Kelas penguasa merasakan bahwa pijakan mereka sudah digoyahkan oleh gemuruh revolusi dari bawah, dan kini terpaksa menjanjikan banyak reforma untuk meredam gemuruh revolusi ini meledak lebih jauh lagi sampai-sampai mereka terpental. Mereka tidak menyangka bahwa arogansi mereka pada akhirnya akan ditantang. Terlalu lama terbiasa dengan massa yang hanya nrimo, mereka mengira bahwa semua baik-baik saja. Tetapi bara revolusi sudah membara, dan percik-perciknya mulai membakar jerami-jerami kering yang telah lama tertimbun.
Sebelumnya pemerintah begitu percaya diri. Gerakan Indonesia Gelap pada awal tahun tidak berkembang lebih lanjut dan program pemangkasan anggaran mereka bisa terus mereka laksanakan. Gelombang PHK massal terus terjadi tanpa adanya aksi buruh yang melawannya, terlebih Prabowo sudah membeli para pemimpin buruh. Tujuan Satgas PHK untuk “mengeliminir pemogokan” tampaknya sukses. Ribuan buruh Sritex menerima begitu saja nasib mereka hanya dengan menangis dan berdoa. Fenomena bendera One Piece yang sempat mencuat pada awal Agustus, yang sebelumnya membuat pemerintah agak resah, berhasil mereka redam. Bahkan ledakan Pati pun tampaknya tidak segera menyebar. Kelas penguasa pun merasa sekarang “business as usual”, sentimen yang juga tidak sedikit menginfeksi kaum Kiri.
Arogansi mereka tidak terbendung lagi. Di tengah himpitan yang begitu mencekik rakyat, para perwakilan kapitalis ini merasa mereka bisa melakukan apa saja. Naiklah tunjangan perumahan, yang menjadi jerami yang mematahkan punggung unta. Sesungguhnya, bila kita lihat kekayaan para anggota DPR yang sudah ratusan miliar itu, kenaikan tunjangan DPR yang mereka sahkan itu hanya recehan bagi mereka. Mereka tidak membutuhkannya. Namun demikianlah mentalitas kaum penindas atas yang tertindas, yang sudah begitu yakin kalau rakyat tertindas itu akan menurut saja, sehingga mendorong mereka untuk meremas setiap peser yang bisa mereka peroleh dari keringat, air mata, dan darah rakyat pekerja. Dan demikianlah awalnya mereka menyikapinya, dengan mencoba menjustifikasi privilese mereka, yang hanya semakin menuang bensin ke api.
Semua kegeraman rakyat tertuang ke dalam slogan “Bubarkan DPR” yang dengan spontan muncul dari rahim rakyat. Tidak ada pemimpin yang mengarahkan ini. Tidak ada organisasi. Tidak ada korlap. Rakyat yang “tolol sedunia” ini dengan cepat mengangkat slogan ini. Mereka mungkin saja tidak memiliki program penuh untuk slogan ini. Mereka tidak pernah membaca Negara dan Revolusi-nya Lenin; mereka tidak tahu apa itu soviet (dewan rakyat) yang lebih dari seabad yang lalu menjadi organ kekuasaan rakyat pekerja yang menggantikan parlemen borjuis itu; tetapi mereka tahu apa yang tidak mereka inginkan. Yang mereka tahu mereka tidak memerlukan DPR yang tidak berguna itu, yang mereka rasa lebih baik dibubarkan saja.
Untuk memadamkan api ini, pemerintah awalnya mencoba dengan kekerasan, yang justru semakin mengobarkan api ini, terutama setelah ini berakhir dengan kematian Affan. Api ini pun berubah menjadi kobaran revolusioner yang membakar sejumlah gedung DPRD dan lebih banyak lagi kantor polisi.
Mereka lalu memadukan represi dengan reforma dari atas. Awalnya reforma ini terlalu kecil, seperti hukuman 20 hari patsus untuk pelaku pembunuhan Affan Kurniawan, ataupun sekedar janji di mulut bahwa kenaikan tunjangan rumah akan dibatalkan, disertai berbagai pernyataan bahwa pemerintah akan mendengarkan aspirasi rakyat. Rakyat jelas sudah tidak begitu mudah dibohongi dengan gestur-gestur performatif, dan reforma-reforma remeh temeh ini justru semakin menumpuk kemarahan.
Merasa bahwa pijakan mereka sudah menjadi begitu rapuh karena gemuruh revolusi dari bawah, yang mereka khawatirkan bisa meledak sepenuhnya, pemerintah pun akhirnya memberikan konsesi-konsesi yang lebih serius. Seluruh take-home pay anggota DPR diturunkan menjadi Rp 65 juta dari yang sebelumnya Rp 239 juta. Salah satu polisi pembunuh Affan dipecat tidak hormat, sementara yang lainnya kemungkinan akan menerima ganjaran lebih berat daripada sebelumnya. Prabowo pun menyatakan bahwa tuntutan 17+8, yang digodok oleh sebagian aktivis, “masuk akal” dan. Tuntutan-tuntutan 17+8 yang moderat itu memang jadi masuk akal dari sudut pandang kelas penguasa – dan sudut pandang para aktivis demokrat liberal – ketika minggu lalu demonstrasi massa sudah menjadi “tidak masuk di akal” dengan mengangkat slogan “Bubarkan DPR”.
Ketika penguasa sudah takut kehilangan semuanya, mereka bisa menawarkan konsesi apapun untuk setidaknya membeli waktu sampai gerakan ini mereda. Untuk sementara, ledakan revolusioner ini memang mereda. Massa rakyat akan memeriksa seserius apa reforma-reforma yang dijanjikan itu. Mereka akan menemukan cepat atau lambat bahwa reforma-reforma ini hanyalah gestur semata yang tidak akan mengubah kehidupan mereka. Ini tidak akan memutar balik pemangkasan serta konsekuensi negatifnya pada taraf hidup rakyat. Ini tidak akan menciptakan lapangan pekerjaan atau menaikkan upah. Ini tidak akan menghentikan semakin lebarnya jurang antara yang kaya dan yang miskin.
Reforma dari atas untuk mencegah revolusi dari bawah, begitu bayangan kelas penguasa dan para ahli strategi mereka. Begitu yang dibayangkan pula oleh kaum oposisi liberal. Mereka memohon-mohon agar pemerintah bertindak lebih bijak. Koran Tempo sebagai corong suara oposisi borjuis liberal telah mengatakan dengan gamblangnya apa yang mereka takuti: “Kejadian di Bangladesh tak toleh terulang di Indonesia.” Apa gerangan yang terjadi di sana? Revolusi! Perdana Menteri Sheikh Hasina ditumbangkan, dan tidak ketinggalan pula rumahnya diserbu dan dijarah massa. Hanya dengan kesulitan yang teramat sukar akhirnya kelas penguasa – dengan bantuan besar kaum liberal – dapat memadamkan api revolusi tersebut dan mengarahkan kegeraman massa ke kanal-kanal aman. Inilah yang ditakuti oleh kelas penguasa.
Di seluruh dunia krisis kapitalisme menjadi semakin dalam. Kontradiksi kapitalisme menjadi semakin tak tertanggungkan dan inilah yang menciptakan syarat-syarat revolusi. Letupan pertama revolusi telah kita saksikan dan reforma apapun yang ditawarkan oleh kelas penguasa tidak akan bisa menyelesaikan kontradiksi kapitalisme. Ini semua hanya akan menyiapkan ledakan revolusioner yang bahkan lebih besar lagi.
Apapun reforma yang ditawarkan, kita harus jelaskan kepada kaum muda dan kelas pekerja: ini adalah buah hasil perjuangan massa yang berani mengangkat slogan revolusioner “Bubarkan DPR”. Jangan biarkan kelas penguasa dan para tuan-nyonya liberal mencap gerakan kalian sebagai kerusuhan yang diarahkan oleh bandar-bandar kepentingan. Bila gerakan kita yang spontan, sporadis dan acak itu saja sudah bisa membuat penguasa gemetar, apalagi kalau gerakan ini memiliki organisasi yang sadar, yang bersenjatakan program dan perspektif revolusioner. Bayangkan! Bila slogan “Bubarkan DPR” itu kita sediakan konten revolusioner yang lebih matang, ia sungguh akan mencapai tujuannya untuk menggantikan parlemen borjuis itu dengan kekuasaan kelas pekerja. Untuk itu dibutuhkan organisasi revolusioner, yang dimulai dengan menghimpun lapisan muda (mahasiswa, pelajar, dan pekerja) yang paling maju ke dalam barisan kita dan menempanya lebih lanjut. Inilah yang perlu kita bangun sekarang juga dengan urgensi.