bersama seluruh rakyat, tetapi dijual ke pembeli yang mampu membayar harga yang ditawarkan oleh penjual. Nikel yang memiliki permintaan baru akibat berkembangnya industri mobil listrik menjadi incaran para kapitalis. Semua modal dikerahkan untuk mengeruk sebanyak-banyaknya hasil tambang ini di mana-mana, agar si kapitalis mampu menawarkan harga termurah ke para pembeli, atau bahkan lebih baik lagi, mengontrol harganya agar dapat meraup untung berkali-kali lipat. Inilah mengapa kerusakan lingkungan di bawah kapitalisme menjadi kian tidak terkontrol.

Kelas pekerja Indonesia tidak punya kepentingan yang sama dengan kelas kapitalis negerinya sendiri. Pengerukan nikel di Raja Ampat adalah semata-mata kepentingan kapitalis dalam meraup untung besar, bukan untuk digunakan oleh kelas pekerja dan rakyat banyak. Kelas pekerja Indonesia pun tidak mau melihat keindahan alam Raja Ampat dirusak hanya untuk kepentingan jangka pendek kelas kapitalis. Mereka menyuarakan amarah mereka, sampai-sampai Presiden pun takut dan akhirnya mencabut izin tambang.

Namun hal itu belum cukup. Jika izin dicabut, tidak menutup kemungkinan setelah isu ini tidak ada lagi di radar publik mereka akan mencoba jalan di luar hukum atau melobi pemerintah untuk menerbitkan izin baru. Hal itu dapat dan telah terjadi sebelumnya.

Hanya kekuatan kelas buruhlah yang mampu sepenuhnya menghentikan eksploitasi alam yang menghancurkan itu. Dengan menasionalisasi seluruh tuas ekonomi penting – bank, korporasi raksasa, tambang, agrobisnis, dll. – kelas buruh Indonesia dan Papua dapat mengembangkan ekonomi secara harmonis dengan alam. Sesungguhnya pertambangan dapat dilakukan dengan menjaga keutuhan alam, tetapi ini tidak sesuai dengan moda produksi kapitalis yang harus mengeruk profit sebesar-besarnya. Sebaliknya, dengan ekonomi sosialis terencana yang demokratis, pertambangan dapat dikelola oleh buruh tambang bersama-sama dengan komunitas dan masyarakat adat setempat untuk kepentingan bersama, dan bukan kepentingan segelintir kapitalis. Wilayah seperti Raja Ampat dengan nilai ekologinya yang penting dapat dijadikan wilayah bebas tambang. Dengan begitu kita dapat menjaga keindahan “surga terakhir” Raja Ampat, dan keindahan alam.

Ingin menghancurkan kapitalisme ?
Teorganisirlah sekarang !


    Dokumen Perspektif

    srilanka
    Manifesto Sosialis Revolusioner
    myanmar protest
    Perspektif Revolusi Indonesia: Tugas-tugas kita ke depan

    ©2025 Sosialis Revolusioner | Design: Newspaperly WordPress Theme