Banjir bandang melanda Sumatera Utara sejak akhir November 2025. Banjir yang menenggelamkan wilayah provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat itu telah menelan korban jiwa sedikitnya 631 orang, dengan 472 orang masih hilang, dan 2.600 orang lainnya luka-luka. Warga yang terdampak mencapai 3,2 juta jiwa, dengan 1 juta orang menjadi pengungsi.
Bencana di Sumatera ini adalah yang terbesar sejak Tsunami Aceh tahun 2004. Arini Amalia dari Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, menyampaikan pilu hatinya saat diwawancara BBC pada 1 Desember 2025. Arini mengatakan bahwa banjir ini “layaknya Tsunami”, dan, menurut neneknya, banjir ini “adalah yang terburuk sepanjang hidupnya.” Tak heran, banjir ini disebut “Tsunami Jilid Dua”.
Para korban banjir harus hidup bak neraka di tanah yang dulunya rumah mereka. Tidak kurang dari 10.000 rumah rusak akibat banjir, dengan 3.500 rumah rusak berat. Mereka kehilangan akses air bersih, makanan, serta listrik. Keterlambatan langkah pemerintah memberikan bantuan membuat kondisi masyarakat semakin putus asa. Beberapa warga mulai menjarah minimarket serta pusat perbelanjaan. Salah satu korban yang menjarah minimarket mengaku ia mengambil 3 mie instan untuk makan anak-anaknya, sembari meminta maaf di depan media. Media, bahkan dalam situasi krisis, justru masih mempertahankan “kesakralan” kepemilikan pribadi.
Banjir bandang ini tidak hanya terjadi di Sumatera, tetapi juga Thailand, Malaysia, sampai Sri Lanka. Banjir ini dipicu oleh Siklon Tropis Senyar, yang disebut “sangat langka dan jarang” dan “paling berbahaya” dari semua badai yang terjadi saat musim angin monsun di Asia Tenggara. Siklon ini menjadi bagian dari rangkaian peristiwa “paling jarang” dan “belum pernah ada” yang kita sering dengar akhir-akhir ini. Badai ini adalah simbol kondisi dunia yang sedang bergejolak, yang sedang berada dalam krisis berkepanjangan. Banjir ini tak lain tak bukan adalah akibat krisis iklim, krisis yang disebabkan tidak teraturnya sistem produksi kapitalisme—sebagaimana yang telah kami jabarkan dalam artikel kami Kapitalisme Menghancurkan Bumi.
Walaupun banjir bandang ini terjadi di berbagai negara, dampaknya yang paling parah ada di Indonesia. Malaysia mencatat hanya dua korban jiwa, dan Thailand, walau jumlah korban jiwa mencapai 170 orang, masih jauh di bawah korban banjir Sumatera. Sama halnya dengan korban jiwa di Sri Lanka yang mencapai 330 orang. Banjir akibat siklon di Indonesia lebih luas dan lebih dalam. Kita akan menemukan bahwa kelas penguasa kita sendirilah yang memperparah kondisi ini dan membunuh lebih dari 600 jiwa dan menghilangkan penghidupan bagi jutaan orang.
Gelondongan kayu-kayu yang hanyut bersama banjir menunjukkan betapa luas skala deforestasi di Sumatera Utara. WALHI melaporkan bahwa di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, hutan telah berkurang sekitar 300 hektar sejak 2015, dan hingga akhir 2024 total area yang hilang bisa mencapai ratusan hektar. Rata-rata deforestasi mencapai sekitar 9.884,79 hektar per tahun dalam periode 2013–2022.
Pemerintah kita meremehkan situasi ini. Bahkan pada 30 Desember 2024, Prabowo mengatakan: “Enggak usah takut, apa itu katanya, membahayakan, deforestation, namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan? Benar enggak, kelapa sawit itu pohon, ada daunnya kan? Dia menyerap karbondioksida.”
Bagi yang punya setengah akal sehat pun langsung paham ujaran Prabowo ini sangat bodoh. Kelapa sawit, salah satu komoditas utama Sumatera, membutuhkan pembebasan lahan agar pohonnya dapat ditanam dalam jumlah besar. Singkatnya, kebun sawit memerlukan deforestasi, pembabatan habis hutan alami. Dengan meluaskan kebun sawit, pengusaha kelapa sawit menebang lebih banyak pohon, membuat lahan tandus yang menyebabkan air tidak dapat lagi tertopang tanah, dan akhirnya menimbulkan banjir. Ini ditunjukkan dengan banyaknya gelondongan kayu yang tersapu banjir dan sempat direkam oleh warga, disebar luas di media sosial. Kayu inilah hasil pembabatan hutan.
Belum ada setahun sejak pidato Prabowo itu, Sumatera kebanjiran. Dan, sesuai kebiasaan si Prabowo seakan berbalik arah. Pada 28 November 2025, setelah banjir terjadi, Prabowo mengatakan kita harus “menjaga hutan kita,” dan kita harus “benar-benar mencegah pembabatan pohon-pohon, perusakan hutan-hutan, juga sungai-sungai harus kita jaga”. Sungguh munafik.
Bahkan, saat ia menengok korban banjir di Kasai Permai, Padang Pariaman, dia harus menebar ujaran manis kepada warga. Dia tanya kepada mereka, “Kalian suka enggak kalau saya sikat itu maling semua?”
Tetapi ini seperti maling teriak maling, karena maling-maling yang dimaksud Prabowo adalah teman-temannya sendiri, kelas kapitalis yang telah menjarah kekayaan tanah air, menghisap habis sumber daya Sumatera, memeras kelas pekerja dan kaum miskin di sana, menyebabkan banjir bandang, penderitaan dan keresahan di mana-mana.
Tetapi kata-kata Prabowo tidak mengubah realita. Dia adalah bagian dari kelas kapitalis yang sama, yang bertanggungjawab terhadap kerusakan dan bencana ini. Prabowo sendiri tercatat menguasai lahan perhutanan seluas 120 ribu hektare di Aceh. Sampai sekarang, belum jelas dari siapa ia membelinya, dapat uang dari mana, dan dengan cara apa Prabowo mendapatkannya.
Begitu pula jajaran kabinetnya sendiri. Bahlil Lahadahlia, Menteri ESDM dan juga Ketua Umum Partai Golkar, adalah pengusaha tambang. Bahlil mengakui sendiri bahwa dirinya merasa “bersalah” atas banjir ini karena usaha tambangnya berurusan dengan “tebang pohon”. Rasa bersalah belum cukup. Seorang pembunuh yang mengakui kejahatannya tidak membuat ia bebas dari hukuman.
Bahlil dan menteri-menteri pendahulunya-lah yang mengizinkan pembukaan lahan tambang baru di Sumatera, yang sekarang luasnya mencapai lebih dari 2 juta hektar. PT Agincourt Resources, perusahaan tambang terafiliasi dengan Astra Group, membuka lahan sekitar 570,36 hektare di kawasan hutan Batang Toru hingga Oktober 2025. Pembukaan lahan ini adalah sebab langsung dari musibah yang menewaskan lebih dari 600 orang. Semua ini dibolehkan dan didukung oleh Bahlil. “Rasa bersalah” Bahlil hanyalah basa-basi saja.
Sampai sekarang, Pemerintah Pusat belum menetapkan banjir di Sumatera sebagai Bencana Nasional. Ini berarti penanganan banjir diserahkan ke pemerintahan daerah, dengan bantuan kecil-kecilan dari Pemerintah Pusat. Hal ini mereka lakukan karena mereka sedang menghitung-hitung anggaran karena uangnya tidak cukup untuk menyelamatkan rakyatnya sendiri. APBN mereka simpan untuk membayar utang yang menggunung kepada kapitalis, dan oleh karenanya, mereka siap mengorbankan jutaan jiwa rakyat jelata.
Kelas pekerja dan kaum muda melihat ini dengan mata terbuka. Reaksi di media sosial terhadap banjir ini menunjukkan adanya kemuakan massa dengan tingkah laku penguasa. Di Instagram muncul beragam posting tentang asal-muasal banjir di Sumatera, yang disebarkan oleh puluhan ribu orang. Mereka dengan tepat menunjukkan bahwa banjir ini akibat eksploitasi alam berlebihan, oleh para pengusaha dan didukung oleh para pejabat—yang seringkali merupakan orang yang sama.
Mereka bahkan menyebarkan meme bahwa sementara pejabat dan pengusaha meminta rakyat berserah diri kepada Tuhan atas banjir ini, mereka sendirilah penyebab banjirnya. Seorang ibu-ibu terekam mengolok-olok Bobby Nasution, Gubernur Sumatera Utara dan menantu Jokowi, saat ia turun mendatangi warga korban banjir. Banjir ini mengubah kesadaran massa akan watak penguasa kita sesungguhnya.
Sementara media liberal Tempo berupaya mengalihkan perhatian kita dari biang kerok yang sesungguhnya, dengan mengatakan bahwa banjir ini adalah “ulah manusia”. Tetapi ulah manusia yang mana? Apakah mayoritas manusia yang menderita akibat banjir atau kapitalis pembalak hutan beserta parasit di pemerintahan mereka? Kenyataannya hampir mayoritas masyarakat sama sekali tidak menikmati keuntungan atas pembalakan hutan, tapi justru menderita darinya.
Ini bukan ulah manusia pada umumnya, tetapi ini adalah ulah kelas penguasa kita sendiri dan kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang berlaku. Kelas penguasa-lah yang bersalah atas banjir ini. Mereka yang telah mengambil habis-hasil bumi, membabat hutan-hutan, membanjiri rumah warga, membuat mereka kehilangan nyawa, hanya untuk profit segelintir orang.
Prabowo, Bahlil, Bobby, dan seluruh jajaran pemerintah harus bertanggungjawab. Pada zaman Tiongkok Kuno, kekuasaan kaisar hilang setelah terjadi bencana besar. Surga telah menarik kembali mandatnya. Sekarang, kelas penguasa kita juga telah kehilangan mandatnya untuk berkuasa. Mereka harus digulingkan secara revolusioner oleh kelas pekerja dan kaum muda, bersamaan dengan sistem mereka: kapitalisme. Hanya dengan itu kita bisa menjamin dunia tanpa penderitaan, di mana alam dikelola secara bijak untuk kepentingan umat manusia bukan segelintir parasit kelas kapitalis dan pemerintahan mereka!
