Skip to content
Sosialis Revolusioner
Menu
  • Berita
  • Analisa
    • Gerakan Buruh
    • Agraria & Tani
    • Gerakan Perempuan
    • Gerakan Mahasiswa
    • Ekonomi
    • Politik
    • Pemilu
    • Hukum & Demokrasi
    • Imperialisme & Kebangsaan
    • Krisis Iklim
    • Lain-lain
  • Teori
    • Sosialisme
    • Materialisme Historis
    • Materialisme Dialektika
    • Ekonomi
    • Pembebasan Perempuan
    • Organisasi Revolusioner
    • Iptek, Seni, dan Budaya
    • Lenin & Trotsky
    • Marxisme vs Anarkisme
    • Sejarah
      • Revolusi Oktober
      • Uni Soviet
      • Revolusi Indonesia
      • Lain-lain
  • Internasional
    • Asia
    • Afrika
    • Amerika Latin
    • Amerika Utara
    • Eropa
    • Timur Tengah
  • Perspektif Revolusi
  • Program
  • Pendidikan
  • Bergabung
Menu

Pencerahan: Api Pemikiran yang Mengguncang Dunia

Dipublikasi 26 August 2025 | Oleh : Moses Kabelen

Zaman Pencerahan adalah salah satu periode paling menakjubkan dalam sejarah umat manusia. Era ini melahirkan pemikir-pemikir besar. Kita dipertontonkan galaksi pemikiran umat manusia yang indah. Zaman tersebut merupakan era keberanian berpikir. Ide-ide Pencerahan menentang kekuasaan absolutisme gereja dan feodalisme. Ini adalah zaman keemasan borjuasi, ketika mereka bangkit melawan sistem lama feodalisme. Marxisme, sebagai bagian dari arus sejarah pemikiran manusia, pastinya mengambil warisan terbaik dari Zaman Pencerahan. 

Zaman Pencerahan adalah suatu periode yang kira-kira berlangsung dari abad ke-17 hingga ke-18. Pada periode ini kita melihat ledakan besar kemajuan di segala bidang kehidupan: filsafat, sains, politik, dan teknologi. Para pemikir besar pada masa itu memperjuangkan ide-ide baru dan membuka jalan bagi pemahaman rasional tentang dunia.

Mereka ingin menunjukkan bahwa ada hukum yang bisa ditemukan dalam semua aspek kehidupan. Perjuangan menggulingkan dunia lama, juga merupakan perjuangan filosofis. Ini adalah pertarungan ide yang bertepatan dengan kebangkitan kapitalisme.

Merangkum sejarah pemikiran umat manusia, Hegel mengatakan bahwa tugas sebuah filsafat adalah memperoleh pemahaman rasional mengenai dunia. Inilah yang diperjuangkan para filsuf Pencerahan saat itu dengan darah dan penyaliban.

Awal Kebangkitan

Jalan bagi Pencerahan dibuka oleh para pemikir Renaisans pada abad ke-15 dan ke-16, masa ketika tatanan lama feodalisme mulai memasuki krisis panjang. Ini merupakan masa-masa uzur dari feodalisme dan bangkitnya kelas borjuasi ke panggung sejarah. Marx dan Engels menggambarkan kebangkitan kelas borjuasi yang baru lahir saat itu:

“Penemuan benua Amerika dan dikelilinginya Tanjung Harapan membuka lahan baru bagi borjuasi yang sedang bangkit. Pasar-pasar Hindia Timur dan China, kolonisasi Amerika, perdagangan dengan koloni-koloni, bertambah banyaknya sarana pertukaran dan komoditas secara umum, semua ini memberi perdagangan, pelayaran, dan industri sebuah dorongan yang sebelumnya tak pernah terlihat, dan oleh karenanya, mendorong perkembangan pesat elemen-elemen revolusioner dalam masyarakat feodal yang sedang terhuyung-huyung.”

Setelah mengalami tidur panjang di bawah Abad Pertengahan, kehidupan intelektual, filsafat, dan seni mulai bangkit. Kebangkitan ini – yang kita kenal dengan nama Renaisans – dipenuhi dengan krisis dalam pemikiran Abad Pertengahan lama.

Saat itu otoritas gereja memerintah dengan tangan besi atas pikiran dan jiwa manusia. Gereja tidak hanya menanamkan rasa takut ini, tapi juga mengambil keuntungan darinya. Mereka merepresi siapa pun yang mempertanyakan otoritas mereka. Otoritas gereja bertumpu pada hierarki dari atas hingga ke bawah. Satu-satunya kebenaran yang diterima adalah firman Tuhan. Begitu pula penafsiran Alkitab berada di tangan para pendeta dan teolog.

Barangsiapa yang menanyakan aturan ini akan dihukum. Pengucilan dari gereja, penahanan, dan penyaliban merupakan hukum yang umum bagi para pembangkang. Represi memasuki relung-relung kehidupan. Toko-toko buku digerebek. Para penulis dan penerbit tulisan-tulisan kritis dianiaya. Bahkan buku-buku kritis sering kali dibakar di depan umum.

Ketika ahli matematika dan fisika Giordano Bruno menerbitkan pandangannya yang membela alam semesta heliosentris Copernicus – yaitu Matahari dan bukan Bumi yang merupakan pusat alam semesta – ia diadili oleh Inkuisisi Romawi dan dibakar hidup-hidup.

Mempertanyakan pilar ideologis kelas penguasa merupakan sebuah kejahatan besar. Sama seperti saat ini tidak seorang pun diperbolehkan mempertanyakan cita-cita suci demokrasi borjuis dan kepemilikan pribadi. Saat itu, merupakan tugas yang berbahaya untuk membela ide-ide baru di depan umum.

Tapi ada pemikir berani yang melakukan hal itu. Itu bukan tanpa sebab. Era kelahiran pemikiran berani menandai usaha manusia untuk melepaskan diri dari belenggu penindasan, baik dalam bentuk fisik maupun spiritual. Para pemikir Pencerahan memulai pertempuran melawan kekuatan lama dengan senjata filsafat. Mereka mengumpulkan persenjataan teoritis sebelum memulai revolusi. Dengan kata lain, sebelum Revolusi Prancis memenggal kepala Louis XVI, mereka terlebih dahulu memenggal ideologi yang menopangnya: agama dan gerejanya.

Bacon, Hobbes dan lahirnya materialisme mekanis

Sebuah langkah penting diambil oleh kaum Materialis Inggris. Dari semua  yang paling terkenal adalah filsuf Renaisans Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobbes (1588-1679), dengan mazhab Empirisme Inggrisnya.

Bacon sangat membenci teologi skolastik Abad Pertengahan yang telah mendominasi filsafat selama berabad-abad. Dalam pandangannya, cara mereka memperlakukan sains sepenuhnya salah. Dia mengatakan: “metode eksperimen saat ini adalah buta dan bodoh.”

Dia mengeluh bahwa alih-alih “melakukan eksperimen dengan sabar dan menyeluruh serta mempelajari alam, mereka malah berdebat tanpa akhir tentang istilah-istilah abstrak.” (Novum Organum, 1620)

Dalam pandangannya, penting untuk kembali ke dasar: membuang semua konsep teologis yang abstrak dan memulai dengan fakta, observasi, dan data empiris. Ini adalah gagasan revolusioner yang memukul jantung obskurantisme gereja.

Walaupun seorang materialis secara filosofis, Bacon masih seorang yang religius. Namun dalam memahami kerja alam ia mengesampingkan Tuhan dan agama, karena menurutnya alam itu sendiri bekerja berdasarkan hukum yang dapat ditemukan melalui eksperimen yang menyeluruh. Dengan cara ini, kaum materialis Renaisans menghidupkan kembali materialisme para filsuf Yunani kuno, tetapi kali ini di atas basis material yang lebih tinggi: yaitu di era perkembangan kapitalisme dengan penemuan-penemuan sains termutakhirnya.

Filsuf Materialis Inggris lainnya adalah Thomas Hobbes. Dia hidup tidak lama setelah Bacon, di tengah masa badai Revolusi Inggris 1642-1649, yaitu salah satu episode revolusi borjuis yang paling hebat. Hobbes mensistematisasikan ide-ide Bacon, memberinya bentuk yang lebih ketat, namun juga lebih kaku. Hobbes juga percaya pada Tuhan. Namun baginya setelah Tuhan menciptakan alam dan hukum-hukumnya, dia tidak lagi mencampuri hukum-hukum tersebut. Pandangan ini disebut Deisme, yang kendati terbatas tetapi merupakan satu langkah maju yang besar di masanya dalam merobohkan pilar-pilar ideologi gereja yang menyesakkan itu.

Sebaliknya, menurut Hobbes, hanya orang jahat yang terus-menerus berbicara tentang keajaiban dan ilmu sihir untuk menakut-nakuti orang – padahal sebenarnya, hukum alam bisa menjelaskan cara kerja dunia. Akibatnya, teologi dan sains dipisahkan secara tajam. Dengan demikian jalan dibersihkan dari puing-puing agama untuk memandang dunia melalui kacamata nalar. Untuk “kejahatan”-nya ini, semua buku-bukunya dimasukkan ke dalam Index Librorum Prohibitorum (Indeks Buku Terlarang) oleh gereja, terutama Leviathan. Tidak hanya gereja, pemerintahan Inggris pun takut pada gagasannya dan pada 1666 melarang Hobbes untuk menulis.

Bagi Hobbes, segala sesuatu termasuk gagasan adalah materi, atau lebih tepatnya, materi yang bergerak. Ia menjelaskan bahwa benda-benda material bergerak melawan indra kita. Mereka mengesankan diri mereka sendiri di mata, telinga, dan sebagainya. Dan kemudian tubuh kita, atau jantung seperti yang dia katakan, memberikan tekanan balik terhadap objek-objek ini, dan gesekan ini menciptakan sensasi.

Ide, baginya adalah sisa-sisa sensasi tersebut. Ini seperti ketika Anda memetik senar biola dan senar tersebut terus bergerak dan bergetar di otak kita. Jadi getaran ini baginya adalah gagasan. Dengan pengalaman yang berkelanjutan, kita belajar menjumlahkan banyak kesan-kesan dan ide-ide sederhana ini dan dapat menciptakan konsep.

Hal-hal yang sebelumnya dijelaskan oleh intuisi dan jiwa yang diberikan Tuhan sekarang apa yang Hobbes sajikan di sini adalah penjelasan materialis tentang gagasan dan pikiran manusia. Segala sesuatu baginya merupakan rantai sebab dan akibat, dan semua sebab dapat ditemukan dan dijelaskan secara material.

Dalam Keluarga Suci, Marx dan Engels merangkum kontribusi Hobbes dalam filsafat: “Sebagai penerus Bacon, Hobbes berargumen demikian: bila semua pengetahuan manusia didapatinya dari indra, maka semua konsep, pikiran, dan ide kita tidak lain adalah bayangan dari dunia yang nyata … Filsafat hanya memberi nama pada bayangan ini.” Dengan demikian, filsafat mendapati basisnya dari dunia materi yang nyata, bukan lagi semata imaji mental yang diturunkan dari langit atau lahir begitu saja dari kepala manusia. Dengan materialisme ini, bangunan feodalisme dan gereja yang menyesakkan diguncang.

Keterbatasan Mekanika dan Empirisme Inggris

Abad ke-17 adalah zaman mekanika. Pada 1687, Isaac Newton menerbitkan maha karyanya Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica yang memaparkan hukum gerak Newtonian yang kita semua pelajari di sekolah. Kita dapat melihat bagaimana ilmu mekanika baru pada masa itu memberikan pengaruh besar pada Hobbes dan filsuf materialis lain. Di satu sisi, perkembangan ilmu mekanika menyediakan dasar yang sangat kuat bagi perkembangan filsafat materialisme. Di sisi lain, ini menciptakan cara pandang yang berat sebelah, yang menitikberatkan sisi kuantitatif dan melihat hal ihwal sebagai sesuatu yang ajek.

Bagi para filsuf materialis mekanis ini, gerak pada dasarnya terdiri dari benda-benda tetap dan tidak berubah yang saling bertabrakan. Jadi mereka mempunyai pemahaman yang sangat pasif dan mekanis tentang gerak. Sesuatu harus membuat objek bergerak, dan kemudian objek tersebut akan terus menabrak objek lain dan seterusnya tanpa batas. Hukum mekanika ini dijadikan hukum universal bagi segala hal ihwal, dan kita akan menemukan bagaimana ini sangatlah sepihak, karena ia benar untuk banyak hal tetapi menjadi tidak memadai untuk memahami sistem yang lebih kompleks.

Jelaslah, eksperimen dan observasi yang mereka lakukan pada saat itu sebagian besar merupakan observasi mekanis. Mereka belum menembus jauh ke dalam fenomena yang lebih kompleks, misalnya sel biologi dan biokimia organik, dan dibutuhkan satu abad lagi sebelum perkembangan kekuatan produktif yang lebih lanjut memungkinkan penyelidikan mendalam dalam ilmu biologi dan kimia. Bagi Hobbes dan kaum materialis mekanis lainnya, ukuran serta angka yang mereka gunakan adalah data kuantitatif: massa, panjang, pergerakan dari A ke B, dan seterusnya. Satu-satunya perubahan yang mereka akui adalah perubahan kuantitatif, yaitu penjumlahan dan pengurangan bilangan.

Bagi Hobbes, nalar atau pemikiran hanyalah sebuah operasi matematis. Ia menulis sebagai berikut: “[di mana pun] ada tempat untuk Penjumlahan dan Pengurangan, di situ juga ada tempat untuk Nalar; dan jika hal-hal ini tidak mempunyai tempat, maka Nalar tidak ada hubungannya sama sekali.” (Leviathan, Chapter V: Of Reason and Science)

Pendekatan materialis yang menyeluruh dan jelas merupakan sebuah langkah maju yang penting dalam filsafat. Namun pernyataan kaum empiris seperti yang dinyatakan oleh Hobbes di atas juga merupakan pernyataan yang dilebih-lebihkan secara sepihak.

Materialisme mekanis gagal menjelaskan hal ihwal dalam perkembangannya, dalam kelahiran dan kematiannya. Engels menjelaskan: “Yang terutama khas dalam periode ini [zaman mekanika] adalah elaborasinya mengenai sebuah cara pandang umum yang unik, yang poin sentralnya adalah pandangan mengenai imutabilitas absolut alam. Entah bagaimana alam itu pada satu saat muncul, setelah ia muncul maka ia tidak akan berubah sepanjang ia terus eksis. Planet-planet dan satelit-satelit mereka, setelah digerakkan oleh ‘impuls pertama’ yang misterius, akan terus berputar dalam orbitnya yang sudah ditakdirkan itu untuk selama-lamanya.”

Materialisme mekanis melihat perubahan kuantitas, tapi buta teradap perubahan kualitas. Ia melihat perubahan dalam garis lurus saja, tanpa adanya patahan-patahan atau lompatan-lompatan. Sementara, alam – serta kehidupan sosial – penuh dengan perubahan kualitatif atau lompatan, dan ini tidak bisa dijelaskan dengan memuaskan oleh materialisme mekanis.

Hobbes sebagai filsuf empiris juga hanya melihat data yang diperoleh dari indra. Dengan bangga, mazhab empirisisme Inggris yang terkenal itu mengatakan “hypothesis non fingo” – “Saya tidak membuat hipotesis”. Namun, banyaknya data dari indra tidak dapat menjelaskan sesuatu dengan sendirinya, kecuali ia mengikutsertakan kesimpulan – generalisasi umum – yang telah diberikan sebelumnya.

Heraklitus, filsuf Abad ke 5 SM, pernah mengatakan bahwa persepsi indra kita saja tidak cukup. Lebih dari itu pemahaman dan interpretasi sangat penting. Dia mengatakan: “Mata dan telinga adalah saksi yang buruk bagi manusia jika mereka memiliki jiwa yang tidak beradab.”

Yang dia maksud dengan “jiwa yang tak beradab” di sini adalah manusia yang tidak memiliki wawasan rasional. Dengan demikian dia menekankan wawasan rasional mengenai dunia sangat penting dibanding sekadar penampilan luar yang kita dapati dari pengamatan indrawi.

Tentu saja data dan fakta diperlukan, tetapi fakta dan data-data saja tidak berbicara dengan sendirinya. Ini seperti kita bermain lego. Kita tidak puas hanya memiliki tumpukan lego. Meskipun kita memiliki lego, kita tidak dapat menciptakan bentuk binatang atau makhluk hidup darinya. Kita harus menyatukan lego menjadi sesuatu. Bila tidak, tumpukan lego tidak ada artinya. Kita harus memilih dan memilah fakta-fakta dan data-data mana yang memiliki hubungan satu sama lain. Dari situ kita menarik benang merah dari semuanya.

Materialisme mekanis memisahkan sisi kualitas dan hanya melihat kuantitas. Pandangan ini tidak melihat hubungan satu dengan yang lain, sehingga ketika dihadapkan pada perubahan mereka tidak mampu menjawabnya. Mereka hanya tahu iya iya, tidak tidak. Segala sesuatu yang datang di luar skema ini mereka menganggapnya sebagai kejahatan

Materialisme mekanis dengan pandangan pasif dan sempitnya gagal menjelaskan bagaimana dunia berkembang secara revolusioner. Mereka melihat dunia seperti tumpukan batu bata – menambah jumlah tanpa memahami bagaimana tumpukan itu bisa menjadi sesuatu yang hidup. Marxisme menegaskan bahwa pada satu titik tertentu, kuantitas berubah menjadi kualitas baru, sama seperti air mendidih yang berubah menjadi uap. Inilah esensi dialektika yang tidak bisa dijelaskan oleh materialisme mekanis.

Untuk itu sangat penting melihat sisi kualitatif dari pergerakan dan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana segala sesuatunya berkembang. Ini berarti kita memerlukan pemahaman dialektis tentang pergerakan dan perkembangan. Pada akhirnya tugas mengembangkan dialektika ini diambil dan dipelajari secara mendalam oleh para filsuf idealis Belanda dan Jerman.

Liebniz, Spinoza dan jalan menuju dialektika

Bersamaan dengan masa-masa Hobbes, seorang pemikir lain mengguncang masyarakat Belanda. Pada 1637, René Descartes menerbitkan bukunya yang terkenal Discourse on the Method. Bukan kebetulan kalau semua karya besarnya ditulisnya selama dia di Belanda, yang merupakan bangsa terbebas di Eropa saat itu di mana kelas borjuasi baru saja berhasil menyingkirkan dominasi Spanyol lewat perjuangan revolusioner mereka. Revolusi Belanda pada abad ke-16 adalah revolusi borjuis klasik, yang membuka jalan bagi revolusi-revolusi borjuis selanjutnya. Seperti kata Karl Marx, “Model untuk Revolusi Prancis 1789 adalah Revolusi Inggris 1648; dan model untuk Revolusi 1648 adalah pemberontakan Belanda melawan Spanyol,” dan Republik Belanda adalah “model negara kapitalis di abad ke-16.”

Dengan sumbangsihnya itu Descartes meletakkan fondasi bagi diskusi-diskusi filsafat Pencerahan yang menyusul nantinya. Dia menuntut agar segala sesuatu di dunia, termasuk Kitab Suci, harus tunduk pada nalar. Ia memberikan pengaruh besar pada rangkaian filsafat di benua Eropa yang terbentang dari Spinoza, Leibniz, hingga Kant, dan pada akhirnya mengarah pada dialektika Hegel.

Pendekatan mekanis kaum materialis Inggris berada di persimpangan jalan. Mereka telah mengembangkan sisi obyektif, namun pada saat yang sama mereka menempatkan pergerakan materi dalam kerangka mekanis dan kuantitatif yang semakin hari semakin terlalu sempit untuk bisa menjelaskan kehidupan yang kaya. Justru para filsuf idealislah yang melihat lebih dekat pada sisi kualitatif dan aktif. Mereka ingin melihat gambaran besarnya: prinsip-prinsip umum tentang keadaan dan perubahannya.

Filsuf Jerman Leibniz, yang lahir pada 1646, mengajukan pertanyaan seperti ini. Baginya, dunia terdiri dari entitas dasar yang sederhana, yang disebutnya monad. Monad dapat dipahami sebagai zat dasar yang mirip dengan atom, dan dengan demikian Leibniz telah mengantisipasi ilmu atom. Dia mengatakan: “Pasti ada zat yang sederhana, karena ada senyawa; karena suatu senyawa tidak lain hanyalah kumpulan atau kumpulan hal-hal sederhana.” (Monadology, 1714)

Jadi menurutnya, menambahkan dan menggabungkan semuanya secara kuantitatif adalah salah satu aspek penting dalam perkembangan. Namun kemudian dia menambahkan: “Namun monad harus memiliki beberapa kualitas, jika tidak maka monad tidak akan ada. Jika zat-zat sederhana tidak berbeda kualitasnya, maka sama sekali tidak ada cara untuk melihat adanya perubahan apa pun.”

Maksudnya di sini adalah jika kita menambahkan lebih banyak zat yang sama, maka yang kita dapatkan hanyalah lebih banyak zat yang sama. Ini seperti menambahkan lebih banyak air ke dalam air. Hal ini tidak menjelaskan bagaimana semua hal yang secara kualitatif berbeda di dunia dapat berkembang.

Jadi, bagi Leibniz tidak hanya perbedaan kuantitatif tetapi juga perbedaan kualitatif yang diperlukan. Solusinya terhadap masalah ini adalah dengan memberikan banyak kualitas pada Monadnya.

Kualitas-kualitas ini tersembunyi di dalam monad sebagai sebuah potensi atau benih, yang belum sepenuhnya berkembang. Monad terus bergerak dan berubah, dan ketika mereka berinteraksi satu sama lain, mereka memunculkan atau mengembangkan sisi dan kualitas tertentu. Kualitas-kualitas yang pada awalnya hanya merupakan potensi atau kecenderungan, kemudian berkembang.

Leibniz tidak memiliki kedalaman seperti Hegel dalam menjelaskan dialektika antara perubahan kuantitas menjadi kualitas dan sebaliknya, tapi dia tetap memberikan kontribusi yang berharga pada pertanyaan ini.

Salah satu tokoh lain paling menarik dari aliran filsafat ini tentu saja Baruch de Spinoza. Spinoza lahir pada 1632. Usianya sekitar 15 tahun lebih tua dari Leibniz. Sebenarnya, mereka pernah bertemu satu kali secara pribadi.

Sepanjang hidupnya dia ditawari sponsor dan jabatan profesor oleh berbagai patron. Mereka mencoba meyakinkan Spinoza supaya melepaskan ide-ide provokatifnya, namun dia menolak semua itu dan hidup sederhana. Ia hidup dari mengajar sambil bekerja membuat lensa dan membuat mikroskop dan teleskop.

Dia adalah pembela kebebasan berpendapat dan beragama, serta seorang republikan dan anti-monarki. Bahkan 150 tahun setelah kematiannya, “Spinozisme” masih menjadi sinonim ateisme. Bahkan Einstein sendiri mengakui bahwa bila dia memiliki Tuhan, maka itu tuhannya Spinoza. Spinoza sendiri menolak label ateisme, namun filosofinya pada dasarnya tidak memberikan ruang bagi agama atau Tuhan dalam pengertian umum. Meskipun Spinoza menolak ortodoksi agama, keterbatasan material zamannya membatasi pemikiran radikalnya hanya dalam ranah filsafat, bukan dalam perjuangan kelas yang konkrit.

Spinoza, dengan kekuatan nalarnya, kendati keterbatasan sains saat itu, mencapai salah satu hipotesis terpenting dalam sejarah: pikiran dan benda adalah dua atribut dari satu Substansi yang sama. Hanya ada satu Substansi, yang mengandung dalam dirinya semua atribut pikiran dan benda. Dengan demikian dia menafikan dualisme Descartes yang memisahkan benda dan pikiran. Hari ini lewat sains, kita telah mengetahui bahwa pikiran atau kesadaran tidak lain merupakan manifestasi dari materi-materi yang terorganisir dalam cara tertentu, dalam kata lain akal manusia itu adalah manifestasi material dari organ tubuh yang kita sebut otak.

Meskipun Spinoza, Leibniz, dan juga Hegel adalah kaum idealis, mereka tidak seperti kaum idealis subjektif masa kini. Mereka adalah filsuf idealis objektif, yang sangat tertarik pada ilmu pengetahuan alam, dan mereka sendiri melakukan banyak eksperimen. Mereka ingin benar-benar memahami dunia. Dengan demikian, aliran pemikiran ini membuka jalan bagi pendekatan dialektis: bagaimana materi berkembang? Apa hukum gerak? Bagaimana pemikiran manusia itu sendiri berkembang? Pandangan dialektis ini merupakan komponen penting bagi Marxisme. Ini memberikan kunci untuk mengatasi pendekatan mekanis kaum materialis Inggris.

Filsuf Prancis dan jalan menuju revolusi

Pada abad ke-18, Prancis merupakan tempat yang paling menarik. Tatanan lama absolut dan feodal kian hari mengalami krisis. Di Prancis, reaksi keras dari gereja Katolik setelah reformasi sangat kuat. Gereja melakukan sensor yang kejam dan menguasai kehidupan masyarakat. Monarki absolut adalah monster korup dan parasit yang menggerogoti masyarakat, sementara petani miskin hidup dalam kesengsaraan.

Kekayaan Raja Louis XV menggambarkan segalanya. Dia memiliki 1700 kuda, 217 kereta, dan memiliki 30 dokter pribadi. Pada 1751, rumah tangganya sendiri menghabiskan hampir seperempat pendapatan tahunan pemerintah. Angka-angka seperti ini mengingatkan kita pada miliarder masa kini yang menghabiskan banyak uang untuk membeli kapal pesiar pribadi atau perjalanan pribadi ke luar angkasa.

Dokumen yang sungguh-sungguh dengan mencolok mengungkapkan suasana hati pada waktu itu adalah wasiat seorang pastor paroki Jean Meslier dari provinsi Champagne. Ketika Jean Meslier meninggal pada 1729, dia meninggalkan wasiat kepada jemaat kecilnya. Ini adalah sebuah manifesto kebencian yang membara terhadap Gereja dan Yesus Kristus, dan mendukung ateisme dan komunisme versi utopis.

Jean Meslier menggambarkan Yesus sebagai “seorang fanatik, seorang misantropia yang berbicara kepada orang-orang yang malang dan mengajarkan mereka untuk menjadi miskin, menentang alam dan membenci kesenangan.” Tuhan Kristen, katanya, “lebih jahat daripada manusia yang paling jahat,” dan dia menolak semua agama demi materialisme. Dia menyatakan bahwa akar dari semua kejahatan dan kemalangan yang menimpa rakyat miskin adalah monarki dan gereja.

Meslier menulis, “Saya beritahu Anda bahwa materi bertindak dengan sendirinya … serahkan ‘penyebab pertama’ kepada para teolog, alam tidak memerlukannya untuk menghasilkan semua dampak yang dapat Anda saksikan.” Dalam pertanyaan tentang “penyebab pertama” dia bahkan melangkah lebih jauh dari Hobbes dan yang lainnya dalam mengajukan paham ateisme. Sebenarnya wasiat ini sangat radikal sehingga Voltaire, yang menerbitkan wasiat Meslier ini ke publik pada 1760an, bahkan tidak berani mempublikasikan semuanya.

Kondisi di Prancis benar-benar matang untuk menggulingkan tatanan lama. Pada jamuan makan malam pribadi dan di salon-salon, revolusi menjadi topik diskusi hangat. Abad ke-18 adalah zaman filsuf Prancis sebagaimana mereka menyebut diri mereka: nama-nama seperti Helvetius, Holbach, Diderot dan Rousseau. Inilah para pemikir Pencerahan yang mengilhami revolusi Perancis 1789.

Dalam Revolusi Inggris, bahkan tidak sampai seratus tahun sebelumnya, berbagai kelas masih berperang dengan berkedok agama. Semua golongan masyarakat berkonflik satu sama lain atas nama Tuhan, dengan penafsirannya masing-masing mengenai kehendak Tuhan. Para filsuf materialis Inggris pada saat itu adalah kaum revolusioner dalam bidang pemikiran manusia, namun ide-ide mereka bukanlah senjata politik dalam pertarungan kelas dalam revolusi borjuis Inggris. Sebaliknya, Thomas Hobbes malah mendukung monarki absolut.

Namun tidak demikian di Prancis. Gereja dan monarki adalah institusi yang dibenci. Para filsuf Pencerahan Prancis meminum ide-ide baru dan memfokuskannya langsung pada masyarakat itu sendiri. Para filsuf Prancis selalu bermasalah dengan pihak berwenang. Banyak dari mereka terus berpindah-pindah, melarikan diri dari satu negara ke negara lainnya.

Tulisan mereka sering kali dilarang dan dibakar di depan umum. Tapi itu hanya membuat mereka lebih menarik bagi pembaca yang mencoba mendapatkan bukunya. Buku-buku mereka yang berhasil lolos dari sensor diselundupkan ke Prancis dari Jerman atau Belanda, dan sering kali ditulis dengan nama samaran.

Para filsuf Prancis abad ke-18 sebenarnya mempunyai misi: tidak hanya alam dan pemikiran manusia yang harus tunduk pada nalar, tetapi masyarakat itu sendiri harus dipahami secara rasional, dan yang terpenting, masyarakat harus didirikan berdasarkan akal sehat. Ide-ide kaum empiris Inggris seperti Thomas Hobbes dan John Locke sangat populer di kalangan para filsuf ini.

Bagi mereka, manusia adalah sebuah mesin – sebuah mesin yang dapat dijelaskan secara logis dengan cara materialis. Dalam esainya, mereka membayangkan bagaimana jadinya manusia di luar masyarakat, dalam keadaan alami dan primal. Di sini, setiap mesin manusia diberkahi dengan kemampuan yang kurang lebih sama. Namun jika semua manusia kurang lebih sama, mengapa terdapat begitu banyak kesenjangan dalam masyarakat? Dan mengapa masyarakat begitu buruk secara moral? Mereka berpendapat bahwa sebagai mesin, kita hanya mengikuti kebutuhan kita dan apa yang paling menguntungkan kita. Tidak ada kebaikan atau kejahatan mutlak yang difirmankan oleh Tuhan.

Mereka menyimpulkan bahwa yang jahat pastilah undang-undang dan pendidikan masyarakat itu sendiri. Undang-undang ini sangat tidak rasional sehingga menjadikan manusia tidak masuk akal, serakah, dan merugikan satu sama lain.

Bagi Hobbes, keadaan alami manusia adalah ketakutan terus-menerus terhadap orang lain yang ingin merampas propertinya. Dia pernah mengatakan: “Ketika ibuku melahirkanku, dia melahirkan anak kembar: aku dan ketakutan.” Sebaliknya, para filsuf Prancis mempunyai gambaran yang sangat positif – bahkan indah dan idealis – mengenai keadaan “alami” manusia. Hukum yang buruk dan raja yang jahat merusak kebaikan alami manusia. Oleh karena itu, hukum dan pendidikan harus diubah agar sifat sejati manusia dapat berkembang.

Dengan cara ini, mereka mengarahkan ide-ide filosofis baru ke masyarakat. Namun pendekatan mekanis dan ahistoris masih terlihat jelas dalam tulisan-tulisan mereka. Mereka tidak memandang masyarakat sebagai hasil dari perkembangan dan kemajuan sejarah, yang berkembang seturut hukum-hukum fundamental tertentu. Sebaliknya mereka selalu menganggap masyarakat sebagai semacam tabula rasa. Sebuah kanvas kosong yang merupakan keadaan alamiah yang kemudian dapat dimodelkan sesuka hati dengan ide-ide dan hukum-hukum yang rasional dan baik.

Karena kapitalis tidak merencanakan produksi dan masyarakat, filosofi ini sebenarnya sangat menggambarkan kelas kapitalis yang sedang bangkit. Mereka bertindak seperti mesin yang digambarkan oleh kaum materialis: mendapatkan keuntungan, menginvestasikan uang, mendapatkan lebih banyak keuntungan. Jika kerangka hukum dan pemerintah tidak mengizinkan melakukan hal itu, maka ubah saja konstitusi dan ubah pemerintahan.

Namun hukum-hukum yang lebih mendasar dalam masyarakat, yang secara tidak disadari diikuti oleh kaum kapitalis, merupakan sebuah misteri bagi mereka. Mereka tidak perlu mengetahuinya untuk mendapatkan keuntungan. Maka seruan para filsuf tentang kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan menjadi senjata politik bagi revolusi borjuis. Revolusi Perancis menghilangkan hambatan terbesar pada saat itu: tatanan feodal dengan monarki absolut dan kekuasaan Gereja.

Ini memungkinkan kapitalisme berkembang lebih cepat. Kontradiksi kelas antara kaum kapitalis dan proletariat, yang sebelumnya masih bersifat embrionik, menjadi lebih nyata setelah revolusi borjuis. Para filsuf Perancis abad ke-18 membayangkan bahwa masyarakat dapat dibangun berdasarkan ide-ide rasional. Namun setelah revolusi borjuis, menjadi jelas bahwa mereka salah. Pendidikan dan hukum bukanlah kekuatan pendorong sejarah. Seperti yang dijelaskan oleh Marx dan Engels kemudian, perkembangan kekuatan produktif dan perjuangan kelas lah yang menjadi kekuatan pendorong sejarah.

Dari Pencerahan ke Marxisme

Beberapa pemikir, seperti Rousseau atau komunis utopis awal seperti Morelly dan Mably, telah menduga bahwa akar masalahnya ada hubungannya dengan kepemilikan pribadi. Namun mereka belum memahami mengapa kepemilikan pribadi berkembang dalam sejarah, sehingga mereka ingin melawannya dengan pendidikan yang lebih baik. Mereka berpikir, jika saja manusia diajari untuk tidak percaya pada kepemilikan pribadi, maka kejahatan akan hilang.

Sebagai kaum Marxis, kami memahami bahwa perkembangan kekuatan produktif adalah alasan di balik munculnya kepemilikan pribadi. Itulah sebabnya kelas-kelas dan perjuangan kelas muncul. Semua masyarakat kelas sebelumnya sampai kapitalisme belum mengembangkan kekuatan produktif ke tingkat yang cukup tinggi untuk menghapuskan kepemilikan pribadi. Jika suatu masyarakat tidak dapat memproduksi barang dalam jumlah yang cukup untuk semua orang – jika masyarakat masih mengalami kelangkaan – maka kondisinya belum matang untuk menghapuskan kepemilikan pribadi.

Terlebih lagi, para filsuf Perancis dan komunis utopis pada saat itu tidak menjadikan kelas pekerja sebagai subjek revolusioner. Mably mengatakan, “semua kejahatan dapat ditelusuri kembali ke unsur durhaka ini, keinginan untuk memiliki properti,” namun kemudian dia menambahkan, “saat ini, tidak ada kekuatan manusia yang mampu memulihkan kesetaraan.”

Bagi mereka, kaum proletar awal yang ada pada saat itu hanyalah orang-orang miskin. Mereka belum menjadi kekuatan yang ampuh untuk mengubah masyarakat. Kekuasaan proletariat belum berkembang. Itulah sebabnya Mably, seperti halnya kaum sosialis utopis Prancis di kemudian hari, menyarankan solusi idealis dengan mendidik manusia untuk melepaskan kepemilikan pribadi.

Di kemudian hari, Marxisme menemukan hukum yang mengatur masyarakat dan sejarah yang sebenarnya. Marxisme lah yang pada akhirnya memberikan penjelasan bagaimana alam, pemikiran manusia, dan juga masyarakat itu sendiri berkembang secara historis dan materialis. Marxisme menjelaskan bahwa kepemilikan pribadi tidak dapat “dididik” melainkan harus diambil alih dalam sebuah revolusi.

Di sini ada tiga komponen penting yang diperlukan bagi munculnya Marxisme. Pertama, filsafat materialis yang dibangkitkan kembali oleh kaum materialis Inggris dan Perancis. Kedua, dialektika – yaitu hukum perubahan dan perkembangan – yang ditemukan oleh para filsuf idealis dan khususnya Hegel. Ketiga, sosialisme utopis Prancis.

Kami mengatakan bahwa ide dapat mengubah dunia. Dalam hal ini Hegel benar ketika mengatakan ide dan semangat dunia adalah kekuatan pendorong sejarah. Tetapi hal ini hanya akan berhasil jika ide tersebut secara sadar dapat memahami hukum alam, sejarah dan masyarakat. Seperti yang dijelaskan oleh Marx, “Kekuatan material harus ditumbangkan oleh kekuatan material; namun teori juga menjadi kekuatan material segera setelah ia mencengkeram massa.” (A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right)

Berkat kemajuan pemikiran Zaman Pencerahan, Marxisme mampu menemukan hukum yang mengatur alam, pemikiran, dan masyarakat itu sendiri. Di sinilah perjuangan kelas menjadi kekuatan pendorong sejarah umat manusia sebenarnya. Dengan mengikatkan diri secara sadar dalam perjuangan ini, kita dapat menjadi subjek sadar sejarah. Marxisme adalah senjata sadar yang memungkinkan kita menggunakan filsafat ini untuk mengubah dunia. Dalam hal inilah filsafat seperti yang dipahami di masa lalu berakhir.

Engels menjelaskan bahwa tugas esensial filsafat adalah menemukan hukum-hukum perkembangan, dan hukum-hukum ini kemudian harus diterapkan dalam praktik: dalam ilmu pengetahuan, dan juga dalam perjuangan kelas. Marxisme memahami cara kerja kapitalisme. Pemahaman ini langsung mengarah pada kesimpulan bahwa kapitalisme telah melewati fase progresifnya. Sama seperti tatanan feodal di masa lalu yang harus digulingkan untuk membuka jalan bagi perkembangan masyarakat lebih lanjut, kini kapitalisme juga harus digulingkan.

Borjuasi hari ini tidak lagi membutuhkan gagasan rasional terhadap dunia. Mereka telah menjadi konservatif dan reaksioner. Inilah mengapa kelas penguasa saat ini menolak nalar dan kebenaran. Borjuasi saat ini sudah membuang legasi Pencerahan mereka sendiri. Mereka sadar bahwa bila mereka mengambil dan melanjutkan legasi ini maka ini pasti akan berujung pada kehancuran mereka sendiri.

Namun Marxisme adalah pewaris sesungguhnya dari para pemikir pemberani dan revolusioner Zaman Pencerahan. Tugas kita adalah mengambil sisi revolusioner dari warisan ini, mengangkatnya ke level yang lebih tinggi seperti yang telah dilakukan oleh Marx dan Engels, untuk bertempur melawan benteng ideologi kapitalisme. Marxisme adalah instrumen sadar kita mengubah dunia, yakni memperjuangkan masyarakat tanpa kelas.

Sistem kapitalisme yang tidak rasional ingin menyeret peradaban kembali ke zaman kegelapan yang baru. Oleh karena itu kaum revolusioner harus mempelajari dan mewarisi substansi revolusioner para pemikir berani Zaman Pencerahan ini. Kita berdiri di atas pundak raksasa-raksasa ini.

Filsafat adalah persenjataan teoritis dalam perjuangan kita sendiri melawan kelas penguasa kita yang busuk. Sebagai kaum revolusioner, kita tidak hanya berjuang untuk sebuah dunia di mana setiap orang memiliki apa yang mereka butuhkan secara materi. Kita tidak puas dengan roti dan mentega saja. Kita berjuang untuk sebuah dunia di mana setiap orang dapat mulai mengembangkan dirinya secara spiritual, di mana pintu-pintu kebudayaan terbuka untuk massa yang tertindas agar mereka memperoleh akses ke filsafat, ilmu, seni, dan semua hal yang selama ini dikecualikan bagi mereka di bawah kapitalisme. Seperti apa yang dikatakan Marx, “Dalam masyarakat komunis … tidak seorang pun memiliki satu bidang kegiatan eksklusif, tetapi setiap orang dapat menguasai cabang apa pun yang diinginkannya; masyarakat mengatur produksi umum dan dengan demikian memungkinkan saya melakukan satu hal hari ini dan hal lain besok, berburu di pagi hari, memancing di sore hari, memelihara ternak di malam hari, mengkritik setelah makan malam.” (German Ideology)

Ingin menghancurkan kapitalisme ?
Teorganisirlah sekarang !


    Dokumen Perspektif

    srilanka
    Manifesto Sosialis Revolusioner
    myanmar protest
    Perspektif Revolusi Indonesia: Tugas-tugas kita ke depan

    ©2025 Sosialis Revolusioner | Design: Newspaperly WordPress Theme