Selama beberapa tahun terakhir, kita telah saksikan serangkaian revolusi yang berhasil menumbangkan pemerintahan yang dibenci oleh massa luas. Di Bangladesh pada 2024, Perdana Menteri Sheikh Hasina yang telah memerintah selama 15 tahun ditumbangkan oleh Revolusi Juli. Di Sri Lanka pada 2022, rakyat menyerbu dan mengobrak-abrik istana kepresidenan. Begitu takutnya Presiden Rajapaksa pada revolusi ini, dia mengepak tasnya dan kabur ke luar negeri. Di Nepal baru beberapa bulan yang lalu, api revolusi membakar habis gedung parlemen yang dilihat massa tidak lebih dari sarang tikus dan melengserkan Perdana Menteri Sharma Oli. Ketika rakyat pekerja sudah bersatu dalam satu tekad untuk menyingkirkan kelas penguasa yang telah menjadi sumber dari segala sesuatu yang salah dalam kehidupan mereka, semua aparatus kekerasan yang sebelumnya ampuh dan kokoh hancur lebur dihantam massa. Inilah kapasitas revolusioner kelas pekerja yang tidak boleh kita remehkan.
Namun kemenangan-kemenangan parsial ini hanya berhasil mengganti personel rejim dan belum berhasil mengakhiri keseluruhan sistem eksploitasi dan penindasan. Dalam kata lain, relasi kepemilikan kapitalis masih utuh. Selama kapitalisme masih utuh, selama negara kapitalis belum dicerabut sampai ke akar-akarnya, maka kelas penguasa yang awalnya terpukul mundur akan selalu berhasil pulih dan mengembalikan ketertiban. Tidak akan ada perubahan fundamental bagi kehidupan rakyat pekerja. Demikianlah nasib Revolusi 1998. Kita berhasil menyingkirkan Suharto, tetapi yang kaya tetap kaya – dan bahkan menjadi lebih kaya – sementara yang miskin semakin terpuruk dalam kemelaratan. Kita bahkan sampai di titik di mana sang diktator Suharto hari ini akan dinobatkan sebagai pahlawan nasional.
Problem yang harus dipecahkan oleh kelas pekerja adalah bagaimana mendorong revolusi sampai ke kemenangan akhir penumbangan kapitalisme dan menegakkan sosialisme. Untuk itu kita harus belajar dari pengalaman revolusi-revolusi sebelumnya, dan tidak ada pengalaman yang lebih baik daripada Revolusi Rusia 1917. Lebih dari satu abad sudah berlalu, tetapi apa yang telah dicapai oleh proletariat Rusia dan kaum Bolshevik sungguh tidak ada lawannya sampai hari ini.
Bila kita perhatikan revolusi demi revolusi dalam sejarah, kita akan temukan mekanisme umum yang mengaturnya. Mekanisme atau hukum revolusi ini kerap mengulang dirinya dan bersifat universal. Setiap keunikan dan partikularitas dari tiap-tiap revolusi yang berbeda – dan setiap revolusi ini harus kita kaji secara konkret karena pohon kehidupan itu selalu lebih hijau daripada teori – terus memperkaya universalitas hukum revolusi tersebut. Mendalami hukum revolusi ini akan memberi kelas buruh panduan esensial untuk memenuhi tugas historis mereka.
Dalam mekanisme umumnya, Revolusi Rusia dimulai tidak terlalu berbeda dengan revolusi-revolusi di Bangladesh, Nepal, dan Nepal. Ia dimulai dengan kemenangan awal yang walaupun gemilang masihlah penuh dengan kenaifan. Yang membedakan adalah bagaimana Revolusi Rusia bisa mengatasi kenaifan tersebut dan tiba ke kemenangan yang mengubah seluruh sejarah dunia.
Pada Hari Buruh Perempuan Internasional 1917, yang dirayakan di tengah-tengah perang terbesar dan paling berdarah-darah dalam sejarah umat manusia, kaum buruh perempuan Petrograd meluncurkan pemogokan untuk memprotes kelangkaan roti dan gandum. Namun kemarahan atas kelangkaan roti ini hanyalah pemicu – seperti halnya isu “anak-anak nepo” di Nepal atau isu kuota pekerjaan pemerintah di Bangladesh – yang sesungguhnya mengekspresikan kemarahan yang lebih mendalam atas krisis mendalam kapitalisme Rusia dan rejim feodal Tsar, yang tidak hanya telah menindas rakyat selama ini tetapi juga kini membantai mereka di parit-parit perang dalam jumlah jutaan.
Sebuah sistem yang sudah dalam krisis tidaklah kekurangan jerami kering yang mudah terpantik dan berkobar menjadi api revolusi. Isu awal yang membangkitkan amarah massa luas bisa saja masalah korupsi, kenaikan harga BBM, sensor pers, dll., yang dengan cepat membuka bendungan revolusi. Bila kita ingat, Revolusi Tunisia yang menjadi pembukaan Revolusi Arab yang megah itu dipicu oleh bunuh diri pedagang kaki lima Mohamed Bouazizi karena gerobak buah-buahannya disita polisi. Kekerasan aparat atas PKL seperti ini sudah biasa terjadi di pasar, tetapi satu tetes ketidakadilan ini akhirnya membuat tumpah ruah semua tetes air mata dan darah penderitaan rakyat yang telah terkumpul bertahun-tahun. Keniscayaan sungguh mengekspresikan dirinya lewat aksiden.
Di fase pertama revolusi, kita saksikan bagaimana yang biasanya jadi sasaran awal amarah massa adalah sosok atau sekelompok orang dalam pemerintahan yang paling dibenci, dan bukanlah keseluruhan sistem. Dalam Revolusi Februari, rakyat menuntut dilengserkannya Tsar Nicholas II sebagai simbol dan personifikasi dari keseluruhan sistem yang dibenci itu. Tidaklah menolong bahwa sang raja dan keluarganya hidup dalam kemewahan tanpa-malu sementara rakyatnya kelaparan dan dibantai di medan perang. Demikian juga di Bangladesh, yang jadi sasaran utama adalah Perdana Menteri Hasina; di Indonesia pada 1998, Suharto dan keluarga Cendana; atau Agustus kemarin, Sahroni serta Sri Mulyani. Dalam perlawanan mereka, massa tidak langsung menemukan program untuk menumbangkan sistem kapitalisme. Mereka jelas sudah merasa bahwa sistem yang berlaku sudah tidak bekerja, tetapi yang masih mereka lihat awalnya adalah manifestasi individunya.
Ini karena semua relasi sosial dan ekonomi dalam masyarakat dieksekusi dan diekspresikan oleh individu-individu. Oleh karenanya, di mata rakyat, kemalangan yang menimpa mereka tampaknya adalah konsekuensi dari kebijakan dan tindakan individu tertentu. Masih ada ilusi bahwa yang diperlukan hanyalah mengganti orang-orang yang di atas. Tetapi sebenarnya, mereka ini hanyalah personifikasi dari relasi sosial dan ekonomi tertentu, dari kepentingan kelas tertentu di bawah moda produksi yang berlaku.
Dengan kepemimpinan gerakan yang baik, yang dapat mengajukan program yang tepat dan sesuai dengan perkembangan kesadaran massa, massa dapat dengan cepat belajar bahwa ini bukan problem satu dua orang saja, tetapi keseluruhan relasi sosio-ekonomi yang berlaku. Yang perlu disingkirkan bukan hanya para politisi saja, bukan hanya satu atau sayap lain kelas penguasa, tetapi keseluruhan relasi produksi dan kepemilikan borjuis.
Ketika pada 25 Agustus kemarin kaum muda dan rakyat pekerja secara spontan memajukan slogan “Bubarkan DPR”, mereka melihat anggota-anggota DPR ini sebagai sumber dari semua kemalangan mereka. Mereka melayangkan serangan mereka terutama pada beberapa anggota DPR yang paling memuakkan, seperti Sahroni. Bila saat itu mereka tidak melayangkan serangan mereka pada Prabowo, pada kapitalis Aguan, pada bos-bos mereka yang setiap harinya memperbudak mereka, ini bukan karena ada bandar kepentingan seperti yang dilansir sejumlah aktivis, atau karena rakyat bodoh. Tetapi memang demikianlah mekanisme revolusi dan perkembangan kesadaran kelas dalam prosesnya. Ia tidak bergerak dalam satu garis lurus yang langsung menunjuk ke akar permasalahan.
Yang harus kita pahami di sini, para buruh perempuan Petrograd memulai pemogokan mereka bukan dengan rencana matang ataupun program sempurna untuk menumbangkan Tsar, apalagi menumbangkan kapitalisme. Mereka hanya tahu bahwa mereka tidak bisa lagi mengantre untuk ransum roti yang semakin hari semakin sedikit.
Satu hal lainnya yang biasa kita temui dalam revolusi adalah bagaimana rakyat pekerja bisa menjadi jauh lebih revolusioner dibandingkan para aktivis yang telah lama berjibaku. Para pemimpin buruh – termasuk kaum Bolshevik – awalnya menganjurkan agar buruh perempuans tidak terburu-buru melakukan mogok karena khawatir akan represi dari polisi dan juga khawatir bahwa ini hanya akan menjadi pemogokan parsial yang mudah dipatahkan. Para aktivis “senior” ini terbiasa mempertimbangkan segala sesuatu sebelum meluncurkan aksi, terbiasa dengan aksi-aksi yang rapi dan terencana, dan dengan demikian menunjukkan sisi konservatisme mereka ketika revolusi mulai menunjukkan kepalanya.
Namun buruh Petrograd, terutama buruh perempuan, tidak bisa lagi menunggu instruksi. Kesabaran mereka sudah sampai di ubun-ubun. Yang mereka tahu mereka tidak bisa lagi hidup di bawah kondisi ini dan sesuatu harus dilakukan sekarang juga untuk mengubah kondisi ini. Terinspirasi oleh buruh perempuan, massa luas pun tumpah ruah ke jalan-jalan tanpa korlap, tanpa rapat koordinasi, tanpa instruksi partai. Mereka mengimprovisasi langsung di tempat semua hal yang mereka butuhkan untuk berjuang.
Untungnya Partai Bolshevik mampu segera beradaptasi. Walaupun awalnya bimbang dan tertangkap basah tidak sigap, kaum Bolshevik di Petrograd dengan cepat mengubah pendekatan mereka untuk mendukung pemogokan umum ini dan memperluasnya. Inilah pentingnya partai yang tertempa dalam teori revolusioner, yang mampu mengkaji situasi dengan cepat dan mengubah orientasi mereka.
Namun, Revolusi Februari ini jelas bukan dipimpin atau diorganisasi oleh Partai Bolshevik. Revolusi ini meledak dengan spontan, hampir-hampir tanpa kepemimpinan. Watak revolusi memang demikian, terutama di fase awalnya. Partai Bolshevik memang selama ini memegang kepemimpinan di antara lapisan buruh yang termaju, namun revolusi membangkitkan jutaan massa yang telah tertidur untuk waktu yang lama. Dengan satu lompatan jutaan buruh dan tani menyeruak masuk ke kehidupan politik untuk pertama kalinya. Ini membuat kaum Bolshevik dan buruh-buruh maju di sekitarnya menjadi semata minoritas kecil di dalamnya, arus kecil di tengah badai revolusi yang meledak.
Massa luas bergerak dengan naluri mereka, bahwa mereka tidak bisa lagi hidup barang satu hari lagi di bawah kondisi ketertindasan yang telah bertahun-tahun memasung mereka. Spontanitas revolusioner mereka tidak hanya mengejutkan kelas penguasa tetapi juga tidak jarang kaum Kiri. Tetapi kaum revolusioner yang sudah dengan giat mempelajari sejarah revolusi tidak akan tertangkap basah tidak siap. Dengan program tuntutan yang tepat, mereka bisa mengubah spontanitas ini menjadi kesiapan revolusioner; mereka bisa tumbuh dari minoritas kecil menjadi partai massa. Inilah persis yang terjadi. Partai Bolshevik tumbuh dari hanya beranggotakan 8000 pada awal Revolusi menjadi partai massa beranggotakan 200 ribu menjelang Revolusi Oktober.
Dengan energi yang meledak-ledak dan inisiatif berani, spontanitas massa berperan menghancurkan kerak-kerak birokratik dan konservatif dalam masyarakat dan juga dalam gerakan. Masalahnya, spontanitas massa bisa saja memulai langkah revolusi tetapi tidak memadai untuk menuntaskan revolusi. Keberadaan partai revolusioner yang telah dipersiapkan jauh-jauh hari dengan kedisiplinan dan kerapatan tinggi menjadi prasyarat selanjutnya.
Massa buruh dan tani yang kesadarannya telah melompat begitu jauh pada Februari – tidak hanya dengan menumbangkan autokrasi Tsar yang telah ratusan tahun mendominasi kehidupan mereka tetapi juga dengan mendirikan dewan rakyat (Soviet) – ternyata masih menyimpan konservatisme. Mereka serahkan kepemimpinan dewan rakyat ini pada kaum reformis (kaum Menshevik dan Sosial-Revolusioner) yang begitu penuh dengan keraguan dan ketakutan pada revolusi. Para pemimpin reformis ini pada gilirannya menyerahkan kembali kekuasaan yang sudah ada di tangan rakyat ke kaum borjuis liberal. Kaum Menshevik dan SR menggunakan dewan-dewan rakyat yang mereka pimpin untuk menopang pemerintah borjuis provisional.
Inilah salah satu paradoks Revolusi Rusia. Rakyat pekerja-lah yang meluncurkan insureksi, tetapi kaum borjuis liberal – atau sayap oposisi borjuis tertentu – berhasil mengambil alih kepemimpinan revolusi guna mengarahkannya ke saluran yang aman. Dalam sejarah berbagai revolusi sampai hari ini, paradoks ini terus mengulang dirinya. Pada 1998 di Indonesia, ada Megawati, Amien Rais, dan Gus Dur. Di Revolusi Bangladesh tahun lalu, pemenang hadiah Nobel dan bankir Muhammad Yunus. Di Nepal baru-baru saja, mantan Hakim Agung Sushila Karki.
Trotsky menjelaskan ini dalam Sejarah Revolusi Rusia: “Di semua revolusi di masa lalu, yang bertempur di barikade-barikade adalah buruh, buruh magang, sebagian mahasiswa, dan para tentara yang telah menyebrang ke sisi mereka. Tetapi kemudian, kaum borjuis yang solid, setelah dengan hati-hati mengawasi barikade-barikade ini dari jendela mereka, mengonsolidasikan kekuasaan.”
Bagaimana kita bisa menjelaskan paradoks ini?
Pertama, dari masa ke masa kelas penguasa selalu merupakan kelas yang jauh lebih sadar kelas dibandingkan dengan kelas-kelas tertindas. Mereka telah mengumpulkan pengalaman yang panjang mengenai makna dan signifikansi kekuasaan negara dan bagaimana mempertahankannya. Mereka telah menyempurnakan seni kekuasaan untuk kelas mereka. Sementara, rakyat pekerja, bahkan yang sudah terbangunkan dari tidurnya, masihlah meraba-raba. Di setiap insureksi, mereka telah merebut kekuasaan tetapi mereka tidak menyadarinya dan menyerahkannya kembali ke kaum borjuasi, biasanya lewat perantara para pemimpin reformis mereka.
Seperti kata Lenin dalam Tesis April, bahwa “karena proletariat tidak memiliki kesadaran kelas serta organisasi yang memadai” maka tahapan pertama revolusi ini menyerahkan kekuasaan kepada kaum liberal. Di sinilah pentingnya partai revolusioner untuk mendorong maju kesadaran kelas kaum buruh dan menyediakan organisasi yang dibutuhkan. Partai revolusioner menjadi memori kolektif kelas buruh, pusat edukasi kelas untuk memahami problem-problem revolusi dan perebutan kekuasaan. Tanpa Partai Bolshevik saat itu, kekuasaan sudah pasti akan luput dari tangan proletariat. Hari ini karya Negara dan Revolusi Lenin dan Sejarah Revolusi Rusia Trotsky – yang boleh dikatakan menyarikan pengalaman Revolusi Oktober – adalah dua maha karya yang paling penting untuk mendidik kelas buruh mengenai mekanisme revolusi dan problem-problem perebutan kekuasaan.
Kedua, massa yang baru saja meraih kemenangan awal masih mengidap semacam kenaifan. Revolusi itu seperti karnaval. Setelah berhasil menumbangkan Tsar, ada perasaan gegap gempita bahwa setelah bertahun-tahun perjuangan yang getir mereka akhirnya menang. Selama revolusi, massa luas memang dalam waktu beberapa hari saja telah belajar banyak – jauh lebih banyak dari apa yang bisa mereka dapati dalam 10 tahun masa damai – tetapi masih belum cukup banyak untuk bisa membedakan fase awal revolusi dengan kemenangan akhirnya dan bagaimana melangkah ke kemenangan akhir tersebut. Mereka tidak sepenuhnya memahami bahwa kemenangan awal ini – lengsernya Tsar, Suharto, Hasina, Rajapaksa, dll. – hanya berarti perjuangan baru saja dimulai. Sementara rakyat bersorak-sorai di jalan-jalan, kelas penguasa mengawasi situasi dengan cermat dan menghimpun kembali kekuatan mereka untuk memulihkan kekuasaan mereka yang baru saja terguncang.
Kenaifan massa ini perlu diatasi oleh lapisan kelas yang paling terdidik, paling dewasa, dan paling berwawasan luas dan jauh – yaitu lapisan pelopor yang terhimpun dan tertempa lama dalam partai revolusioner. Inilah yang berhasil dilakukan oleh Partai Bolshevik. Dengan Tesis April dan slogan “Seluruh Kekuasaan untuk Soviet”, Partai Bolshevik mengedepankan problem kekuasaan di hadapan massa yang berhasil membuyarkan kenaifan mereka. Dengan slogan tersebut, Partai Bolshevik menjelaskan dengan sabar kepada rakyat pekerja bahwa tugas selanjutnya dari Soviet-soviet yang baru lahir ini adalah merebut kekuasaan sepenuhnya ke tangan mereka sendiri, dengan mengekspropriasi kapitalis dan tuan tanah.
Ketiga, faktor yang mungkin paling menjelaskan paradoks Februari ini adalah peran kepemimpinan reformis atau sosialis moderat. Revolusi kerap mendorong kiri-kiri moderat ini – kaum Menshevik dan SR dalam kasus Revolusi Rusia – ke posisi kepemimpinan. Orang-orang ini, yang sebelumnya tidak pernah sungguh-sungguh percaya pada revolusi, yang sepanjang karier politiknya hanya berkutat dengan perubahan gradual dan kosmetik, dipercaya oleh massa untuk memimpin revolusi karena nama mereka biasanya lebih dikenal massa. Mereka biasanya datang dari kalangan intelektual, akademisi, pengacara, jurnalis, aktivis NGO, dan pengurus serikat buruh. Mereka masih mengingat kosa kata sosialisme dan revolusi dari masa muda mereka, dan ketika revolusi meledak mampu menyusun frase-frase sosialis yang memikat massa. Tetapi sesungguhnya, frase-frase yang keluar dari mulut mereka ini hampa. Menghadapi kesulitan-kesulitan pertama, para pemimpin reformis ini langsung goyah dan ragu, dan selalu mencari cara untuk mengembalikan kekuasaan kepada yang empunya.
Rakyat pekerja harus melalui dan menguji para pemimpin seperti ini terlebih dahulu sebelum bisa menemukan kepemimpinan revolusioner yang dibutuhkan untuk menuntaskan revolusi. Proses menguji dan menemukan kepemimpinan ini bukanlah sesuatu yang bisa diimprovisasi begitu saja. Massa tidak memiliki waktu selamanya karena revolusi pada dasarnya hanya memberi kita jeda waktu yang pendek. Oleh karenanya kepemimpinan revolusioner haruslah dipersiapkan jauh hari sebelum meletusnya revolusi. Inilah yang berhasil dilakukan oleh kaum Bolshevik.
Partai Bolshevik meluncurkan perjuangan yang sengit untuk mengekspos keterbatasan dan impotensi para pemimpin reformis ini. Selangkah demi selangkah, dalam rentang waktu 9 bulan, mereka berhasil memenangkan kepemimpinan soviet dari tangan para sosialis moderat.
Hanya keberadaan Partai Bolshevik yang dapat memecahkan paradoks Revolusi Februari dan membawanya ke kemenangan Revolusi Oktober. Dengan terus mendorong maju kesadaran kelas buruh, membuyarkan kenaifan mereka di tahapan awal revolusi, dan menyingkap kebangkrutan kaum reformis, Partai Bolshevik berhasil memimpin kaum proletar Rusia untuk mencapai apa yang tidak bisa dicapai oleh kaum proletar Sri Lanka, Bangladesh, dan Nepal hari ini: kemenangan revolusi sosialis.
Kapitalisme sedang memasuki krisisnya yang paling dalam. Ledakan-ledakan revolusioner selama beberapa bulan terakhir saja telah memberikan gambaran betapa akutnya krisis ini. Massa sudah mulai menapaki jalan revolusi, tetapi ketika mereka menapak jalan ini – yang terjal, berliku-liku, dan penuh bahaya – mereka tidak menemukan kepemimpinan yang diperlukan untuk menyelesaikan apa yang telah mereka mulai.
Paradoks Revolusi Februari yang kita paparkan di atas telah mengulang dirinya di berbagai revolusi selama seabad terakhir, dengan keunikannya tersendiri namun problem-problemnya pada dasarnya sama. Solusinya sudah disajikan oleh pengalaman Revolusi Rusia, yakni keberadaan partai revolusioner yang disiplin, rapat dan dipersenjatai teori Marxisme. Solusinya tampak sederhana tetapi apa yang tampak sederhana sesungguhnya membutuhkan kegigihan dan kekeraskepalaan Bolshevik yang hari ini sangatlah langka. Tugas membangun partai ini sudah terlalu lama diabaikan, dan maka dari itu setiap kaum muda revolusioner hari ini harus mendedikasikan seluruh kekuatannya untuk tugas ini. Tidak ada jalan pintas. Ini dimulai dengan membangun fondasi ide, program, metode dan tradisi yang tepat, yang menuntut kita untuk menggali kembali legasi Revolusi Rusia yang sudah lama terkubur itu.
