Skip to content
Sosialis Revolusioner
Menu
  • Berita
  • Analisa
    • Gerakan Buruh
    • Agraria & Tani
    • Gerakan Perempuan
    • Gerakan Mahasiswa
    • Ekonomi
    • Politik
    • Pemilu
    • Hukum & Demokrasi
    • Imperialisme & Kebangsaan
    • Krisis Iklim
    • Lain-lain
  • Teori
    • Sejarah
      • Revolusi Oktober
      • Uni Soviet
      • Revolusi Indonesia
      • Lain-lain
    • Sosialisme
    • Materialisme Historis
    • Materialisme Dialektika
    • Ekonomi
    • Pembebasan Perempuan
    • Organisasi Revolusioner
    • Iptek, Seni, dan Budaya
    • Lenin & Trotsky
    • Marxisme vs Anarkisme
  • Internasional
    • Asia
    • Afrika
    • Amerika Latin
    • Amerika Utara
    • Eropa
    • Timur Tengah
  • Perspektif Revolusi
  • Program
  • Pendidikan
  • Bergabung
Menu

Makna Slogan Bubarkan DPR dan Dewan Rakyat Pekerja

Dipublikasi 14 September 2025 | Oleh : Fahri Anam

Dalam ledakan revolusioner belum lama ini, slogan “Bubarkan DPR” muncul dengan spontannya dari bawah. Kaum muda dan massa luas mendorongnya ke depan tanpa organisasi, tanpa kepemimpinan, tanpa rapat koordinasi. Tidak hanya itu saja, mereka pun segera – dengan cara mereka sendiri yang mereka pahami – merealisasikan slogan “Bubarkan DPR” tersebut, yakni dengan menghancurkan gedung-gedung parlemen.

Gelombang demonstrasi kali ini berbeda dengan semua demonstrasi yang pernah kita saksikan sejak 1998. Siapapun yang membuka telinga mereka pada apa yang dikatakan oleh rakyat jelata, alih-alih telinganya dipekakkan oleh media borjuis dan kaum liberal, akan memahami esensi revolusioner dari slogan tersebut.

Ketika massa mendorong slogan “Bubarkan DPR”, mereka tidak berpikir layaknya aktivis seperti biasanya. Mereka tidak menggelar rapat koordinasi sebelum turun ke jalan dan mengusung slogan tersebut. Mereka bukanlah lulusan FISIP atau telah membaca Negara dan Revolusi. Slogan ini lahir dari pengalaman hidup mereka, bahwa institusi demokrasi yang busuk itu tidak pernah melakukan apapun bagi mereka selain membawa kesengsaraan. Demikianlah kesadaran massa bergerak ketika untuk pertama kalinya mereka menyeruak masuk ke dalam arena perjuangan. Mereka tahu apa yang tidak mereka inginkan. Mereka ingin mengenyahkan institusi yang mereka benci itu, yang anggota-anggotanya memamerkan kekayaan mereka dengan begitu pongahnya sementara rakyat diminta untuk mengencangkan ikat pinggang mereka. Ini adalah lompatan besar dalam kesadaran massa.

Namun, rakyat yang sudah melompat kesadarannya itu belum memiliki program yang sempurna. Mereka belum tahu apa yang sesungguhnya diperlukan untuk menggantikan parlemen borjuis tersebut. Bila kita lantas menolak dan mencibir slogan ini hanya karena massa yang mendorongnya belum membaca Negara dan Revolusi dan belum memformulasikan teori politik yang apik, yang lengkap dari A sampai Z, maka kita melakukan kesalahan fatal tidak memahami gerak kesadaran massa dalam situasi revolusioner yang meledak-ledak. Kita justru akan tertinggal, atau lebih parah lagi, terdengar seperti Sahroni yang mengejek massa demonstran sebagai orang paling tolol sedunia.

Di sinilah letak peran kaum revolusioner, untuk mendorong lebih lanjut kesadaran massa yang terkristalisasi dalam slogan “Bubarkan DPR” tersebut. Kita mengintervensi proses ini sebagaimana ia bergulir. Setelah membakar gedung-gedung parlemen dan menyerang rumah para anggota parlemen yang mereka benci, massa belajar bahwa tindakan ini saja – walau cukup untuk membuat ketar-ketir penguasa – tidak cukup untuk merealisasikan tujuan mereka untuk benar-benar membubarkan DPR dan membawa perubahan fundamental dalam kehidupan mereka: pekerjaan, upah layak, tanah bagi petani, dan demokrasi. Pertanyaan yang kini perlu dijawab, yang jelas sekarang dipikirkan oleh banyak anak-anak muda yang baru kemarin saja turun ke jalan, adalah: bagaimana membubarkan DPR dan apa yang akan menggantikannya?

Pertanyaan ini sudah dijawab oleh pengalaman perjuangan rakyat pekerja yang riil: Komune Paris 1871 dan Revolusi Oktober. Marx dan Engels merangkum pelajaran Komune Paris dalam karyanya Civil War in France, yang lalu ditegaskan dengan lebih tajam lagi oleh Lenin dalam salah satu maha karyanya Negara dan Revolusi.

DPR adalah parlemen borjuis, yaitu organ demokrasinya kaum yang berpunya. Kelas pekerja tidak bisa mengambil alih lembaga tersebut karena memang sudah dirancang sedemikian rupa untuk mempertahankan kekuasaan kapitalis dan sistem eksploitasinya. Ketika aktivis-aktivis mencoba mengubah sistem dari dalam, justru merekalah yang terkooptasi. Kita cukup tengok nasib berbagai partai buruh dan partai sosial demokrat di Eropa yang telah memasuki parlemen borjuis untuk “mengubah sistem kapitalisme dari dalam”, bahkan sampai memegang mayoritas; mereka justru menjadi pelayan kapitalis yang setia.

Dalam situasi tertentu, kaum revolusioner bisa menggunakan parlemen dalam kerjanya, tetapi bukan untuk mengubah sistem dari dalam. Kita dapat gunakan kerja elektoral sebagai platform untuk menyebarkan propaganda sosialis lebih luas lagi, untuk mengekspos keterbatasan dan kebusukan parlemen borjuis. Partai Bolshevik di Rusia pun pernah menggunakan kerja parlemen Duma. Kerja seperti itu harus dilakukan dengan sangat hati-hati – karena parlemen itu sarat dengan perangkap oportunis-reformis – dan dengan terus menjaga tujuan akhir kita:  menghapus parlementerisme dan negara borjuis secara revolusioner. Di risalah ini kita tidak punya ruang untuk berbicara lebih rinci mengenai kerja elektoral, yang merupakan topik tersendiri. Kita perlu kembali ke pertanyaan di atas.

Untuk mengakhiri kapitalisme, kita tidak bisa menggunakan parlemen dan negara borjuis. Mereka harus dihapus dan dihancurkan, dan sebagai gantinya adalah pemerintahan kelas pekerja yang didasarkan pada dewan-dewan rakyat pekerja. Dewan-dewan rakyat ini (dalam bahasa Rusia, dewan adalah soviet) merupakan organ demokratik kelas pekerja yang lahir secara organik selama revolusi.

Dalam revolusi, ketika massa luas mulai memasuki arena perjuangan, pada satu titik mereka akan mulai membentuk komite-komite akar-rumput mereka sendiri untuk mengkoordinasi perjuangan mereka. Mereka akan memberikan ekspresi organisasi pada spontanitas yang awalnya menggerakkan mereka. Dalam pengalaman Revolusi 1905 di Rusia, kaum buruh Petrograd awalnya membentuk komite pemogokan untuk mengkoordinasi aksi mogok mereka dan perlawanan mereka melawan tsar, dan komite pemogokan inilah yang kemudian menjadi dewan rakyat (soviet) yang pertama.

Dewan-dewan rakyat ini, yang awalnya merupakan organ perjuangan, dalam perjalanannya selama revolusi menjadi organ kekuasaan kelas pekerja, karena revolusi niscaya selalu mengedepankan masalah kekuasaan. Inilah yang terjadi pada Revolusi 1917 di Rusia, ketika dewan-dewan rakyat ini dibentuk di antara buruh, tani dan prajurit. Lewat dewan-dewan rakyat inilah seluruh rakyat pekerja (buruh, tani dan prajurit) mengorganisir diri mereka dan menyalurkan aspirasi politik mereka secara demokratik. Ia bukan lagi hanya organ perjuangan, tetapi menjadi organ demokratik dan kekuasaan rakyat pekerja. Pada Oktober 1917 dewan rakyat ini (Soviet) merebut kekuasaan. Kekuasaan lama (parlemen dan negara borjuis) dibubarkan, dan sebagai gantinya adalah negara buruh yang berdasarkan soviet-soviet buruh, tani, dan prajurit.

Dewan rakyat ini berbeda dari parlemen, karena ia bukanlah lembaga yang kaku, yang hanya dipilih setiap 5 tahun dan diisi oleh elite-elite politik, sementara rakyat hanya diperbolehkan mencoblos untuk memilih perwakilan mereka. Karena lahir dari perjuangan dan revolusi, dewan rakyat ini langsung melibatkan rakyat pekerja secara luas. Rakyat tidak hanya menyampaikan keputusan mereka secara pasif, tetapi juga mengambil tindakan langsung secara aktif untuk menerapkan keputusan tersebut. Lewat dewan inilah rakyat untuk pertama kalinya menyadari kekuatan mereka dan menggunakannya untuk kepentingan kelas mereka. Dalam artian ini, dewan rakyat bukanlah parlemen. Dewan rakyat adalah anti-tesis dari parlemen borjuis, tidak hanya dalam bentuknya tetapi juga kontennya.

Untuk menjembatani slogan “Bubarkan DPR” yang dikedepankan oleh massa sampai ke pembentukan dewan rakyat, yang diperlukan untuk merealisasikan pembubaran parlemen borjuis itu, maka kaum revolusioner mengajukan tuntutan transisional “Bentuk komite-komite aksi sebagai organ demokratik perjuangan rakyat” di kampus-kampus sekolah-sekolah, pemukiman buruh, pabrik-pabrik, pangkalan ojek, dan di manapun. Tugas segera komite ini adalah mengorganisir rakyat pekerja lebih lanjut untuk memperdalam, memperluas, dan mengarahkan bara api revolusi ke perebutan kekuasaan. Untuk melawan kekuatan kelas penguasa yang sangat terorganisir itu, rakyat pekerja membutuhkan organisasi perjuangan mereka. Komite-komite ini yang lalu dapat menjadi dewan rakyat seiring dengan bergulirnya revolusi, menjadi embrio kekuasaan kelas pekerja, dasar dari negara buruh yang akan menggantikan negara kapitalis.

Negara buruh yang akan menggantikan negara borjuis ini akan berbeda dari semua negara sebelumnya, karena ia didasarkan pada dewan-dewan rakyat yang dibentuk dari bawah dan di semua tingkatan. Lenin dalam Negara dan Revolusi menjabarkan empat karakter utama negara buruh yang membuatnya berbeda dari negara borjuis dan parlemennya. Pertama, semua pejabat dipilih dan dapat direcall kapan saja. Kedua, semua pejabat digaji setara dengan rata-rata upah buruh. Ketiga, semua tugas pemerintahan dilakukan dan digilir oleh rakyat, bukan lagi oleh pejabat-pejabat berprivilese, sehingga ketika semua adalah birokrat maka tidak ada lagi birokrat. Keempat, pembubaran badan khusus orang-orang bersenjata (polisi dan tentara), yang digantikan dengan rakyat bersenjata. Empat syarat ini menjawab semua keresahan rakyat mengenai elite-elite pemerintahan yang berprivilese, demokrasi yang sejati, serta kekerasan polisi dan tentara.

Apakah kita memberi nama komite, dewan, atau komune pada organ-organ demokratik rakyat pekerja ini adalah hal sekunder. Rakyat yang sendirinya akan menentukannya. Jalan menuju ke komite atau dewan rakyat ini juga tidak serta merta akan mengikuti persis apa yang kita bayangkan. Kaum revolusioner dapat mengajukan pembentukan komite aksi dan dengan sabar menjelaskan kepada rakyat signifikansinya untuk memenangkan revolusi, tetapi kita juga harus beradaptasi pada kreativitas rakyat dan tidak lantas terjebak dalam skema kita sendiri. Teori itu abu-abu dan pohon kehidupan itu hijau.

Slogan “Bubarkan DPR” telah dimajukan. Tugas kaum revolusioner adalah memberikan penjelasan yang lebih lengkap pada slogan tersebut. Dengan demikian, ketika ledakan-ledakan revolusioner lainnya menyusul, sesuatu yang cepat atau lambat akan terjadi karena krisis kapitalisme yang semakin menajam, rakyat pekerja akan lebih siap untuk melangkah lebih jauh.

Ingin menghancurkan kapitalisme ?
Teorganisirlah sekarang !


    Dokumen Perspektif

    Perspektif Dunia 2025: Dunia Terjungkir Balik – Sistem Kapitalisme dalam Krisis
    Perspektif Politik 2025: Bersiap Untuk Revolusi
    srilanka
    Manifesto Sosialis Revolusioner
    myanmar protest
    Perspektif Revolusi Indonesia: Tugas-tugas kita ke depan
    ©2025 Sosialis Revolusioner | Design: Newspaperly WordPress Theme