Beberapa waktu belakangan, paska banjir besar yang meluluhlantakkan 3 provinsi di pulau Sumatra, banyak pendukung kelas penguasa dan institusinya mulai menyebarkan narasi bahwa kerugian akibat bencana harus dengan sabar kita terima. Mereka berpendapat bahwa apa yang menjadi penyebab banjir tersebut, seperti alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit dan tambang, adalah sebuah konsekuensi dari keharusan untuk mencukupi kebutuhan setiap manusia.
Hasan Nasbi, mantan kepala staf komunikasi kepresidenan yang sekarang menjadi komisaris Pertamina, salah satu penjilat nomor satu Jokowi dan Prabowo, berkata di sebuah video di saluran Youtube-nya sendiri, “penebangan hutan benar sebagai penyebab banjir, tapi kita jangan pukul rata. Selagi kita masih suka minum kopi, ada hutan yang berubah menjadi kebun kopi; kita makan gorengan ada hutan yang berubah menjadi kebun sawit; tempat minum (sambil menunjukkan tempat minum dari besi) yang mengharuskan adanya perut bumi yang digali untuk mendapatkan logam, dan hape yang mengharuskan adanya perut bumi yang digali untuk menjadikannya hape”.
Ulil Abshar Abdalla, seorang pentolan Jaringan Islam Liberal sekaligus tokoh NU, membuat argumen serupa. Dalam video debat dengan Juru Kampanye Hutan Greenpeace Iqbal Damanik dia berargumen bahwa penambangan tidak dapat dipandang sebagai kejahatan intrinsik. Menurutnya yang buruk bukanlah eksploitasi sumber daya itu sendiri, melainkan “bad mining” yang sifatnya rakus dan tidak bertanggung jawab. Ia menolak pandangan yang menganggap seluruh bentuk eksploitasi sebagai sesuatu yang harus dilarang secara absolut karena manusia tetap membutuhkan energi dan sumber daya untuk hidup.
Sekilas apa yang disampaikan Hasan Nasbi maupun Ulil ini tampaknya masuk akal, karena tidak ada makhluk hidup yang bisa hidup tanpa mengambil sesuatu dari alam sekitarnya. Yang disesalkan oleh Ulil hanyalah praktik eksploitasi alam yang tidak beres, yang “rakus dan tidak bertanggung jawab”. Bila ada pengelola yang beretika dan bermoral baik, maka menurutnya kita bisa memiliki “good mining” yang dikelola secara “tidak rakus” dan secara “bertanggung jawab”. “
Manusia sejak awal keberadaannya telah secara sadar mengolah alam dengan kerjanya guna memenuhi kebutuhannya dan mengembangkan kekuatan produktif. Inilah yang membedakan kita dari hewan. Marx menulis di Kapital: “Kerja, pertama-tama, adalah suatu proses di mana baik manusia maupun alam sama-sama terlibat, dan di mana manusia, atas kehendaknya sendiri, memulai, mengatur, dan mengendalikan reaksi-reaksi material antara dirinya dan alam”. Tetapi Marx tidak berhenti di sini saja. Dia menganalisa proses kerja manusia secara historis, yakni sehubungan dengan bentuk masyarakat yang ada.
Apa yang membuat pernyataan Hasan Nasbi dan Ulil yang tampak benar tadi salah adalah nihilnya analisa kelas serta relasi produksi yang berlaku. Interaksi manusia dengan Alam bukanlah interaksi yang berdiri dengan sendirinya, tetapi dikondisikan oleh masyarakat kelas yang ada serta hubungan kepemilikan yang mendasarinya.
Kita akui bahwa sejauh ini kita memerlukan tambang, kebun sawit, kebun kopi, dsb. Dan memang sewajarnya apabila dalam proses kerja atas pengambilan sumber daya tersebut ada lahan-lahan yang harus dialih fungsikan. Tetapi apa yang menjadi masalah adalah ketika hasil dari proses kerja tersebut diubah menjadi komoditas. Ini karena di bawah kapitalisme semua yang diproduksi adalah komoditas, yakni barang yang diproduksi bukan untuk memenuhi kebutuhan manusia tetapi untuk diperdagangkan demi profit. Kapitalisme adalah sistem produksi komoditas yang telah menjadi umum, dan pemenuhan kebutuhan hanyalah efek sekunder atau sampingan dari perdagangan komoditas dan profit yang diburunya.
Tidak hanya itu, kita hidup di bawah masyarakat kelas, dengan satu kelas – kapitalis atau pemilik modal – yang memiliki dan mengendalikan alat-alat produksi yang menghasilkan komoditas tersebut. Kelas yang lainnya, yang mayoritas, yaitu kelas pekerja, tidak memiliki kendali sama sekali atas proses produksi ini. Mereka dipekerjakan untuk melakukan kerja produksi komoditas, tetapi apa yang mereka produksi ini diapropriasi oleh pemilik modal. Untuk memburu profit, yang merupakan penggerak utama sistem ekonomi ini, kapitalis harus terus menekan ongkos produksi. Ini mereka lakukan dengan terus menekan upah dan kondisi kerja buruh, atau dengan tidak mengindahkan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh proses produksi komoditas tersebut. Jadi tidak seperti yang dikatakan Ulil, ini bukan masalah cacat moral, atau “bad mining”, seolah-olah ada “good mining”. Kapitalisme meniscayakan eksploitasi berlebihan terhadap alam yang dalam skala besar merusak keseimbangan ekosistem. Hutan dialihfungsikan besar-besaran demi tujuan pemburuan profit segelintir kapitalis. Fakta inilah yang menyebabkan banjir bandang di Sumatera kemarin,
Yang bertanggung jawab menghancurkan lingkungan bukanlah kaum buruh yang menikmati kopi paginya dengan cemilan pisang gorengnya, tetapi kapitalis yang mengantongi triliunan rupiah dari ratusan ribu hektar hutan yang mereka babat untuk membuka kebun kopi dan kebun sawit yang mereka miliki. Mereka-lah yang memutuskan untuk menghancurkan ekosistem hutan dan mengantongi profit besar darinya. Ketika Hasan Nasbi mencoba menyalahkan rakyat pekerja atas kerusakan alam, dia sengaja mengaburkan fakta bahwa kapitalis-lah – dengan bantuan pemerintah yang berkuasa – yang sesungguhnya bertanggung jawab.
Sekarang pertanyaannya adalah, adakah solusi untuk sistem yang berbahaya ini?
Ada. Solusinya adalah sosialisme, sebuah moda produksi yang berkebalikan dari kapitalisme, yang dicirikan oleh kepemilikan alat-alat produksi secara bersama, proses produksi yang terencana dan demokratis oleh kelas pekerja dengan tujuan untuk pemenuhan kebutuhan manusia bukan pencarian keuntungan.
Bayangkan betapa efisiennya dan harmonisnya proses produksi dengan alam jika kita menghilangkan motif profit para pemilik alat-alat produksi. Bayangkan betapa alam tidak akan tereksploitasi secara berlebihan karena proses produksinya hanya untuk pemenuhan kebutuhan manusia dan bukan pencarian keuntungan tanpa henti. Bayangkan betapa akan makmurnya pekerja dan warga setempat jika hasil kerja mereka bukan lari ke tangan para pemilik yang parasitik, bukan diboyong ke Jakarta, tapi digunakan untuk membangun daerah mereka dan menyediakan penghidupan yang layak.
Rakyat pekerja bisa mengolah alam dengan baik dan memperoleh banyak sumber daya alam darinya tanpa harus menghancurkannya. Tetapi ini hanya bisa dilakukan bila kita sudahi sistem produksi komoditas kapitalisme, kita akhiri relasi kepemilikan pribadi kapitalis atas alat-alat produksi (kebun, tambang, bank, pabrik) dan gantikan dengan relasi kepemilikan kolektif di bawah kendali rakyat pekerja. Ini bukanlah hal yang utopis semata. Ini dapat terwujud. Namun untuk mewujudkan ini diperlukan revolusi sosialis untuk menggulingkan kapitalisme, dibutuhkan perubahan fundamental atas sistem ekonomi yang ada. Tanpa itu, semua upaya memperbaiki ekosistem alam hanyalah seperti berkebun.
